Bab 23
Hak Allah,
hak para Nabi,
dan hak orang-orang
Mukmin
Allah mempunyai berbagai macam hak dan tidak boleh disekutukan
hak-Nya dengan yang lain. Para rasul juga punya hak yang tidak boleh disamakan
haknya dengan yang lain. Kaum mukmin juga punya hak yang sama terhadap sesama
mukmin.
كُنْتُ رَدِيْفَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِيْ: يَا مُعَاذُ, أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ
اللهِ عَلَى الْعِبَادِ؟
قَلْتُ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ, قَالَ: حَقُّهُ عَلَيْهِمْ أَنْ يَعْبُدُوهُ
وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا, يَا مُعَاذُ, أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ الْعِبَادِ
عَلَى اللهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ؟
قَلْتُ: أَللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ, قَالَ: حَقُّهُمْ عَلَيْهِ أَنْ لَا
يُعِذِّبَهُمْ
Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, dari
Mu’adz bin Jabal, ia berkata: “Saya pernah membonceng Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di atas kendaraannya. Beliau
bersabda kepadaku: ‘Wahai Mu‘adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya?’
Saya menjawab: ‘Allah dan rasul-Nya lebih tahu.’ Beliau bersabda: ‘Hak Dia atas
mereka adalah mereka menyembah kepada-Nya semata-mata dan tidak
menyekutukan-Nya dengan apa pun.’ Wahai Mu‘adz, apakah engkau tahu, apa hak
hamba kepada Allah jika mereka melaksanakan kewajiban itu ?’ Saya menjawab:
‘Allah dan rasul-Nya lebih tahu.’ Sabda beliau: ‘Hak mereka kepada-Nya
yaitu Dia tidak mengadzab mereka.’”
Jadi, Allah mempunyai hak atas hamba-Nya, yaitu
tidak disekutukan sedikit pun dalam urusan ibadah kepada-Nya. Hal ini merupakan
pokok tauhid, yang mana Allah mengutus para rasul-Nya untuk mengajarkan tauhid
ini kepada manusia, dan Allah menurunkan kitab-kitab wahyu-Nya juga untuk
menjelaskannya. Allah berfirman pada surah Zukhruf ayat 45:
وَسَۡٔلۡ مَنۡ أَرۡسَلۡنَا
مِن قَبۡلِكَ مِن رُّسُلِنَآ أَجَعَلۡنَا مِن دُونِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ءَالِهَةٗ
يُعۡبَدُونَ ٤٥
“Dan tanyakanlah kepada kaum yang telah Kami kirimkan
utusan-utusan Kami sebelum kamu, apakah kamu menetapkan tuhan-tuhan selain
Allah Yang Maha Rahman untuk mereka sembah?”
Firman-Nya pula pada surah An Nahl ayat 36:
وَلَقَدۡ
بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَ
“Dan Kami telah kirimkan
seorang rasul kepada setiap umat dengan perintah: ‘Hendaklah kamu sekalian
beribadah kepada Allah dan jauhilah Thaghut (segala perbuatan syirik).”
Termasuk dalam pengertian tauhid ialah bahwa kita tidak boleh
punya rasa takut selain hanya kepada Allah, dan tidak boleh kita menunjukkan
kepatuhan dan ketaatan kecuali
hanya kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam pada surah An
Nuur ayat 52:
وَمَن
يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَخۡشَ ٱللَّهَ وَيَتَّقۡهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَآئِزُونَ
“Barang siapa taat kepada
Allah dan rasul-Nya, takut kepada Allah, dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka
itulah orang-orang yang beruntung.”
Termasuk juga dalam pengertian tauhid ialah bahwa ketaatan
hanyalah kepada Allah dan rasul-Nya, rasa takut dan takwa semata-mata
kepada-Nya.
Demikian pula firman-Nya pada surah At Taubah ayat 59:
وَلَوۡ أَنَّهُمۡ رَضُواْ
مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ سَيُؤۡتِينَا
ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ وَرَسُولُهُۥٓ إِنَّآ إِلَى ٱللَّهِ رَٰغِبُونَ ٥٩
“Sekiranya mereka ridha
dengan apa yang telah Allah dan rasul-Nya berikan kepada mereka dan mereka
mengatakan: ‘Cukuplah Allah bagi kami’, niscaya Allah akan melimpahkan
karunia-Nya kepada kami, begitu juga rasul-Nya. Sungguh kami hanya berharap
kepada Allah.”
Hak memberikan ketetapan agama hanya dimiliki oleh Allah dan
rasul-Nya sebagaimana firman-Nya pada surah Al Hasyr ayat 7:
وَمَآ
ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْ
“Apa saja yang Rasul sampaikan kepada kamu
sekalian, hendaklah kamu ambil dan apa saja yang dia larang kamu melakukannya,
hendaklah kamu jauhi.”
Jadi, yang halal ialah sesuatu yang dihalalkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yang haram ialah sesuatu yang diharamkan
beliau, dan agama adalah syari‘at yang ditetapkan beliau.
Juga ditetapkan bahwa pengharapan hanya boleh ditujukan kepada
Allah semata-mata, sebagaimana firman-Nya: “Dan mereka berkata: ‘Cukuplah Allah
bagi kami.’ Dan tidak boleh menambahkan ‘dan rasul-Nya’ sebagaimana Allah sebutkan pada surah Ali ‘Imran ayat 173:
ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ
إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدۡ جَمَعُواْ لَكُمۡ فَٱخۡشَوۡهُمۡ فَزَادَهُمۡ إِيمَٰنٗا
وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ ١٧٣
“0rang-orang yang berkata kepada manusia (para
shahabat): ‘Sungguh musuh-musuh Allah mengepung kamu sekalian, karena itu
takutlah kepada mereka.’ Akan tetapi, justru iman mereka bertambah kuat dan
mereka mengucapkan: ‘Cukuplah Allah bagi kami dan Dialah sebaik-baik
pelindung.’”
Dan firman-Nya pula pada surah An Anfaal ayat 64:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّبِيُّ حَسۡبُكَ ٱللَّهُ وَمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
“Wahai Nabi, cukuplah Allah
bagi kami dan bagi orang-orang mukmin yang menjadi pengikutnya.”
Maksudnya cukuplah Allah bagi diri Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para
shahabatmu. Hanya Allahlah yang menjamin kamu sekalian. Orang
yang beranggapan bahwa maksud ayat tersebut ialah ‘Allah dan orang-orang mukmin
cukup bagi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam’ adalah salah besar karena beberapa alasan yang
uraiannya rincinya disebutkan dalam buku lain.
Kemudian, mereka berkata tentang ayat: “...,
niscaya Allah akan melimpahkan karunia-Nya kepada kami, begitu juga rasul-Nya.”
Ini merupakan penjelasan bahwa semua karunia itu milik Allah. Disebutkan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemberinya, maksudnya adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dapat memberikan sesuatu kecuali apa yang
diberikan Allah kepada beliau.
Kemudian mereka berkata tentang ayat “Sungguh
kami hanya berharap kepada Allah.” Dengan ayat ini ditetapkan bahwa pengharapan
semata-mata hanya kepada Allah, tidak kepada yang lain, seperti yang Allah
firmankan pada surah Al Insyirah ayat 7-8:
فَإِذَا
فَرَغْتَ فَٱنصَبْ, وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرْغَبْ
“Apabila engkau telah
selesai, maka hendaklah kamu bangkit (melakukan yang lain) dan hanya kepada
Tuhanmulah hendaknya engkau berharap.”
Pada ayat ini kita diperintahkan berharap hanya
kepada-Nya dan Allah tidak membenarkan berharap kepada makhluk-Nya. Sebagaimana
tersebut dalam Hadits shahih tentang sifat orang-orang yang akan masuk surga
tanpa hisab:
“Yaitu mereka yang tidak pernah minta diruqyah
(meminta dibacakan mantera-mantera), tidak pernah memakai azimat, dan tidak
pernah mempercayai hari baik dan buruk dan mereka hanya memasrahkan diri mereka
kepada Tuhan mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim, dan lain-lain)
Sifat orang-orang yang disebutkan di atas antara
lain adalah tidak minta diruqyah, yaitu tidak meminta orang lain untuk
membacakan mantera-mantera bagi dirinya. Pada hadits ini tidak disebut dengan
kalimat “tidak melakukan ruqyah” (tidak membaca mantera-mantera), sebab dalam
beberapa hadits riwayat Muslim disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan ruqyah untuk dirinya dan untuk orang
lain, tetapi beliau tidak pernah meminta dibacakan mantera-mantera.
Meminta dibacakan mantera ialah memohon kepada
orang lain untuk memintakan sesuatu kepada Allah, karena menganggap dirinya
sendiri tidak layak berhubungan dengan Allah. Hal ini berbeda dengan seseorang
yang memohonkan kebaikan untuk orang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Ibnu ‘Abbas:
إِذَا
سَأَلْتَكَ فَسْئَالِ اللهَ, وَإِذَااسْتَعَنْتَ
فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
“Apabila engkau memohon sesuatu, mohonlah kepada Allah. Apabila
engkau meminta pertolongan, mintalah
tolong kepada Allah.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan shahih)
Jadi, Allahlah yang dijadikan tempat berpasrah
diri dan memohon pertolongan serta tempat memohon bantuan, ditakuti siksa-Nya
dan diharapkan karunia-Nya, disembah dan menjadi tambatan hati untuk memperoleh
pengampunan-Nya. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Nya dan
tidak ada yang dapat menyelamatkan dari siksa-Nya kecuali Dia semata. Semua ini
telah dijelaskan Al-Qur‘an dengan ayat-ayatnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang ditaati, dicintai, diridhai
dan diterima hukumnya, dimuliakan, dihormati dan diikuti serta dipercayai semua
yang beliau ajarkan. Hal ini berdasar pada firman Allah pada surah An Nisaa’
ayat 80:
مَّن
يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَ
“Barang siapa taat kepada rasul-Nya, maka sungguh
ia telah taat kepada Allah.”
Dan firman-Nya pada surah An Nisaa’ ayat 64:
وَمَآ
أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذۡنِ ٱللَّهِ
“Dan Kami tidak pernah mengutus seorang rasul pun
kecuali untuk ditaati dengan izin Allah.”
Allah telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mewujudkan ajaran tauhid dan
membersihkannya dari segala bentuk kesyirikan dalam berbagai ungkapan, seperti
sabda beliau:
لَا
تَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ: مَاشَاءَ اللهُ وَشَاءَ
مُحَمَّدٌ, بَلْ: مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شَاءَ مُحَمَّدٌ
“Janganlah seseorang di antara kalian berkata: ‘Dengan kehendak
Allah dan kehendak Muhammad’, tetapi hendaklah ia berkata: ‘Dengan kehendak
Allah, kemudian kehendak Muhammad.’” (HR. Nasa’i, Hadits shahih)
Pada hadits lain, ada seorang laki-laki berkata kepada beliau:
مَاشَاءَ
اللَّهُ وَشِئْتَ فَقَالَ: أَجَعَلْتَنِيْ
لِلَّهِ نِدًّا؟ قُلْ مَاشَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ
“Dengan kehendak Allah dan kehendakmu”, lalu
beliau bersabda kepadanya: “Apakah engkau hendak menjadikan aku tandingan
Allah? Hendaklah engkau mengucapkan: ‘Dengan kehendak Allah semata-mata.” (HR.
Nasa’i)
Kalimat-kalimat yang telah digariskan oleh Allah seluruhnya
berisikan suatu pernyataan mengikhlaskan ketaatan sepenuhnya kepada Allah
sebagai penjabaran dari firman-Nya pada surah Al Bayyinah ayat 5:
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا
لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ
وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥
“Dan mereka itu tiadalah diperintahkan kecuali supaya mereka
mengikhlaskan ketaatan kepada Allah dengan memurnikan agamanya yang lurus dan
melaksanakan shalat serta mengeluarkan zakat. Itulah agama yang lurus.”
Hendaknya seseorang mengerjakan shalat, shadaqah,
zakat, puasa dan haji semuanya hanya karena Allah semata. Haji ialah beribadah
kepada Allah semata-mata dan dilaksanakan di tempat yang telah ditetapkan Allah
sebagai tempat menyembah-Nya, sebagaimana firman-Nya pada surah Ali ‘Imran ayat
97:
وَلِلَّهِ
عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ
“Dan kewajiban bagi manusia berhaji ke Baitullah
bagi siapa yang mampu menempuh jalan ke sana karena Allah.”
Kalimat syahadat “Muhammad adalah utusan Allah”
menuntut adanya pengakuan atas kebenaran semua berita yang dibawa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menaati semua perintah beliau. Apa saja yang
beliau tetapkan, maka seseorang wajib menetapkannya. Dan apa saja yang beliau
nafikan, maka seseorang wajib menafikannya, misalnya beliau menetapkan sesuatu
yang menjadi hak Allah, seperti nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Begitu
pula hal-hal yang beliau nyatakan bukan sebagai sifat dan nama Allah, misalnya
sifat serupa dengan makhluk-Nya. Hal ini mengharuskan manusia mensucikan Allah
dari sifat kekurangan dan sifat-sifat serupa dengan makhluk, mengikuti aqidah
yang sebaik-baiknya, mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak patut, dan
tidak merusak pengertian asli kata-kata yang berhubungan dengan Allah yang
termaktub dalam Al-Qur‘an atau hadits. Mereka berkewajiban melaksanakan apa
yang telah diperintahkan kepada mereka dan menjauhi apa yang dilarang bagi
mereka. Mereka hanya boleh menghalalkan apa yang dihalalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan hanya boleh mengharamkan apa yang diharamkan
beliau. Tidak ada sesuatu yang haram kecuali yang diharamkan Allah dan
rasul-Nya. Tidak ada agama kecuali yang telah disyari‘atkan Allah dan
rasul-Nya.
Allah mengecam golongan musyrik, karena mereka
telah mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan Allah dan mereka
mengada-adakan agama yang tidak pernah dinyatakan kebenarannya oleh Allah. Hal
ini sebagaimana tersebut dalam firman-Nya pada surah Asy Syuraa ayat 21:
أَمۡ
لَهُمۡ شُرَكَٰٓؤُاْ شَرَعُواْ لَهُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا لَمۡ يَأۡذَنۢ بِهِ ٱللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai
sekutu-sekutu yang menciptakan syari‘at bagi mereka yang Allah tidak pernah
mengizinkan hal itu?”
Barang siapa yang mengajak kepada selain jalan
Allah, maka dia telah musyrik. Dan barang siapa mengajak kepada jalan yang
tidak diizinkan Allah, maka dia telah berbuat bid‘ah.
Syirik termasuk bid‘ah, dan orang yang berbuat
bid‘ah telah menuju kepada kesyirikan. Dan tidak ada seorang pun ahli bid‘ah,
melainkan pasti ia melakukan suatu bentuk kesyirikan, sebagaimana firman Allah
pada surah At Taubah ayat 31:
ٱتَّخَذُوٓاْ أَحۡبَارَهُمۡ
وَرُهۡبَٰنَهُمۡ أَرۡبَابٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَٱلۡمَسِيحَ ٱبۡنَ مَرۡيَمَ
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُوٓاْ إِلَٰهٗا وَٰحِدٗاۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا
هُوَۚ سُبۡحَٰنَهُۥ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ٣١
“Mereka telah menjadikan pendeta-pendeta dan
pastur-pastur mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan juga menjadikan Al
Masih putra Maryam (sebagai tuhan-tuhan selain Allah). Padahal mereka tidak
pernah diperintahkan, kecuali untuk menyembah hanya kepada Tuhan Yang Tunggal,
tidak ada tuhan kecuali Dia, Mahasuci Dia dari segala perbuatan syirik mereka.”
Di antara perbuatan syirik mereka ialah ketika
para pendeta mereka menghalalkan apa yang haram, lalu pengikutnya menaati
mereka dan mereka mengharamkan yang halal lalu pengikutnya juga menaati mereka.
_____________
source: Books: Bahaya Mengekor Non Muslim (Mukhtarat
Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim Syaikh Ibnu Taimiyah). Muhammad bin Ali
Adh-Dhabi‘i, Penerbit Media Hidayah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar