Mereka
Beriman Kepada Rabb Mereka,
||
Maka Kami Tambahkan Petunjuk Bagi
Mereka ||
Sesungguhnya termasuk dari ushul (dasar) keyakinan
Ahlus-Sunnah wal Jama'ah, bahwa iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang
dengan kemaksiatan. Begitu pula maka ketaatan seorang hamba kepada Rabbnya
bertambah seiring bertambahnya imannya, sebagaimana juga ketaatan adalah yang
paling banyak memalingkan/menahan dari kemaksiatan yang bisa mengurangi
keimanan. Dan seperti itulah ketaatan menguatkan sebagiannya dengan sebagian
yang lain, sebagaimana kemaksiatan menguatkan dengan sebagian lainnya juga
menyeru untuk melakukan maksiat yang lainnya. Ibadah berupa jihad, atau orang
yang kabur pada hari peperangan, keduanya tidaklah keluar dari perkara ini.
Karena mujahid di jalan Allah Ta'ala adalah orang yang
paling banyak menghadapi fitnah, yang mana syaitan dan para walinya lewat celah
tersebut berusaha untuk memalingkannya dari ibadah yang agung ini, di mana
jihad adalah puncak dari ketinggian dien (agama). Karena itu mujahid adalah
orang yang paling utama untuk mencari hal-hal yang dengannya bisa menguatkan
hatinya, dengan melakukan berbagai macam ketaatan yang bisa untuk dilakukannya,
untuk menambah keimanannya secara terus menerus, yang akan memberikan hasil
berupa penguat seruan jihad dalam dirinya. Begitu pula menjauh dari kemaksiatan
baik besar maupun kecil untuk melemahkan, sesuai kadar jauhnya ia dari ketaatan
maka akan menyerunya untuk lebih banyak melakukan maksiat, diantaranya adalah maksiat
berupa meninggalkan jihad di jalan Allah Ta'ala disaat jihad menjadi fardhu
'ain atasnya.
Sesungguhnya mujahid di jalan Allah Ta'ala terkadang rajin
dan semangat serta meminta untuk (mati) syahid di jalan Allah Ta'ala yang tidak
ia dapati pada waktu-waktu yang lainnya, sedangkan ia tidak memperhatikan apa
sebabnya hal tersebut. Dan bahwasanya dengan sebab bertambah imannya, -dengan
karunia Allah Ta'ala- terealisasikan lah baginya setelah melakukan ibadah yang
lainnya, berupa shalat, atau puasa, shadaqoh, dzikir, ketaatan dalam yang
ma'ruf, berbuat baik kepada saudara Muslim, atau memenuhi kebutuhan (saudara)
Muslim, atau sampai amalan dalam hati berupa kecintaan pada Allah dan tawakkal
padanya, serta takut kepada Allah Subhanah.
Begitu juga terkadang ia mendapati dalam dirinya (sifat)
futur dari ketaatan diantaranya adalah jihad di jalan Allah dan keinginan untuk
condong kepada dunia dan kenikmatannya yang fana, sedangkan ia lalai bahwa
semua sebabnya adalah maksiat yang dilakukannya, melemahkan semua keimanannya.
Dengan itulah syaitan menjadi kuat juga nafsu syahwatnya yang condong pada
duduk-duduk saja (tidak berjihad) dan jauh dari hal-hal yang membahayakan. Maka
terjadilah apa yang telah terjadi. Sebagaima telah sesatnya kebanyakan
orang-orang tasawuf dan falsafat, yang mana mereka menjadikan Makrifatullah
Ta'ala adalah tujuan dari dien (agama), dan mereka menjadikan ibadah hanya
sekedar wasilah untuk mencapai tujuan tersebut, sampai-sampai mereka mengatakan
bahwa siapa saja yang telah sampai pada tujuan, maka sudah tidak memerlukan
wasilah lagi, lalu mereka pun menggugurkan kewajiban-kewajiban dien terhadap
orang yang mereka yakini bahwa ia telah mengenal Allah (Makrifatullah)
Subhanah, dengan sebenar-benarnya.
Begitu pula syaitan berupaya untuk membuat talbis (tipu
daya) terhadap mujahidin di jalan Allah Ta'ala dengan hal-hal yang mendekati
kesesatan tersebut. Maka si laknat itu memberikan was-was (bisikan) kepada
mujahidin bahwasanya dengan taufik Allah Subhanah, mereka bisa berjihad di
jalan (Allah) dan menjadi yang terpilih diantara sekian hamba-Nya, untuk
menegakkan dzirwatus sanam (puncak tertinggi) dari dien-Nya, karenanya hajat
mereka untuk menambah ketaatan adalah lebih sedikit dari pada manusia yang
lainnya, dan bawasanya mereka itu amat jauh dari terjatuh pada kemaksiatan baik
zhahir maupun batin dari pada mereka (orang lain). Sampai-sampai sebagian
mereka terjatuh pada buruknya kesesatan ini, maka ia pun tidak merasa pada
dirinya melainkan niat jihadnya sudah berubah, atau dirinya berat untuk
melakukan jihad setelah beberapa waktu, atau hubungannya dengan musuh-musuh
Allah sudah berubah, dari kebencian dan permusuhan, menuju kasih sayang dan
persahabatan dengan tingatan yang berbeda-beda, sesuai dengan besar kemaksiatan
yang mana ia terjatuh ke dalamnya.
Sungguh Rabb kita Jalla wa 'Ula telah menjelaskan bahwa
hidayah-Nya kepada para hamba-Nya, sesuai dengan kadar amal-amal shalih mereka,
yang mana itu adalah keimanan, dan sesuai dengan usaha seorang muslim untuk
mencarinya, dengan ia menunaikan ibadah-ibadah. Allah Subhanah berfirman: "Sesungguhnya
mereka adalah para pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambahkan
petunjuk kepada mereka. Dan Kami teguhkan hati mereka ketika mereka berdiri
lalu mereka berkata, “Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi; kami tidak menyeru
tuhan selain Dia. Sungguh, kalau kami berbuat demikian, tentu kami telah
mengucapkan perkataan yang sangat jauh dari kebenaran.” (QS. Al-Kahfi :
13-14). Allah juga berfirman: "Dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhoan) Kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS.
Al-Ankabut : 69).
Begitu pula, Allah -Ta'ala Sya'nuh- telah menjelaskan bahwa
orang-orang zhalim diantara hamba-Nya, mereka itu terhalang dari hidayah-Nya
sesuai kadar kemaksiatan mereka kepada-Nya, sampai jika mereka telah keluar
dari ketaatan secara totalitas, mereka juga terhalang dari mendapat hidayah
secara totalitas. Dan ini adalah termasuk hukuman terbesar bagi siapa saja yang
mendurhakai-Nya di dunia. Allah Subhanahu berfirman: "Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim" (QS.
Al-Maidah : 51), Allah Subhanahu berfirman: "Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasiq" (QS. Al-Munafiqun :
6), Allah Subhanah berfirman: "Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada kaum yang kafir".
Jika seorang mujahid telah mengetahui itu, maka ia melihat
pada keadaannya disetiap saat, jika ia dapati dalam dirinya itu rasa giat untuk
melakukan berbagai ketaatan dan ketergantungan dengan jihad fii sabilillah,
serta lebih mengharap akhirat dari pada dunia, hendaknya ia memuji Allah Ta'ala
karena telah memudahkannya untuk melakukan berbagai ibadah yang bisa menguatkan
keimanannya dan menjauhkannya dari berbagai kedurhakaan kepada-Nya, Jika ia
mendapati dalam dirinya itu rasa putus asa (futur) dan berpaling kepada dunia
serta menginginkannya dari pada akhirat, hendaknya ia meminta hidayah kepada
Allah untuk dirinya sendiri dan meminta pertolongan atas hal tersebut dengan
melakukan berbagai ketaatan yang zhahir maupun bathin dan taubat dari
kemaksiatannya serta meminta ampun kepada Allah (istighfar), agar Allah Ta'ala
memberinya petunjuk menuju jalan yang lurus.
_____________________________________________
::: Buletin Pekanan an-Naba' - Seri 190 Kamis 8 Dzul Qa'dah 1440 H
Di Terjemah Oleh: MEDIA DAKWAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar