IRJA’
BID’AH
PALING BERBAHAYA
(DAN
PENGARUHNYA TERHADAP JIHAD SYAM)
........................... lanjutan
sumber: DABIQ 8 - SPESIAL PERGESERAN PARADIGMA
“Manfaat”
Kebodohan Menurut Murji‟ah
Menurut sebagian Murji’ah,
ilmu dasar bukan merupakan bagian inti dari iman, bahkan ketika pengetahuan ini
tersebar luas dan sangat dikenal Diriwayatkan bahwa salah seorang yang tertuduh
Irja’ ditanyai di Masjidil
Haram mengenai seorang lelaki yang mengatakan dengan perkataan seperti ini adalah
seorang mu’min, “Aku tahu Ka’bah adalah benar dan itu adalah Baitullah (‘Azza
wa Jalla) tetapi aku tidak tahu apakah itu yang ini atau bukan [dalam riwayat
lain: tetapi aku tidak tahu pakah yang ada di Makkah atau yang ada di Khurasan].”
Dia menjawab, “Dia seorang mu’min.” *Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Aku bersaksi
bahwa menurut Allah dia termasuk orang-orang kafir hingga ia tahu Ka’bah yang
dimaksud ialah yang berdiri di Masjidil Haram.”[ Dia lalu ditanya mengenai
seseorang yang mengatakan hal berikut adalah seorang mu’min, “Aku tahu bahwa Muhammad
(shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) adalah benar dan dia adalah seorang rasul
[dalam riwayat lain: Aku bersaksi bahwa Muhammad ibnu ‘Abdillah adalah nabi],
tetapi aku tidak tahu jika ia yang berada di Madinah dari bangsa Quraisy atau
Muhammad yang lain [dalam riwayat lain: atau seorang lelaki yang berada di
Khurasan] [dalam riwayat lain: tetapi aku tidak tahu bila ia orang yang
makamnya ada di Madinah atau bukan+.” Ia menjawab, “Ia seorang mu’min.” [Sufyan
Ats-Tsauri berkata, “Aku bersaksi bahwa menurut Allah dia termasuk orangkafir.”]
[HR. ‘Abdullah ibnu Imam Ahmad, Al-Khallal, dan Al-Lalika`i].
Al-Humaidi dan Imam Ahmad mengomentari
kisah ini dengan mengatakan, “Barangsiapa yang mengatakan hal ini maka ia telah
kufur” [Al-Lalika`i]. Diriwayatkan bahwa orang yang menjawab tersebut diminta
untuk bertaubat karena jawaban-jawabannya [Al-Lalika`i].6
Pemahaman berlebihan tentang penguzuran
yang disebabkan kebodohan (al-‘udzr bil-jahl)7 didasari atas pemahaman yang salah
tentang iman yang tidak bertambah atau berkurang dan hanya mengandung perkataan
hati dan lisan (pengakuan iman di dalam hati dan ucapan saja). Orang-orang yang
memegang keyakinan ini bertentangan dengan fakta bahwa manusia mempunyai
sejumlah perbedaan kesadaran, ilmu, dan pengakuan, yang menyatakan secara tidak
langsung bahwa iman bisa bertambah dan berkurang dalam hal ini8. Jadi, sebagian Murji’ah merespon dengan
menjawab bahwa iman adalah pengakuan yang tidak spesifik tentang Allah dan
Rasul-Nya (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) – dengan hati dan lisan – tanpa perincian.
Oleh sebab itu, jika seseorang “mengakui”
bahwa Muhammad adalah Rasulullah, tetapi tidak mengenalnya atau mengenal
agamanya sama sekali, maka ia masih dipandang sebagai seorang mu’min, meskipun
jika pengetahuan ini tersebar luas, diketahui, dan mudah dipelajari dan
didapatkan, dan bahkan jika orang tersebut mempunyai banyak waktu dan
kesempatan untuk mempelajari pengetahuan pokok dan dasar ini!
Pemahaman berlebihan tentang penguzuran
karena kebodohan mencakup setiap perkara, setiap kondisi, dan setiap individu.
Hal ini telah menjadikan uzur karena kebodohan sebagai anggapan dasar dan karenanya
menjadikan seseorang itu lebih baik untuk tetap bodoh daripada belajar
dasar-dasar pokok agama! Asy-Syafi’i (raḥimahullāh) berkata, “Jika orang jahil
diuzur karena kebodohannya, niscaya kebodohan itu lebih baik daripada ilmu,
karena kebodohan akan embebaskannya dari beban taklif dan melapangkan hatinya
dari berbagai macam hukuman.
Maka tidak ada uzur bagi hamba untuk
bodoh setelah hujjah [dalil] ditegakkan dan adanya kemampuan untuk mendapatkannya,
{agar supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah
diutusnya rasul-rasul itu} [QS. An-Nisaa’ : 165+” [al-Mantsūr fī al-Qawā’id].
Asy-Syafi’i menjelaskan bahwa ada ilmu
umum di mana “seorang baligh dan berakal tidak diuzur karena bodoh, seperti
shalat lima waktu, bahwa Allah mewajibkan shaum pada bulan Ramadhan terhadap
manusia, melaksanakan haji jika mampu, zakat atas orang-orang kaya, dan Dia
melarang mereka dari perzinaan, pembunuhan, pencurian, minum khamr, serta hal yang
serupa, perkara-perkara di mana seorang hamba dibebani tanggung jawab untuk
memahami, mempelajari, mengeluarkan dari diri mereka dan harta mereka, serta
mereka menghentikan diri mereka untuk melakukan apa yang dilarang Allah.
Ilmu ini semuanya bisa ditemukan secara
jelas di dalam Kitab Allah dan tersebar luas di antara orang-orang Islam.
Orang-orang awam mereka menyampaikannya dari orang-orang yang datang sebelum mereka
dari orang-orang Muslim awam. Mereka menyandarkannya kepada Rasulullah. Mereka
tidak berselisih pendapat tentang kabar itu, tidak pula tentang wajibnya atas
mereka. Ilmu jenis ini tidak mungkin terjadi kesalahan padanya, baik dalam kabar,
takwil, serta perkara yang tidak boleh dipertengkarkan” [ar-Risālah].
Ucapan Asy-Syafi’i meliputi hukum-hukum
Islam yang jelas, lalu bagaimana lagi dengan perkara yang jelas tentang kewajiban tauhid? Al-Barbahari
(rahimahullāh– w. 329 H) berkata, “’Umar ibnu Al-Khaththab (radhiyallāh ‘anhu) berkata, ‘Tidak
ada uzur bagi siapa pun atas kesesatan yang dilakukannya sementara dia
memandang itu sebagai petunjuk, atau petunjuk yang ditinggalkannya sementara
dia memandangnya sebagai kesesatan, karena perkara telah jelas, dalil telah
ditegakkan dengan kuat, dan uzur telah berakhir’” [Syarḥ as-Sunnah].
Para ulama menyebutkan sejumlah ayat dari
Al-Qur’an untuk membuktikan bahwa seseorang tidak
dipandang Muslim ketika ia dengan lalai
meniadakan pokok tauhid dan iman serta menentang fitrah dan Al -Qur’an.
,Sebagian telah diberi-Nya petunjuk dan sebagian lagi telah pasti kesesatan
bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka)
selain Allah, dan mengira bahwa mereka mendapat petunjuk} [QS. Al-A’raaf : 30].
{Katakanlah: “Apakah akan Kami
beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”
Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-sebaiknya.
Mereka itulah orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat
Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan
mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada
Hari Kiamat} [QS. Al-Al-Kahfi : 103-105]. {Dan jika seorang di antara
orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia
supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang
aman baginya.
Demikian itu disebabkan
mereka kaum yang tidak mengetahui} [QS. At-Taubah : 6]. {Orang-orang kafir yakni
Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan
(agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, (yaitu) seorang rasul
dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan
(Al-Qur’an), di dalamnya terdapat (isi) Kitab-kitab yang lurus} [QS.
Al-Bayyinah : 1-3]. ,Di antara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman
kepada Allah dan Hari Kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan
orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang
beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu
Allah tambahkan penyakitnya; dan bagi
mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Dan bila dikatakan kepada
mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab, “Sesungguhnya
kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka
itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Apabila
dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah
beriman”, mereka menjawab, “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh
itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh,
tetapi mereka tidak tahu} [QS. Al-Baqarah : 8-13]. {Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan
janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara)
sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala)
amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari} [QS. Al-Hujurat : 2].9 Oleh
karena itu, tidak ada uzur karena kejahilan atas pengakuan Islam dengan
syahadat – tiada ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah – arti dan
kandungannya (ikhlas kepada Allah dengan mempraktekkan tauhid dan tunduk
kepada-Nya dengan mengikuti Nabi – shallāllāhu ‘alaihi wa sallam).10 Adapun
rukun-rukun yang lain, maka mungkin saja seorang Muslim bodoh terhadap beberapa
di antaranya. Akan tetapi, keadaan ini diuzur hanya sementara waktu, karena ia
wajib untuk menuntut ilmu agar menghilangkan kebodohannya, sebab salah satu
pembatal keislaman yang disebutkan oleh para ulama ialah “berpaling dari agama
Allah (Ta’ala), baik dengan tidak mempelajari atau melaksanakannya.” Dalilnya
adalah firman Allah (Ta’ala), ,Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang
yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling
daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang
yang berdosa} [QS. As-Sajdah : 22]” [Nawāqidh al-Islām – Imam Muhammad ibnu ‘Abdil
Wahhab].
Imam Muhammad ibnu ‘Abdil
Wahhab (raḥimahullāh) juga berkata, “Apa yang engkau sebutkan … tentang syubhatmu
yang berkenaan dengan kondisi para thaghut ini dan para pengikutnya serta
apakah hujjah telah ditegakkan atau belum atas mereka, maka ini aneh! Bagaimana
bisa engkau meragukan hal ini setelah aku menjelaskannya kepadamu berkali-kali?
Orang yang belum ditegakkan hujjah atasnya ialah orang yang baru masuk Islam
dan seseorang yang dibesarkan di negeri pedalaman yang jauh, atau perkara yang
samar-samar … dalam kasus tertentu, takfir tidak dilakukan terhadapnya hingga
ia diberitahukan perkaranya. Adapun untuk masalah pokok agama, yang telah Allah
jelaskan dan sempurnakan dalam kitab-Nya, maka hujjah Allah adalah Al-Qur’an.
Barangsiapa Al-Qur’an telah sampai kepadanya, maka hujjah telah tegak”
*ar-Rasā`il asy-Syakhshiyyah].
Kemunafikan
Adalah Hal yang
Tidak Ada
Menurut Murji‟ah
Menurut pandangan sebagian
Murji’ah, kemunafikan tidak ada, baik itu nifaq akbar maupun nifaq ashgar. Sufyan
Ats-Tsauri (raḥimahullāh) berkata, “Perbedaaan antara kita dan Murji’ah ada
tiga. Kita berkata iman adalah perkataan dan perbuatan, sedangkan mereka
berkata bahwa dia hanya perkataan tanpa perbuatan. Kita berkata iman bertambah
dan berkurang, sedangkan mereka berkata bahwa dia tidak bertambah dan tidak
berkurang. Kita berkata kemunafikan itu ada, sedangkan mereka berkata bahwa kemunafikan
itu tidak ada” [Shifah an-Nifāq – Al-Firyabi].11
Al-Hasan Al-Bashri
(rahimahullāh– w. 110 H) diberitahu tentang orang-orang yang mengklaim bahwa kemunafikan
tidak ada dan mereka tidak takut nifaq.
Dia berkata, “Demi Allah,
mengetahui bahwa aku terbebas dari kemunafikan lebih aku cintai daripada memiliki
emas sepenuh bumi” [as-Sunnah – Al-Khallal]. Selain itu, beliau berkata, “Tidak
berlalu atau tidak akan pernah berlalu seorang mu’min, kecuali ia takut
kemunafikan, dan tidak berlalu atau tidak akan pernah berlalu seorang munafik,
kecuali ia merasa aman dari kemunafikan. Barangsiapa yang tidak takut dirinya
jatuh ke dalam kemunafikan, maka ia adalah seorang munafik” *Shifah an-Nifāq –
Al-Firyabi].
Salah seorang Murji’ah berkata di depan Ayyub As-Sikhtiyani
(rahimahullāh– w. 131 H), “Hanya ada
kufur dan iman,” maksudnya tidak ada kemunafikan.
Ayyub berkata kepadanya, “Pergi dan bacalah Al-Qur’an! Setiap ayat yang menyebut kemunafikan,
maka aku takut ia terjadi pada diriku!” *al-Ibānah al- Kubrā
– Ibnu Baththah].
Hudzaifah ibnu Al-Yaman
(radhiyallāh ‘anhu) memperingatkan firqah-firqah yang akan muncul di masa
mendatang. Beliau berkata, “Satu firqah akan mengatakan, ‘Kami beriman kepada
Allah dan keimanan kami setara dengan malaikat. Tidak ada kekafiran ataupun
kemunafikan di antara kami.’
Sungguh pantas bagi Allah
(‘Azza wa Jalla) untuk mengumpulkan mereka bersama Dajjal” [as-Sunnah –Al-Khallal].
Ibnu Mas’ud (radhiyallāhu
‘anhu) berkata, “Mereka berkata, ‘Tidak ada kafir atau munafik di antara kami.’
Semoga Allah menghancurkan kaki mereka” [al -Ibānah al-Kubrā – Ibnu Baththah].
Imam Ahmad (raḥimahullāh)
mencatat bahwa di antara perkara yang disangkal Murji’ah ialah penjelasan mengenai
kemunafikan; beliau lalu berkata, “Waspadalah agar Murji’ah tidak
menggelincirkanmu dari urusan agamamu” [as-Sunnah – Al-Khallal].
Murji’ah yang menyangkal
kemunafikan terbagi dalam dua jenis yang berbeda. Satu firqah – Karramiyyah –
menyatakan bahwa iman itu hanya perkataan lisan bahkan walau hati mengandung
nifaq akbar.
Mereka menyebut munafik pada
masa Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) mu’min, meskipun mereka mereka
meyakini “orang-orang mu’min” ini akan masuk neraka. Firqah lain mengaku bahwa
iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Pengakuan ini menuntut untuk
meniadakan nifaq ashghar, sebab keberadaannya pada diri sesorang mengharuskan imannya
berkurang. Justru eksistensi kemunafikan –baik akbar maupun ashghar – berasal
dari perkara yang sangat terang yang dijelaskan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Selain Surat Al-Munaafiquun dan Surat At-Taubah, terdapat sejumlah ayat dan
hadits yang menjelaskan fenomena ini.
Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi w
a sallam) bersabda, “Perumpamaan orang munafik ialah seperti anak domba yang ragu di antara dua kawanan domba, terkadang mendatangi kawanan ini dan terkadang kawanan lainnya” [HR. Muslim dari Ibnu ‘Umar]. Dalam riwayat lain, “Ia tidak tahu kelompok mana yang harus diikuti” [Shahih: HR. An-Nasa’i dari Ibnu ‘Umar].
a sallam) bersabda, “Perumpamaan orang munafik ialah seperti anak domba yang ragu di antara dua kawanan domba, terkadang mendatangi kawanan ini dan terkadang kawanan lainnya” [HR. Muslim dari Ibnu ‘Umar]. Dalam riwayat lain, “Ia tidak tahu kelompok mana yang harus diikuti” [Shahih: HR. An-Nasa’i dari Ibnu ‘Umar].
Hadits ini menunjukkan bahwa munafik mengembara di zona
abu-abu, yaitu di antara kufur dan iman.
Beliau (shallāllāhu ‘alaihi
wa sallam) juga bersabda, “Sesungguhnya mayoritas orang-orang munafik dari umatku ialah qurrā`-nya” *Hasan: HR. Imam
Ahmad dari ‘Abdullah ibnu ‘Amr-. Al-Bukhari (raḥimahullāh) berkata bahwa
orang-orang munafik dari al-qurrā` ini meliputi, “al-Qurrā` yang meniadakan sifat-sifat Allah, Jahmiyyah,
pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah), selain yang lainnya” [Khalq Af’āl al-‘Ibād].
Istilah alqurrā` dipergunakan pada masa sahabat terhadap para ulama ahli agama,
karena para ulama dikenal dengan
hafalan, bacaan, dan pemahaman Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
“al-Qurrā` -baik senior maupun yunior – adalah anggota Majelis Syura di masa
‘Umar” [Shaḥīḥ al-Bukhārī].
Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi wa
sallam) bersabda, Munafik yang pandai berbicara ini termasuk para ulama yang menyesatkan yang disebutkan
dalam hadits lain. Abu Dzar (radhiyallāhu ‘anhu) meriwayatkan bahwa ketika ia
berjalan bersama dengan Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam), Nabi berkata tiga
kali, “Sesungguhnya, ada yang lebih kutakutkan atas umatku melebihi Dajjal.”
Abu Dzar bertanya kepada beliau, “Apa yang lebih engkau takutkan atas umatmu
daripada Dajjal?” Beliau menjawab, “Para imam yang menyesatkan” *Shahih: HR.
Imam Ahmad dari Abu Dzar].
Ahli bid’ah juga mempunyai banyak sifat
nifaqashghar – merupakan suatu dosa besar – selain kebanyakan dari mereka telah
menjadi munafik yang penuh dan zindiq. Hal ini karena akar bid’ah ialah kekafiran
dan merupakan pintu gerbang ke arah kekafiran. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (raḥimahullāh)
berkata, “Bid’ah-bid’ah berasal dari kekafiran, karena tidak ada pendapat yang
bid’ah kecual i ia membawa cabang –cabang kekafiran” [Minhāj as-Sunnah]. Selain
itu, bid’ah ialah sikap antara Islam yang murni dan kufur yang nyata… lagi-lagi
zone abu-abu kemunafikan.
Al-Fudhail ibnu ‘Iyadh (raḥimahullāh)
berkata, “Ketika aku melihat seseorang dari Ahlus Sunnah, maka seolah-olah aku
melihat seseorang dari sahabat Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam); dan ketika
aku melihat seseorang dari ahli bid’ah, maka seolah-olah aku melihat seseorang
dari kaum munafik” [Syarḥ as-Sunnah – Al-Barbahari]. Beliau juga berkata,
“Tanda-tanda kemunafikan ialah seorang pria berjalan dan duduk bersama dengan
seorang ahli bid’ah” *al-Ibānah al-Kubrā – Ibnu Baththah].
Abu Qilabah (rahimahullāh - w. 104 H)
berkata, “Aku tidak menemukan satu perumpamaan pun bagi ahli bid’ah selain kemunafikan, sebab Allah telah
menyebutkan kemunafikan sebagai kata-kata dan perbuatan yang saling
bertentangan” [as-Sunnah – Al-Khallal].
Ibnu Taimiyyah (raḥimahullāh) juga
berkata, “Ketika ahli bid’ah memiliki kekuatan, mereka serupa dengan orang-orang
kafir dalam memandang halal membunuh orang-orang mu’min dan mengkafirkan mereka,
seperti yang dilakukan oleh Khawarij, Rafidhah, Mu’tazilah, Jahmiyyah, dan
cabang-cabangnya.
Beberapa dari mereka berperang ketika mereka
merupakan kelompok yang kuat, seperti Khawarij dan Zaidiyyah. Kelompok lainnya
berusaha untuk membunuh individu-individu lawannya dengan memanfaatkan
kekuasaan mereka atau lewat tipu muslihat. Ketika mereka lemah, mereka serupa dengan
orang-orang munafik. Mereka memanfaatkan tipu muslihat dan kemunafikan, seperti
halnya kondisi orang-orang munafik. Hal itu karena bid’ah berasal dari
kekafiran, karena ketika musyrikin dan Ahli Kitab memiliki kekuatan, mereka mengobarkan
perang melawan orang-orang beriman, dan
ketika lemah, mereka berlaku munafik” [al-Fatāwā al-Kubrā].
Maka Sallam ibnu Abi Muthi’ (rahimahullāh– w. 173 H) berkata bahwa
ulama Salaf “Ayyub [As-Sikhtiyani] akan menyebut semua ahli bid’ah sebagai
Khawarij; Dia akan berkata, ‘Khawarij berbeda dalam nama tapi bersepakat dalam
pedang’” [Al-Lalika`i].
Dan hukum untuk memerangi ahli bid’ah jika mereka mengangkat senjata
sangat dikenal. Perang melawan Khawarij adalah sunnah Khalifah Rasyidah keempat
‘Ali ibnu Abi Thalib (radhiyallāhu ‘anhu). Beliau membawa Sunnah Rasulullah
(shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) terhadap para pengklaim Islam di mana hati mereka
dijangkiti bid’ah dan kemunafikan.
Pendiri Khawarij (Dzul Khuwaishirah) berkata
kepada Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam), “Ya Muhammad, berlaku adillah!”
‘Umar ibnu Al-Khaththab (radhiyallāhu ‘anhu) kemudian berkata, “Ya Rasulullah, izinkan
aku membunuh munafik ini.” Beliau menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar
orang-orang tidak mengatakan bahwa aku membunuh sa-habat-sahabatku. Orang ini
dan sahabat-sahabatnya membaca Al-Qur’an namun tidak melebihi tenggorokan mereka.
Mereka meninggalkan agama seperti panah yang lepas dari busur” [HR. Muslim dari
Jabir ibnu ‘Abdillah]. Di sini Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) tidak
mencela ‘Umar yang menyebut orang tersebut munafik, namun Nabi mendukung
tuduhan ‘Umar dengan menjelaskan sifat kemunafikan: amal-amal agama yang tidak mempunyai realita di dalam hati
– membaca Al-Qur’an yang tidak lebih melewati tenggorokan saja. Beliau mencegah
‘Umar untuk membunuh pendiri firqah sesat ini merujuk pada alasan yang sama
untuk tidak membunuh tokoh munafik terkenal (‘Abdullah ibnu Ubay) Ibnu Salul
yang berkata, “Jika kita kembali ke Madinah, orang-orang yang paling mulia
pasti akan mengusir orang-orang yang paling hina darinya.” Ketika ‘Umar meminta
izin untuk membunuh Ibnu Salul, Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) mengatakan
kepadanya untuk tidak melakukannya “agar orang-orang tidak mengatakan bahwa
Muhammad membunuh sahabatsahabatnya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir ibnu
‘Abdillah].
Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) bersabda,
“Mereka [Khawarij] akan membunuh ahli Islam dan membiarkan ahli syirik. Jika
aku mencapai zaman itu, aku akan membunuh mereka [sehingga mereka musnah+
seperti musnahnya kaum ‘Ad” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id
Al-Khudhri].
Hadits-hadits di atas menunjukkan kesamaan antara kemunafikan dan kebid’ahan serta keumuman
akar mereka. Riwayat terakhir juga
menunjukkan Sunnah Rasulullah
(shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) terhadap
Khawarij.
Sekali lagi, beberapa Murji’ah modern berada dalam kebingungan. Mereka
memandang bahwa meninggalkan jihad benar-benar sifat kemunafikan, dan karena
orang-orang munafik modern ikut serta dalam pertempuran dan menjaga garis
depan, mereka tidak akan memandangnya sebagai munafik.
Mereka lupa bahwa Dzul Khuwaishirah dan
‘Abdullah ibnu Salul ikut serta dalam pertempuran dahsyat, Khawarij berperang
di atas kesesatannya, dan orang-orang munafik Badui berperang selama Perang
Riddah dari pihak Musailamah dan orang-orang yang menolak membayar zakat.
Orang-orang munafik meninggalkan pertempuran ketika mereka tidak mendapatkan
hasil dunia sebagai timbal baliknya, ketika tidak sesuai dengan kepentingan
kemunafikannya, dan ketika kesukaran yang dihadapi terasa sulit bagi mereka.
Hudzaifah (radhiyallāhu ‘anhu) mendengar
seseorang berdo’a, “Ya Allah, lenyapkanlah orang-orang munafik.” Hudzaifah
berkata kepadanya, “Jika mereka dilenyapkan, kamu tidak akan bisa membalaskan dendam
secara tepat terhadap musuhmusuhmu” [as-Sunnah – Al-Khallal].
Hal ini berhubungan dengan hadits dari
Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam), “Sesungguhnya Allah akan mengokohkan
agama ini melalui orang-orang yang tidak mempunyai bagian apa pun dari agama ini”
[Hasan: HR. Imam Ahmad dari Abu Bakrah]. Abu Hurairah (radhiyallāhu ‘anhu)
berkata, “Kami ikut dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah (shallāllāhu
‘alaihi wa sallam). Beliau berkata tentang orang yang mengaku Islam, ‘Orang ini
berasal dari ahli neraka.’ Ketika pertempuran berlangsung, orang tersebut
berperang dengan hebatnya hingga dia terluka.
Dikatakan, ‘Ya Rasulullah, orang yang
engkau katakan termasuk ahli neraka pada hari ini berperang dengan hebatnya dan
telah mati.’ Lalu Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) bersabda, ‘Dia masuk neraka.’
Sebagian orang hampir meragukannya.
Ketika dalam situasi seperti itu, mereka
diberitahu, ‘Dia tidak mati. Dia menderita luka parah dan ketika malam tiba,
dia tidak tahan akan luka-lukanya, maka dia membunuh dirinya.’ Nabi
(shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) diberitahu mengenai hal ini dan berkata, ‘Allahu
akbar! Aku bersaksi bahwa aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.’ Beliau
kemudian meminta Bilal agar mengumumkan kepada manusia bahwa, ‘Sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali
jiwayang Muslim’ dan ‘Sesungguhnya Allah menolong agama ini melalui orang-orang
fajir.’” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Fajir ialah orang yang melakukan
perbuatan fujūr [keburukan], yang merupakan salah satu sifat kemunafikan,
sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam), “Jika
empat sifat terdapat pada diri seseorang maka ia seorang munafik tulen. Jika
berbicara ia berdusta, jika diberi amanat ia khianat, jika berjanji ia melanggarnya,
dan jika berdebat ia berlaku fajar (melakukan fujūr)” *HR. Al-Bukhari dan
Muslim dari ‘Abdullah ibnu ‘Amr+. Ibnu Rajab berkata, “Yang dimaksud dengan fujūr
ialah ia secara sengaja meninggalkan kebenaran sampai batas kebenaran menjadi
kebatilan dan kebatilan menjadi kebenaran. Ini berasal dari perkara di mana
kedustaan mengarahkannya, sebagaimana Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam)
bersabda, ‘Janganlah berdusta, karena berdusta mengarahpada fujūr dan fujūr
mengarah ke neraka’[Jāmi’ al-‘Ulūm wal-Ḥikam]. An-Nawawi berkata seraya mengomentari kata fajar, “Artinya ia cenderung menjauh dari
kebenaran dan berkata batil dan dusta” [Syarḥ Shaḥīḥ Muslim].
Riwayat-riwayat di atas
mengindikasikan bahwa kaum munafik bisa saja ikut dalam jihad dan bahkan bisa
menentukan dalam kemenangan sejumlah pertempuran.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata, “Orang-orang munafik yang berkata, ,“Kami beriman kepada Allah dan
Hari Akhir”- [QS. Al-Baqarah: 8] tetapi bukan orang yang beriman adalah mereka yang
berada di luar orang-orang yang beriman. Mereka shalat bersama manusia. Mereka
melaksanakan haji dan berpartisipasi dalam peperangan. Muslimin dan orang-orang
munafik saling menikah dan mewarisi.” [Majmū’ al-Fatāwā].
Imam Muhammad ibnu ‘Abdil
Wahhab berkata, “Orang-orang munafik pada masa Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi
wa sallam) melakukan jihad fī sabīlillāh dengan harta dan jiwanya, shalat lima kali
sehari bersama Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam), dan melaksanakan
haji bersama beliau” [ad-Durar as-Saniyyah].
Lebih lanjut, di dalam
sejumlah ayat Al-Qur’an terungkap hal berkenaan dengan orang-orang munafik yang
berpartisipasi dalam Perang Tabuk dan Bani Al-Musthaliq, termasuk: {Dan jika
kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah
mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan
bermain-main saja”. Katakan: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya
kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir
sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka
taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka
adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa} [QS. At-Taubah : 65-66]. {Mereka
(orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak
mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan
perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam, dan menginginkan
apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya),
kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka.
Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka
berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia
dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak
(pula) penolong di muka bumi} [QS. At-Taubah : 74], dan {Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga…-
(QS. An-Nūr : 11). Ayat terakhir dan yang lainnya dari Surat An-Nūr mengungkap
peristiwa di mana orang-orang munafik mulai melakukan serangan dengan memfitnah
Ummul Mu’minin, ‘Aisyah (radhiyallāhu ‘anhā). Ini terjadi selama sariyah Perang
Bani Al-Musthaliq.
Sikap Irja‟ Para Pengklaim Jihad”
Bila seseorang memperhatikan
medan perang Syam, maka ia akan melihat bahwa faksi-faksi militer sebelum
ekspansi resmi Daulah Islam umumnya terjatuh ke dalam empat kategori:
1) Faksi-faksi Islam dengan agenda internasional.
2) Faksi-faksi “Islam” dengan agenda nasionalis.
3) Faksi-faksi nasionalis dengan agenda “Islam”.
4) Faksi-faksi sekuler dengan agenda demokrasi.
Kategori pertama mencakup
semua faksi Islam yang benar-benar menerima muhajirin dan tidak takut akan
kehadiran mereka. Kategori kedua mencakup semua faksi yang menawarkan agenda
“Islami” tetapi bercampur dengan elemen-elemen dan berbagai tingkat
nasionalisme. Kategori ketiga mencakup semua faksi yang menawarkan agenda
nasionalis dengan menggunakan bahasa dan budaya “Islami” sebagai inspirasi dan
justifikasi dalam propaganda mereka; mereka mengklaim bahwa mereka bukan sekuleris12. Perbedaan antara kategori kedua dan
ketiga hampir tidak ada kecuali para pemimpin mereka pada faksi-faksi kategori
kedua mempunyai latar belakang “Salafi” dan tentara mereka memperlihatkan sikap
lebih religius dalam “amal.” Kategori keempat mencakup faksi-faksi yang secara
resmi masuk ke dalam Dewan Militer Tertinggi – Tentara Pembebasan Suriah (FSA)
yang berbasis di Turki.
Tidak diragukan di antara kebanyakan
pejuang yang masuk ke dalam kategori pertama bahwa pejuang kategori keempat
termasuk murtad13. Yang jadi masalah bagi orang-orang yang terjangkiti Irja’ umumnya
pada kategori kedua dan ketiga yang semuanya menerima bantuan, baik secara
pribadi (tetapi diketahui oleh faksi-faksi lain) maupun secara publik, dari
rezim-rezim Arab, Barat, Turki, Koalisi Nasional Suriah (SNC), FSA, Ikhwanul
“Muslimin”, Sururiyah (sebenarnya ‘salafi’ versi Ikhwanul ‘Muslimin’) dan para
ulama istana Saudi.
Banyak dari pemimpin faksi ‘Islam’ dan
Nasionalis berasal dari anggota SNC, FSA, dan Ikhwanul ‘Muslimin’, meskipun
keanggotaan ini dalam kebanyakan kasus tetap bersifat tidak resmi, tetapi masih
tetap diketahui benar oleh faksi-faksi lain.
Baik kawan ataupun lawan tidak bisa
membantah hubungan, dukungan, dan keanggotaan ini. Terlepas dari itu semua itu,
kebanyakan faksi ini secara internal dijangkiti bid’ah (beberapa di antaranya
adalah kekafiran) namun bid’ah mereka tidak pernah menjadi aqidah “resmi”
mereka. Faksi-faksi “Islam” terjangkiti Sururiyyah, Jamiyyah (“Salafiyyah”
pro-Saudi), dan Irja’. Faksi-faksi nasionalis terjangkiti Jahmiyyah (Irja’
ekstrim dan penafian sifat-sifat Allah), Ikhwaniyyah (manhaj Ikhwanul
“Muslimin”), Sufisme, dan Quburiyyah (penyembah kuburan).
Kemudian muncullah kemunafikan…
Faksi-faksi nasionalis dan “Islam” mengatakan mereka independen dari SNC dan
FSA yang berbasis di Turki, tetapi mendapat dukungan dari kepemimpinan SNC dan
FSA.
Perwakilan dari SNC dan FSA yang berbasis
di Turki mengunjungi markas-markas besar faksi-faksi di Syam ini. Para pemimpin
faksi-faksi ini pun akan mengunjungi hotel-hotel yang ditempati SNC dan FSA di
Turki.
Para pemimpin faksi ini juga secara
teratur akan diterima sebagai tamu oleh diplomat Arab di Qatar dan Arab Saudi.
Sekali lagi, semua faksi – termasuk front Jaulani – mengetahui bahwa
faksi-faksi “Islam telah mengadakan hubungan timbal balik dengan rezim-rezim
murtad Arab termasuk diplomat, intelijen, media, dan “ulama,” di mana
kebanyakan bersifat terbuka. Semua faksi sesat ini secara reguler mengklaim
menerima sekedar bantuan “tidak bersyarat” dari para beking mereka. Faksi-faksi
“Islam” dan nasionalis juga menyatakan satu sama lain bersaudara dan mengklaim
berbeda dengan SNC dan FSA atas dalih politik dan militer.
Selain itu, para pemimpin faksi-faksi
“Islam” dan nasionalis ini membuat pernyataan-pernyataan sesat disertai
kekafiran yang implisit (samar-samar), atau lebih buruk lagi, terkadang
kekafiran yang eksplisit (jelas).
Ketika dihadapkan, mereka akan menarik
kembali ucapan mereka, mendistorsinya ke arah makna yang lebih “diinginkan”,
atau terkadang membela kebatilan mereka dengan argumen-argumen yang “syar’ī”.
Faksi-faksi yang beragam ini – meskipun
memiliki kekuatan – tetapi tidak pernah engimplementasikan syari’at Allah di
wilayah yang mereka “bebaskan”. Sebaliknya, mereka akan mengadakan komite-komite
dan mahkamah-mahkamah “syar’ī” dan “mutual (timbal-balik)” yang tengah
“merencanakan” – lebih dari dua tahun – untuk mengimplementasikan syari’at
namun tidak akan melaksanakan hudud, amar ma’ruf, dan nahi mungkar, baik karena
komite mengklaim bukan waktu yang tepat untuk melakukannya atau karena mahkamah
menghukumi hanya ruang lingkup kehidupan tertentu (sehingga tidak akan
berbenturan dengan emosi massa dan tidak bertentangan dengan kepentingan faksi
-faksi lain). Komite-komite dan mahkamah-mahkamah ini terdiri dari qadhi yang
berbeda-beda dari berbagai latar belakang yang sesat yang telah disebutkan
sebelumnya: Sururiyyah, Jamiyyah, Murji’ah, Jahmiyyah, Al-Ikhwan, Sufiyyah,
Quburiyyah, dan bahkan pengacara-pengacara sekuler, dan lebih buruk lagi,
hakim-hakim sekuler yang baru-baru ini hanya meninggalkan rezim Ba’ats tetapi
tidak pernah bertaubat dari kemurtadan! Semua ini – selain “ulama” para
pengklaim jihad – ditugaskan untuk mengimplementasikan syari’at bersama-sama…
Faksi-faksi nasionalis pun di dalam
barisan mereka memiliki sejumlah besar tentara yang tidak berpuasa Ramadhan dan
beroperasi layaknya seperti geng-geng yang menyiksa penduduk Muslim yang
berhubungan dengan jiwa, harta, dan keluarga.
Kemudian Ash-Shahwah diluncurkan dan
orang-orang munafik dan bid’ah sesat ini menyerang muhajirin dan anshar Daulah
Islam. Mereka melakukannya bersama-sama dan secara kooperatif dengan
dewan-dewan militer FSA, Front Revolusioner Suriah pimpinan Jamal Ma’ruf, PKK
Marxis, serta media dan “ulama” para thaghut Arab. Mereka bahkan secara terbuka
berterima kasih kepada para thaghut Arab atas bantuan mereka.
Jadi, apa yang dilakukan oleh para
pengklaim jihad Murji’ah di Syam? Mereka mengklaim bahwa faksi-faksi murtad
(yang keluar bersama kemunafikan mereka dan melakukan kemurtadan) harus
diperlakukan persis seperti kebanyakan muhajir mujahid pendahulu dan shalih.
Intinya, mereka membuat pengklaiman
Irja’ yang baru, “Iman ‘Abdullahibnu Ubay (Ibnu Salul) dan Abu Bakar Ash-Shiddiq
sama,” dan akhirnya, jika Ibnu Salul hidup pada masa Khilafah Ash-Shiddiq dan
memerangi Muhajirin dan Anshar selama Perang Riddah, maka Ash-Shiddiq harus
membuat suatu mahkamah independen dan mutual untuk menghukum antara dirinya dan
Ibnu Salul agar bisa memperlihatkan apakah Ibnu Salul melakukan kemurtadan atau
tidak, sekalipun semua sifat nifaq akbar Ibnu Salul nyata tergambar dalam
perjalanan hidupnya sebelum pemberontakannya. Lebih parah lagi, mahkamah
independen dan mutual harus memasukkan hakim-hakim dari munafik lainnya – yang tidak
diragukan lagi menghormati Ibnu Salul – dengan syarat mereka tidak termasuk
suku yang sama dengan Ibnu Salul. Mahkamah “independen” ini harus pula
memperlihatkan bahwa Ash-Shiddiq telah melakukan ketidakadilan terhadap Ibnu
Salul!
Selain itu, setiap perkataan dan
perbuatan kufur yang dibuat oleh faksi-faksi munafik setelah kemunculan
Ash-Shahwah – dan dalam banyak kasus sebelum itu – akan ditafsirkan kembali ke
arah pengertian yang lebih diinginkan supaya ada pembenaran atas aliansi para
pengklaim jihad dengan Shahwah murtad melawan Daulah Islam. Jika mereka
berkata, “Kami berperang untuk demokrasi, sebuah negara sipil, dan menginginkan
dukungan Amerika melawan Daulah Islam. Kami melawan terorisme”, maka mereka
berkata, “Barangkali mereka berpikir bahwa demokrasi adalah syura dan negara
sipil adalah kebalikan daripada negara polisi. Dan barangkali mereka
menginginkan bantuan tidak bersyarat melawan Khawarij di mana sebagian ulama
mengkafirkan mereka. Dan barangkali yang dimaksud terorisme ialah terorisme
terhadap Muslimin. Pada akhirnya, mereka semua diuzur disebabkan kebodohan
mereka dan wajib untuk memperlakukan mereka sebagai Muslim mujahid sepenuhnya
hingga mahkamah independen/mutual berdiri. Barangsiapa yang mengkafirkan mereka
atau secara tidak langsung mengkafirkan, maka mereka adalah Khawarij!”
Akhirnya, uzur kebodohan menjadi tameng
para pengklaim jihad untuk membela faksi-faksi munafik yang kemurtadannya
tampak nyata serta – dalam banyak kasus – untuk membela faksi-faksi yang secara
nyata sekularis; semua melawan Daulah Islam!14
Jika seseorang menunjuk faksi-faksi ini
tidak berhukum dengan syari’at meskipun mereka menguasai daerah “yang
dibebaskan” dan berperang melawan negara yang telah mengimplementasikan
syari’at, para pengklaim jihad akan mengatakan bahwa Syam adalah Darul Harb15
dan hudud tidak
boleh diberlakukan di sana! Yang lainnya akan berkata bahwa jihad defensif
melawan orang-orang yang melanggar kehidupan kaum Muslimin dan keluarga mereka
lebih didahulukan daripada menegakkan tauhid (syari’ah), seolah-seolah kedua
kewajiban saling bertentangan satu sama lain!
Jika seseorang menyatakan bahwa sebagian
faksi ini memiliki seluruh unit tentara yang tidak shalat lima kali sehari
ataupun shaum Ramadhan dan hanya membunuh Muslimin dan merampas harta mereka,
niscaya mereka akan merespon bahwa lima puluh tahun hidup di bawah kekuasaan
Ba’ats, maka orang harus menguzur faksi-faksi ini karena “kesalahan-kesalahan”
mereka dan percayakan kepada mereka dalam menghadapi musuh bersama, yaitu
Daulah Islam!
Jadi, para pengklaim jihad
melebih-lebihkan konsep penguzuran karena kejahilan hingga mencakup dasar pokok
agama (dasar-dasar syahadatain), prinsip-prinsip terkenal (keimanan, kewajiban,
dan larangan yang diketahui), dan realita-realita yang diketahui oleh
orang-orang awam saat ini (seperti arti demokrasi, mekanisme sistem demokrasi,
dan kesekuleran SNC dan FSA). Mereka juga mereduksi bahayanya meninggalkan
rukun-rukun Islam dan penerapan syari’at secara umum. Selain itu, mereka pun
menolak fenomena kemunafikan dalam hukum praktis.
Irja’ sesat ini menjadi kekuatan yang
menggerakkan para pengklaim jihad di Syam (Jabhah Jaulani) untuk mendukung
kemurtadan Ash-Shahwah dalam perang melawan Daulah Islam! Hukum atas hal ini
diketahui dengan jelas; Imam Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab (raḥimahullāh) berkata
bahwa salah satu pembatal keislaman ialah “membantu dan menolong kaum musyrikin
dalam melawan kaum Muslimin.
Dalilnya ialah firman Allah (Ta’ala),
“Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali (pemimpin, kawan,
penolong), maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka” [QS.
Al-Maaidah : 51) Nawāqidh al-Islām). Maka para pengklaim jihad membuat agama
mereka lebih tipis daripada pakaian paling tipis hingga mereka telanjang dari
agamanya dan memperlihatkan diri seperti rekan pendamping mereka Shahwah.
