6/02/2019

IRJA' BID’AH PALING BERBAHAYA [2]


 IRJA’

BID’AH PALING BERBAHAYA
(DAN PENGARUHNYA TERHADAP JIHAD SYAM) 

........................... lanjutan





sumber: DABIQ 8 - SPESIAL PERGESERAN PARADIGMA
“Manfaat” Kebodohan Menurut Murjiah

Menurut sebagian Murji’ah, ilmu dasar bukan merupakan bagian inti dari iman, bahkan ketika pengetahuan ini tersebar luas dan sangat dikenal Diriwayatkan bahwa salah seorang yang tertuduh 
Irja’ ditanyai di Masjidil Haram mengenai seorang lelaki yang mengatakan dengan perkataan seperti ini adalah seorang mu’min, “Aku tahu Ka’bah adalah benar dan itu adalah Baitullah (‘Azza wa Jalla) tetapi aku tidak tahu apakah itu yang ini atau bukan [dalam riwayat lain: tetapi aku tidak tahu pakah yang ada di Makkah atau yang ada di Khurasan].” Dia menjawab, “Dia seorang mu’min.” *Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Aku bersaksi bahwa menurut Allah dia termasuk orang-orang kafir hingga ia tahu Ka’bah yang dimaksud ialah yang berdiri di Masjidil Haram.”[ Dia lalu ditanya mengenai seseorang yang mengatakan hal berikut adalah seorang mu’min, “Aku tahu bahwa Muhammad (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) adalah benar dan dia adalah seorang rasul [dalam riwayat lain: Aku bersaksi bahwa Muhammad ibnu ‘Abdillah adalah nabi], tetapi aku tidak tahu jika ia yang berada di Madinah dari bangsa Quraisy atau Muhammad yang lain [dalam riwayat lain: atau seorang lelaki yang berada di Khurasan] [dalam riwayat lain: tetapi aku tidak tahu bila ia orang yang makamnya ada di Madinah atau bukan+.” Ia menjawab, “Ia seorang mu’min.” [Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Aku bersaksi bahwa menurut Allah dia termasuk orangkafir.”] [HR. ‘Abdullah ibnu Imam Ahmad, Al-Khallal, dan Al-Lalika`i].

Al-Humaidi dan Imam Ahmad mengomentari kisah ini dengan mengatakan, “Barangsiapa yang mengatakan hal ini maka ia telah kufur” [Al-Lalika`i]. Diriwayatkan bahwa orang yang menjawab tersebut diminta untuk bertaubat karena jawaban-jawabannya [Al-Lalika`i].6

Pemahaman berlebihan tentang penguzuran yang disebabkan kebodohan (al-‘udzr bil-jahl)7 didasari atas pemahaman yang salah tentang iman yang tidak bertambah atau berkurang dan hanya mengandung perkataan hati dan lisan (pengakuan iman di dalam hati dan ucapan saja). Orang-orang yang memegang keyakinan ini bertentangan dengan fakta bahwa manusia mempunyai sejumlah perbedaan kesadaran, ilmu, dan pengakuan, yang menyatakan secara tidak langsung bahwa iman bisa bertambah dan berkurang dalam hal ini8. Jadi, sebagian Murji’ah merespon dengan menjawab bahwa iman adalah pengakuan yang tidak spesifik tentang Allah dan Rasul-Nya (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) – dengan hati dan lisan – tanpa perincian.

Oleh sebab itu, jika seseorang “mengakui” bahwa Muhammad adalah Rasulullah, tetapi tidak mengenalnya atau mengenal agamanya sama sekali, maka ia masih dipandang sebagai seorang mu’min, meskipun jika pengetahuan ini tersebar luas, diketahui, dan mudah dipelajari dan didapatkan, dan bahkan jika orang tersebut mempunyai banyak waktu dan kesempatan untuk mempelajari pengetahuan pokok dan dasar ini!

Pemahaman berlebihan tentang penguzuran karena kebodohan mencakup setiap perkara, setiap kondisi, dan setiap individu. Hal ini telah menjadikan uzur karena kebodohan sebagai anggapan dasar dan karenanya menjadikan seseorang itu lebih baik untuk tetap bodoh daripada belajar dasar-dasar pokok agama! Asy-Syafi’i (raḥimahullāh) berkata, “Jika orang jahil diuzur karena kebodohannya, niscaya kebodohan itu lebih baik daripada ilmu, karena kebodohan akan embebaskannya dari beban taklif dan melapangkan hatinya dari berbagai macam hukuman.
Maka tidak ada uzur bagi hamba untuk bodoh setelah hujjah [dalil] ditegakkan dan adanya kemampuan untuk mendapatkannya, {agar supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu} [QS. An-Nisaa’ : 165+” [al-Mantsūr fī al-Qawā’id].

Asy-Syafi’i menjelaskan bahwa ada ilmu umum di mana “seorang baligh dan berakal tidak diuzur karena bodoh, seperti shalat lima waktu, bahwa Allah mewajibkan shaum pada bulan Ramadhan terhadap manusia, melaksanakan haji jika mampu, zakat atas orang-orang kaya, dan Dia melarang mereka dari perzinaan, pembunuhan, pencurian, minum khamr, serta hal yang serupa, perkara-perkara di mana seorang hamba dibebani tanggung jawab untuk memahami, mempelajari, mengeluarkan dari diri mereka dan harta mereka, serta mereka menghentikan diri mereka untuk melakukan apa yang dilarang Allah.

Ilmu ini semuanya bisa ditemukan secara jelas di dalam Kitab Allah dan tersebar luas di antara orang-orang Islam. Orang-orang awam mereka menyampaikannya dari orang-orang yang datang sebelum mereka dari orang-orang Muslim awam. Mereka menyandarkannya kepada Rasulullah. Mereka tidak berselisih pendapat tentang kabar itu, tidak pula tentang wajibnya atas mereka. Ilmu jenis ini tidak mungkin terjadi kesalahan padanya, baik dalam kabar, takwil, serta perkara yang tidak boleh dipertengkarkan” [ar-Risālah].

Ucapan Asy-Syafi’i meliputi hukum-hukum Islam yang jelas, lalu bagaimana lagi dengan perkara  yang jelas tentang kewajiban tauhid? Al-Barbahari (rahimahullāh– w. 329 H) berkata, “’Umar ibnu  Al-Khaththab (radhiyallāh ‘anhu) berkata, ‘Tidak ada uzur bagi siapa pun atas kesesatan yang dilakukannya sementara dia memandang itu sebagai petunjuk, atau petunjuk yang ditinggalkannya sementara dia memandangnya sebagai kesesatan, karena perkara telah jelas, dalil telah ditegakkan dengan kuat, dan uzur telah berakhir’” [Syarḥ as-Sunnah].

Para ulama menyebutkan sejumlah ayat dari Al-Qur’an untuk membuktikan bahwa seseorang tidak
dipandang Muslim ketika ia dengan lalai meniadakan pokok tauhid dan iman serta menentang fitrah dan Al -Qur’an. ,Sebagian telah diberi-Nya petunjuk dan sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mengira bahwa mereka mendapat petunjuk} [QS. Al-A’raaf : 30].

{Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-sebaiknya.

Mereka itulah orang-orang yang kufur  terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada Hari Kiamat} [QS. Al-Al-Kahfi : 103-105]. {Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya.

Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui} [QS. At-Taubah : 6]. {Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, (yaitu) seorang rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al-Qur’an), di dalamnya terdapat (isi) Kitab-kitab yang lurus} [QS. Al-Bayyinah : 1-3]. ,Di antara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati  mereka ada penyakit, lalu Allah tambahkan  penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Dan bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”, mereka menjawab, “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu} [QS. Al-Baqarah : 8-13]. {Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari} [QS. Al-Hujurat : 2].9 Oleh karena itu, tidak ada uzur karena kejahilan atas pengakuan Islam dengan syahadat – tiada ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah – arti dan kandungannya (ikhlas kepada Allah dengan mempraktekkan tauhid dan tunduk kepada-Nya dengan mengikuti Nabi – shallāllāhu ‘alaihi wa sallam).10 Adapun rukun-rukun yang lain, maka mungkin saja seorang Muslim bodoh terhadap beberapa di antaranya. Akan tetapi, keadaan ini diuzur hanya sementara waktu, karena ia wajib untuk menuntut ilmu agar menghilangkan kebodohannya, sebab salah satu pembatal keislaman yang disebutkan oleh para ulama ialah “berpaling dari agama Allah (Ta’ala), baik dengan tidak mempelajari atau melaksanakannya.” Dalilnya adalah firman Allah (Ta’ala), ,Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa} [QS. As-Sajdah : 22]” [Nawāqidh al-Islām – Imam Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab].

Imam Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab (raḥimahullāh) juga berkata, “Apa yang engkau sebutkan … tentang syubhatmu yang berkenaan dengan kondisi para thaghut ini dan para pengikutnya serta apakah hujjah telah ditegakkan atau belum atas mereka, maka ini aneh! Bagaimana bisa engkau meragukan hal ini setelah aku menjelaskannya kepadamu berkali-kali? Orang yang belum ditegakkan hujjah atasnya ialah orang yang baru masuk Islam dan seseorang yang dibesarkan di negeri pedalaman yang jauh, atau perkara yang samar-samar … dalam kasus tertentu, takfir tidak dilakukan terhadapnya hingga ia diberitahukan perkaranya. Adapun untuk masalah pokok agama, yang telah Allah jelaskan dan sempurnakan dalam kitab-Nya, maka hujjah Allah adalah Al-Qur’an. Barangsiapa Al-Qur’an telah sampai kepadanya, maka hujjah telah tegak” *ar-Rasā`il asy-Syakhshiyyah].


Kemunafikan Adalah Hal yang
Tidak Ada Menurut Murjiah

Menurut pandangan sebagian Murji’ah, kemunafikan tidak ada, baik itu nifaq akbar maupun nifaq ashgar. Sufyan Ats-Tsauri (raḥimahullāh) berkata, “Perbedaaan antara kita dan Murji’ah ada tiga. Kita berkata iman adalah perkataan dan perbuatan, sedangkan mereka berkata bahwa dia hanya perkataan tanpa perbuatan. Kita berkata iman bertambah dan berkurang, sedangkan mereka berkata bahwa dia tidak bertambah dan tidak berkurang. Kita berkata kemunafikan itu ada, sedangkan mereka berkata bahwa kemunafikan itu tidak ada” [Shifah an-Nifāq – Al-Firyabi].11
Al-Hasan Al-Bashri (rahimahullāh– w. 110 H) diberitahu tentang orang-orang yang mengklaim bahwa kemunafikan tidak ada dan mereka tidak takut nifaq.
Dia berkata, “Demi Allah, mengetahui bahwa aku terbebas dari kemunafikan lebih aku cintai daripada memiliki emas sepenuh bumi” [as-Sunnah – Al-Khallal]. Selain itu, beliau berkata, “Tidak berlalu atau tidak akan pernah berlalu seorang mu’min, kecuali ia takut kemunafikan, dan tidak berlalu atau tidak akan pernah berlalu seorang munafik, kecuali ia merasa aman dari kemunafikan. Barangsiapa yang tidak takut dirinya jatuh ke dalam kemunafikan, maka ia adalah seorang munafik” *Shifah an-Nifāq – Al-Firyabi].
Salah seorang Murji’ah berkata di depan Ayyub As-Sikhtiyani (rahimahullāh– w. 131 H), “Hanya ada
kufur dan iman,” maksudnya tidak ada kemunafikan.
Ayyub berkata kepadanya, “Pergi dan bacalah Al-Qur’an!  Setiap ayat yang menyebut kemunafikan,
maka aku takut ia terjadi pada diriku!” *al-Ibānah al- Kubrā – Ibnu Baththah].
Hudzaifah ibnu Al-Yaman (radhiyallāh ‘anhu) memperingatkan firqah-firqah yang akan muncul di masa mendatang. Beliau berkata, “Satu firqah akan mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan keimanan kami setara dengan malaikat. Tidak ada kekafiran ataupun kemunafikan di antara kami.’
Sungguh pantas bagi Allah (‘Azza wa Jalla) untuk mengumpulkan mereka bersama Dajjal” [as-Sunnah –Al-Khallal].
Ibnu Mas’ud (radhiyallāhu ‘anhu) berkata, “Mereka berkata, ‘Tidak ada kafir atau munafik di antara kami.’ Semoga Allah menghancurkan kaki mereka” [al -Ibānah al-Kubrā – Ibnu Baththah].
Imam Ahmad (raḥimahullāh) mencatat bahwa di antara perkara yang disangkal Murji’ah ialah penjelasan mengenai kemunafikan; beliau lalu berkata, “Waspadalah agar Murji’ah tidak menggelincirkanmu dari urusan agamamu” [as-Sunnah – Al-Khallal].
Murji’ah yang menyangkal kemunafikan terbagi dalam dua jenis yang berbeda. Satu firqah – Karramiyyah – menyatakan bahwa iman itu hanya perkataan lisan bahkan walau hati mengandung nifaq akbar.
Mereka menyebut munafik pada masa Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) mu’min, meskipun mereka mereka meyakini “orang-orang mu’min” ini akan masuk neraka. Firqah lain mengaku bahwa iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Pengakuan ini menuntut untuk meniadakan nifaq ashghar, sebab keberadaannya pada diri sesorang mengharuskan imannya berkurang. Justru eksistensi kemunafikan –baik akbar maupun ashghar – berasal dari perkara yang sangat terang yang dijelaskan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain Surat Al-Munaafiquun dan Surat At-Taubah, terdapat sejumlah ayat dan hadits yang menjelaskan fenomena ini.
Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi w
a sallam) bersabda, “Perumpamaan orang munafik ialah seperti anak domba yang ragu di antara dua kawanan domba, terkadang mendatangi kawanan ini dan terkadang kawanan lainnya” [HR. Muslim dari Ibnu ‘Umar]. Dalam riwayat lain, “Ia tidak tahu kelompok mana yang harus diikuti” [Shahih: HR. An-Nasa’i dari Ibnu ‘Umar].
Hadits ini menunjukkan bahwa munafik mengembara di zona abu-abu, yaitu di antara kufur dan iman.
Beliau (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) juga bersabda, “Sesungguhnya mayoritas orang-orang munafik dari  umatku ialah qurrā`-nya” *Hasan: HR. Imam Ahmad dari ‘Abdullah ibnu ‘Amr-. Al-Bukhari (raḥimahullāh) berkata bahwa orang-orang munafik dari al-qurrā` ini meliputi, “al-Qurrā` yang meniadakan sifat-sifat Allah, Jahmiyyah, pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah), selain yang lainnya” [Khalq Af’āl al-‘Ibād]. Istilah alqurrā` dipergunakan pada masa sahabat terhadap para ulama ahli agama, karena para ulama dikenal  dengan hafalan, bacaan, dan pemahaman Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan dalam hadits, “al-Qurrā` -baik senior maupun yunior – adalah anggota Majelis Syura di masa ‘Umar” [Shaḥīḥ al-Bukhārī].
Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) bersabda, Munafik yang pandai berbicara ini termasuk para ulama yang menyesatkan yang disebutkan dalam hadits lain. Abu Dzar (radhiyallāhu ‘anhu) meriwayatkan bahwa ketika ia berjalan bersama dengan Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam), Nabi berkata tiga kali, “Sesungguhnya, ada yang lebih kutakutkan atas umatku melebihi Dajjal.” Abu Dzar bertanya kepada beliau, “Apa yang lebih engkau takutkan atas umatmu daripada Dajjal?” Beliau menjawab, “Para imam yang menyesatkan” *Shahih: HR. Imam Ahmad dari Abu Dzar].

Ahli bid’ah juga mempunyai banyak sifat nifaqashghar – merupakan suatu dosa besar – selain kebanyakan dari mereka telah menjadi munafik yang penuh dan zindiq. Hal ini karena akar bid’ah ialah kekafiran dan merupakan pintu gerbang ke arah kekafiran. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (raḥimahullāh) berkata, “Bid’ah-bid’ah berasal dari kekafiran, karena tidak ada pendapat yang bid’ah kecual i ia membawa cabang –cabang kekafiran” [Minhāj as-Sunnah]. Selain itu, bid’ah ialah sikap antara Islam yang murni dan kufur yang nyata… lagi-lagi zone abu-abu kemunafikan.
Al-Fudhail ibnu ‘Iyadh (raḥimahullāh) berkata, “Ketika aku melihat seseorang dari Ahlus Sunnah, maka seolah-olah aku melihat seseorang dari sahabat Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam); dan ketika aku melihat seseorang dari ahli bid’ah, maka seolah-olah aku melihat seseorang dari kaum munafik” [Syarḥ as-Sunnah – Al-Barbahari]. Beliau juga berkata, “Tanda-tanda kemunafikan ialah seorang pria berjalan dan duduk bersama dengan seorang ahli bid’ah” *al-Ibānah al-Kubrā – Ibnu Baththah].
Abu Qilabah (rahimahullāh - w. 104 H) berkata, “Aku tidak menemukan satu perumpamaan pun bagi ahli  bid’ah selain kemunafikan, sebab Allah telah menyebutkan kemunafikan sebagai kata-kata dan perbuatan yang saling bertentangan” [as-Sunnah – Al-Khallal].

Ibnu Taimiyyah (raḥimahullāh) juga berkata, “Ketika ahli bid’ah memiliki kekuatan, mereka serupa dengan orang-orang kafir dalam memandang halal membunuh orang-orang mu’min dan mengkafirkan mereka, seperti yang dilakukan oleh Khawarij, Rafidhah, Mu’tazilah, Jahmiyyah, dan cabang-cabangnya.
Beberapa dari mereka berperang ketika mereka merupakan kelompok yang kuat, seperti Khawarij dan Zaidiyyah. Kelompok lainnya berusaha untuk membunuh individu-individu lawannya dengan memanfaatkan kekuasaan mereka atau lewat tipu muslihat. Ketika mereka lemah, mereka serupa dengan orang-orang munafik. Mereka memanfaatkan tipu muslihat dan kemunafikan, seperti halnya kondisi orang-orang munafik. Hal itu karena bid’ah berasal dari kekafiran, karena ketika musyrikin dan Ahli Kitab memiliki kekuatan, mereka mengobarkan perang melawan orang-orang  beriman, dan ketika lemah, mereka berlaku munafik” [al-Fatāwā al-Kubrā].
Maka Sallam ibnu Abi Muthi’ (rahimahullāh– w. 173 H) berkata bahwa ulama Salaf “Ayyub [As-Sikhtiyani] akan menyebut semua ahli bid’ah sebagai Khawarij; Dia akan berkata, ‘Khawarij berbeda dalam nama tapi bersepakat dalam pedang’” [Al-Lalika`i].
Dan hukum untuk memerangi ahli bid’ah jika mereka mengangkat senjata sangat dikenal. Perang melawan Khawarij adalah sunnah Khalifah Rasyidah keempat ‘Ali ibnu Abi Thalib (radhiyallāhu ‘anhu). Beliau membawa Sunnah Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) terhadap para pengklaim Islam di mana hati mereka dijangkiti bid’ah dan kemunafikan.
Pendiri Khawarij (Dzul Khuwaishirah) berkata kepada Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam), “Ya Muhammad, berlaku adillah!” ‘Umar ibnu Al-Khaththab (radhiyallāhu ‘anhu) kemudian berkata, “Ya Rasulullah, izinkan aku membunuh munafik ini.” Beliau menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar orang-orang tidak mengatakan bahwa aku membunuh sa-habat-sahabatku. Orang ini dan sahabat-sahabatnya membaca Al-Qur’an namun tidak melebihi tenggorokan mereka. Mereka meninggalkan agama seperti panah yang lepas dari busur” [HR. Muslim dari Jabir ibnu ‘Abdillah]. Di sini Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) tidak mencela ‘Umar yang menyebut orang tersebut munafik, namun Nabi mendukung tuduhan ‘Umar dengan menjelaskan sifat kemunafikan: amal-amal  agama yang tidak mempunyai realita di dalam hati – membaca Al-Qur’an yang tidak lebih melewati tenggorokan saja. Beliau mencegah ‘Umar untuk membunuh pendiri firqah sesat ini merujuk pada alasan yang sama untuk tidak membunuh tokoh munafik terkenal (‘Abdullah ibnu Ubay) Ibnu Salul yang berkata, “Jika kita kembali ke Madinah, orang-orang yang paling mulia pasti akan mengusir orang-orang yang paling hina darinya.” Ketika ‘Umar meminta izin untuk membunuh Ibnu Salul, Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) mengatakan kepadanya untuk tidak melakukannya “agar orang-orang tidak mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabatsahabatnya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir ibnu ‘Abdillah].

Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) bersabda, “Mereka [Khawarij] akan membunuh ahli Islam dan membiarkan ahli syirik. Jika aku mencapai zaman itu, aku akan membunuh mereka [sehingga mereka musnah+ seperti musnahnya kaum ‘Ad” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudhri].

Hadits-hadits di atas menunjukkan kesamaan antara  kemunafikan dan kebid’ahan serta keumuman akar  mereka. Riwayat terakhir juga menunjukkan Sunnah  Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) terhadap  Khawarij.
Sekali lagi, beberapa Murji’ah modern berada dalam kebingungan. Mereka memandang bahwa meninggalkan jihad benar-benar sifat kemunafikan, dan karena orang-orang munafik modern ikut serta dalam pertempuran dan menjaga garis depan, mereka tidak akan memandangnya sebagai munafik.
Mereka lupa bahwa Dzul Khuwaishirah dan ‘Abdullah ibnu Salul ikut serta dalam pertempuran dahsyat, Khawarij berperang di atas kesesatannya, dan orang-orang munafik Badui berperang selama Perang Riddah dari pihak Musailamah dan orang-orang yang menolak membayar zakat. Orang-orang munafik meninggalkan pertempuran ketika mereka tidak mendapatkan hasil dunia sebagai timbal baliknya, ketika tidak sesuai dengan kepentingan kemunafikannya, dan ketika kesukaran yang dihadapi  terasa sulit bagi mereka.

Hudzaifah (radhiyallāhu ‘anhu) mendengar seseorang berdo’a, “Ya Allah, lenyapkanlah orang-orang munafik.” Hudzaifah berkata kepadanya, “Jika mereka dilenyapkan, kamu tidak akan bisa membalaskan dendam secara tepat terhadap musuhmusuhmu” [as-Sunnah – Al-Khallal].

Hal ini berhubungan dengan hadits dari Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam), “Sesungguhnya Allah akan mengokohkan agama ini melalui orang-orang yang tidak mempunyai bagian apa pun dari agama ini” [Hasan: HR. Imam Ahmad dari Abu Bakrah]. Abu Hurairah (radhiyallāhu ‘anhu) berkata, “Kami ikut dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam). Beliau berkata tentang orang yang mengaku Islam, ‘Orang ini berasal dari ahli neraka.’ Ketika pertempuran berlangsung, orang tersebut berperang dengan hebatnya hingga dia terluka.

Dikatakan, ‘Ya Rasulullah, orang yang engkau katakan termasuk ahli neraka pada hari ini berperang dengan hebatnya dan telah mati.’ Lalu Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) bersabda, ‘Dia masuk neraka.’ Sebagian orang hampir meragukannya.

Ketika dalam situasi seperti itu, mereka diberitahu, ‘Dia tidak mati. Dia menderita luka parah dan ketika malam tiba, dia tidak tahan akan luka-lukanya, maka dia membunuh dirinya.’ Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) diberitahu mengenai hal ini dan berkata, ‘Allahu akbar! Aku bersaksi bahwa aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.’ Beliau kemudian meminta Bilal agar mengumumkan kepada manusia bahwa,  ‘Sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali jiwayang Muslim’ dan ‘Sesungguhnya Allah menolong agama ini melalui orang-orang fajir.’” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

Fajir ialah orang yang melakukan perbuatan fujūr [keburukan], yang merupakan salah satu sifat kemunafikan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam), “Jika empat sifat terdapat pada diri seseorang maka ia seorang munafik tulen. Jika berbicara ia berdusta, jika diberi amanat ia khianat, jika berjanji ia melanggarnya, dan jika berdebat ia berlaku fajar (melakukan fujūr)” *HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah ibnu ‘Amr+. Ibnu Rajab berkata, “Yang dimaksud dengan fujūr ialah ia secara sengaja meninggalkan kebenaran sampai batas kebenaran menjadi kebatilan dan kebatilan menjadi kebenaran. Ini berasal dari perkara di mana kedustaan mengarahkannya, sebagaimana Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) bersabda, ‘Janganlah berdusta, karena berdusta mengarahpada fujūr dan fujūr mengarah ke neraka’[Jāmi’ al-‘Ulūm wal-Ḥikam]. An-Nawawi berkata seraya mengomentari kata fajar, “Artinya ia cenderung menjauh dari kebenaran dan berkata batil dan dusta” [Syarḥ Shaḥīḥ Muslim].

Riwayat-riwayat di atas mengindikasikan bahwa kaum munafik bisa saja ikut dalam jihad dan bahkan bisa menentukan dalam kemenangan sejumlah pertempuran.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang munafik yang berkata, ,“Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir”- [QS. Al-Baqarah: 8] tetapi bukan orang yang beriman adalah mereka yang berada di luar orang-orang yang beriman. Mereka shalat bersama manusia. Mereka melaksanakan haji dan berpartisipasi dalam peperangan. Muslimin dan orang-orang munafik saling menikah dan mewarisi.” [Majmū’ al-Fatāwā].

Imam Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab berkata, “Orang-orang munafik pada masa Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) melakukan jihad fī sabīlillāh dengan harta dan jiwanya, shalat lima kali sehari bersama Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam), dan melaksanakan haji bersama beliau” [ad-Durar as-Saniyyah].

Lebih lanjut, di dalam sejumlah ayat Al-Qur’an terungkap hal berkenaan dengan orang-orang munafik yang berpartisipasi dalam Perang Tabuk dan Bani Al-Musthaliq, termasuk: {Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakan: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa} [QS. At-Taubah : 65-66]. {Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam, dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi} [QS. At-Taubah : 74], dan {Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga…- (QS. An-Nūr : 11). Ayat terakhir dan yang lainnya dari Surat An-Nūr mengungkap peristiwa di mana orang-orang munafik mulai melakukan serangan dengan memfitnah Ummul Mu’minin, ‘Aisyah (radhiyallāhu ‘anhā). Ini terjadi selama sariyah Perang Bani Al-Musthaliq.

Sikap Irja Para Pengklaim Jihad”
Bila seseorang memperhatikan medan perang Syam, maka ia akan melihat bahwa faksi-faksi militer sebelum ekspansi resmi Daulah Islam umumnya terjatuh ke dalam empat kategori:

1) Faksi-faksi Islam dengan agenda internasional.
2) Faksi-faksi “Islam” dengan agenda nasionalis.
3) Faksi-faksi nasionalis dengan agenda “Islam”.
4) Faksi-faksi sekuler dengan agenda demokrasi.

Kategori pertama mencakup semua faksi Islam yang benar-benar menerima muhajirin dan tidak takut akan kehadiran mereka. Kategori kedua mencakup semua faksi yang menawarkan agenda “Islami” tetapi bercampur dengan elemen-elemen dan berbagai tingkat nasionalisme. Kategori ketiga mencakup semua faksi yang menawarkan agenda nasionalis dengan menggunakan bahasa dan budaya “Islami” sebagai inspirasi dan justifikasi dalam propaganda mereka; mereka mengklaim bahwa mereka bukan sekuleris12. Perbedaan antara kategori kedua dan ketiga hampir tidak ada kecuali para pemimpin mereka pada faksi-faksi kategori kedua mempunyai latar belakang “Salafi” dan tentara mereka memperlihatkan sikap lebih religius dalam “amal.” Kategori keempat mencakup faksi-faksi yang secara resmi masuk ke dalam Dewan Militer Tertinggi – Tentara Pembebasan Suriah (FSA) yang berbasis di Turki.

Tidak diragukan di antara kebanyakan pejuang yang masuk ke dalam kategori pertama bahwa pejuang kategori keempat termasuk murtad13. Yang jadi masalah bagi orang-orang yang terjangkiti Irja’ umumnya pada kategori kedua dan ketiga yang semuanya menerima bantuan, baik secara pribadi (tetapi diketahui oleh faksi-faksi lain) maupun secara publik, dari rezim-rezim Arab, Barat, Turki, Koalisi Nasional Suriah (SNC), FSA, Ikhwanul “Muslimin”, Sururiyah (sebenarnya ‘salafi’ versi Ikhwanul ‘Muslimin’) dan para ulama istana Saudi.

Banyak dari pemimpin faksi ‘Islam’ dan Nasionalis berasal dari anggota SNC, FSA, dan Ikhwanul ‘Muslimin’, meskipun keanggotaan ini dalam kebanyakan kasus tetap bersifat tidak resmi, tetapi masih tetap diketahui benar oleh faksi-faksi lain.

Baik kawan ataupun lawan tidak bisa membantah hubungan, dukungan, dan keanggotaan ini. Terlepas dari itu semua itu, kebanyakan faksi ini secara internal dijangkiti bid’ah (beberapa di antaranya adalah kekafiran) namun bid’ah mereka tidak pernah menjadi aqidah “resmi” mereka. Faksi-faksi “Islam” terjangkiti Sururiyyah, Jamiyyah (“Salafiyyah” pro-Saudi), dan Irja’. Faksi-faksi nasionalis terjangkiti Jahmiyyah (Irja’ ekstrim dan penafian sifat-sifat Allah), Ikhwaniyyah (manhaj Ikhwanul “Muslimin”), Sufisme, dan Quburiyyah (penyembah kuburan).

Kemudian muncullah kemunafikan… Faksi-faksi nasionalis dan “Islam” mengatakan mereka independen dari SNC dan FSA yang berbasis di Turki, tetapi mendapat dukungan dari kepemimpinan SNC dan FSA.
Perwakilan dari SNC dan FSA yang berbasis di Turki mengunjungi markas-markas besar faksi-faksi di Syam ini. Para pemimpin faksi-faksi ini pun akan mengunjungi hotel-hotel yang ditempati SNC dan FSA di Turki.

Para pemimpin faksi ini juga secara teratur akan diterima sebagai tamu oleh diplomat Arab di Qatar dan Arab Saudi. Sekali lagi, semua faksi – termasuk front Jaulani – mengetahui bahwa faksi-faksi “Islam telah mengadakan hubungan timbal balik dengan rezim-rezim murtad Arab termasuk diplomat, intelijen, media, dan “ulama,” di mana kebanyakan bersifat terbuka. Semua faksi sesat ini secara reguler mengklaim menerima sekedar bantuan “tidak bersyarat” dari para beking mereka. Faksi-faksi “Islam” dan nasionalis juga menyatakan satu sama lain bersaudara dan mengklaim berbeda dengan SNC dan FSA atas dalih politik dan militer.

Selain itu, para pemimpin faksi-faksi “Islam” dan nasionalis ini membuat pernyataan-pernyataan sesat disertai kekafiran yang implisit (samar-samar), atau lebih buruk lagi, terkadang kekafiran yang eksplisit (jelas).

Ketika dihadapkan, mereka akan menarik kembali ucapan mereka, mendistorsinya ke arah makna yang lebih “diinginkan”, atau terkadang membela kebatilan mereka dengan argumen-argumen yang “syar’ī”.

Faksi-faksi yang beragam ini – meskipun memiliki kekuatan – tetapi tidak pernah engimplementasikan syari’at Allah di wilayah yang mereka “bebaskan”. Sebaliknya, mereka akan mengadakan komite-komite dan mahkamah-mahkamah “syar’ī” dan “mutual (timbal-balik)” yang tengah “merencanakan” – lebih dari dua tahun – untuk mengimplementasikan syari’at namun tidak akan melaksanakan hudud, amar ma’ruf, dan nahi mungkar, baik karena komite mengklaim bukan waktu yang tepat untuk melakukannya atau karena mahkamah menghukumi hanya ruang lingkup kehidupan tertentu (sehingga tidak akan berbenturan dengan emosi massa dan tidak bertentangan dengan kepentingan faksi -faksi lain). Komite-komite dan mahkamah-mahkamah ini terdiri dari qadhi yang berbeda-beda dari berbagai latar belakang yang sesat yang telah disebutkan sebelumnya: Sururiyyah, Jamiyyah, Murji’ah, Jahmiyyah, Al-Ikhwan, Sufiyyah, Quburiyyah, dan bahkan pengacara-pengacara sekuler, dan lebih buruk lagi, hakim-hakim sekuler yang baru-baru ini hanya meninggalkan rezim Ba’ats tetapi tidak pernah bertaubat dari kemurtadan! Semua ini – selain “ulama” para pengklaim jihad – ditugaskan untuk mengimplementasikan syari’at bersama-sama…

Faksi-faksi nasionalis pun di dalam barisan mereka memiliki sejumlah besar tentara yang tidak berpuasa Ramadhan dan beroperasi layaknya seperti geng-geng yang menyiksa penduduk Muslim yang berhubungan dengan jiwa, harta, dan keluarga.

Kemudian Ash-Shahwah diluncurkan dan orang-orang munafik dan bid’ah sesat ini menyerang muhajirin dan anshar Daulah Islam. Mereka melakukannya bersama-sama dan secara kooperatif dengan dewan-dewan militer FSA, Front Revolusioner Suriah pimpinan Jamal Ma’ruf, PKK Marxis, serta media dan “ulama” para thaghut Arab. Mereka bahkan secara terbuka berterima kasih kepada para thaghut Arab atas bantuan mereka.

Jadi, apa yang dilakukan oleh para pengklaim jihad Murji’ah di Syam? Mereka mengklaim bahwa faksi-faksi murtad (yang keluar bersama kemunafikan mereka dan melakukan kemurtadan) harus diperlakukan persis seperti kebanyakan muhajir mujahid pendahulu dan shalih. Intinya, mereka membuat  pengklaiman Irja’ yang baru, “Iman ‘Abdullahibnu Ubay (Ibnu Salul) dan Abu Bakar Ash-Shiddiq sama,” dan akhirnya, jika Ibnu Salul hidup pada masa Khilafah Ash-Shiddiq dan memerangi Muhajirin dan Anshar selama Perang Riddah, maka Ash-Shiddiq harus membuat suatu mahkamah independen dan mutual untuk menghukum antara dirinya dan Ibnu Salul agar bisa memperlihatkan apakah Ibnu Salul melakukan kemurtadan atau tidak, sekalipun semua sifat nifaq akbar Ibnu Salul nyata tergambar dalam perjalanan hidupnya sebelum pemberontakannya. Lebih parah lagi, mahkamah independen dan mutual harus memasukkan hakim-hakim dari munafik lainnya – yang tidak diragukan lagi menghormati Ibnu Salul – dengan syarat mereka tidak termasuk suku yang sama dengan Ibnu Salul. Mahkamah “independen” ini harus pula memperlihatkan bahwa Ash-Shiddiq telah melakukan ketidakadilan terhadap Ibnu Salul!

Selain itu, setiap perkataan dan perbuatan kufur yang dibuat oleh faksi-faksi munafik setelah kemunculan Ash-Shahwah – dan dalam banyak kasus sebelum itu – akan ditafsirkan kembali ke arah pengertian yang lebih diinginkan supaya ada pembenaran atas aliansi para pengklaim jihad dengan Shahwah murtad melawan Daulah Islam. Jika mereka berkata, “Kami berperang untuk demokrasi, sebuah negara sipil, dan menginginkan dukungan Amerika melawan Daulah Islam. Kami melawan terorisme”, maka mereka berkata, “Barangkali mereka berpikir bahwa demokrasi adalah syura dan negara sipil adalah kebalikan daripada negara polisi. Dan barangkali mereka menginginkan bantuan tidak bersyarat melawan Khawarij di mana sebagian ulama mengkafirkan mereka. Dan barangkali yang dimaksud terorisme ialah terorisme terhadap Muslimin. Pada akhirnya, mereka semua diuzur disebabkan kebodohan mereka dan wajib untuk memperlakukan mereka sebagai Muslim mujahid sepenuhnya hingga mahkamah independen/mutual berdiri. Barangsiapa yang mengkafirkan mereka atau secara tidak langsung mengkafirkan, maka mereka adalah Khawarij!”

Akhirnya, uzur kebodohan menjadi tameng para pengklaim jihad untuk membela faksi-faksi munafik yang kemurtadannya tampak nyata serta – dalam banyak kasus – untuk membela faksi-faksi yang secara nyata sekularis; semua melawan Daulah Islam!14

Jika seseorang menunjuk faksi-faksi ini tidak berhukum dengan syari’at meskipun mereka menguasai daerah “yang dibebaskan” dan berperang melawan negara yang telah mengimplementasikan syari’at, para pengklaim jihad akan mengatakan bahwa Syam adalah Darul Harb15 dan hudud tidak boleh diberlakukan di sana! Yang lainnya akan berkata bahwa jihad defensif melawan orang-orang yang melanggar kehidupan kaum Muslimin dan keluarga mereka lebih didahulukan daripada menegakkan tauhid (syari’ah), seolah-seolah kedua kewajiban saling bertentangan satu sama lain!

Jika seseorang menyatakan bahwa sebagian faksi ini memiliki seluruh unit tentara yang tidak shalat lima kali sehari ataupun shaum Ramadhan dan hanya membunuh Muslimin dan merampas harta mereka, niscaya mereka akan merespon bahwa lima puluh tahun hidup di bawah kekuasaan Ba’ats, maka orang harus menguzur faksi-faksi ini karena “kesalahan-kesalahan” mereka dan percayakan kepada mereka dalam menghadapi musuh bersama, yaitu Daulah Islam!

Jadi, para pengklaim jihad melebih-lebihkan konsep penguzuran karena kejahilan hingga mencakup dasar pokok agama (dasar-dasar syahadatain), prinsip-prinsip terkenal (keimanan, kewajiban, dan larangan yang diketahui), dan realita-realita yang diketahui oleh orang-orang awam saat ini (seperti arti demokrasi, mekanisme sistem demokrasi, dan kesekuleran SNC dan FSA). Mereka juga mereduksi bahayanya meninggalkan rukun-rukun Islam dan penerapan syari’at secara umum. Selain itu, mereka pun menolak fenomena kemunafikan dalam hukum praktis.

Irja’ sesat ini menjadi kekuatan yang menggerakkan para pengklaim jihad di Syam (Jabhah Jaulani) untuk mendukung kemurtadan Ash-Shahwah dalam perang melawan Daulah Islam! Hukum atas hal ini diketahui dengan jelas; Imam Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab (raḥimahullāh) berkata bahwa salah satu pembatal keislaman ialah “membantu dan menolong kaum musyrikin dalam melawan kaum Muslimin.

Dalilnya ialah firman Allah (Ta’ala), “Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali (pemimpin, kawan, penolong), maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka” [QS. Al-Maaidah : 51) Nawāqidh al-Islām). Maka para pengklaim jihad membuat agama mereka lebih tipis daripada pakaian paling tipis hingga mereka telanjang dari agamanya dan memperlihatkan diri seperti rekan pendamping mereka Shahwah.

Sayangnya, intelijen Barat dan Arab dapat memanfaatkan Irja’ di Syam ini dengan duduk di belakang dan menonton sementara para pengklaim jihad berperang melawan Daulah Islam dan membela Ash-Shahwah. Mereka berharap untuk mengulangi pengalaman di negeri jihad lainnya, tetapi mereka lupa bahwa Allah (Ta’ala) berfirman, ,Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki, selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai} [QS. At-Taubah : 32].


[5] Perkataan beliau menjelaskan bahwa penolakan yang kuat terhadap larangan-larangan ini adalah kufur akbar. Adapun bagi perbuatan judi, riba, atau zina semata, maka hal seperti ini berdosa namun bukan kufur akbar.

[6] Fakta bahwa Ka’bah berada di Makkah, Nabi Muhammad (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) berasal dari Quraisy, beliau tinggal di Madinah (setelah beliau berhijrah dari Makkah) dan makam beliau berada di Madinah, ialah sesuatu yang diketahui Muslimin di mana saja, bahkan diketahui oleh banyak orang Yahudi dan Nasrani. Jadi, bagaimana mungkin seseorang mengaku bodoh tentang hal ini sementara dia tinggal di Darul Islam selama pemerintahan para khalifah Umayyah dan ‘Abbasiyyah serta zaman di mana hidup mayoritas fuqaha’, dan berdiri di depan Ka’bah di dalam Masjidil Haram!

[7] Uzur karena kebodohan adalah konsep syar’ī tetapi tidak dalam bentuk ghuluw yang diberikan oleh Murji’ah. Lihat kutipan dari Imam Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab pada halaman 48 sebagai penjelasan mengenai pengaplikasian konsep secara benar.

[8] Menurut Ahlus Sunnah, iman dapat bertambah dan berkurang pada tingkat hati, lisan, dan anggota badan, dalam perkataan dan perbuatan, tidak hanya pada tingkat ma’rifat yang berhubungan dengan perkara ‘aqidah yang berbeda-beda.

[9] Lihat pula Surat An-Naml ayat 42-43, Surat Hud ayat 25-29, tafsir Abu Ja’far Ath -Thabari (rahimahullāh– w. 310 H) – imam mufassirīn – dalam beberapa ayat yang dikutip di dalam artikel ini, dan kitab “at-Tabshīr fī Ma’ālim Ushūl ad-Dīn.”

[10] Lihat pula Dabiq edisi #7 halaman 22-23. Para ulama telah menyebutkan bahwa ilmu, ketundukan, keikhlasan – selain perkara lainnya – merupakan syarat atas syahadatnya. Syarat-syarat ini berlawanan dengan kebodohan, meninggalkan amal secara total, dan syirik. Maka, bagaimana mungkin seseorang yang melakukan amal syirik atau meninggalkan shalat dipandang sebagai seorang Muslim?

[11] Untuk bacaan, lihat pula Dabiq edisi #7 halaman 62-66 tentang sifat-sifat nifaq akbar yang dilalaikan oleh para partisan dan dalil-dalil dari Al-Qur’an mewajibkan jihad melawan orang-orang munafik jika mereka terlihat melakukan tindak kemunafikan.

[12] Mereka adalah faksi-faksi nasionalis, agar membedakan mereka dari faksi-faksi yang menyatakan secara terbuka sekularis/demokratis.

[13] Karena tabi’at dasar rakyat Suriah, faksi-faksi sekularisme murtad ini tidak begitu efektif dalam menyimpangkan jihad. Kelompok-kelompok murtad yang berbasis di Turki – FSA dan SNC – harus lebih mengandalkan pada kategori kedua dan ketiga untuk mendapatkan pengaruh atas situasi di Syam. Mereka memanfaatkan hubungan dan bantuan mereka untuk tujuan ini. Faksi-faksi sekularisme murtad – Dewan Militer FSA dan berbagai batalyon mereka – pada umumnya memudar oleh faksi-faksi munafik yang mengklaim memiliki agenda dan budaya lebih “Islami”.

Catatan: Faksi-faksi munafik merujuk pada alasan-alasan sejarah. Mereka kemudian berpindah dari zone abu-abu kemunafikan menuju kegelapan kemurtadan, baik dalam perkataan maupun perbuatan, setelah mereka meraih “kebebasan” untuk keluar bersama dengan kekafiran mereka lewat Shahwah.

[14] Jika kebodohan termasuk uzur bagi Murji’ah kontemporer, apa yang akan menghalangi sebagian dari mereka untuk menguzur Dajjal karena kebodohan ketika dia mengklaim nabi dan tuhan sebagai alasan untuk berperang bersama dengan dia melawan orang-orang yang mengkafirkannya?

[15] Ibnu Qudamah (raḥimahullāh) berkata, “Hudud diterapkan di daerah tsughūr (pos terdepan di garis depan). Tidak ada perbedaan yang kami ketahui berkaitan dengan masalah ini. Ini karena tsughūr merupakan negeri Islam dan terdapat kebutuhan untuk mencegah penduduknya melakukan perbuatan dosa, persis sebagaimana halnya untuk mencegah penduduk lainnya. ‘Umar menulis surat kepada Abu ‘Ubaidah yang isinya memerintahkannya untuk mencambuk delapan puluh kali orang yang meminum khamr. Ini terjadi ketika Abu ‘Ubaidah berada di Syam dan daerah tersebut termasuk tsughūr” *al-Mughnī+. Jika Muslimin ahli tsughūr berasal dari Darul Islam, apalagi daerah-daerah yang dijaga oleh tsughūr? Orang-orang Murji’ah mendistorsi pengertian Darul Harb menjadi pengertian sebuah negeri yang sedang dilanda perang, padahal istilah tersebut hanya merujuk pada negeri yang diperintah oleh orang-orang kafir yang tidak memiliki perjanjian dengan Muslimin, bahkan jika negeri tersebut sedang tidak dilanda perang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...