6/19/2019

BAHAYA MENGEKOR NON MUSLIM BAB 23



Bab 23
Hak Allah,
hak para Nabi,
dan hak orang-orang Mukmin

Allah mempunyai berbagai macam hak dan tidak boleh disekutukan hak-Nya dengan yang lain. Para rasul juga punya hak yang tidak boleh disamakan haknya dengan yang lain. Kaum mukmin juga punya hak yang sama terhadap sesama mukmin.

كُنْتُ رَدِيْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِيْ: يَا مُعَاذُ, أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ؟ قَلْتُ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ, قَالَ: حَقُّهُ عَلَيْهِمْ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا, يَا مُعَاذُ, أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ؟ قَلْتُ: أَللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ, قَالَ: حَقُّهُمْ عَلَيْهِ أَنْ لَا يُعِذِّبَهُمْ

Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata: “Saya pernah membonceng Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di atas kendaraannya. Beliau bersabda kepadaku: ‘Wahai Mu‘adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya?’ Saya menjawab: ‘Allah dan rasul-Nya lebih tahu.’ Beliau bersabda: ‘Hak Dia atas mereka adalah mereka menyembah kepada-Nya semata-mata dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun.’ Wahai Mu‘adz, apakah engkau tahu, apa hak hamba kepada Allah jika mereka melaksanakan kewajiban itu ?’ Saya menjawab: ‘Allah dan rasul-Nya lebih tahu.’ Sabda beliau: ‘Hak mereka kepada-Nya yaitu  Dia tidak mengadzab mereka.’”

Jadi, Allah mempunyai hak atas hamba-Nya, yaitu tidak disekutukan sedikit pun dalam urusan ibadah kepada-Nya. Hal ini merupakan pokok tauhid, yang mana Allah mengutus para rasul-Nya untuk mengajarkan tauhid ini kepada manusia, dan Allah menurunkan kitab-kitab wahyu-Nya juga untuk menjelaskannya. Allah berfirman pada surah Zukhruf ayat 45:

وَسۡ‍َٔلۡ مَنۡ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رُّسُلِنَآ أَجَعَلۡنَا مِن دُونِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ءَالِهَةٗ يُعۡبَدُونَ ٤٥

“Dan tanyakanlah kepada kaum yang telah Kami kirimkan utusan-utusan Kami sebelum kamu, apakah kamu menetapkan tuhan-tuhan selain Allah Yang Maha Rahman untuk mereka sembah?”

Firman-Nya pula pada surah An Nahl ayat 36: 

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَ

“Dan Kami telah kirimkan seorang rasul kepada setiap umat dengan perintah: ‘Hendaklah kamu sekalian beribadah kepada Allah dan jauhilah Thaghut (segala perbuatan syirik).”

Termasuk dalam pengertian tauhid ialah bahwa kita tidak boleh punya rasa takut selain hanya kepada Allah, dan tidak boleh kita menunjukkan kepatuhan dan ketaatan kecuali
hanya kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam pada surah An Nuur ayat 52:

وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَخۡشَ ٱللَّهَ وَيَتَّقۡهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَآئِزُونَ

“Barang siapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, takut kepada Allah, dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Termasuk juga dalam pengertian tauhid ialah bahwa ketaatan hanyalah kepada Allah dan rasul-Nya, rasa takut dan takwa semata-mata kepada-Nya.

Demikian pula firman-Nya pada surah At Taubah ayat 59:

وَلَوۡ أَنَّهُمۡ رَضُواْ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ سَيُؤۡتِينَا ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ وَرَسُولُهُۥٓ إِنَّآ إِلَى ٱللَّهِ رَٰغِبُونَ ٥٩

“Sekiranya mereka ridha dengan apa yang telah Allah dan rasul-Nya berikan kepada mereka dan mereka mengatakan: ‘Cukuplah Allah bagi kami’, niscaya Allah akan melimpahkan karunia-Nya kepada kami, begitu juga rasul-Nya. Sungguh kami hanya berharap kepada Allah.”

Hak memberikan ketetapan agama hanya dimiliki oleh Allah dan rasul-Nya sebagaimana firman-Nya pada surah Al Hasyr ayat 7:

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْ

“Apa saja yang Rasul sampaikan kepada kamu sekalian, hendaklah kamu ambil dan apa saja yang dia larang kamu melakukannya, hendaklah kamu jauhi.”

Jadi, yang halal ialah sesuatu yang dihalalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yang haram ialah sesuatu yang diharamkan beliau, dan agama adalah syari‘at yang ditetapkan beliau.

Juga ditetapkan bahwa pengharapan hanya boleh ditujukan kepada Allah semata-mata, sebagaimana firman-Nya: “Dan mereka berkata: ‘Cukuplah Allah bagi kami.’ Dan tidak boleh menambahkan ‘dan rasul-Nya’ sebagaimana Allah  sebutkan pada surah Ali ‘Imran ayat 173:

ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدۡ جَمَعُواْ لَكُمۡ فَٱخۡشَوۡهُمۡ فَزَادَهُمۡ إِيمَٰنٗا وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ ١٧٣

“0rang-orang yang berkata kepada manusia (para shahabat): ‘Sungguh musuh-musuh Allah mengepung kamu sekalian, karena itu takutlah kepada mereka.’ Akan tetapi, justru iman mereka bertambah kuat dan mereka mengucapkan: ‘Cukuplah Allah bagi kami dan Dialah sebaik-baik pelindung.’”

Dan firman-Nya pula pada surah An Anfaal ayat 64:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ حَسۡبُكَ ٱللَّهُ وَمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ

“Wahai Nabi, cukuplah Allah bagi kami dan bagi orang-orang mukmin yang menjadi pengikutnya.”

Maksudnya cukuplah Allah bagi diri Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para
shahabatmu. Hanya Allahlah yang menjamin kamu sekalian. Orang yang beranggapan bahwa maksud ayat tersebut ialah ‘Allah dan orang-orang mukmin cukup bagi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam’ adalah salah besar karena beberapa alasan yang uraiannya rincinya disebutkan dalam buku lain.

Kemudian, mereka berkata tentang ayat: “..., niscaya Allah akan melimpahkan karunia-Nya kepada kami, begitu juga rasul-Nya.” Ini merupakan penjelasan bahwa semua karunia itu milik Allah. Disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemberinya, maksudnya adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dapat memberikan sesuatu kecuali apa yang diberikan Allah kepada beliau.

Kemudian mereka berkata tentang ayat “Sungguh kami hanya berharap kepada Allah.” Dengan ayat ini ditetapkan bahwa pengharapan semata-mata hanya kepada Allah, tidak kepada yang lain, seperti yang Allah firmankan pada surah Al Insyirah ayat 7-8:

فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ, وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرْغَبْ

“Apabila engkau telah selesai, maka hendaklah kamu bangkit (melakukan yang lain) dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya engkau berharap.”

Pada ayat ini kita diperintahkan berharap hanya kepada-Nya dan Allah tidak membenarkan berharap kepada makhluk-Nya. Sebagaimana tersebut dalam Hadits shahih tentang sifat orang-orang yang akan masuk surga tanpa hisab:

“Yaitu mereka yang tidak pernah minta diruqyah (meminta dibacakan mantera-mantera), tidak pernah memakai azimat, dan tidak pernah mempercayai hari baik dan buruk dan mereka hanya memasrahkan diri mereka kepada Tuhan mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim, dan lain-lain)

Sifat orang-orang yang disebutkan di atas antara lain adalah tidak minta diruqyah, yaitu tidak meminta orang lain untuk membacakan mantera-mantera bagi dirinya. Pada hadits ini tidak disebut dengan kalimat “tidak melakukan ruqyah” (tidak membaca mantera-mantera), sebab dalam beberapa hadits riwayat Muslim disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan ruqyah untuk dirinya dan untuk orang lain, tetapi beliau tidak pernah meminta dibacakan mantera-mantera.

Meminta dibacakan mantera ialah memohon kepada orang lain untuk memintakan sesuatu kepada Allah, karena menganggap dirinya sendiri tidak layak berhubungan dengan Allah. Hal ini berbeda dengan seseorang yang memohonkan kebaikan untuk orang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Ibnu ‘Abbas:

إِذَا سَأَلْتَكَ فَسْئَالِ اللهَ, وَإِذَااسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
“Apabila engkau memohon sesuatu, mohonlah kepada Allah. Apabila engkau meminta pertolongan, mintalah  tolong kepada Allah.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan shahih)

Jadi, Allahlah yang dijadikan tempat berpasrah diri dan memohon pertolongan serta tempat memohon bantuan, ditakuti siksa-Nya dan diharapkan karunia-Nya, disembah dan menjadi tambatan hati untuk memperoleh pengampunan-Nya. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Nya dan tidak ada yang dapat menyelamatkan dari siksa-Nya kecuali Dia semata. Semua ini telah dijelaskan Al-Qur‘an dengan ayat-ayatnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang ditaati, dicintai, diridhai dan diterima hukumnya, dimuliakan, dihormati dan diikuti serta dipercayai semua yang beliau ajarkan. Hal ini berdasar pada firman Allah pada surah An Nisaa’ ayat 80:

مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَ

“Barang siapa taat kepada rasul-Nya, maka sungguh ia telah taat kepada Allah.”

Dan firman-Nya pada surah An Nisaa’ ayat 64:

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذۡنِ ٱللَّهِ

“Dan Kami tidak pernah mengutus seorang rasul pun kecuali untuk ditaati dengan izin Allah.”

Allah telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mewujudkan ajaran tauhid dan membersihkannya dari segala bentuk kesyirikan dalam berbagai ungkapan, seperti sabda beliau:

لَا تَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ: مَاشَاءَ اللهُ وَشَاءَ مُحَمَّدٌ, بَلْ: مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شَاءَ مُحَمَّدٌ
“Janganlah seseorang di antara kalian berkata: ‘Dengan kehendak Allah dan kehendak Muhammad’, tetapi hendaklah ia berkata: ‘Dengan kehendak Allah, kemudian kehendak Muhammad.’” (HR. Nasa’i, Hadits shahih)

Pada hadits lain, ada seorang laki-laki berkata kepada beliau:
مَاشَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ فَقَالَ: أَجَعَلْتَنِيْ لِلَّهِ نِدًّا؟ قُلْ مَاشَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ
“Dengan kehendak Allah dan kehendakmu”, lalu beliau bersabda kepadanya: “Apakah engkau hendak menjadikan aku tandingan Allah? Hendaklah engkau mengucapkan: ‘Dengan kehendak Allah semata-mata.” (HR. Nasa’i)

Kalimat-kalimat yang telah digariskan oleh Allah seluruhnya berisikan suatu pernyataan mengikhlaskan ketaatan sepenuhnya kepada Allah sebagai penjabaran dari firman-Nya pada surah Al Bayyinah ayat 5:

وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥

“Dan mereka itu tiadalah diperintahkan kecuali supaya mereka mengikhlaskan ketaatan kepada Allah dengan memurnikan agamanya yang lurus dan melaksanakan shalat serta mengeluarkan zakat. Itulah agama yang lurus.”

Hendaknya seseorang mengerjakan shalat, shadaqah, zakat, puasa dan haji semuanya hanya karena Allah semata. Haji ialah beribadah kepada Allah semata-mata dan dilaksanakan di tempat yang telah ditetapkan Allah sebagai tempat menyembah-Nya, sebagaimana firman-Nya pada surah Ali ‘Imran ayat 97:

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ

“Dan kewajiban bagi manusia berhaji ke Baitullah bagi siapa yang mampu menempuh jalan ke sana karena Allah.”

Kalimat syahadat “Muhammad adalah utusan Allah” menuntut adanya pengakuan atas kebenaran semua berita yang dibawa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menaati semua perintah beliau. Apa saja yang beliau tetapkan, maka seseorang wajib menetapkannya. Dan apa saja yang beliau nafikan, maka seseorang wajib menafikannya, misalnya beliau menetapkan sesuatu yang menjadi hak Allah, seperti nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Begitu pula hal-hal yang beliau nyatakan bukan sebagai sifat dan nama Allah, misalnya sifat serupa dengan makhluk-Nya. Hal ini mengharuskan manusia mensucikan Allah dari sifat kekurangan dan sifat-sifat serupa dengan makhluk, mengikuti aqidah yang sebaik-baiknya, mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak patut, dan tidak merusak pengertian asli kata-kata yang berhubungan dengan Allah yang termaktub dalam Al-Qur‘an atau hadits. Mereka berkewajiban melaksanakan apa yang telah diperintahkan kepada mereka dan menjauhi apa yang dilarang bagi mereka. Mereka hanya boleh menghalalkan apa yang dihalalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan hanya boleh mengharamkan apa yang diharamkan beliau. Tidak ada sesuatu yang haram kecuali yang diharamkan Allah dan rasul-Nya. Tidak ada agama kecuali yang telah disyari‘atkan Allah dan rasul-Nya.

Allah mengecam golongan musyrik, karena mereka telah mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan Allah dan mereka mengada-adakan agama yang tidak pernah dinyatakan kebenarannya oleh Allah. Hal ini sebagaimana tersebut dalam firman-Nya pada surah Asy Syuraa ayat 21:

أَمۡ لَهُمۡ شُرَكَٰٓؤُاْ شَرَعُواْ لَهُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا لَمۡ يَأۡذَنۢ بِهِ ٱللَّهُ

“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang menciptakan syari‘at bagi mereka yang Allah tidak pernah mengizinkan hal itu?”

Barang siapa yang mengajak kepada selain jalan Allah, maka dia telah musyrik. Dan barang siapa mengajak kepada jalan yang tidak diizinkan Allah, maka dia telah berbuat bid‘ah.

Syirik termasuk bid‘ah, dan orang yang berbuat bid‘ah telah menuju kepada kesyirikan. Dan tidak ada seorang pun ahli bid‘ah, melainkan pasti ia melakukan suatu bentuk kesyirikan, sebagaimana firman Allah pada surah At Taubah ayat 31:

ٱتَّخَذُوٓاْ أَحۡبَارَهُمۡ وَرُهۡبَٰنَهُمۡ أَرۡبَابٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَٱلۡمَسِيحَ ٱبۡنَ مَرۡيَمَ وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُوٓاْ إِلَٰهٗا وَٰحِدٗاۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۚ سُبۡحَٰنَهُۥ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ٣١

“Mereka telah menjadikan pendeta-pendeta dan pastur-pastur mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan juga menjadikan Al Masih putra Maryam (sebagai tuhan-tuhan selain Allah). Padahal mereka tidak pernah diperintahkan, kecuali untuk menyembah hanya kepada Tuhan Yang Tunggal, tidak ada tuhan kecuali Dia, Mahasuci Dia dari segala perbuatan syirik mereka.”

Di antara perbuatan syirik mereka ialah ketika para pendeta mereka menghalalkan apa yang haram, lalu pengikutnya menaati mereka dan mereka mengharamkan yang halal lalu pengikutnya juga menaati mereka.


_____________
source: Books: Bahaya Mengekor Non Muslim (Mukhtarat Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim Syaikh Ibnu Taimiyah). Muhammad bin Ali Adh-Dhabi‘i, Penerbit Media Hidayah,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...