Masjid Dhiror
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَٱلَّذِينَ
ٱتَّخَذُواْ مَسۡجِدٗا ضِرَارٗا وَكُفۡرٗا وَتَفۡرِيقَۢا بَيۡنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
وَإِرۡصَادٗا لِّمَنۡ حَارَبَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ مِن قَبۡلُۚ وَلَيَحۡلِفُنَّ
إِنۡ أَرَدۡنَآ إِلَّا ٱلۡحُسۡنَىٰۖ وَٱللَّهُ يَشۡهَدُ إِنَّهُمۡ لَكَٰذِبُونَ
١٠٧
“Dan
(di antara orang-orang munafik itu) ada orang yang mendirikan masjid untuk
menimbulkan kemadharatan (pada orang-orang Mukmin), untuk kekafiran dan memecah
belah antara orang-orang Mukmin serta menunggu kedatangan orang yang telah
memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah,”kami
tidak menghendaki selain kebaikan.”Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya
mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya)”. [at-Taubah/9:107]
Ibnu
Mardawaih rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Ishâq rahimahullah yang berkata,
“Ibnu Syihâb az-Zuhri menyebutkan dari Ibnu Akîmah al-Laitsi dari anak saudara Abi Rahmi al-Ghifâri Radhiyallahu ‘anhu. Dia mendengar Abi Rahmi al-Ghifâri Radhiyallahu ‘anhu – dia termasuk yang ikut baiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Hudaibiyah – berkata,
“Ibnu Syihâb az-Zuhri menyebutkan dari Ibnu Akîmah al-Laitsi dari anak saudara Abi Rahmi al-Ghifâri Radhiyallahu ‘anhu. Dia mendengar Abi Rahmi al-Ghifâri Radhiyallahu ‘anhu – dia termasuk yang ikut baiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Hudaibiyah – berkata,
“Telah
datang orang-orang yang membangun masjid dhirâr kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, pada saat beliau bersiap-siap akan berangkat ke Tabuk.
Mereka berkata, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami telah
membangun masjid buat orang-orang yang sakit maupun yang mempunyai keperluan
pada malam yang sangat dingin dan hujan. Kami senang jika engkau mendatangi
kami dan shalat di masjid tersebut.”
Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,” Aku sekarang mau berangkat
bepergian, insya Allah Azza wa Jalla setelah kembali nanti aku akan mengunjungi
kalian dan shalat di masjid kalian.”
Kemudian
dalam perjalanan pulang dari Tabuk, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
beristirahat di Dzu Awan (jaraknya ke Madinah sekitar setengah hari
perjalanan). Pada waktu itulah Allah Azza wa Jalla memberi kabar kepada beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masjid tersebut (dan larangan shalat di
dalamnya) dengan menurunkan ayat ini.
[Lubâbun-Nuqûl fî Asbâbin-Nuzûl (Hal.115)]
Sebelum
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, di kota suci ini
ada seorang laki-laki dari bani Khazraj berjuluk Abu Amir ar-Râhib.
Lelaki ini pada masa
jahiliyah beragama Nasrani dan mempelajari kitab-kitabnya, sehingga dia
termasuk orang yang tekun beribadah pada masa itu. Di sisi lain dia juga
mempunyai kedudukan dan pengaruh besar dalam kabilahnya.
Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, kaum Muslimin
bersatu di bawah tampuk kepemimpinan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ;
sehingga Islam menjadi kuat, apalagi setelah Allah Azza wa Jalla memenangkannya
pada waktu perang Badar.
Melihat
keadaan seperti ini Abu Amir tidak rela, sehingga dia menampakkan permusuhannya
terhadap kaum Muslimin; sampai-sampai dia pergi ke Mekah menemui orang-orang
kafir Quraisy untuk mengajak memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan kaum Muslimin di Madinah.
Mereka
pun setuju dan kemudian menyusun kekuatan; hingga terjadilah perang Uhud. Dia
juga mengajak kaum Anshar untuk bekerja sama dan menyetujui pemikirannya. Namun
ketika mereka mengetahui maksud buruknya, mereka berkata "Wahai musuh
Allah Azza wa Jalla, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikanmu sebagai orang yang
dibenci setiap orang yang melihatmu”, Mereka mencaci-maki dan mencelanya; lalu
dia pulang dan berkata, ”Demi Allah Azza wa Jalla, kejelekan telah menimpa
kaumku”.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengajaknya untuk masuk Islam serta
membacakan al-Qur’ân kepadanya sebelum dia lari ke negeri Romawi. Meskipun
demikian, dia tetap menolak masuk Islam, [Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 /
Hal.210-211)]
bahkan mengatakan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku tidak menemui suatu kaum yang
memerangimu kecuali aku bersama mereka”.[Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.425)]
Maka beliau mendoakan dia
agar mati di tempat yang jauh dalam keadaan terusir. [Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4
/ Hal.210-211)]
Lelaki ini memang selalu
bersama orang-orang kafir dalam semua peperangan melawan kaum Muslimin.
Kemudian
ketika mereka kalah dalam perang di Hawazun, dia pergi ke negeri Romawi meminta
bantuan raja Romawi untuk memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari sana dia juga menyuruh orang-orang munafik (dari penduduk Madinah) untuk
membangun masjid dhirâr. [Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.425)]
Atas dasar perintah
tersebut, mereka lalu mendirikan masjid berdekatan dengan masjid Quba’.
Masjid
tersebut selesai didirikan sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berangkat ke Tabuk. Lalu mereka mendatangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, meminta agar beliau mengunjungi mereka dan shalat di masjid itu.
Sebenarnya
mereka bermaksud (mengelabui kaum Muslimin) menjadikan shalat beliau ini
sebagai hujjah bagi mereka, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menyetujui pembangunan masjid tersebut.
Mereka
menyebutkan kepada beliau alasan mendirikan masjid itu; yaitu untuk orang-orang
tua maupun yang sakit (yang tidak bisa hadir shalat berjama’ah di masjid Quba’)
pada saat malam musim dingin (akan tetapi alasan ini tidaklah benar adanya). [Tafsir
Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.211)]
Kemudian Allah Azza wa Jalla melarang rasul-Nya agar tidak melaksanakan
shalat di masjid tersebut, dengan menurunkan ayat di atas. Penjelasannya: “Mereka
yang mendirikan masjid dhirâr adalah sekawanan orang (munafik) dari penduduk
Madinah yang jumlahnya dua belas orang. [Tafsir Ath-thabary (Juz 14 / Hal.468)]
Mereka mendirikan masjid dengan tujuan menimbulkan kemadharatan
pada orang-orang Mukmin dan masjid mereka’, [Tafsir As-Sa’di (Hal.351)]
dan untuk menguatkan kekafiran orang-orang munafik, [Tafsir Abu
Su’ûd (Juz 4 / Hal.102)]
serta memecah belah jama’ah kaum Mukminin. Pada awalnya mereka
semua shalat berjamaah di satu masjid (masjid Quba’), kemudian terpecah menjadi
dua masjid (di masjid Quba’ dan masjid dhirâr).
Mereka ingin mendapatkan kesempatan untuk menyebarkan syubhat,
menghasut, menfitnah dan memecah belah shaf kaum Mukminin. [Aisarut Tafâsîr
(Juz 2 / Hal.425)]
Juga untuk menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah
Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak dahulu yaitu
Abu Amir ar-Râhib. [Tafsir Al-Qurthubi (Juz 8 / Hal.257)]
Mereka sesungguhnya bersumpah dengan mengatakan, ”Kami tidak
menghendaki kecuali kebaikan yaitu menunaikan shalat dan berdzikir di dalamnya
serta memberi kemudahan bagi para jama’ah.” Dan Allah Azza wa Jalla menjadi
saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). [Tafsir
Abu Su’ûd (Juz 4 / Hal.102)]
Larangan Allah Azza wa Jalla tersebut telah di sebutkan dengan
jelas di dalam ayat berikutnya, yaitu:
لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ
مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن
يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
“Janganlah
kamu shalat di dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang
didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat
di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan
Allah Azza wa Jalla menyukai orang-orang yang bersih”. [at-Taubah/9:108]
Larangan Allah Azza wa Jalla ini tidaklah khusus bagi Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi kaum Muslimin juga termasuk dalam larangan tersebut; sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsîr rahimahullah, “Ayat (di atas) merupakan larangan dari Allah Azza wa Jalla kepada Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm agar tidak shalat di masjid tersebut selamalamanya, dan umatnya mengikutinya dalam hal ini.” [Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.212)]
Kemudian Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan shalat di masjid Quba’ yang telah
didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama. Maksudnya atas dasar ketaatan
kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya dan juga untuk mempersatukan ukhuwah kaum
Muslimin serta sebagai markas mereka.[ibid]
Dalam ayat di atas juga terdapat pujian Allah Azza wa Jalla kepada
penduduk Quba’.
Syaikh Abu Bakar al-Jazâiri hafidzahullâh berkata, “(Di dalam ayat
ini) terdapat pujian kepada penduduk Quba’ dan kabar bahwa mereka adalah
orang-orang yang menyukai bersuci dari kotoran badan maupun hati.”
Kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ
تَقْوَىٰ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ
شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka apakah
orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan
keridhaan-Nya itu yang lebih baik, ataukah orangorang yang mendirikan
bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersamasama
dengan dia ke neraka Jahannam? Dan Allah tidaklah memberi petunjuk kepada
orang-orang yang dzalim. [at-Taubah/9:109]
Istifhâm (pertanyaan) dalam ayat ini adalah untuk taqrîr (menetapkan), [Tafsir Al-Qurthubi (Juz 8 / Hal.263).]
maksudnya menetapkan bahwa mereka kaum Mukminin itu lebih baik daripada orang-orang munafik.
Maka tidaklah sama antara orang yang mendirikan masjid atas dasar takwa kepada Allah Azza wa Jalla dan mengharap ridha-Nya dengan orang yang mendirikan masjid atas dasar kemadharatan, kekafiran dan memecah-belah kaum Mukminin serta untuk menunggu kedatangan orang yang memusuhi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak dahulu.
Pada hakikatnya mereka mendirikan masjid di tepi jurang akan runtuh,
[Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.217).]
lalu tepi jurang itu menyebabkan bangunannya runtuh bersama-sama mereka ke neraka Jahannam. [Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.426)]
Seperti halnya mereka membangunnya di tepi neraka Jahannam, sehingga bangunan itu runtuh bersama mereka ke dalamnya. [Tafsir Al-Baghawi (Juz 4 / Hal.97).]
Dan Allah Azza wa Jalla tidaklah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim sehingga mereka merugi di dunia maupun di akhirat. [Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.426)]
Kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَا يَزَالُ بُنْيَانُهُمُ الَّذِي بَنَوْا رِيبَةً فِي قُلُوبِهِمْ إِلَّا أَن تَقَطَّعَ قُلُوبُهُمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Bangunan-bangunan mereka itu senantiasa menjadi keraguan dalam hati mereka, kecuali jika hati mereka telah hancur, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [at-Taubah/9:110]
Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini mengatakan,
“(Bangunan tersebut) menyebabkan keraguan itu melekat di hati mereka, kecuali jika mereka benar-benar menyesali dan bertaubat atas perbuatan mereka serta takut kepada Allah Azza wa Jalla. Jika demikian, maka Allah Azza wa Jalla akan mengampuni mereka. Tetapi jika sebaliknya, maka bangunan tersebut tidak akan menambah pada mereka, kecuali kemunafikan di atas kemunafikan. Dan Allah Azza wa Jalla Maha Mengetahui atas segala sesuatu, baik yang ditampakkan oleh hamba-Nya maupun yang disembunyikan. Maha Bijaksana, tidak melakukan dan menciptakan, memerintahkan dan melarang kecuali di balik itu semua ada hikmahnya dan bagi-Nya segala pujian. [Tafsir As-Sa’di (Hal.351)]
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mâlik bin Dukhsyum saudara Bani Salim dan Ma’an bin Adi seraya berkata kepada mereka berdua, ”Pergilah kalian ke masjid yang didirikan oleh orang-orang dzalim (masjid dhirâr), kemudian hancurkan dan bakarlah.” Maka keduanya pun berangkat; sesampainya di perkampungan Bani Sâlim, Mâlik berkata kepada Ma’an, “Tunggu sebentar, aku akan mengambil api dari rumah keluargaku.” Sesaat kemudian dia keluar dengan membawa pelepah kurma yang dibakar dan berjalan dengan Ma’an menuju masjid itu; lalu membakar dan menghancurkannya, sehingga orang yang berada di dalamnya (berlarian) keluar. [Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.212]
SedangkanAbu Amir ar-Râhib; dia mati di kota Qansarin (wilayah Romawi) akibat doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atasnya. [Tafsir Al-Qurthubi (Juz 8 / Hal.257)]
Quba Mosque in Madinah
MARAJI’
1. Aisarut-Tafâsir, Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri, Maktabah Ulum Walhikam, Madinah. Cetakan kelima th.1424 H/2003M.
2. Taisîrul Karîmirrahmân Fî Tafsîri Kalâmil Mannân, Abdurrahmân
bin Nâshir bin As-Sa’di, Muassasah ar-Risâlah – Beirut. Cetakan pertama tahun
1420 H- tahun 2000 M.
3. Ma’âlimut Tanzîl, Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi,
Dâr Thaibah – Riyâdl – KSA. Cetakan keempat th.1417 H/ th.1997 M.
4. Tafsîrul-Qur’ânil-Adzîm, Al-Hâfidz Abul Fidâ’ Isma’îl bin Umar
Bin Katsîr Al-Qurasyi, Dârut-Taibah Riyâdl-KSA. Cetakan kedua th.1417 H/
th.1997 M.
5. Irsyâdul Aqlis Salîm Ilâ Mazâyal Qur’ânul Karîm (Tafsîr Abu
Su’ûd), Muhammad bin Muhammad Al-‘Imadi Abu Su’ûd, Dâr Ihya’ Turâts Al-Arabi –
Beirut.
6. Al-Jâmi’ li-Ahkâmil Qur’ân, Abu Abdillâh Muhammad bin Ahmad bin
Abi Bakr bin Farah Al-Anshâri Al-Qurthubi, Dâr Alamul-kutub – Riyâdl–KSA.
Cetakan th.14 23 H/th.2003 M.
7. Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta’wîlil Ayil-Qur’ân, Muahammad bin Jarîr Abu
Ja’far at-Thabari, Mu’assasah ar-Risâlah – Lebanon. Cetakan pertama th.1420 H/
th.2000 M.
8. Lubâbun Nuqûl Fî Asbâbin Nuzûl, Abdurrahmân bin Abu Bakr bin
Muhammad As-Suyûthi Abul Fadhl, Dâr Ihyâ’il Ulûm – Beirut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar