Sikap Muslim Mengenai
Hadits-Hadits Fitnah
Akhir Zaman
Bag 1
Jiwa manusia itu
selalu penasaran ingin mengetahui hal-hal yang akan terjadi di masa yang akan
datang. Baik yang berhubungan mengenai masa depan dirinya sendiri maupun
mengenai masa depan manusia seluruhnya hingga hari kiamat. Mungkin banyaknya
jumlah dukun dan ahli nujum pada bangsa-bangsa musyrik merupakan bukti terbaik
akan hal tersebut. Orang-orang musyrik bersedia menggelontorkan harta dalam jumlah
banyak hanya demi mengetahui masa depan yang para dajjal pendusta itu mengklaim
mengetahuinya.
Di saat
yang sama, Allah subhanahu wa ta’ala yang _ada yang mengetahui hal ghaib kecuali Dia mewahyukan
pada sebagian hambanya, yaitu para nabi, di antara sekian banyak yang
diwahyukan-Nya kepada mereka, sebagian perkara ghaib yang akan mereka dan
pengikutnya temui di masa depan. Mungkin contoh terpen_ng adalah apa yang
diwahyukan-Nya pada para rasul terdahulu mengenai diutusnya saudara mereka
Muhammad beserta perintah untuk mengimani dan menolongnya, sekaligus mengambil
sumpah janji dari mereka akan hal tersebut. Demikian juga Nabi kita . Di antara
sekian banyak ilmu yang disampaikannya dari Rabbnya adalah perkara-perkara yang
akan terjadi pada masa diutusnya hingga hari kiamat. Termasuk di antaranya fitnah
dan huru hara yang akan terjadi di akhir zaman, dan tanda-tanda hari kiamat
yang Allah menjadikannya sebagai tanda terjadinya yang kian dekat yang _dak
akan terjadi kecuali setelah seluruh tanda-tanda tersebut muncul.
Kaum
muslimin di setiap zaman terus memperhatikan kedudukan hadits-hadits tersebut.
Mereka mengimaninya, mengajarkannya, dan setiap generasi mengabarkan pada
generasi setelahnya. Sebagaimana terjadi pada setiap persoalan Din yang banyak
orang tersesat. Di dalamnya, banyak orang juga tersesat dalam tema penting ini.
Di antara yang ekstrim dan meremehkan. Ada yang amat bergantung dengan
hadits-hadits tersebut, hendak mencocokkan seluruh apa yang didengarnya dengan
fakta lapangan, agar terlepas dari tekanan yang menimpanya maupun karena ingin
meraih tujuan tertentu. Ada juga yang meremehkannya, hendak menolak seluruh
hadits tersebut bahkan mengkafirinya karena tidak meyakini perkara yang tidak
sesuai dengan akal pendeknya.
Seorang
mukmin menyikapi persoalan ini itu sebagaimana apa yang dikehendaki oleh Allah.
Ia tidak bersemangat membabi buta, mengikuti semua ungkapan tanpa tahu
kebenarannya lalu menganggapnya persoalan pokok agama. Ia juga tidak meremehkan
disiplin ilmu ini, yang telah diturunkan oleh Ruhul Amin dari Rabb semesta alam
kepada Rasul kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam . Lalu kemudian ilmu ini diwarisi oleh sebaik-baik
manusia, para sahabat dan tabi'in. Para ahli ilmu yang kokoh keilmuannya juga
masih terus memperhatikan dan mengajarkan disiplin ilmu ini. Adapun sikap
seorang muslim sebagaimana diajarkan dalam Islam terhadap disiplin ilmu ini
adalah sebagai berikut :
Beriman Dengan Seluruh Kandungan Kitabullah dan Sunnah
Tak
diragukan lagi bahwa prinsip pokok seorang mukmin adalah beriman dengan semua
hal yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Termasuk beriman dengan
fitnah dan huru hara akhir zaman yang disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah.
Banyak
nash dalam Kitabullah yang berhubungan
dengan sisi ilmu ini, yang tidak dicampuri kebatilan sedikitpun. Seseorang yang mengaku beriman
itu tidak sah imannya hingga meyakini
bahwa semuanya adalah kebenaran dan semuanya datang dari sisi Allah. Ia
juga harus mengimani semua hadits shahih yang bersumber dari Nabi mengenai
perkara ini tanpa merasa jengah sedikitpun, meskipun tidak memahaminya atau tidak
mengetahui esensinya, sebagaimana kalam
Allah Subhanahu wa ta’ala,
قُولُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ
وَمَآ أُنزِلَ إِلَيۡنَا وَمَآ أُنزِلَ إِلَىٰٓ إِبۡرَٰهِۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ
وَإِسۡحَٰقَ وَيَعۡقُوبَ وَٱلۡأَسۡبَاطِ وَمَآ أُوتِيَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَمَآ
أُوتِيَ ٱلنَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمۡ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٖ مِّنۡهُمۡ
وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ ١٣٦
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin), 'Kami beriman kepada Allah
dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim,
Isma´il, Ishaq, Ya´qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan
Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”
(Al-Baqarah:136).
Oleh
karena itu, kita dapati para imam salaf membuat bab tersendiri dalam
kitab-kitab akidah yang mereka tulis mengenai iman kepada perkara-perkara ghaib
yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan terjadi di akhir zaman. Dengan itu, mereka hendak menjelaskan
akidah ahlus sunnah wal jama'ah mengenai hal tersebut, yang tidaklah
menyelisihinya kecuali binasa.
Perhatian
besar mereka untuk memunculkan perkara ini ialah lantaran khawa_r kaum muslimin
terfitnah oleh orang-orang sesat, yang barangkali bisa saja mendorong kaum
muslimin mengkafiri sebagian kabar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena mengikut hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui itu.
Ibnu
Qudamah berkata di dalam Lum'atul I'tiqad, “Harus beriman dengan apa yang shahih yang dikabarkan oleh Nabi,
baik yang kita saksikan maupun yang tidak kita saksikan. Kita mengetahui bahwa
hal itu adalah benar dan pasti, meskipun kita tidak memahaminya dan tidak
mengetahui hakikat esensinya. Yaitu seperti hadits Isra dan Mi'raj, hadits mengenai
tanda-tanda kiamat, keluarnya Dajjal, turunnya Isa bin Maryam 'alaihissalam
lalu membunuhnya (Dajjal), keluarnya Ya'juj dan Ma'juj, keluarnya Ad-Dabbah,
terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, dan kabar-kabar shahih yang
serupa.” Selesai
ucapan
beliau.
Kemutawatiran
hadits-hadits tersebut bukan merupakan syarat wajib mengimaninya. Jika hadits
tersebut dianggap shahih oleh ahli hadits maka kita mengimani dan
mengamalkannya. Bukan seperti ahli bid'ah yang mensyaratkan kemutawatiran
hadits untuk menetapkan perkara akidah, yang mengklaim bahwa hadits bukan
mutawar tidak mengindikasikan ilmu yakin. Kita tidak boleh meyakini bahwa
sebagian hadits mengenai perkara yang akan datang itu telah dinasakh
(dianulir), karena nasakh itu hanya dalam hukum bukan berita. Apa yang
dikabarkan oleh Allah azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam seluruhnya adalah benar dan pasti.
Allah berfirman subhanahu wa ta’ala ,
وَمَنۡ
أَصۡدَقُ مِنَ ٱللَّهِ قِيلٗا
“Dan
siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah.” (An-Nisa:
122), dan kalam-Nya
mengenai Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَمَا
يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣ إِنۡ هُوَ
إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ ٤
“Dan
tiadalah yang diucapkannya
itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4).
Waspada
Dari Hadits-Hadits Palsu dan Takwil Rusak
Lantaran persoalan ini berhubungan dengan
hadits-hadits Nabi shallahu ‘alaihi wasallam, maka harus dipastikan
keshahihannya sebelum mengimaninya dan menyampaikannya kepada manusia. Apa lagi
tema fitnah dan huru hara akhir zaman banyak tercampuri dengan dusta orang-orang
sesat yang berupaya membela kesesatan mereka melalui jalan itu, khususnya
Rafidhah laknat yang terkenal paling banyak berdusta atas nama Nabi dan ahli
baitnya, memalsukan banyak kisah demi membuktikan menangnya kesesatan mereka di
akhir zaman.
Demikian juga banyak hadits-hadits fitnah
dan huru hara akhir zaman sampai kepada kita melalui sanad yang lemah, sehingga
tdak bisa dijadikan pijakan dalam beragama. Hadits-hadits dha'if (lemah),
meskipun kedha'ifannya tidak parah, itu tidak menunjukkan pada ilmu yakin namun
sekedar dzan (prasangka), dan prasangka sama sekali tidak menunjukkan pada
kebenaran.
Namun di sisi lain, seorang muslim tak
boleh mendustakan begitu saja berita yang dikandung dalam hadits-hadits dha'if
itu, meskipun tidak mengimaninya, kecuali jika ada hadits-hadits shahih yang
mengingkari berita tersebut dan menegasikan keabsahannya. Karena ada sebagian hadits
yang diperselisihkan kedudukannya oleh ahli hadits, sebagian mendha'ifkannya
dan sebagian lain menshahihkannya.
Mengimani hal - hal ghaib berarti membenarkan berita yang ada itu
sesuai lahirnya.
Bukan seperti ahli
bid'ah yang mengaku rasionalis dan yang semisalnya. Mereka mengaku beriman kepada
hal-hal ghaib namun membelokkan banyak nash dari makna lahirnya. Kita tidak
menakwilkan hadits-hadits mengenai fitnah dan huru hara akhir zaman dengan
takwilan yang menggeserkan dari makna hakikatnya. Kita mengimaninya apa adanya,
sebagaimana datang dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, hingga muncul takwilnya yang sesungguhnya pada waktu
yang ditentukan oleh Allah subhanahu
wa ta’ala . Dalam memahami ayat-ayat dan
hadits-hadits mengenai tanda-tanda kiamat dan peristiwa-peristiwa masa depan
lainnya, seorang muslim harus kembali kepada penafsiran ahli ilmu mengenai
ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut.
Seperti inilah
seharusnya seorang muslim. Tidak menafsirkan Al-Quran dengan pendapatnya maupun
pendapat ahli bid'ah dan sesat. Demikian juga harus hal-hal agar tidak
menerapkan hadits-hadits mengenai akhir zaman atas situasi dan kondisi kaum
muslim pada suatu masa tanpa ada bukti nyata dari syariat. Banyak kakiyang
terjerumus dalam musibah ini. Banyak manusia yang tersesat pada jalan ini.
Dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala,
kita akan berusaha membicarakan sisi berbahaya dari iman kepada hadits-hadits
fitnah dan huru hara akhir zaman ini.
Allahlah pemilik
hidayah kepada jalan yang lurus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar