TALBIS IBLIS
Terhadap Golongan
KHAWARIJ
Oleh:
Ibnul Jauzi
Orang
Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya adalah
Dzul-Khuwaishirah.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri dia berkata, ‘Ali bin Abu Thalib
radhiallahu ‘anhu mengirim utusan dari Yaman untuk menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam صلى الله عليه وسلم,
sambil menyerahkan emas yang dibungkus kantong kulit yang sudah disamak. Emas itu masih asli dan belum disisihkan
dari campuran tanahnya. Lalu Rasulullah
صلى
الله عليه وسلم membagi emas itu kepada empat orang: Zaid Al-Khail, Al-Aqra’ bin
Habis, Uyainah bin Hishn dan Alqamah bin Ulatsah atau Amir bin Ath-Thufail. Ada
yang terasa mengganjal di dalam hati Umarah (termasuk orang munafik), karena
dia melihat rekan-rekannya dari kalangan Anshar dan lain-lainnya memiliki emas
itu. Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم
bersabda, ‘Apakah kalian tidak, lagi
percaya kepadaku, sedangkan aku adalah orang yang dipercaya oleh siapa yang
berada di langit, yang kabar langit datang kepadaku pagi dan petang?”
Tak seberapa lama kemudian ada seorang laki-laki yang kedua matanya cekung,
tulang pipinya menonjol, keningnya menjorok ke depan, jenggotnya lebat,
jubahnya bergerai-gerai dan kepalanya gundul. Dia berkata, “Bertakwalah kepada
Allah wahai Rasulullah!”
Beliau mengangkat kepala memandang orang itu, seraya bersabda, “Celaka
engkau! Bukankah orang yang paling berhak untuk bertakwa kepada Allah adalah
aku?” Setelah orang itu beranjak, Khalid berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana
jika leher orang itu kupenggal?” Beliau menjawab, “Boleh jadi orang itu
mendirikan shalat.” Khalid berkata, “Sesungguhnya banyak orang yang shalat,
namun dengan lidahnya dia mengatakan apa yang tidak ada di dalam hatinya.”
“Aku tidak diperintahkan untuk menyelidiki hati manusia dan membelah
perutnya.” Kemudian Nabi صلى الله عليه وسلم
memandang Khalid yang hanya diam saja,
lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya dari kaum ini akan muncul segolongan orang
yang membaca Al-Qur’an, yang (bacaannya) tidak melebihi kerongkongannya. Mereka
lepas dari agama sebagai anak panah yang lepas dari busurnya.”
Orang tersebut bernama Dzul-Khuwaishirah At-Tamimi. Dalam lafazh lain
disebutkan, orang itu berkata, “Berbuat adillah!” Lalu beliau menjawab, “Celaka
engkau! Lalu siapa yang berbuat adil jika aku tidak adil?”
Dialah orang Khawarij yang pertama kali muncul dalam Islam. Celakanya,
dia merasa benar dengan pendapatnya sendiri. Andaikan dia mau menelaah lebih
jauh, tentu dia akan mengetahui bahwa tidak ada pendapat yang dapat mengungguli
pendapat Rasulullah Orang-orang yang mengikuti orang ini adalah mereka yang
memerangi Ali bin Abu Thalib.
Pasalnya, ketika peperangan antara pasukan Ali bin Abu Thalib dan Mu’awiyah
berlarut-larut, maka rekan-rekan Mu’awiyah mengangkat Mushhaf Al-Qur’an dan
mengajak rekan-rekan Ali untuk berembug. Dari masing-masing pihak disepakati
seorang utusan untuk berembug dan menghalalkan apa yang terkandung di dalam
Kitab AUah. Orang-orang berkata, “Kami ridha dengan hal ini.” Utusan dari pihak
Mu’awiyah adalah Amr bin Al-Ash. Rekan-rekan Ali mengusulkan agar dia mengutus
Abu Musa. Tetapi Ali berkata, “Aku kurang sependapat jika menunjuk Abu Musa.
Ini ada Ibnu Abbas.” Namun mereka berkata, “Kami tidak ingin seorang utusan
daripihakmu itu.'
Akhirnya Ali mengutus Abu Musa. Keputusan ditangguhkan hingga Ramadhan.
Lalu Urwah bin Udzainah berkata, “Kalian mengangkat orang-orang sebagai
penentu hukum mengenai urusan Allah, padahal tidak ada hukum kecuali milik
Allah.”
Ali pulang dari Shiffin dan memasuki Kufah. Namun orang-orang Khawarij
tidak ikut serta bersamanya. Mereka pergi ke Haura’ dan singgah di sana, yang
jumlahnya ada dua belas ribu orang. Mereka berkata, “Tidak ada hukum kecuali
milik Allah.” Ini merupakan tanda pertama kemunculan mereka. Ada seseorang di
antara mereka yang mengumumkan, bahwa komandan perang ada di tangan Syabib bin
Rab’i At-Tamimi, adapun yang menjadi imam shalat adalah Abdullah bin Al-Kawa
Al-Yasykuri. Orang-orang Khawarij tetap melakukan ibadah sebagaimana mestinya,
hanya saja mereka percaya bahwa mereka lebih pintar daripada Ali bin Abu
Thalib. Tentu saja ini merupakan penyakit yang sulit diobati.
Dari Sammak bin Rumail, dia berkata, “Abdullah bin Abbas berkata, Tatkala
orang-orang Khawarij menyatakan untuk memisahkan diri, mereka memasuki suatu
tempat, yang jumlah mereka ada enam ribu orang. Mereka sepakat untuk memerangi
Ali bin Abu Thalib. Lalu ada seseorang yang mengabarkan kepada Ali, “Wahai
Amirul-Mukminin, mereka akan memerangi engkau.”
Ali menjawab, “Biarkan saja mereka. Aku tidak akan memerangi mereka sehingga
mereka memerangi aku, dan rupanya mereka benar-benar akan melakukannya.”
Abdullah bin Abbas berkata, “Suatu hari aku menemui Ali bin Abu Thalib
sebelum shalat zhuhur, lalu kukatakan kepadanya, Wahai Amirul Mukminin, buatlah
suasananya menjadi dingin. Siapa tahu aku bisa menemui mereka dan berbicara
dengan mereka.”
“Aku mengkhawatirkan keselamatan dirimu,” kata Ali.
“Engkau tidak perlu khawatir. Toh aku dikenal orang yang halus akhlaknya
dan aku juga tidak pernah menyakiti seorang pun,” kataku.
Akhirnya Ali bin Abu Thalib memberiku izin. Dengan mengenakan jubah Yaman
yang paling bagus, aku menghampiri mereka dengan berjalan kaki selama setengah
hari. Aku menemui sekumpulan orang yang tidak pernah kulihat ijtihadnya sekeras
mereka. Di kening mereka ada bekas sujud. Tangan mereka seperti kaki onta.
Pakaian mereka basah oleh keringat dan wajah mereka terlihat letih karena
banyak berjaga pada waktu malam. Aku mengucapkan salam kepada mereka, lalu
mereka menjawab, “Selamat datang wahai Ibnu Abbas. Kabar apa yang engkau bawa?”
Aku menjawab, “Aku datang kepada kalian dari sisi orang-orang Muhajirin
dan Anshar serta dari sisi menantu Rasulullah صلى الله عليه
وسلم . Kepada merekalah Al-Qur’an turun
dan merekalah yang paling mengetahui ta’wilnya daripada kalian.”
Sebagian di antara mereka berkata, “Janganlah kalian memerangi
orang-orang Quraisy, karena Allah telah befirman, ‘Sebenarnya mereka adalah
kaum yang suka bertengkar’. ” (Az-Zukhruf: 58)
Kemudian ada dua atau tiga orang yang berkata, “Biarkan kami saja yang
berbicara dengannya.”
Aku berkata kepada mereka, “Berikan alasan, mengapa kalian mendendam
terhadap menantu Rasulullah صلى الله عليه وسلم,
orang-orang Muhajirin dan Ansar, padahal kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan?
Sementara tak seorang pun di antara kalian yang termasuk golongan mereka, dan
mereka pun lebih mengetahui ta’wilnya.”
Mereka menjawab, “Ada tiga alasan.”
“Katakan saja!” kataku.
Mereka menjawab, ‘Yang pertama, karena Ali mengangkat beberapa orang
sebagai pembuat keputusan hukum dalam urusan Allah. Padahal Allah telah
befirman, ‘Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah’. (Al-An’am:
57). bagaimana hak manusia membuat keputusan hukum setelah ada firman Allah?”
“Ini alasan yang pertama. Lalu apa alasan lainnya?” tanyaku.
Mereka menjawab, “Alasan yang kedua, karena dia berperang dan membunuh,
tidak mau menawan dan tidak mau mengambil harta rampasan. Kalau memang mereka
benar-benar orang-orang Mukmin, lalu mengapa kami diperbolehkan memerangi dan
membunuh mereka, tetapi tidak diperbolehkan menawan mereka?”
“Lalu apa alasan yang ketiga?” tanyaku.
Mereka menjawab, “Karena dia (Ali) menghapus sebutan Amirul Mukminin
dari dirinya. Sebab jika bukan Amirul-Mukminin (pemimpin orang-orang Mukmin), berarti
dia adalah pemimpin orang-orang kafir.”
“Apakah kalian masih mempunyai alasan yang lain lagi?” tanyaku.
Mereka menjawab, “Cukup itu saja.”
Kukatakan kepada mereka, “Tentang pernyataan kalian, bahwa dia telah
mengangkat beberapa orang untuk membuat keputusan hukum dalam urusan Allah,
maka aku dapat membacakan ayat kepada kalian di dalam Kitab Allah yang dapat
menggugurkan pendapat kalian ini. Kalau memang pendapat kalian gugur, apakah
kalian mau kembali lagi?”
“Baiklah,” jawab mereka
Aku berkata, “Sesungguhnya Allah telah menyerahkan keputusan hukum-Nya
kepada beberapa orang, untuk membayar empat dirham sebagai ganti pembayaran
seekor kelinci, sebagaimana firman-Nya, “Janganlah kalian membunuh binatang buruan,
ketika kalian sedang ihram..." dan seterusnya hingga akhir ayat
(Al-Maidah: 95).
Begitu pula tentang wanita dan suaminya, Allah telah befirman, “Dan,
jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah
seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan...”
dan seterusnya hingga akhir ayat (An-Nisa’: 35).
Aku berkata lagi, “Maka kupertanyakan kepada kalian atas nama Allah,
apakah kalian juga mengenal keputusan beberapa orang juru pendamai untuk mendamaikan
di antara kalian dan dalam melindungi darah mereka? Lalu manakah yang lebih
utama dengan keputusan hukum mereka tentang seekor kelinci dan wanita?”
“Yang benar adalah pendapat kami,” jawab mereka.
“Kalau begitu permasalahannya sudah menyimpang.”
“Benar,” jawab mereka.
Aku berkata, “Sedangkan tentang pendapat kalian bahwa Ali berperang dan
tidak mau menawan serta mengambil harta rampasan, lalu apakah kalian hendak
menawan ibu kalian, Aisyah? Demi Allah, jika kalian berkata, “Dia bukan ibu
kami”, berarti kalian telah keluar dari Islam. Demi Allah, jika kalian berkata,
“Kami boleh menawannya dan kami boleh berbuat apa pun terhadap dirinya seperti
yang kami perbuat terhadap selainnya”, berarti kalian telah keluar dari Islam.
Dengan begitu kalian berada di antara dua kesesatan. Sebab Allah azza wa jall telah
befirman, “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orangMukmin dan diri
mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu mereka.” (Al-Ahzab: 6). Kutanyakan
kepada mereka, “Apakah memang kalian keluar dari hal ini?”
“Benar,” jawab mereka.
Aku berkata lagi, “Tentang perkataan kalian bahwa dia (Ali)
menghapus dari dirinya sebutan Amirul-Mukminin, maka aku datang dari sisi orang
yang kalian juga meridhai, bahwa pada peristiwa Hudaibiyah Nabi صلى
الله عليه وسلم mengukuhkan perdamaian dengan dua
orang musyrik, Abu Sufyan bin Harb dari Suhail bin Amr. Saat itu beliau
bersabda kepada Ali, “Tulislah selembar tulisan bagi mereka!” Maka Ali
menuliskan bagi mereka, “Ini merupakan perjanjian yang disepakati Muhammad,
Rasul Allah.”
Orang-orang musyrik berkata, “Demi Allah, kami tidak mempercayaimu
sebagai Rasul Allah. Andaikan kami mempercayaimu sebagai Rasul Allah, tentunya
kami tidak akan memusuhimu.”
Rasulullah صلى الله عليه وسلم
bersabda, ‘Ya Allah, sebenarnya
engkau tahu bahwa aku memang Rasul Allah. Hapus wahai Ali, dan tulislah: ini
merupakan perjanjian yang disepakati Muhammad bin Abdullah.” Demi Allah, Rasulullah
adalah orang yang lebih baik daripada Ali. Namun beliau menghapus sebutan bagi
diri beliau.
Ibnu Abbas berkata, “Akhirnya ada dua ribu orang di antara mereka yang
kembali lagi. Yang lainnya ada yang berusaha kembali, tetapi mereka dibunuh.”
Dari Jundab Al-Azdi, dia berkata, “Saat kami menemui orang-orang Khawarij
bersama Ali bin Abu Thalib, maka kami berhadapan dengan pasukan mereka. Dari
tengah mereka keluar suara berdengung karena bacaan Al-Qur’an.”
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika Ali bin Abu Thalib sudah
menetapkan keputusan, ada dua orang dari Khawarij, yaitu Zar’ah bin Al-Burj
Ath-Tha’i dan Hurqush bin Zuhair As-Sa’di yang menemuinya, seraya berkata,
“Tidak ada ketetapan hukum kecuali milik Allah.” Ali menyahut, “Memang tidak
ada ketetapan hukum kecuali milik Allah.”
Hurqush berkata, “Kalau begitu bertaubatlah dari kesalahanmu dan tariklah
kembali keputusanmu tentang kami serta bergabunglah bersama kami menghadapi
musuh hingga kita bersua Allah. Jika engkau tidak menarik kembali keputusanmu
mengangkat beberapa orang untuk membuat keputusan yang sudah ada di dalam Kitab
Allah subhanahu wa ta’ala, maka kamilah yang justru akan menyerangmu. Aku
melakukan yang demikian itu karena mencari Wajah Allah.”
Lalu orang-orang Khawarij berkumpul di rumah Abdullah bin Wahb Ar-Rasiby.
Dia berkata, “Tidak selayaknya bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan
menisbatkan dirinya kepada hukum Al-Qur’an untuk mementingkan dunia ini
daripada diri kami, mementingkan apa yang ada pada dirinya daripada amar ma’ruf
nahi mungkar serta perkataan yang benar. Maka keluarlah bersama golongan kami.”
Lalu Ali bin Abu Thalib menulis surat kepada mereka: “Dua orang yang
telah kalian utus kepada kami dan membuat dua keputusan hukum, telah menyalahi
Kitab Allah dan hanya mengikuti nafsunya. Kami tetap mengikuti jejak yang
pertama.”
Mereka membalasnya; “Sebenarnya engkau tidak marah kepada Rabbmu, tetapi
marah kepada dirimu sendiri. Jika engkau mau mempersaksikan kekufuran atas
dirimu lalu engkau bertaubat, maka kami masih bisa mempertimbangkan lagi
hubungan di antara kita. Jika tidak, maka kami akan melibasmu.”
Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan Abdullah bin Khabbat. Lalu
mereka bertanya kepadanya, “Apakah engkau pernah mendengar sebuah hadits dari
ayahmu, dari Rasulullh صلى الله عليه وسلم
yang menyinggung diri kami?”
“Ya,” jawabnya, “Aku mendengar ayahku meriwayatkan hadits dari Rasulullah
bahwa beliau menyebutkan suatu cobaan,
orang yang duduk saat itu lebih baik daripada orang yang berdiri, orang yang
berdiri lebih baik daripada orang yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih
baik daripada orang yang berlari. Jika engkau mendapatkan yang demikian itu,
maka jadilah hamba Allah yang terbunuh.”
Mereka berkata, “Engkau mendengar yang seperti ini dari ayahmu, bahwa
itu benar datang dari Rasulullah?”
“Benar,” jawabnya.
Lalu mereka menyeret Abdullah bin Khabbab ke pinggir sungai lalu memenggal
lehernya, hingga darahnya mengalir seperti tali sandal. Mereka juga membelah
perut istrinya yang sedang mengandung anaknya. Mereka singgah di sebuah kebun
korma di kaki bukit di Nahrawan. Secara kebetulan ada buah korma yang jatuh.
Salah seorang di antara mereka mengambilnya dan memasukkannya ke mulut, hendak
memakannya. Orang lain di sampingnya berkata, “Engkau mengambil buah korma itu
tidak menurut hukumnya dan juga belum membayarnya.” Lalu dia mengambil korma
itu dari mulut temannya dan membuangnya. Orang yang hendak memakan korma
tersebut menghunus pedangnya. Ketika ada seekor babi milik Ahli Dzimmah, orang
yang memakan korma itu memenggal lehernya dan jasadnya diserahkan kepada babi.
Mereka berkata, “Orang semacam ini (yang menentang perbuatan orang yang memakan
korma) merupakan kerusakan di muka bumi.”
Ali bin Abu Thalib mengirim utusan untuk menyampaikan pesan: “Serahkan
pembunuh Abdullah bin Khabbab kepada kami!”
Mereka menjawab, “Kami semua pembunuhnya.”
Utusan itu berseru tiga kali dan mereka menjawab dengan jawaban yang
sama pula. Akhirnya Ali berseru kepada pasukannya, “Serang mereka!”
Satu persatu mereka bisa dibunuh. Pada saat peperangan itu berkobar,
sebagian orang-orang Khawarij berkata kepada sebagian yang lain, Bersiap-siaplah
kalian untuk bersua Allah. Pergilah ke surga, pergilah ke surga!”
Kemudian Abdurrahman bin Muljam mengumpulkan teman-temannya dan
menyebutkan orang-orang yang terbunuh di Nahrawan, yang membuat mereka merasa
simpati terhadap teman-teman mereka yang sudah terbunuh. Maka mereka berkata,
“Demi Allah, kami tidak ingin hidup di dunia ini setelah teman-teman kami
terbunuh, yang mereka itu tidak takut karena urusan Allah terhadap orang yang
suka mencela. Andaikan kami boleh membeli diri kami karena Allah dan bisa
mencari selain para pemimpin yang sesat itu, maka lebih baik jika kami
dipertemukan dengan teman-teman kami yang sudah terbunuh dan kami bisa terbebas
dari orang-orang yang masih hidup.”
Dari Muhammad bin Sa’d, dan beberapa syaikhnya, mereka berkata, “Ada
tiga orang pemuka Khawarij, yaitu Abdurrahman bin Muljam, Al-Barak bin Abdullah
dan Amr bin Bakar At-Tamimi yang berkumpul di Makkah. Mereka berembug dan
membuat kesepakatan bersama untuk membunuh tiga orang, yaitu Ali, Mu’awiyah dan
Amr bin Al-Ash.
Ibnu Muljam berkata, “Serahkan Ali kepadaku.”
Al-Barak berkata, “Serahkan Mu’awiyah kepadaku.”
Amr berkata, “Serahkan Amr bin Al-Ash kepadaku.
Mereka berjanji untuk tidak saling berkhianat dalam masalah ini
dalam menghadapi sasaran masing-masing. Maka Ibnu Muljam pergi ke Kufah. Pada suatu
malam sesuai dengan rencana Ibnu Muljam untuk membunuh Ali radhiallahu ‘anhu, kebetulan
Ali sedang keluar untuk shalat subuh. Maka secara tiba-tiba Ibnu Muljam
menebaskan pedangnya tepat mengenai kening Ali hingga ubun-ubunnya. Ali
berteriak, “Jangan biarkan orang ini lolos!”
Setelah orang-orang mencekalnya, Ummu Kultsum, putri Ali bin Abu Thalib
berkata, “Wahai musuh Allah, engkau telah membunuh Amirul-Mukminin.”
“Toh aku hanya membunuh
ayahmu,” jawab Ibnu Muljam.
“Demi Allah, Aku benar-benar berharap semoga Amirul-Mukminin tidak
apa-apa,” kata Ummu Kultsum.
“Lalu mengapa engkau menangis? Demi Allah, Aku sudah merendam pedangku
itu dalam racun selama sebulan. Tidak mungkin dia masih tetap hidup setelah Aku
mati, karena Aku tetap akan berhasil membunuhnya.”
Ketika Ali bin Abu Thalib benar-benar meninggal dunia, Ibnu Muljam digelandang
keluar untuk menjalani hukuman mati. Pertama-tama Abdullah bin Ja’far memotong
kedua tangannya dan kedua kakinya. Diperlakukan seperti itu Ibnu Muljam sama
sekali tidak merintih kesakitan dan juga tidak berbicara apa-apa. Lalu kedua
matanya dicongkel dengan paku yang dibakar. Dia tetap tidak merintih. Lalu dia
membaca ayat, “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan. Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah”, hingga akhir surat dan Al-Alaq.
Barulah dari kedua matanya mengalir air mata. Ketika lidahnya siap untuk
dipotong, dia mulai merintih kesakitan.
“Mengapa engkau merintih kesakitan?” tanya seseorang.
Ibnu Muljam menjawab, “Aku tidak suka di dunia ini ada orang yang meninggal
dunia, seperti Aku yang tidak bisa berdzikir kepada Allah.”
Di kening Ibnu Muljam, yang dilaknat Allah, ada warna kecoklat-coklatan
karena bekas sujud.
Inilah beberapa gambaran tentang jalan pikiran dan pendapat orang-orang
Khawarij. Ketika Al-Hasan hendak mengukuhkan perdamaian dengan Mu’awiyah, ada
salah seorang dari Khawarij yang menemuinya, yaitu Al-Jarrah bin Sinan, yang berkata
kepadanya, “Kamu menjadi musyrik seperti yang dilakukan ayahmu.” Kemudian
Al-Hasan memenggal pangkal paha Al-Jarrah.
Orang-orang Khawarij selalu menemui para pemimpin dengan menawarkan
berbagai macam jalan pikiran mereka yang berbeda-beda. Rekan-rekan Nafi’ bin
Al-Azraq berkata, “Kami orang-orang musyrik selagi kami berada di wilayah yang
musyrik. Namun jika kami sudah keluar dan sana, maka kami adalah orang-orang
Muslim.”
Mereka juga berkata, “Orang-orang yang memiliki jalan pikiran yang berseberangan
kami adalah orang-orang musyrik. Orang-orang yang melakukan dosa besar juga
musyrik. Orang-orang yang tidak mau bergabung dengan kami dalam peperangan
adalah orang-orang kafir.”
Mereka menghalalkan darah wanita, anak-anak dan semua orang Muslim selain
golongan mereka, karena mereka menganggap orang lain sebagai orang musyrik.
Sebenarnya Najdah bin Amir Ats-Tsaqfi termasuk golongan Khawarij. Hanya
saja dia berbeda pendapat dengan Nafi’ bin Al-Azraq dalam masalah darah
orang-orang Muslim dan harta benda mereka. Najdah juga berpendapat bahwa
orang-orang yang berbuat dosa dan para pengikumya diadzab, tetapi tidak di
dalam neraka Jahannam. Sebab neraka Jahannam hanya diperuntukkan bagi
orang-orang yang menyalahi pendapat golongan Khawarij.
Ibrahim berkata, “Golongan Khawarij adalah golongan orang-orang kafir.
Kita tidak boleh menikah dan mewarisi dari mereka seperti yang terjadi pada
permulaan Islam. Sebagian di antara mereka ada yang berkata, “Andaikata
seseorang mengambil dua keping uang dari harta anak yatim, maka dia akan masuk
neraka. Andaikata tangannya dipotong, dibelah perutnya atau dibunuh, maka yang
membunuhnya tidak akan masuk neraka.”
Banyak kisah tentang mereka, begitu pula jalan-jalan pikiran yang
aneh-aneh dari mereka. Kami melihat tidak perlu memperpanjang pembahasan tentang
mereka, karena kami hanya bermaksud melihat seberapa jauh talbis Iblis yang
dilancarkan terhadap orang-orang bodoh yang hanya melihat sisi kehidupan mereka
sendiri, yang merasa yakin bahwa Ali bin Abu Thalib Karramahullahu Wajhahu
berada pada kesalahan, begitu pula orang-orang Muhajirin dan Anshar yang
bersamanya. hanya mereka saja yang benar.
Mereka juga menghalalkan darah anak-anak yang tidak berdosa, tetapi
tidak mengusik orang yang memakan korma tanpa membayarnya terlebih dahulu Mereka
membebani diri dengan ibadah dan jarang tidur malam.
Ketika lidah Ibnu Muljam hendak dipotong, dia merintih karena tidak bisa
berdzikir. Dia merasa benar dengan membunuh Ali bin Abu Thalib. Mereka juga
mengangkat pedang untuk membunuh orang-orang Muslim Tidak terlalu mengherankan
jika mereka merasa hebat dengan ilmunya dan merasa yakin bahwa mereka lebih
pandai daripada Ali radhiallahu ‘anhu. Toh, orang semacam Dzul-Khuwaishirah
pernah berkata kepada Rasulullah صلى الله عليه
وسلم “Berbuat adillah. karena engkau tidak berbuat adil.” Tentu saja
Iblis tidak melewatkan orang semacam ini. Kami berlindung kepada Allah dari
kesia-siaan.
Dari Muhammad bin Ibrahim, dia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah صلى
الله عليه وسلم bersabda,
“Akan
muncul segolongan orang di tengah kalian dimana shalat mereka lebih unggul jika
dibandingkan dengan shalat kalian, puasa mereka lebih unggul jika dibandingkan
dengan puasa kalian, amal mereka jika dibandingkan dengan amal kalian. Mereka
membaca Al-Qur'an, (yang bacaannya) tidak melebihi tenggorokan. Mereku lepas
dari agama sebagaimana anak panah yang lepas dari busumya.” {HR. Al-Bukhari dan
Muslim).
Dari Abdullah bin Abi Aufa, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah صلى
الله عليه وسلم bersabda, “Khawarij itu adalah
anjing-anjing penghuni neraka.”
Di antara pendapat golongan Khawarij, kepemimpinan itu tidak tergantung
kepada seseorang. Mereka disatukan ilmu dan zuhud. Jika seseorang memiliki ilmu
dan zuhud, maka dialah sang pemimpin, sekalipun dia rakyat jelata.
Karena golongan Khawarij inilah kemudian muncul golongan Mu’tazilah
yang menyerahkan ukuran baik dan buruk kepada akal. Keadilan juga muncul dari
akal. Kemudian muncul pula golongan Qadariyah pada sahabat, yang diciptakan
Ma’bad Al-Juhanni dan Ghailan Ad-Dimasqi serta Al-Ja’d bin Dirham. Yang
menisbatkan dirinya ke jalan pikiran Ma’bad Al-Juhanni adalah Washil bin Atha’
(pemimpin Mu’tazilah), yang kemudian didukung Amr bin Ubaid. Pada masa-masa itu
juga muncul golongan Murji’ah yang mengatakan, “Kedurhakaan tidak bisa mengusik
iman, sebagaimana kufur tidak dapat berbuat apa-apa selagi sudah ada ketaatan.”
Kemudian Abul-Hudzail bin Al-Aknaf, An-Nizham, Ma’mar dan Al-Jahizh
dan golongan Mu’tazilah menekuni buku-buku filsafat pada masa khalifah Al-Ma’mun.
Dari buku-buku filsafat itu mereka membuat beberapa kesimpulan yang dicampur
aduk dengan topik-topik syariat, seperti munculnya istilah substansi,
nonsubstansi, masa, tempat dan alam. Masalah pertama yang mereka cuatkan ke
permukaan adalah masalah status Al-Qur’an sebagai makhluk. Maka era ini disebut
dengan era ilmu kalam (teologi).
Masalah ini diikuti dengan masalah-masalah lain tentang sifat,
seperti ilmu, kekuasaan, hidup, mendengar, melihat. Di antara mereka ada yang berkata,
“Sifat-sifat itu merupakan makna-makna yang ditambahkan ke dzat.” Lalu Mu’tazilah
menentangnya, seraya berkata, “Allah mengetahui terhadap Dzat-Nya, berkuasa
terhadap Dzat-Nya. begitu seterusnya.
Tadinya Abul-Hasan Al-Asy’ari mengikuti golongan Jubba’iyah (dan Mu’tazilah),
tetapi kemudian menyatakan keluar darinya, lalu menetapkan sifat-sifat Allah.
Namun sebagian orang-orang yang menetapkan sifat-sifat Allah beralih meyakini
penyerupaan dan penitisan. Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa pun
yang dikehendaki-Nya.
Source:
Ibnul Jauzi
Talbis Iblis
Perangkap
Setan
Penerjemah:
Kathur Suhardi
PUSTAK A AL-KAUTSAR