Sayangnya, intelijen Barat dan Arab dapat
memanfaatkan Irja’ di Syam ini dengan duduk di belakang dan menonton sementara
para pengklaim jihad berperang melawan Daulah Islam dan membela Ash-Shahwah.
Mereka berharap untuk mengulangi pengalaman di negeri jihad lainnya, tetapi
mereka lupa bahwa Allah (Ta’ala) berfirman, ,Mereka hendak memadamkan cahaya
(agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki,
selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak
menyukai} [QS. At-Taubah : 32].
[5]
Perkataan beliau
menjelaskan bahwa penolakan yang kuat terhadap larangan-larangan ini adalah
kufur akbar. Adapun bagi perbuatan judi, riba, atau zina semata, maka hal
seperti ini berdosa namun bukan kufur akbar.
[6] Fakta
bahwa Ka’bah berada di Makkah, Nabi Muhammad (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam)
berasal dari Quraisy, beliau tinggal di Madinah (setelah beliau berhijrah dari
Makkah) dan makam beliau berada di Madinah, ialah sesuatu yang diketahui Muslimin
di mana saja, bahkan diketahui oleh banyak orang Yahudi dan Nasrani. Jadi,
bagaimana mungkin seseorang mengaku bodoh tentang hal ini sementara dia tinggal
di Darul Islam selama pemerintahan para khalifah Umayyah dan ‘Abbasiyyah serta
zaman di mana hidup mayoritas fuqaha’, dan berdiri di depan Ka’bah di dalam Masjidil
Haram!
[7]
Uzur karena
kebodohan adalah konsep syar’ī tetapi tidak dalam bentuk ghuluw yang diberikan
oleh Murji’ah. Lihat kutipan dari Imam Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab pada halaman
48 sebagai penjelasan mengenai pengaplikasian konsep secara benar.
[8]
Menurut Ahlus
Sunnah, iman dapat bertambah dan berkurang pada tingkat hati, lisan, dan
anggota badan, dalam perkataan dan perbuatan, tidak hanya pada tingkat ma’rifat
yang berhubungan dengan perkara ‘aqidah yang berbeda-beda.
[9] Lihat
pula Surat An-Naml ayat 42-43, Surat Hud ayat 25-29, tafsir Abu Ja’far Ath -Thabari
(rahimahullāh– w. 310 H) – imam mufassirīn – dalam beberapa ayat yang dikutip
di dalam artikel ini, dan kitab “at-Tabshīr fī Ma’ālim Ushūl ad-Dīn.”
[10] Lihat
pula Dabiq edisi #7 halaman 22-23. Para ulama telah menyebutkan bahwa ilmu,
ketundukan, keikhlasan – selain perkara lainnya – merupakan syarat atas
syahadatnya. Syarat-syarat ini berlawanan dengan kebodohan, meninggalkan amal
secara total, dan syirik. Maka, bagaimana mungkin seseorang yang melakukan amal
syirik atau meninggalkan shalat dipandang sebagai seorang Muslim?
[11] Untuk
bacaan, lihat pula Dabiq edisi #7 halaman 62-66 tentang sifat-sifat nifaq akbar
yang dilalaikan oleh para partisan dan dalil-dalil dari Al-Qur’an mewajibkan
jihad melawan orang-orang munafik jika mereka terlihat melakukan tindak
kemunafikan.
[12]
Mereka adalah
faksi-faksi nasionalis, agar membedakan mereka dari faksi-faksi yang menyatakan
secara terbuka sekularis/demokratis.
[13]
Karena tabi’at
dasar rakyat Suriah, faksi-faksi sekularisme murtad ini tidak begitu efektif
dalam menyimpangkan jihad. Kelompok-kelompok murtad yang berbasis di Turki –
FSA dan SNC – harus lebih mengandalkan pada kategori kedua dan ketiga untuk
mendapatkan pengaruh atas situasi di Syam. Mereka memanfaatkan hubungan dan
bantuan mereka untuk tujuan ini. Faksi-faksi sekularisme murtad – Dewan Militer
FSA dan berbagai batalyon mereka – pada umumnya memudar oleh faksi-faksi
munafik yang mengklaim memiliki agenda dan budaya lebih “Islami”.
Catatan: Faksi-faksi munafik merujuk pada alasan-alasan sejarah.
Mereka kemudian berpindah dari zone abu-abu kemunafikan menuju kegelapan
kemurtadan, baik dalam perkataan maupun perbuatan, setelah mereka meraih
“kebebasan” untuk keluar bersama dengan kekafiran mereka lewat Shahwah.
[14] Jika kebodohan termasuk uzur bagi
Murji’ah kontemporer, apa yang akan menghalangi sebagian dari mereka untuk
menguzur Dajjal karena kebodohan ketika dia mengklaim nabi dan tuhan sebagai
alasan untuk berperang bersama dengan dia melawan orang-orang yang mengkafirkannya?
[15]
Ibnu Qudamah (raḥimahullāh)
berkata, “Hudud diterapkan di daerah tsughūr (pos terdepan di garis depan).
Tidak ada perbedaan yang kami ketahui berkaitan dengan masalah ini. Ini karena
tsughūr merupakan negeri Islam dan terdapat kebutuhan untuk mencegah
penduduknya melakukan perbuatan dosa, persis sebagaimana halnya untuk mencegah
penduduk lainnya. ‘Umar menulis surat kepada Abu ‘Ubaidah yang isinya memerintahkannya
untuk mencambuk delapan puluh kali orang yang meminum khamr. Ini terjadi ketika
Abu ‘Ubaidah berada di Syam dan daerah tersebut termasuk tsughūr” *al-Mughnī+.
Jika Muslimin ahli tsughūr berasal dari Darul Islam, apalagi daerah-daerah yang
dijaga oleh tsughūr? Orang-orang Murji’ah mendistorsi pengertian Darul Harb
menjadi pengertian sebuah negeri yang sedang dilanda perang, padahal istilah
tersebut hanya merujuk pada negeri yang diperintah oleh orang-orang kafir yang
tidak memiliki perjanjian dengan Muslimin, bahkan jika negeri tersebut sedang
tidak dilanda perang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar