Bab 20
Duduk bersimpuh dan
merawat kuburan
sebagai
Penghormatan
Di antara perbuatan yang
diharamkan adalah duduk bersimpuh di kuburan, merawatnya dan menjaganya untuk
menghormatinya, memasang tirai seperti tirai Ka‘bah. Telah kami jelaskan bahwa
umat Islam telah sepakat bahwa membangun masjid di atas kuburan diharamkan atas
dasar dalil dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, apalagi berdiam dan
bersimpuh di dalam masjid tersebut dan menganggapnya laksana Masjidil Haram.
Bahkan ada sebagian orang yang lebih senang duduk bersimpuh di masjid yang
dibangun di atas kuburan daripada duduk bersimpuh di Masjidil Haram. Demikian
ini karena mereka telah mengangkat tuhan-tuhan setara dengan Allah dan mereka
mencintai tuhan-tuhan itu sebagaimana cintanya kepada Allah, padahal
orang-orang mukmin lebih besar cintanya kepada Allah.
Bahkan mengagungkan masjid yang dibangun di atas
kuburan, –yang mana hal ini telah diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya– menurut
pengikut paham ini, kuburan lebih agung daripada rumah-rumah Allah (masjid).
Padahal Allah telah menetapkan bahwa masjid sebagai tempat untuk menyebut nama-Nya
dan masjid hendaknya dibangun atas dasar takwa kepada Allah serta untuk mencari
keridhaan-Nya.
Syetan telah menjerumuskan sebagian besar
manusia kepada syirik besar dengan melakukan bid‘ah-bid‘ah semacam ini,
sehingga di antara mereka ada yang beranggapan bahwa menziarahi kuburan para
syuhada’, baik kuburan seorang nabi, seorang syekh atau salah satu keturunan
nabi, lebih baik dari melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Ziarah ke kuburan
semacam itu mereka sebut haji akbar. Pada waktu ibadah haji, setelah sampai ke
Madinah sebagian dari mereka ada yang langsung pulang ke negerinya tanpa
kembali ke masjidil haram, karena menganggap hajinya telah selesai. Mereka
melakukan hal ini karena beranggapan ibadah haji mereka telah cukup dengan
melakukan ziarah ke kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, berdo‘a di
tempat tersebut dan bertawashul dengan kuburan beliau serta memohon kepada
orang yang sudah wafat.
Sebagian mereka ketika berdo‘a berupaya
menggambarkan wajah syekh yang dimintai pertolongan. Hal ini adalah bujukan
syetan sebagaimana syetan telah melakukannya kepada penyembah berhala.
Lebih hebat dari semua itu adalah memanjatkan
do‘a kepada orang yang telah mati di kuburannya, bernadzar kepadanya atau
kepada para perawat kubur yang selalu duduk bersila di atas kuburannya, atau
kepada orang-orang yang tinggal di dekat kuburannya, baik kerabat dekatnya atau
bukan. Mereka beranggapan bahwa dengan bernadzar kepada orang yang telah mati
itu, hajatnya akan terkabul atau kesulitan-kesulitannya terselesaikan.
Telah kami jelaskan berdasar sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam bahwa bernadzar untuk
berbuat baik tidak akan menghasikan kebaikan, apalagi bernadzar untuk berbuat
dosa. Allah tidak akan menjadikan cara semacam itu menjadi sarana mengabulkan
hajat yang dimaksud, misalnya bernadzar berdo‘a kepada orang yang telah mati.
Ketahuilah bahwa mereka yang telah dikubur, baik
para nabi maupun orang-orang shalih, membenci segala macam perbuatan yang
dilakukan di sisi kuburan mereka. Misalnya, ‘Isa Al Masih membenci apa yang
dilakukan kaum Nasrani terhadap beliau. Para nabi Bani Israil juga membenci apa
yang dilakukan para pengikutnya kepada mereka.
Seorang muslim tidak boleh beranggapan bahwa
larangan menjadikan kuburan-kuburan sebagai tempat perayaan dan meletakkan
patung-patung di atasnya sebagai tanda menghormati kebesaran atau memuliakan
penghuni kuburannya.
Demikian itu, karena hati manusia apabila telah
dirasuki perbuatan-perbuatan bid‘ah, maka ia akan meninggalkan sunnah-sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Anda lihat bahwa sebagian besar orang yang
duduk bersimpuh di atas kuburan adalah orang-orang yang menentang cara-cara
hidup orang yang menghuni kuburan tersebut. Mereka asyik dengan kuburan
tersebut dan memohon kepadanya, padahal tidak ada perintah agama untuk
melakukannya.
Di antara perbuatan menghormati para nabi dan
orang-orang shalih adalah mengikuti seruannya dan melakukan amal shalih,
sehingga para nabi dan orang-orang shalih memperoleh lebih banyak pahala karena
perbuatan para pengikutnya, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ مِنْ
غَيْرِ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa mengajak
kepada petunjuk, maka ia mendapatkanpahalanya dan ditambah sebanyak pahala
orang yangmengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka.”
(HR. Muslim)
Orang-orang yang biasa melakukan bid‘ah dalam
beribadah sebenarnya tidak perlu melakukannya, sekiranya mau melaksanakan
ibadah yang disyari‘atkan. Contohnya, mereka tidak perlu memilih tempat dan
waktu tertentu untuk berdo‘a, sekiranya mereka mau mencukupkan diri berdo‘a
pada waktu-waktu yang disyari‘atkan, seperti saat makan sahur, setelah shalat,
ketika sujud dan lain sebagainya. Oleh karena itu, orang yang berakal sehat
hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh mengikuti sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam dalam semua urusan dan
menjauhi semua perbuatan bid‘ah serta beranggapan bahwa semua perbuatan bid‘ah
itu tidak lebih baik daripada perbuatan sunnah. Karena barang siapa yang
memilih berbuat baik, dia akan diberi kebaikan dan barang siapa menjauhi yang
buruk (bid‘ah), ia akan dijauhkan dari keburukan itu.
_____________
source: Books: Bahaya
Mengekor Non Muslim (Mukhtarat Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim Syaikh Ibnu
Taimiyah). Muhammad bin Ali Adh-Dhabi‘i, Penerbit Media Hidayah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar