MENJAGA KEIMANAN
DENGAN MENJAGA PERGAULAN DENGAN MANUSIA
Oleh:Abu Usamah JR
Keimanan adalah mutiara dan
harta paling berharga yang dimiliki oleh seorang hamba. Ia tidak dimiliki oleh
setiap manusia, namun kelak di akhirat setiap manusia yang tidak memilikinya
akan menyesal dengan penyesalan yang luar biasa. Karena Keimanan begitu
berharga maka ia harus dijaga dengan segenap upaya. Sebab ia bisa hilang dari
diri seorang hamba tanpa meninggalkan sisa.
Keimanan bisa mengalami
pasang surut, berkurang dan bertambah, bahkan bisa hilang jika tak dipelihara. Sehingga
Allah ‘azza wa jalla memberikan tuntunan kepada para hamba‑Nya
untuk menjaga keimanan. Dan Allah mengajarkan kita dengan do’a agar tidak
dipalingkan kepada kekafiran setelah hidayah iman diraih.
رَبَّنَا
لَا تُزِغۡ قُلُوبَنَا بَعۡدَ إِذۡ هَدَيۡتَنَا وَهَبۡ لَنَا مِن لَّدُنكَ
رَحۡمَةًۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡوَهَّابُ ٨
“(Mereka berdoa): “Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah
Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari
sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau‑lah Maha Pemberi (karunia).”
(QS Ali
Imran:8).
Ada banyak sebab yang
menjadikan iman bisa berkurang atau bahkan hilang, namun intinya adalah karena
kemaksiatan. Dan ada banyak sebab keimanan bisa bertambah dan kekal dalam diri seorang
hamba, yang persoalan terpentingnya adalah dengan ketaatan. Bergaul dengan
manusia salah satu hal yang bisa memberikan dampak positif maupun negatif
terhadap keimanan seorang hamba. Dalam arti bahwa iman seorang hamba bisa
bertambah atau berkurang, rusak atau bahkan hilang dengan sebab pergaulan
dengan sesama manusia.
Begitu besar dampak dari
interaksi seorang hamba dengan manusia yang lainnya sehingga syariat memberikan
tuntunan untuk itu. Salah dalam memilih teman atau keliru dalam berinteraksi dengan
manusia, bukan hanya berdampak pada keburukan di dunia, namun juga berdampak
pada keburukan di akhirat. Sebab manusia adalah makhluk sosial yang saling
membutuhkan dan bisa saling mempengaruhi. Jika berinteraksi dengan orang yang
baik keimanannya maka bisa memberi pengaruh yang baik, begitu pun sebaliknya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وَلَا تَرۡكَنُوٓاْ إِلَى ٱلَّذِينَ
ظَلَمُواْ فَتَمَسَّكُمُ ٱلنَّارُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ مِنۡ
أَوۡلِيَآءَ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ ١١٣
“Dan janganlah kamu cenderung
kepada orang‑orang yang zalim yang menyebabkan kamu
disentuh api neraka, dan sekali‑kali kamu tiada mempunyai
seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi
pertolongan.”
(QS Hud:113).
Pada ayat di atas Allah ‘azza
wa jalla melarang para hamba‑Nya untuk cenderung kepada
orang-orang dzalim. Yang mana akibat dari cenderung kepada orang dzalim akan
menyebabkan seseorang tersentuh api neraka. Dan tidaklah mungkin seseorang akan
cenderung kepada orang dzalim kecuali karena ia bergaul dan berkawan dengan
orang dzalim.
Dalam tafsir Ibnu katsir
disebutkan, Ali ibnu AbuTalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna “latarkanu”, bahwa makna yang dimaksud ialah janganlah kalian
bersikap diplomasi.
Al‑Aufi
telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah cenderung kepada
kemusyrikan.
Abul Aliyah mengatakan, makna
yang dimaksud ialah janganlah kamu rela terhadap perbuatan mereka.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan
dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah janganlah kalian cenderung
kepada orang‑orang yang aniaya. Pendapat ini cukup baik, yang
maksudnya ialah janganlah kalian meminta pertolongan kepada orang‑orang
yang aniaya, karena jadinya seakan‑akan kalian rela kepada amal
perbuatan mereka.
Jika diperhatikan dalam semua
makna yang disebutkan oleh para mufasir tentang kalimat “la tarkanu” maka semua
makna tersebut bisa terjadi dengan sebab kesalahan dalam cara berinteraksi atau
bergaul dengan orang‑orang dzalim. Sekedar cenderung kepada orang‑orang
dzalim saja akan menyebabkan seseorang tersentuh api neraka. Lalu bagaimana
jika karena persahabatan dengan orang dzalim lalu seseorang membantu
kedzalimannya, membantu perbuatan dosanya, ridho dengan kerusakan dien dan
akhlaqnya, ataupun menampakkan kebersamaan dan dukungan kepadanya dikarenakan
adanya kepentingan dunia?. Maka tentu orang yang berbuat demikian lebih layak
terkena ancaman akan tersentuh api neraka.
Dan yang juga harus
diwaspadai adalab bahwa akhlak yang buruk itu menular. Karena itu orang yang
bergaul dengan orang yang berakhlak buruk akan tertular dengan akhlak yang
buruk tersebut. Seseorang yang bergaul dengan pendusta lambat laun akan belajar
berdusta, yang pada akhirnya ia akan berubah menjadi seorang pendusta. Begitu
pula ketika seseorang bergaul dengan pezina, peminum khamer atau penjudi, maka
ia bisa tertular oleh perilaku‑perilaku buruk tersebut.
Sesungguhnya seseorang akan
memungkinkan membantu perbuatan orang lain yang berbuat dzalim jika ia berteman
dengan orang dzalim. Sebagai contoh, seseorang yang bergaul dengan penjual
khamer ia bisa memungkinkan untuk membantu orang tersebut menjual khamer. Begitu
juga orang yang bergaul akrab dengan penjual rokok, maka ia memungkinkan untuk
turut membantu menjual rokok.
Sehingga bergaul dengan orang‑orang
dzalim, termasuk orang‑orang yang rusak agamanya sangat membahayakan
keimanan seseorang. Jika hal tersebut dilakukan bukan untuk kepentingan dakwah
dan lebih kepada kepentingan duniawi. Sebab bergaul dengan orang‑orang
yang rusak agamanya dikhawatirkan akan menyebabkan seseorang terkikisnya rasa
cemburu terhadap diennya. Hal tersebut dikarenakan ia terbiasa menyaksikan
pelanggaran dan peremehan terhadap syariat Allah.
Pertemanan dengan orang‑orang
dzalim dan dengan orang‑orang yang rusak akhlaq dan agamanya bisa membawa
bencana dunia dan akhirat. Sebab persahabatan yang demikian lebih didominasi
karena kepentingan dunia. Dan ada kalanya karena kepentingan ini,apalagi ia
sebagai pihak yang membutuhkan, akan menyebabkan orang sungkan untuk
menyampaikan kebenaran atau mencegah kemungkaran. Jika ini terjadi maka
pertemanan seperti ini bisa menjadi penyesalan di akhirat,sebagaimana firman
Allah:
ٱلۡأَخِلَّآءُ يَوۡمَئِذِۢ
بَعۡضُهُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوٌّ إِلَّا ٱلۡمُتَّقِينَ ٦٧
“Teman‑teman
akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali
orang‑orang yang bertakwa.” (QS Az Zukhruf:67).
Yang lebih celaka adalah jika
disebabkan pertemanan dengan orang‑orang dzalim atau dengan orang‑orang
yang rusak agamanya lantas memalingkan seseorang dari berpihak kepada kebenaran
atau mengurangi agama seseorang. Dan hal ini tidak menutup kemungkinan jika pertemanan
tersebut berjalan dalam waktu lama dan terjalin keakraban. Sebab manusia adalah
makhluk sosial yang bisa saling mempengaruhi. Jika seseorang tidak menjadi
pihak yang mempengaruhi, bisa jadi ia menjadi pihak yang dipengaruhi. Dan Allah
telah menyebutkan bagaimana pertemanan yang salah bisa menyebabkan rusak bahkan
hilangnya keimanan dan agama seseorang.Yang dengan itu ia menjadi pihak yang
paling rugi dan menyesal di akhirat.
Hal tersebut disebutkan di
dalam firman‑Nya:
وَيَوۡمَ يَعَضُّ ٱلظَّالِمُ
عَلَىٰ يَدَيۡهِ يَقُولُ يَٰلَيۡتَنِي ٱتَّخَذۡتُ مَعَ ٱلرَّسُولِ سَبِيلٗا ٢٧ يَٰوَيۡلَتَىٰ
لَيۡتَنِي لَمۡ أَتَّخِذۡ فُلَانًا خَلِيلٗا ٢٨ لَّقَدۡ أَضَلَّنِي عَنِ ٱلذِّكۡرِ
بَعۡدَ إِذۡ جَآءَنِيۗ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ لِلۡإِنسَٰنِ خَذُولٗا ٢٩
“Dan (ingatlah) hari (ketika
itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, “Aduhai kiranya
(dulu) aku mengambil jalan bersama‑sama Rasul.” Kecelakaan besarlah bagiku,
kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya
dia telah menyesatkan aku dari Al‑Qur’an ketika Al‑Qur’an itu telah datang kepadaku.
Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.” (QS Al Furqan:27‑29).
Maka menjaga keimanan jauh
lebih penting daripada mempertahankan pertemanan denganorang‑orang
dzalim yang rusak agamanya karena kepentingan dunia. Sebab salah satu bentuk syukur
kita atas nikmat iman adalah dengan menjaganya. Yang salah satu upayanya adalah
menjaga pergaulan kita dengan orang‑orang dzalim yang rusak
agamanya. Agar kita tidak menjadi penolong bagi orang‑orang
dzalim dengan disadari ataupun tanpa disadari. Allah menyebutkan tentang cara
bersyukur yang dilakukan oleh hamba‑Nya yang mulia dalam firman‑
Nya:
قَالَ رَبِّ إِنِّي
ظَلَمۡتُ نَفۡسِي فَٱغۡفِرۡ لِي فَغَفَرَ لَهُۥٓۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
١٦ قَالَ رَبِّ بِمَآ أَنۡعَمۡتَ عَلَيَّ فَلَنۡ أَكُونَ ظَهِيرٗا
لِّلۡمُجۡرِمِينَ ١٧
“Musa mendoa, “Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri. Karena itu, ampunilah aku.”
Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Musa berkata, “Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau
anugerahkan kepadaku, aku sekali‑kali tiada akan menjadi
penolong bagi orang‑orang yang berdosa.” (QS Al Qashash:16‑17).
Jadi salah satu bentuk syukur
seorang hamba kepada Allah adalah tidak menjadi penolong bagi orang‑orang
yang berdosa, sekalipun untuk menghadapi kedzaliman orang berdosa lainnya. Dan tentu
lebih tidak pantas bagi seorang mukmin membela orang berdosa untuk menghadapi
orang sholeh yang adil. Maka hendaklah seorang muslim memperhatikan dengan
siapa dia bergaul dan berteman. Sebab nilai keimanan dan akhlaq seseorang salah
satunya dilihat dari dengan siapa dia berteman dan bergaul.
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
الرَّجُلُ
عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحْلُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu tergantung
pada agama temannya. Oleh karena itu, salah satu di antara kalian hendaknya
memperhatikan siapa yang dia jadikan teman”. (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi, shahih).
Semoga Allah membimbing kita semua dalam pergaulan
sehingga kita tidak merugi karena sebab salah pergaulan.
Wallahu a’lam
05 Sya’ban 1438H__
Tidak ada komentar:
Posting Komentar