SEBAGIAN DARI SIFAT ULAMA SUU
'
Terjemahan dari Majalah An-Naba' edisi 48
Sebagai penuntut ilmu, cukup bagi kita untuk memahami dan
menjadikan nya pelajaran dalam rangka membentengi diri dari jurang kesesatan.
Ciri-ciri berikut tidak serta merta memberikan "Legitimasi" (izin)
kepada para pembaca untuk menunjuk ulama manapun. Karena mengeluarkan fatwa
(sebuah keputusan) bagi mereka yang tidak berkompeten dan memiliki ilmu adalah
sesuatu yang sangat terlarang.
Telah jelas melalui syariat bahwa para ulama suu’ (ulama
jahat dan sesat) sama sekali tidak masuk ke dalam golongan ulama, betapa pun
banyaknya hapalan dan karya mereka, dan betapa pun luasnya popularitas mereka.
Tetapi mereka lebih serupa dengan orang-orang Yahudi yang mengetahui lalu
menyembunyi kan dan tidak mengamalkan, bahkan menyeru kepada kesesatan.
Dan karena banyaknya ulama suu’ pada masa kita sekarang yang
berusaha keras menyesatkan hamba-hamba Allah, maka sudah selayaknya untuk
menyebutkan sifat-sifat mereka, agar manusia berada di atas perkara yang jelas.
) Pertama: Menyembunyikan
Kebenaran
Sesungguhnya di antara tujuan-tujuan ilmu adalah untuk
disebarkan dan dijelaskan kepada manusia, karena hidayah dan mashlahat mereka
bergantung padanya. Maka menyembunyikan ilmu dan tidak menampakkannya termasuk
perbuatan haram yang paling besar dan kemaksiatan yang paling berat. Oleh
karena itu, Allah mengambil janji setiap orang yang diberi-Nya kitab dan
diajari Nya ilmu agar menjelaskan kepada manusia dan tidak menyembunyikan apa
yang mereka butuhkan.
Allah ta’ala berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil
janji dari orang-orang yang telah diberi al-Kitab (yaitu): ‘Hendaklah kalian
benar-benar menerangkannya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.’ Lalu
mereka melemparkannya ke belakang punggung mereka dan menjualnya dengan harga
murah. Maka amat buruklah jualbeli yang mereka lakukan.”
[Ali ‘Imran: 187]
Ulama suu’ telah mengkhianati agama Allah, mengkufuri nikmat
ilmu, dan menyebabkan kesesatan manusia. Oleh karena itu, Allah menetapkan
untuk melaknatnya dan menimpakan laknat manusia terhadapnya, karena usahanya
untuk menipu makhluk dengan menyembunyikan kebenaran dari mereka.
Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang
menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan
petunjuk, setelah Kami menjelaskannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu
dilaknat Allah dan dilaknat oleh orang-orang yang melaknat.” [al-Baqarah: 159]
Dan sesungguhnya perkara paling besar yang disembunyikan
oleh para ulama suu’ adalah penjelasan tentang kondisi para thoghut dan hukum
Allah terkait dengan mereka. Sebab, Allah telah memerintahkan kita untuk
menjauhi para thoghut dan kufur kepada mereka, serta menjadikan ini bagian dari
pokok tauhid dan iman. Lalu ketika manusia melihat para ulama mereka yang
terkemuka menjilat para penguasa thoghut serta mendiamkan kesyirikan dan
kerusakan mereka, bahkan memfatwakan bolehnya berbuat syirik demi mashlahat,
maka banyak dari mereka menjadi beriman kepada para thoghut, bersikap loyal
kepada mereka, dan masuk ke dalam agama mereka, menjadi tentara mereka.
Penyebab semua kemurtadan ini adalah karena para ulama suu’ menyembunyikan
kebenaran dan mencampurnya dengan kebatilan.
Mereka menyembunyikan dari manusia hukum keputusan-keputusan
legislatif thoghutiyyah, hukum mendirikan pangkalan-pangkalan militer Salibis
di negeri-negeri, dan hukum menghalalkan riba. Banyak manusia pun tertipu oleh
mereka, tersesat, dan murtad. Maka mereka mendapatkan bagian dari dosa manusia
yang mengikuti mereka, tanpa berkurang sedikit pun dosa para pengikut itu.
) Kedua: Mengganti dan Merubah Syariat
Di antara ciri-ciri para ulama suu’ lainnya adalah bahwa
mereka mengganti dan merubah syariat —jika mereka tidak bisa menyembunyikannya—
dengan melakukan penakwilan-penakwilan yang rusak terhadap nash-nash syariat
dan mengalihkannya dari maknanya yang haq (benar) kepada makna yang batil.
Sebagaimana firman Allah ta’ala tentang orang-orang Yahudi:
Sebagaimana firman Allah ta’ala tentang orang-orang Yahudi:
“Mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.”
[an-Nisa’: 46]
Kemudian mereka menisbatkan perubahan dan penakwilan yang
batil ini kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka merubah makna-makna yang
dimaksud dari nash-nash kepada makna-makna batil dan mengelabuhi manusia bahwa
ini adalah yang dimaksud dari Kitab Allah. Dengan begitu, mereka menafikan
makna yang haq dan menetapkan makna yang batil. Salaf (pendahulu) mereka dalam
hal itu adalah orang-orang Yahudi yang terbiasa menisbatkan perubahan yang
mereka lakukan terhadap nash-nash kepada Allah ta’ala.
Sebagaimana firman Allah :
“Dan sesungguhnya di antara mereka
benar-benar ada segolongan yang memutar lidah mereka dalam membaca al-Kitab,
agar kalian menyangka itu sebagian dari alKitab, padahal itu bukan dari
al-Kitab. Mereka berkata: ‘Itu dari Allah,’ padahal itu bukan dari Allah. Dan
mereka mengatakan kedustaan atas nama Allah, padahal mereka mengetahui.” [Ali ‘Imran: 78]
Nash-nash syariat yang memerintahkan untuk berjihad,
misalnya, oleh para ulama suu’ berusaha dirubah maknanya yang berkaitan dengan
qitaal (perang) menjadi makna-makna lain, agar mereka dapat mengalihkan manusia
dari memerangi orang-orang kafir dan orang-orang murtad. Dan lebih dari itu,
mereka menciptakan bagi jihad makna-makna yang Allah tidak menurunkan suatu
keterangan pun tentangnya, bahkan makna-makna tersebut bertentangan dengan
hakikat jihad. Misalnya, klaim mereka bahwa jihad adalah bergabung dengan
tentara-tentara thoghut, atau masuk ke dalam proses pemerintahan yang penuh
syirik untuk berlomba dengan orang-orang sekuler dalam menandingi Allah dalam
hukum-Nya dan dalam peletakan hukum-hukum yang dilakukan-Nya, dan
perbuatan-perbuatan lainnya yang mengeluarkan dari agama, yang berusaha
dilekatkan oleh orang-orang yang terlaknat itu dengan puncak punuk Islam
(jihad).
Begitu pula nash-nash syariat yang memerintahkan untuk
melantangkan kebenaran. Para ulama suu’ sengaja menonaktifkannya dan tidak
mengamalkannya, seraya mengklaim bahwa Allah memerintahkan hal itu! Mereka
berdalil dengan firman Allah subhanahu:
“Dan janganlah kalian melemparkan diri kalian ke dalam
kebinasaan.”
[al-Baqarah: 195]
Padahal, yang dimaksud dengan kebinasaan adalah meninggalkan
jihad. Sebagaimana hal itu dijelaskan oleh sahabat Abu Ayyub al-Anshoriy —
rodhiyAllahu ‘anhu— ketika dia berkata: “Melemparkan diri kita ke dalam
kebinasaan adalah: bahwa kita tinggal bersama harta kita dan mengembangkannya,
serta meninggalkan jihad.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud]
Maka alangkah buruknya para ulama suu’ dan alangkah buruknya
pengaburan yang mereka lakukan!
) Ketiga: Menghalangi dari
Jalan Allah
Sesungguhnya ulama suu’, dengan jalan kesesatan dan
kerusakan yang ditempuhnya, berkeinginan kuat untuk mengalihkan manusia kepada
jalannya dan menghalangi mereka dari jalan kebenaran. Sebab, dia takut
perbuatannya mendustakan perkataannya jika dia memperlihatkan ayat-ayat syariat
tanpa pengaburan dan penyembunyian. Dia pun sengaja melakukan perubahan dan
memelintir nash-nash agar perkara menjadi sesuai dengan kondisi dan hawa
nafsunya. Maka dari itu, engkau menemukan dia menghalangi para pemuda untuk
berjihad, karena dia bersandar kepada dunia dan terkena fitnah qu’uud
(meninggalkan jihad). Dan karena dia takut melantangkan kebenaran, engkau
melihat dia mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan.
Dia menjadikan itu sebagai pokok dakwahnya dan
memperlihatkannya seolah-olah sebagai kebijaksanaan dan kecerdasan. Maka dia
tidak memperlihatkan kebenaran, namun tidak pula menyembunyikannya dan habis
perkara. Tetapi dia mencampuraduk, mengaburkan, menyamarkan, dan menutupi cacat.
Dia pun berbicara atas nama Allah tanpa ilmu, untuk menghalangi dari jalan
Allah, sebagaimana dikerjakan sebelumnya oleh para rabi dan para rahib.
Allah ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman!
Sesungguhnya banyak dari para rabi (Yahudi) dan para rahib (Nasrani) itu
benar-benar memakan harta manusia dengan batil dan menghalangi (manusia) dari
jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya
di jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka akan azab yang pedih.” [at-Tawbah: 34]
) Keempat: Sangat Rakus Kepada Dunia
Tidak ada yang mendorong para ulama suu’ untuk
menyembunyikan dan mengaburkan kebenaran kebenaran selain cinta dan kerakusan
kepada dunia. Tidak ada seorang pun yang mengharuskan atau memaksa mereka untuk
berbuat nifaq, berdusta atas nama Allah, dan kufur. Tetapi keinginan mereka
untuk mendapatkan pekerjaan dan gaji dari para thoghut adalah yang paling
menyebabkan itu pada mereka. Motivasi sebagian dari mereka adalah keinginan
untuk mendapatkan kedudukan dan kedekatan dengan para penguasa. Sebagian yang
lain tergoda dengan kemunculan mereka di layar-layar (televisi) dan
pemberian-pemberian yang mereka dapatkan. Maka berat bagi mereka untuk
bersembunyi secara paksa dari kemasyhuran dan sorotan cahaya karena
(mengatakan) kalimat haq. Mereka pun lebih memilih untuk menyembunyikan apa
yang diturunkan oleh Allah —yang tidak ingin ditampakkan kepada manusia oleh
para thoghut— dan menjualnya dengan harga murah.
Allah subhanahu telah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang
menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab, dan menjualnya
dengan harga murah, mereka itu tidaklah memakan dalam perut mereka kecuali api,
dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan
menyucikan mereka, dan mereka akan mendapat azab yang pedih.” [al-Baqarah: 174]
Ibnu al-Qoyyim berkata: “Setiap orang di antara para ahli
ilmu yang lebih mengutamakan dunia dan mencintainya, maka pasti dia akan
mengatakan atas nama Allah selain kebenaran.” [al-Fawaaid]
) Kelima: Terpengaruh dengan Goncangan, dan Ancaman
Ini juga merupakan salah satu dari sifat-sifat para ulama
suu’: berbalik dari kebenaran setelah meyakininya, dan memperlihatkan kebatilan
karena tunduk dan patuh kepada hawa nafsu para thoghut, agar dunia mereka
selamat. Alangkah besarnya kejahatan ini! Alangkah kejamnya pengkhianatan ini!
Sebagaimana dalam kisah Bal’am bin Ba’uro`. Dia adalah
seorang laki-laki dari kota kaum yang kuat (Jabbarin). Seandainya semua ulama
suu’ pada zaman kita berkumpul, niscaya ilmu mereka tidak akan sampai
sepersepuluh dari ilmu Bal’am. Sebab, Ibnu ‘Abbas rodhiyAllahu ‘anhu berkata:
“Dan dia mengetahui nama Allah yang paling besar” [Tafsir Ibni Abi Hatim] Ini
menunjukkan kedudukan yang tinggi dalam ilmu. Dan sebagian salaf berkata: “Dia
adalah orang yang doanya mustajab. Dan dia tidak meminta sesuatu pun kepada
Allah, kecuali Allah memberikannya kepadanya.” Meskipun demikian, ketika dia
menyimpang dari manhaj dan melenceng dari kebenaran yang terang, dia
diserupakan dengan anjing!
Yang demikian itu, ketika Musa ‘alaihis salam singgah di
kota kaum yang kuat (Jabbarin), Bal’am didatangi oleh sepupu-sepupunya dan
kaumnya. Mereka berkata: “Sesungguhnya Musa adalah orang baru dan dia memiliki
tentara yang banyak. Dan sesungguhnya jika dia mengalahkan kita maka dia akan
membinasakan kita. Maka berdoalah kepada Allah agar mengusir Musa dan para
pengikutnya dari kita.” Bal’am berkata: “Sesungguhnya jika aku berdoa kepada
Allah agar mengusir Musa dan para pengikutnya, maka dunia dan akhiratku akan
hilang.” Mereka pun terus merayunya, sampai akhirnya dia mendoakan keburukan
atas Musa dan para pengikutnya. Maka Allah melepas apa yang sebelumnya ada
padanya. [Tafsir Ibni Abi Hatim]
Allah ta’ala berfirman:
“Dan bacakanlah kepada mereka berita
orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia melepaskan
diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaithon, maka jadilah dia
termasuk orang-orang yang sesat. Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami
tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia menempel ke tanah
(cenderung kepada dunia) dan mengikuti hawa nafsunya. Maka perumpamaannya
seperti anjing, jika kamu menghalaunya ia menjulurkan lidahnya dan jika kamu
membiarkannya ia menjulurkan lidahnya (juga).” [al-A’raf: 175:176]
Bal’am “menempel ke tanah dan mengikuti hawa nafsunya”,
cenderung kepada dunia dan kenikmatan-kenikmatannya, berpaling dari ayat-ayat
Allah, sampai hawa nafsunya menguasainya, seperti anjing yang terus-menerus
menjulurkan lidah.
Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata: “Perumpamaan orang
yang membaca al-Kitab dan tidak mengamalkan isinya.” [Tafsir ath-Thobariy] Dan
al-Qurthubiy berkata: “Dan perumpamaan ini, menurut pendapat banyak dari ahli
ilmu tafsir, mencakup setiap orang yang diberi Al-Qur’an lalu tidak
mengamalkannya.” [Tafsir al-Qurthubiy]
Inilah beberapa sifat bagi para ulama suu’ yang dijelaskan
oleh Allah ta’ala untuk membuka kedok mereka dan mengingatkan hamba-hamba-Nya
agar menjauhi mereka dan tidak mendengarkan mereka atau mengambil ilmu dari
mereka. Dan kita menemukan bahwa Allah subhanahu menyebutkan sifat mereka dan
tidak menamakan mereka dengan ulama. Meskipun mereka mengetahui hukum-hukum
Allah, tetapi ketika mereka kehilangan rasa takut kepada Allah dan meninggalkan
pengamalan apa yang mereka ketahui, ilmu mereka tidak bermanfaat bagi mereka,
bahkan menjadi penyebab dilaknatnya mereka di dunia dan akhirat, disifatinya
mereka dengan sifat-sifat yang paling buruk, dan dimasukkannya mereka ke dalam
neraka Jahannam.
Sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Mereka menjadikan para rabi (Yahudi)
dan para rahib (Nasrani) sebagai tuhantuhan selain Allah, dan (juga) al-Masih
putra Maryam, padahal mereka tidak diperintah kecuali untuk menyembah Tuhan
Yang Esa, tidak ada tuhan selain Dia. Maha Suci Dia dari apa yang mereka
persekutukan.” [at-Tawbah:
31]
Maka seseorang tidak dimaafkan (diterima udzurnya) dalam
kekafirannya karena taklidnya kepada ulama-ulama para thoghut. Tetapi yang
wajib atas setiap manusia adalah bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran dan
mengamalkannya.
Dan
segala puji bagi Allah, Robb seluruh alam.
Wallaahu 'alamu
>>JustCopas<<
Tidak ada komentar:
Posting Komentar