10/13/2019

SEBAGIAN DARI SIFAT ULAMA SUU '


SEBAGIAN DARI SIFAT ULAMA SUU '
Terjemahan dari Majalah An-Naba' edisi 48


Sebagai penuntut ilmu, cukup bagi kita untuk memahami dan menjadikan nya pelajaran dalam rangka membentengi diri dari jurang kesesatan. Ciri-ciri berikut tidak serta merta memberikan "Legitimasi" (izin) kepada para pembaca untuk menunjuk ulama manapun. Karena mengeluarkan fatwa (sebuah keputusan) bagi mereka yang tidak berkompeten dan memiliki ilmu adalah sesuatu yang sangat terlarang.

Telah jelas melalui syariat bahwa para ulama suu’ (ulama jahat dan sesat) sama sekali tidak masuk ke dalam golongan ulama, betapa pun banyaknya hapalan dan karya mereka, dan betapa pun luasnya popularitas mereka. Tetapi mereka lebih serupa dengan orang-orang Yahudi yang mengetahui lalu menyembunyi kan dan tidak mengamalkan, bahkan menyeru kepada kesesatan.

Dan karena banyaknya ulama suu’ pada masa kita sekarang yang berusaha keras menyesatkan hamba-hamba Allah, maka sudah selayaknya untuk menyebutkan sifat-sifat mereka, agar manusia berada di atas perkara yang jelas.


) Pertama:  Menyembunyikan Kebenaran

Sesungguhnya di antara tujuan-tujuan ilmu adalah untuk disebarkan dan dijelaskan kepada manusia, karena hidayah dan mashlahat mereka bergantung padanya. Maka menyembunyikan ilmu dan tidak menampakkannya termasuk perbuatan haram yang paling besar dan kemaksiatan yang paling berat. Oleh karena itu, Allah mengambil janji setiap orang yang diberi-Nya kitab dan diajari Nya ilmu agar menjelaskan kepada manusia dan tidak menyembunyikan apa yang mereka butuhkan.

Allah ta’ala berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi al-Kitab (yaitu): ‘Hendaklah kalian benar-benar menerangkannya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.’ Lalu mereka melemparkannya ke belakang punggung mereka dan menjualnya dengan harga murah. Maka amat buruklah jualbeli yang mereka lakukan.”
[Ali ‘Imran: 187]

Ulama suu’ telah mengkhianati agama Allah, mengkufuri nikmat ilmu, dan menyebabkan kesesatan manusia. Oleh karena itu, Allah menetapkan untuk melaknatnya dan menimpakan laknat manusia terhadapnya, karena usahanya untuk menipu makhluk dengan menyembunyikan kebenaran dari mereka.

Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami menjelaskannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat oleh orang-orang yang melaknat.” [al-Baqarah: 159]

Dan sesungguhnya perkara paling besar yang disembunyikan oleh para ulama suu’ adalah penjelasan tentang kondisi para thoghut dan hukum Allah terkait dengan mereka. Sebab, Allah telah memerintahkan kita untuk menjauhi para thoghut dan kufur kepada mereka, serta menjadikan ini bagian dari pokok tauhid dan iman. Lalu ketika manusia melihat para ulama mereka yang terkemuka menjilat para penguasa thoghut serta mendiamkan kesyirikan dan kerusakan mereka, bahkan memfatwakan bolehnya berbuat syirik demi mashlahat, maka banyak dari mereka menjadi beriman kepada para thoghut, bersikap loyal kepada mereka, dan masuk ke dalam agama mereka, menjadi tentara mereka. Penyebab semua kemurtadan ini adalah karena para ulama suu’ menyembunyikan kebenaran dan mencampurnya dengan kebatilan.

Mereka menyembunyikan dari manusia hukum keputusan-keputusan legislatif thoghutiyyah, hukum mendirikan pangkalan-pangkalan militer Salibis di negeri-negeri, dan hukum menghalalkan riba. Banyak manusia pun tertipu oleh mereka, tersesat, dan murtad. Maka mereka mendapatkan bagian dari dosa manusia yang mengikuti mereka, tanpa berkurang sedikit pun dosa para pengikut itu.


) Kedua: Mengganti dan Merubah Syariat

Di antara ciri-ciri para ulama suu’ lainnya adalah bahwa mereka mengganti dan merubah syariat —jika mereka tidak bisa menyembunyikannya— dengan melakukan penakwilan-penakwilan yang rusak terhadap nash-nash syariat dan mengalihkannya dari maknanya yang haq (benar) kepada makna yang batil.
Sebagaimana firman Allah ta’ala tentang orang-orang Yahudi:

“Mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.”
[an-Nisa’: 46]

Kemudian mereka menisbatkan perubahan dan penakwilan yang batil ini kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka merubah makna-makna yang dimaksud dari nash-nash kepada makna-makna batil dan mengelabuhi manusia bahwa ini adalah yang dimaksud dari Kitab Allah. Dengan begitu, mereka menafikan makna yang haq dan menetapkan makna yang batil. Salaf (pendahulu) mereka dalam hal itu adalah orang-orang Yahudi yang terbiasa menisbatkan perubahan yang mereka lakukan terhadap nash-nash kepada Allah ta’ala.

Sebagaimana firman Allah :
“Dan sesungguhnya di antara mereka benar-benar ada segolongan yang memutar lidah mereka dalam membaca al-Kitab, agar kalian menyangka itu sebagian dari alKitab, padahal itu bukan dari al-Kitab. Mereka berkata: ‘Itu dari Allah,’ padahal itu bukan dari Allah. Dan mereka mengatakan kedustaan atas nama Allah, padahal mereka mengetahui.” [Ali ‘Imran: 78]

Nash-nash syariat yang memerintahkan untuk berjihad, misalnya, oleh para ulama suu’ berusaha dirubah maknanya yang berkaitan dengan qitaal (perang) menjadi makna-makna lain, agar mereka dapat mengalihkan manusia dari memerangi orang-orang kafir dan orang-orang murtad. Dan lebih dari itu, mereka menciptakan bagi jihad makna-makna yang Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentangnya, bahkan makna-makna tersebut bertentangan dengan hakikat jihad. Misalnya, klaim mereka bahwa jihad adalah bergabung dengan tentara-tentara thoghut, atau masuk ke dalam proses pemerintahan yang penuh syirik untuk berlomba dengan orang-orang sekuler dalam menandingi Allah dalam hukum-Nya dan dalam peletakan hukum-hukum yang dilakukan-Nya, dan perbuatan-perbuatan lainnya yang mengeluarkan dari agama, yang berusaha dilekatkan oleh orang-orang yang terlaknat itu dengan puncak punuk Islam (jihad).

Begitu pula nash-nash syariat yang memerintahkan untuk melantangkan kebenaran. Para ulama suu’ sengaja menonaktifkannya dan tidak mengamalkannya, seraya mengklaim bahwa Allah memerintahkan hal itu! Mereka berdalil dengan firman Allah subhanahu:

“Dan janganlah kalian melemparkan diri kalian ke dalam kebinasaan.”
[al-Baqarah: 195]

Padahal, yang dimaksud dengan kebinasaan adalah meninggalkan jihad. Sebagaimana hal itu dijelaskan oleh sahabat Abu Ayyub al-Anshoriy — rodhiyAllahu ‘anhu— ketika dia berkata: “Melemparkan diri kita ke dalam kebinasaan adalah: bahwa kita tinggal bersama harta kita dan mengembangkannya, serta meninggalkan jihad.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud]

Maka alangkah buruknya para ulama suu’ dan alangkah buruknya pengaburan yang mereka lakukan!

) Ketiga:  Menghalangi dari Jalan Allah

Sesungguhnya ulama suu’, dengan jalan kesesatan dan kerusakan yang ditempuhnya, berkeinginan kuat untuk mengalihkan manusia kepada jalannya dan menghalangi mereka dari jalan kebenaran. Sebab, dia takut perbuatannya mendustakan perkataannya jika dia memperlihatkan ayat-ayat syariat tanpa pengaburan dan penyembunyian. Dia pun sengaja melakukan perubahan dan memelintir nash-nash agar perkara menjadi sesuai dengan kondisi dan hawa nafsunya. Maka dari itu, engkau menemukan dia menghalangi para pemuda untuk berjihad, karena dia bersandar kepada dunia dan terkena fitnah qu’uud (meninggalkan jihad). Dan karena dia takut melantangkan kebenaran, engkau melihat dia mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan.

Dia menjadikan itu sebagai pokok dakwahnya dan memperlihatkannya seolah-olah sebagai kebijaksanaan dan kecerdasan. Maka dia tidak memperlihatkan kebenaran, namun tidak pula menyembunyikannya dan habis perkara. Tetapi dia mencampuraduk, mengaburkan, menyamarkan, dan menutupi cacat. Dia pun berbicara atas nama Allah tanpa ilmu, untuk menghalangi dari jalan Allah, sebagaimana dikerjakan sebelumnya oleh para rabi dan para rahib.

Allah ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari para rabi (Yahudi) dan para rahib (Nasrani) itu benar-benar memakan harta manusia dengan batil dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka akan azab yang pedih.” [at-Tawbah: 34]

) Keempat: Sangat Rakus Kepada Dunia

Tidak ada yang mendorong para ulama suu’ untuk menyembunyikan dan mengaburkan kebenaran kebenaran selain cinta dan kerakusan kepada dunia. Tidak ada seorang pun yang mengharuskan atau memaksa mereka untuk berbuat nifaq, berdusta atas nama Allah, dan kufur. Tetapi keinginan mereka untuk mendapatkan pekerjaan dan gaji dari para thoghut adalah yang paling menyebabkan itu pada mereka. Motivasi sebagian dari mereka adalah keinginan untuk mendapatkan kedudukan dan kedekatan dengan para penguasa. Sebagian yang lain tergoda dengan kemunculan mereka di layar-layar (televisi) dan pemberian-pemberian yang mereka dapatkan. Maka berat bagi mereka untuk bersembunyi secara paksa dari kemasyhuran dan sorotan cahaya karena (mengatakan) kalimat haq. Mereka pun lebih memilih untuk menyembunyikan apa yang diturunkan oleh Allah —yang tidak ingin ditampakkan kepada manusia oleh para thoghut— dan menjualnya dengan harga murah.

Allah subhanahu telah berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab, dan menjualnya dengan harga murah, mereka itu tidaklah memakan dalam perut mereka kecuali api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan menyucikan mereka, dan mereka akan mendapat azab yang pedih.” [al-Baqarah: 174]

Ibnu al-Qoyyim berkata: “Setiap orang di antara para ahli ilmu yang lebih mengutamakan dunia dan mencintainya, maka pasti dia akan mengatakan atas nama Allah selain kebenaran.” [al-Fawaaid]

) Kelima: Terpengaruh dengan Goncangan, dan Ancaman

Ini juga merupakan salah satu dari sifat-sifat para ulama suu’: berbalik dari kebenaran setelah meyakininya, dan memperlihatkan kebatilan karena tunduk dan patuh kepada hawa nafsu para thoghut, agar dunia mereka selamat. Alangkah besarnya kejahatan ini! Alangkah kejamnya pengkhianatan ini!

Sebagaimana dalam kisah Bal’am bin Ba’uro`. Dia adalah seorang laki-laki dari kota kaum yang kuat (Jabbarin). Seandainya semua ulama suu’ pada zaman kita berkumpul, niscaya ilmu mereka tidak akan sampai sepersepuluh dari ilmu Bal’am. Sebab, Ibnu ‘Abbas rodhiyAllahu ‘anhu berkata: “Dan dia mengetahui nama Allah yang paling besar” [Tafsir Ibni Abi Hatim] Ini menunjukkan kedudukan yang tinggi dalam ilmu. Dan sebagian salaf berkata: “Dia adalah orang yang doanya mustajab. Dan dia tidak meminta sesuatu pun kepada Allah, kecuali Allah memberikannya kepadanya.” Meskipun demikian, ketika dia menyimpang dari manhaj dan melenceng dari kebenaran yang terang, dia diserupakan dengan anjing!

Yang demikian itu, ketika Musa ‘alaihis salam singgah di kota kaum yang kuat (Jabbarin), Bal’am didatangi oleh sepupu-sepupunya dan kaumnya. Mereka berkata: “Sesungguhnya Musa adalah orang baru dan dia memiliki tentara yang banyak. Dan sesungguhnya jika dia mengalahkan kita maka dia akan membinasakan kita. Maka berdoalah kepada Allah agar mengusir Musa dan para pengikutnya dari kita.” Bal’am berkata: “Sesungguhnya jika aku berdoa kepada Allah agar mengusir Musa dan para pengikutnya, maka dunia dan akhiratku akan hilang.” Mereka pun terus merayunya, sampai akhirnya dia mendoakan keburukan atas Musa dan para pengikutnya. Maka Allah melepas apa yang sebelumnya ada padanya. [Tafsir Ibni Abi Hatim]

Allah ta’ala berfirman:
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaithon, maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia menempel ke tanah (cenderung kepada dunia) dan mengikuti hawa nafsunya. Maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya ia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya ia menjulurkan lidahnya (juga).” [al-A’raf: 175:176]

Bal’am “menempel ke tanah dan mengikuti hawa nafsunya”, cenderung kepada dunia dan kenikmatan-kenikmatannya, berpaling dari ayat-ayat Allah, sampai hawa nafsunya menguasainya, seperti anjing yang terus-menerus menjulurkan lidah.

Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata: “Perumpamaan orang yang membaca al-Kitab dan tidak mengamalkan isinya.” [Tafsir ath-Thobariy] Dan al-Qurthubiy berkata: “Dan perumpamaan ini, menurut pendapat banyak dari ahli ilmu tafsir, mencakup setiap orang yang diberi Al-Qur’an lalu tidak mengamalkannya.” [Tafsir al-Qurthubiy]

Inilah beberapa sifat bagi para ulama suu’ yang dijelaskan oleh Allah ta’ala untuk membuka kedok mereka dan mengingatkan hamba-hamba-Nya agar menjauhi mereka dan tidak mendengarkan mereka atau mengambil ilmu dari mereka. Dan kita menemukan bahwa Allah subhanahu menyebutkan sifat mereka dan tidak menamakan mereka dengan ulama. Meskipun mereka mengetahui hukum-hukum Allah, tetapi ketika mereka kehilangan rasa takut kepada Allah dan meninggalkan pengamalan apa yang mereka ketahui, ilmu mereka tidak bermanfaat bagi mereka, bahkan menjadi penyebab dilaknatnya mereka di dunia dan akhirat, disifatinya mereka dengan sifat-sifat yang paling buruk, dan dimasukkannya mereka ke dalam neraka Jahannam.

Sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Mereka menjadikan para rabi (Yahudi) dan para rahib (Nasrani) sebagai tuhantuhan selain Allah, dan (juga) al-Masih putra Maryam, padahal mereka tidak diperintah kecuali untuk menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada tuhan selain Dia. Maha Suci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” [at-Tawbah: 31]

Maka seseorang tidak dimaafkan (diterima udzurnya) dalam kekafirannya karena taklidnya kepada ulama-ulama para thoghut. Tetapi yang wajib atas setiap manusia adalah bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran dan mengamalkannya.


Dan segala puji bagi Allah, Robb seluruh alam.

Wallaahu 'alamu

>>JustCopas<<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...