6/01/2019

TIDAK UDZUR DALAM SYIRIK AKBAR


Tidak Ada Udzur
Karena Jahil, Takwil, Ijtihad, Dan Taqlid
Dalam Syirik Akbar

I. Dalil-dalil Al Qur’an

وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ١٧٢ أَوۡ تَقُولُوٓاْ إِنَّمَآ أَشۡرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبۡلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةٗ مِّنۢ بَعۡدِهِمۡۖ أَفَتُهۡلِكُنَا بِمَا فَعَلَ ٱلۡمُبۡطِلُونَ ١٧٣ وَكَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلۡأٓيَٰتِ وَلَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ١٧٤

“Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu mengambil dari anak-anak Adam dari sulbi-sulbi mereka keturunannya, dan Dia menjadikan sebagai saksi atas diri mereka: “Bukankah Aku Tuhanmu”, mereka menjawab: “Benar, kami bersaksi”, (yang demikian itu Kami lakukan) agar kalian dihari kiamat (tidak) mengatakan: “Sesungguhnya kami lalai akan hal ini”, atau supaya kalian (tidak) mengatakan: “yang berbuat syirik itu bapak-bapak kami dahulu, sedangkan kami adalah keturunan setelah mereka, maka apakah Engkau membinasakan kami dengan sebab apa yang dilakukan orang-orang sesat itu?. Dan demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. Al A’raaf [7]: 172-174)

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata dalam tafsir ayat ini: (“agar kalian di hari kiamat (tidak) mengatakan: “Sesungguhnya kami lalai akan hal ini”), yaitu Kami katakan hal ini untuk (menolak) alasan atau dalih kalian di hari kiamat, di mana kalian mengatakan karena sebab kalian telah berbuat syirik: “Sesungguhnya kami lalai akan hal tauhid rububiyyah ini dan yang menjadi keharusannya berupa tauhid uluhiyyah dengan cara ibadah kepada Allah saja”. Dan yang dimaksud adalah bahwa Dia Subhanahu Wa Ta’ala tidak menerima alasan kebodohan mereka, “atau supaya kalian (tidak) mengatakan: yang berbuat syirik itu hanyalah bapak-bapak kami sebelum ini, sedangkan kami adalah keturunan merekayang jahil akan kebathilan syirik mereka sehingga tidak ada jalan bagi kami kecuali mengikuti mereka “maka apakah engkau akan membinasakan kami dengan apa yang dilakukan orang-orang sesat itu” dengan cara mengadakan syirik, terus Engkau jadikan adzab kami seperti adzab mereka padahal kami ini memiliki udzur, yaitu baik sangka terhadap mereka. Dan yang dimaksud adalah bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menerima dari mereka alasan taqlid kepada bapak-bapak dan kakek-kakek mereka sebagaimana Dia tidak menerima dari mereka alasan karena kebodohan setelah Dia menegakkan hujjah fitrah dengan akal. “Dan demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran)”, yaitu rincian yang jelas ini kami gamblangkan kepada anak-anak Adam ayat-ayat dan bukti-bukti supaya mereka menggunakan akal-akalnya dan supaya mereka kembali dengannya dari kejahilan mereka dan sikap taqlidnya. Ayat-ayat di atas menunjukan bahwa orang yang belum sampai bitsah Rasul kepadanya tidak diudzur dihari kiamat dengan enyekutuan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan dengan perbuatan-perbuatan keji serta kemungkinan-kemungkinan yang dijauhi oleh fitrah yang suci, dan bahaya serta kerusakannya bisa diketahui sekedar oleh akal. Dan mereka itu hanya diudzur dengan sebab menyelisihi petunjuk para Rasul dalam hal-hal yang memang tidak bisa diketahui kecuali dari mereka (para rasul), yaitu mayoritas rincian-rincian ibadah” [Aqidatul Muwahhidin: 389]

Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: Seandainya tidak ada dalil terhadap pentauhidan Allah dan pengenalan-Nya kecuali apa yang manusia akui berupa rububiyyah Allah dan hak khusus-Nya dalam menciptakan, maka tentulah itu cukup sebagai dalil.” [Minhaj At Ta-sis Wat Taqdis: 19]

Al Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini: “...dan tidak ada ‘udzur bagi orang yang taqlid di dalam tauhid...” (7/280).

Al Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menukil dari Al Imam Muhammad Ibnu Nashr Al Mawarziy seraya mengakuinya, beliau (Al Imam Muhammad Ibnu Nashr Al Mawarziy) berkata: (Mereka yaitu Ahlussunnah berkata: Dan tatkala mengetahui Allah itu adalah keimanan dan kejahilan terhadap-Nya adalah kekafiran, dan sedangkan mengetahui faraidl (hal-hal yang difardlukan) itu adalah keimanan dan kejahilan terhadapnya sebelum ia diturunkan adalah bukan kekafiran; karena sesungguhnya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui Allah di awal waktu Allah mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka, sedangkan mereka belum mengetahui faraidl yang difardlukan terhadap mereka setelah itu- maka kejahilan mereka terhadap faraidl itu bukanlah kekafiran, kemudian Allah menurunkan faraidl terhadap mereka, maka pengakuan dan pengamalan mereka terhadapnya adalah merupakan keimanan, dan sedangkan orang yang mengingkarinya hanyalah dikafirkan karena sebab dia mendustakan khabar (peberitahuan) dari Allah, dan seandainya tidak datang khabar dari Allah tentulah dia tidak menjadi kafir dengan sebab kejahilan terhadapnya. Sedangkan setelah datangnya khabar maka orang muslim yang tidak mendengar khabar tersebut tidaklah menjadi kafir dengan sebab tidak mengetahuinya.

Adapun kejahilan terhadap Allah adalah dalam setiap keadaannya merupakan kekafiran baik sebelum ada khabar maupun setelah datangnya khabar).

Syaikh Abu Az Zubair Asy Syinqithiy berkata menjelaskan nukilan di atas ini: Lihatlah nukilan ini, di mana kejahilan terhadap Allah adalah kekafiran baik sebelum adanya khabar maupun setelah adanya khabar, sedangkan yang dimaksud adalah kejahilan terhadap tauhid-Nya. Adapun dalil terhadap hal itu adalah ucapannya (Al Imam Muhammad Ibnu Nashr Al Mawarziy): “Karena sesungguhnya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui Allah di awal waktu Allah mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka”. Sedangkan sudah diketahui secara pasti bahwa pengakuan di sini: adalah pengakuan terhadap tauhid ilahiyyah bukan tauhid rububiyyah saja yang tidak membedakan antara kaum muwahhidin dengan kaum musyrikin. Jadi kejahilan terhadap Allah adalah kekafiran baik sebelum khabar (hujjah) maupun setelah khabar......” [Al Idlah Wat Tabyin Fi Anna Fa’ilasy Syirki Jahlan Laisa Minal Muslimin: 99-100]

Saya berkata: Dalil yang menunjukan bahwa pengakuan terhadap Allah di atas adalah pengakuan terhadap tauhid uluhiyyah bukan tauhid rububiyyah adalah keberadaan para sahabat sebelum mereka menganut Islam telah mengakui rububiyyah Allah, sebagaimana firman-Nya:
قُلۡ مَن يَرۡزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ أَمَّن يَمۡلِكُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَمَن يُخۡرِجُ ٱلۡحَيَّ مِنَ ٱلۡمَيِّتِ وَيُخۡرِجُ ٱلۡمَيِّتَ مِنَ ٱلۡحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۚ فَسَيَقُولُونَ ٱللَّهُۚ فَقُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ ٣١

 “Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka Katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yunus [10]: 31)

Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid berkata tentang ayat di atas: Ibnul Qayyim berkata: Dikarenakan ayat Al A’raf ini ada di surat Makkiyyah maka Allah menyebutkan di dalamnya mitsaq (perjanjian) dan pengambilan kesaksian yang umum bagi seluruh mukallaf yang telah mengakui rububiyyah-Nya, keEsaan-Nya dan kebatilan syirik, di mana ia adalah mitsaq dan pengambilan kesaksian yang dengannya hujjah tegak atas mereka, udzur (alasan) terputus dengannya dan sangsi hukum menimpa dengannya serta pembinasaan menimpa dengan sebab menyelisihinya.” [Al Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid, Aqidatul Muwahhidin: 330].

Syaikh Abu ‘Abdillah Abdurrahman Ibnu ‘Abdil Hamid berkata juga di dalam Al Jawab Al Mufid yang tergabung dalam Aqidatul Muwahhidin seraya menukil dari Al Baidlawi dalam tafsir ayat mitsaq: “Karena taqlid saat tegaknya dalil dan adanya kesempatan untuk (mencari) tahu adalah tidak pantas untuk dijadikan alasan (udzur).”[329]

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَرِيقًا هَدَىٰ وَفَرِيقًا حَقَّ عَلَيۡهِمُ ٱلضَّلَٰلَةُۚ إِنَّهُمُ ٱتَّخَذُواْ ٱلشَّيَٰطِينَ أَوۡلِيَآءَ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَيَحۡسَبُونَ أَنَّهُم مُّهۡتَدُونَ ٣٠

“Sebagian (Allah) beri (mereka) petunjuk dan sebagian telah tetap atas diri mereka kesesatan, sesungguhnya mereka telah menjadikan syaitan-syaitan itu sebagai auliya selain Allah sedangkan mereka itu mengira bahwa mereka itu mendapat petunjuk.” (QS. Al A’raaf [7]: 30)

Ibnu Jarir rahimahullah berkata seraya menafsirkan dan Ibnu Katsir rahimahullah menguatkannya: “Dan ini tergolong dalil yang paling jelas yang menunjukan kesalahan orang yang mengklaim bahwa Allah tidak akan mengadzab seorangpun atas maksiat yang dia lakukan atau kesesatan yang dia yakini kecuali bila dia melakukannya setelah dia mengetahui kebenaran yang ada di hadapannya, terus dia melakukan (maksiat atau kesesatan) sebagai bentuk pembangkangan darinya terhadap Tuhannya dalam hal itu, karena seandainya keadaannya seperti itu tentulah tidak akan ada perbedaan antara kelompok kesesatan yang sesat namun mengira bahwa dia itu mendapat petunjuk dengan kelompok yang mendapat petunjuk, sedangkan Allah sudah membedakan antara nama-namanya dan hukum-hukumnya dalam ayat ini.” [Tafsir Ibnu Katsir: 2/281]

Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah mengatakan dengan maknanya: Ibnu Jarir berkata: “Dan ini menunjukan bahwa orang jahil tidak diudzur.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/392]

Al Imam Al Baghawi rahimahullah berkata di dalam tafsirnya: Di dalam firman Allah ini ada dalil yang menunjukan bahwa orang kafir yang mengira bahwa dia berada di atas kebenaran di dalam agamanya adalah sama dengan orang kafir yang mengingkari dan orang (kafir) yang mu’anid (membangkang). (2/156).

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَٰلًا ١٠٣ ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا ١٠٤

“Katakanlah: “Apakah kalian mau kami beritahukan akan orang-orang yang paling rugi amalannya ? Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia ini sedang mereka mengira bahwa mereka melakukan perbuatan baik.” (QS. Al Kahfi [18]: 103-104)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat ini umum bagi setiap orang yang beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak (Allah) ridlai seraya mengira bahwa dia itu benar di dalamnya dan bahwa amalannya diterima padahal dia itu keliru dan amalannya tertolak.” [Tafsir Ibnu Katsir: 3/143]

II. Dalil Dalil Dari As Sunnah

Adapun hadist-hadist di antaranya adalah hadist Banu Al Muntafiq yaitu hadist shahih riwayat Al Imam Ahmad: Mereka datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya kepada beliau dalam hadist yang panjang tentang orang yang telah meninggal dunia dari kalangan ahlu fatrah, maka Rasulullah berkata: “Demi Allah, sungguh kamu tidak melewati kuburan orang musyrik mana saja baik orang Amiriy atau Quraisy, maka katakan: “Muhammad telah mengutus saya kepada kamu untuk memberi kabarmu dengan kabar yang menakutkan kamu, wajah dan perutmu digusur di dalam api neraka.” [Musnad Imam Ahmad: 4/13 (162/51) lihat Az Zanad Syarh Lum’ah Al I’tiqad]

Ini dalil yang jelas lagi terang yang tiada kesamaran sedikitpun di dalamnya, yang mana beliau menghukumi orang ahli fatrah yang mati di atas syirik dengan api neraka. Padahal mereka itu tidak lain adalah orang-orang jahil…!

Di antaranya hadits hasan tentang masuknya seseorang kedalam api neraka karena sebab seekor lalat. Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata dalam penjelasan hadist ini: “Dan dalam hadist ini ada penghati-hatian dari terpuruk ke dalam syirik. Dan bahwa orang bisa jatuh kedalamnya sedangkan dia tidak tahu bahwa (perbuatannya) itu tergolong syirik yang mengharuskan masuk neraka. Dan faidah lain di dalam hadist itu: adalah bahwa laki-laki tersebut asalnya muslim sebelum (kejadian) itu, karena kalau bukan muslim (asalnya) tentu beliau (shalallahu ‘alaihi wa sallam) tidak mengatakan: “dia masuk neraka karena lalai.” [Fathul Majid: 132]

Ucapan beliau: “Dia tidak tahu” artinya bahwa dia itu jahil.

Dan di antaranya hadist permohonan ampunan Nabi shalallahu alahi wasallam buat ibunya, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tatkala meminta izin untuk memohonkan ampunan bagi ibunya kepada Rabbnya sebab dia mati dalam kejahiliyyahan, beliau tidak mendapatkan izin untuk memintakan ampun baginya, karena dia mati di atas ajaran kaumnya yang penyembah berhala.”

Dan di antaranya hadist yang masyhur yang diriwayatkan oleh Muslim, tatkala beliau ditanya tentang bapak seseorang yang mati pada masa fatrah, dan beliau memvonis bapak orang tersebut dan bapak beliau shalallahu ‘alahi wasallam sendiri dengan api neraka, di mana beliau berkata:

إِنَّ أَبِيْ وَأَبَاكَ فِيْ النَّارِ

“Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.”

Dan karena dia mati di atas syirik terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan peribadatan terhadap yang lainnya… Maka apa gerangan dengan orang yang berada di tengah kaum muslimin sedang dia beribadah kepada undang-undang dan para pembuatnya atau kepada kuburan yang dikeramatkan? Sungguh mereka dan yang serupa dengannya lebih utama untuk tidak diudzur, karena mereka melakukan syirik akbar sedang mereka berada di tengah kaum muslimin dan Al Qur’an ada di hadapan mereka, dan begitu juga sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ada di antara mereka, namun mereka berpaling darinya.

III. Ijma’

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Dan begitu juga Ali membunuh orang-orang yang mengkultuskannya dan membakar mereka dengan api padahal mereka itu murid para sahabat, mereka rajin ibadah, shalat dan shaum, dan mereka mengira bahwa mereka itu berada di atas kebenaran.” [Ijma’] Dan begitu juga ijma’ salaf atau pengkafiran Qadariyyah yang ekstrim dan yang lainnya padahal mereka itu ahli ilmu, rajin ibadah dan menduga bahwa mereka itu melakukan perbuatan baik, namun tak seorang salafpun tawaqquf dalam mengkafirkan mereka dengan alasan bahwa mereka itu tidak memahami. Sesungguhnya mereka itu semuanya tidak memahami. [Ad Durar As Saniyah: 10/94]

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah juga berkata tentang orang-orang yang murtad di zaman Abu Bakar Ash Shidiq radliyallahu ‘anhu: Di antara mereka ada orang yang mendustakan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan kembali menyembah berhala seraya mengatakan: “Seandainya dia (Rasulullah) adalah Nabi tentulah tidak mati.” Dan di antara mereka ada orang yang tetap di atas dua kalimat syahadat, namun dia mengakui kenabian Musailamah dengan dugaan bahwa beliau (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wa sallam menyertakan dia dalam kenabian, karena Musailamah mengangkat para saksi palsu yang bersaksi baginya akan hal itu, kemudian banyak dari manusia membenarkan hal itu, namun demikian para ulama ijma’ bahwa mereka adalah orang-orang murtad meskipun jahil akan hal itu. Dan siapa yang meragukan kemurtadan mereka maka dia kafir. [Syarh Sittati Muwadli Minas Sirah dalam Majmu’ah At Tauhid: 23]

Bila saja orang yang mengangkat sosok manusia dalam tingkatan nabi adalah kafir meskipun dia jahil, maka apa gerangan dengan yang mengangkat makhluk pada derajat Al Khaliq…?!

Hamd Ibnu Nashir Alu Mu’ammar rahimahullah berkata: “Para ulama sudah ijma’ bahwa orang yang telah sampai dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya, maka sesungguhnya hujjah Allah telah tegak atasnya.” Kemudia beliau berkata: “Dan setiap orang yang telah sampai Al Qur’an kepadanya adalah tidak diudzur.” [Ad Durar As Saniyyah: 72-73]

Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Ijma’ telah terjalin bahwa orang yang telah sampai kepadanya dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya, maka dia kafir dan tidak diterima darinya alasan ijtihad karena jelasnya dalil-dalil risalah dan tanda-tanda kenabian.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/247]

Dan Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah berkata: “Dan bila sampai apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang Nashrani dan dia tidak tunduk kepadanya karena dugaannya bahwa beliau adalah Rasul buat orang Arab saja, maka dia kafir meskipun kebenaran itu pada saat itu belum jelas baginya. Begitu juga setiap orang yang telah sampai dakwah rasul kepadanya dengan cara yang mana dengannya dia mengetahui apa yang dimaksud dan yang dituju, terus dia menolak hal itu karena suatu syubhat atau yang lainnya, maka dia kafir meskipun masalahnya masih kabur atas dia, dan ini tidak ada perbedaan di dalamnya.” [Mishbah Adh Dhalam: 326]

Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata: “Bila pelaku syirik akbar diudzur karena kejahilannya, maka siapa orang yang tidak diudzur? Dan lazim (konsekuensi harus) klaim ini adalah bahwa Allah tidak memiliki hujjah kepada seorangpun kecuali atas orang yang membangkang (mu’anid), padahal orang yang mengklaim hal ini tidak mungkin baginya membakukan kaidah ini, akan tetapi mesti dia itu jatuh dalam kontradiksi, karena sesungguhnya dia tidak bisa tawaqquf dalam mengkafirkan orang yang ragu akan risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atau ragu akan hari kebangkitan atau ushulud dien yang lainnya, sedangkan orang yang ragu itu adalah jahil. Dan para ahli fiqh menyebutkan dalam kitab-kitab fiqh hukum orang murtad, yang mana dia adalah orang muslim yang kafir setelah Islamnya, baik dengan ucapan, perbuatan, keyakinan atau keragu-raguan, sedangkan sebab keragu-raguan adalah kejahilan. Konsekuensi wajib klaim orang ini adalah bahwa dia tidak mengkafirkan orang-orang jahil dari kalangan Yahudi, Nashrani, orang-orang yang sujud kepada matahari, bulan dan patung, karena sebab kejahilan mereka, dan tidak pula mengkafirkan orang-orang yang dibakar Ali radliyallahu ‘anhu dengan api, karena sesungguhnya kita pastikan bahwa mereka itu adalah orang-orang jahil. Sedangkan para ulama sudah ijma’ atas kafirnya orang yang tidak mengkafirkan orang-orang Yahudi dan Nashrani atau orang yang ragu akan kekafiran mereka, sedangkan kita menyakini bahwa mayoritas mereka adalah orang-orang jahil.” [Al Intishar Li Hizbillahil Muwahhidin, Aqidatul Muwahhidin: 16]

Dan dia berkata juga rahimahullah: “Orang yang mengklaim bahwa pelaku kekafiran (syirik) karena takwil, atau ijtihad, atau keliru (memahami) atau taqlid, atau kejahilan diudzur, sungguh dia itu menyelisihi Al Kitab, As Sunnah, dan ijma’ tanpa diragukan lagi. Lagi pula dia itu mesti menggugurkan kaidah pegangannya ini, dan kalau seandainya dia membakukan kaidahnya ini maka dia telah kafir tanpa diragukan, sebagaimana seandainya dia tawaqquf dalam mengkafirkan orang yang ragu akan risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Al Intishar, Aqidatul Muwahhidin: 18]

Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata seraya menukil dari penulis Ikhtiyarat Ibni Taimiyyah: “Orang murtad adalah orang yang menyekutukan Allah, atau yang membenci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau (membenci) apa yang beliau bawa, atau meninggalkan pengingkaran setiap kemungkaran dalam hatinya, atau menduga bahwa di antara para sahabat itu ada orang yang berperang bersama orang-orang kafir atau membolehkan hal itu atau mengingkari hal yang diijma’kan dengan ijma’ yang qath’iy, atau menjadikan antara dirinya dengan Allah perantara-perantara yang mana ia tawakkal terhadapnya, memohonnya, memintanya, maka (pelakunya) kafir berdasarkan ijma’. Dan siapa yang ragu akan satu sifat dari sifat-sifat Allah sedangkan orang seperti dia ini tidak (layak) jahil akannya, maka dia murtad, dan bila orang seperti dia itu (layak) tidak mengetahuinya maka dia tidak murtad, oleh sebab ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkafirkan orang yang ragu akan qudrah Allah ta’ala.”

Syaikh Aba Buthain menyatakan: “Beliau sebutkan begitu saja dalam hal-hal yang membuat kafir yang di muka, namun beliau dalam masalah sifat (Allah Subhanahu Wa Ta’ala) membedakan antara orang jahil dengan yang lainnya.” [Al Intishar, Aqidatul Muwahhidin: 18-19]

Dan beliau juga berkata juga setelah menukil perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Sungguh beliau rahimahullah telah memastikan dalam banyak tempat akan kekafiran orang yang melakukan macam-macam kemusyrikan yang beliau sebutkan, dan beliau menghikayatkan ijma’ kaum muslimin atas hal itu dan beliau tidak mengecualikan orang yang jahil dan yang lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni penyekutuan terhadap-Nya.” (An Nisa: 48). Dan Dia berfirman tentang (Isa) Al Masih, bahwa ia berkata:

“Siapa yang menyekutukan Allah, maka sungguh telah Allah haramkan surga atasnya dan tempat kembalinya adalah nereka” (QS. Al Maidah [5]: 72)

Maka siapa yang mengkhususkan ancaman itu bagi orang yang membangkang (mu’anid) saja, dan dia mengeluarkan orang jahil, orang yang melakukan takwil, dan orang yang taqlid (dari ancaman tersebut), maka sungguh dia telah menyelisihi Allah dan Rasul-Nya serta dia telah keluar dari jalan kaum mukminin (ijma’). Padahal para fuqaha telah memulai bab hukum orang murtad dengan bab orang yang menyekutukan Allah, dan mereka tidak membatasi itu bagi mu’anid saja. Dan hal ini adalah jelas sekali walillaahil hamd. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

رُّسُلٗا مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمٗا ١٦٥

“(mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. An Nisa [4]: 165)
[Al Intishar, Aqidatul Muwahhidin: 27]

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata tatkala menukil perkataan Ibnu Taimiyyah dalam masalah takfier: (Saya adalah tergolong orang yang paling melarang penisbatan orang mu’ayyan terhadap takfier, tabdi’ (bid’ah), tafsiq, atau maksiat kecuali bila telah diketahui bahwa telah tegak hujjah atasnya hujjah risaliyyah yang mana orang yang menyelisihinya bisa menjadi kafir, fasiq, atau maksiat). Syaikh Muhammad berkata: “Ini adalah bentuk ucapannya dalam masalah ini. Di setiap tempat yang kami kaji dari pernyataannya, beliau tidak menyebutkan sikap tidak kafir mu’ayyan melainkan beliau menyusul perkataannya itu dengan (ungkapan) yang bisa menghilangkan kemusykilan, bahwa yang dimaksud dengan sikap tawaqquf dari mengkafirkannya adalah sebelum sampainya hujjah kepadanya. Adapun bila hujjah telah sampai kepadanya maka dia itu divonis sesuai dengan tuntutan masalah ini, baik takfier, tafsiq, atau maksiat. Dan beliau rahimahullah tegas-tegasan menyatakan bahwa ucapannya itu adalah di dalam selain masalah-masalah dhahirah. Beliau menyatakan dalam Ar Rad ‘Alal Mutakallimin tatkala menuturkan bahwa sebagian imam-imam mereka murtad dari Islam, beliau berkata: “Dan hal ini bila dalam maqalat khafiyyah (masalah-masalah yang samar) bisa dikatakan bahwa dia itu adalah orang yang keliru yang sesat di dalamnya yang mana belum tegak atasnya hujjah yang membuat kafir orang yang meninggalkannya. Namun (kesalahan) ini muncul dari mereka dalam hal-hal yang mana orang-orang khusus dan orang-orang awam dari kaum muslimin mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus dengannya dan beliau kafirkan orang yang menyelisihinya seperti peribadatan terhadap Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya dan larangan dari beribadah kepada selain-Nya baik berupa malaikat, para Nabi dan yang lainnya, sesungguhnya ini syiar-syiar Islam yang paling nyata, dan seperti wajibnya shalat lima waktu dan pengagungan status shalat ini, juga seperti pengharaman fawahisy (perbuatan-perbuatan keji), riba, khamar, dan judi. Kemudian engkau dapati banyak dari tokoh-tokoh mereka terjatuh di dalamnya maka mereka itu murtad, bahkan lebih dahsyat dari itu bahwa di antara mereka ada orang yang menulis tulisan dalam ajaran kaum musyrikin seperti yang dilakukan oleh ‘Abdillah Ar Raziy yaitu (Al Fakhru Ar Raziy), beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata: “Dan ini adalah kemurtadan yang terang dengan kesepakatan kaum muslimin.” Kemudian Syaikh Muhammad berkata: “Dan kami tidak mengetahui penyelisihan dalam masalah ini dari seorang ulamapun.” [Mufid Al Mustafid: 54-55]

Syaikh Abdullah Aba Buthain berkata juga: Para ulama ijma’ bahwa tidak boleh taqlid dalam urusan tauhid dan kerasulan. [Ad Durar As Saniyyah Fil Ajwibah An Najdiyyah: 10/399-400].

IV. Pernyataan Para Imam

Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Aba Buthain rahimahullah berkata: “Dan siapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah namun dia melakukan syirik akbar, seperti permintaan kepada mayyit dan yang ghaib, permohonan kepada mereka untuk memenuhi kebutuhan dan diselamatkan dari bencana serta taqarrub kepada mereka dengan nadzar dan sembelihan, maka dia musyrik, mau tidak mau. [Risalah makna kalimah At Tauhid dalam Al Kalimat An Nafi’ah: 106]

Dan beliau berkata: “Dan termasuk hal yang maklum adalah bahwa syirik itu hanyalah diharamkan karena keburukan pada dzatnya dan karena ia mengandung celaan dan hinaan terhadap Rabb serta menyerupakan-Nya dengan para makhluk, sehingga kerusakan-kerusakan ini tidak bisa hilang dengan cara merubah namanya, seperti penamaannya sebagai tawassul, minta syafa’at, pengagungan dan penghormatan terhadap orang-orang shalih dan yang lainnya. Orang musyrik itu adalah orang musyrik, mau tidak mau, sebagaimana pezina itu adalah pezina mau tidak mau, dan begitu juga pemakan riba itu adalah pemakan riba, mau tidak mau.” [Ta’rif Al Ibadah: 155 dalam cetakan Al Kalimat An Nafi’ah]

Dan beliau berkata juga: “Sesungguhnya beliau (Ibnu Taimiyyah) mensyaratkan fahmul hujjah dalam hal-hal yang samar atas banyak manusia serta tidak ada penohokan di dalamnya terhadap tauhid dan risalah, seperti jahil akan sebagian sifat (Allah).

Adapun hal-hal yang langsung menohok Tauhid dan keimanan terhadap risalah, maka sesungguhnya beliau telah menegaskan dalam banyak tempat terhadap kekafiran para pelakunya serta hukuman bunuh bagi mereka setelah disuruh bertaubat, dan beliau tidak mengudzur mereka dengan sebab kejahilan, padahal kita memastikan bahwa penyebab keterjatuhan mereka dalam hal-hal tersebut adalah kejahilan. Karena kalau seandainya mereka mengetahui bahwa hal itu adalah kekafiran yang mengeluarkan dari Islam tentulah mereka tidak melakukannya.” [Al Kufru Al Ladzi Yu’dzaru Shahibuhu Bil Jahli: 14, Ad Durar Saniyyah: 10/368]

Dan beliau berkata juga: “Dan perkataannya (Ibnu Taimiyyah) rahimahullah dalam hal seperti itu adalah banyak, beliau tidak mengkhususkan takfir terhadap orang mu’anid saja, padahal dipastikan bahwa mayoritas mereka itu adalah orang-orang jahil yang tidak mengetahui bahwa apa yang mereka ucapkan atau mereka lakukan itu adalah kekafiran, mereka tidak diudzur dengan sebab kajahilan dalam hal-hal seperti ini, karena di antara hal itu ada yang langsung menohok tauhid yang merupakan kewajiban terbesar, dan di antaranya ada yang mengandung penentangan terhadap risalah dan penolakan nash-nash Al Kitab dan As Sunah yang sudah di ijma’kan oleh ulama salaf.” [Al Kufru Al Ladzi Yu’dzaru Shahibuhu Bil Jahli: 16]

Dan beliau berkata lagi: “Masalahnya sebagaimana yang dikatakan (oleh Ibnul Qayyim) rahimahullah bahwa sebab terjadinya syirik adalah nampaknya kajahilan, menghilangnya ilmu, sedikitnya ulama dan dominannya orang-orang bodoh…” [Al Intishar, Aqidatul Muwahhidin: 31]

Dan beliau berkata lagi seraya menukil dari Ibnul Qayyim: “Dan Ibnul Qayyim berkata: “Saya melihat ucapan yang indah milik Abul Wafa Ibnu Uqail. Saya tuturkan lengkap ucapannya: Tatkala taklif ini dirasa berat oleh orang-orang jahil dan para pengekor, maka mereka berpaling dari tuntunan-tuntunan syariat kepada tuntunan-tuntunan yang mereka buat-buat bagi mereka sendiri, sehingga terasa mudah atas mereka, karena mereka dengannya tidak berada dalam perintah selain mereka.” Beliau (Abul Wafa) berkata: Dan mereka adalah orang-orang kafir menurut saya dengan sebab perbuatan-perbuatan ini.

Dan Aba Buthain rahimahullah berkata: “lihatlah pengkafiran Ibnu Uqail terhadap mereka padahal beliau mengabarkan kejahilan mereka.” [Al-Intishar, Aqidatul Muwahhidin: 33]

Perkataan Ibnu Uqail ini dinukil juga oleh Syaikh Muhammad dalam Mufid Al Mustafid. [lihat Aqidatul Muwahhidin: 64 dan Tarikh Nejed: 375].

Beliau (Aba Buthain) rahimahullah ditanya tentang orang yang melakukan salah satu dari mukaffirah karena kejahilan, apakah dia kafir atau tidak, bila tidak mengetahui bahwa apa yang dia lakukan itu adalah kekafiran? Beliau menjawab setelah menuturkan 3 ayat 163-165 dari surat An Nisa: “Tidak ada udzur bagi seorangpun setelah diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ketidakberimanan terhadap beliau dan apa yang beliau bawa dengan alasan dia tidak memahami hujjah-hujjah dan penjelasan-penjelasan Allah, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengabarkan tentang orang-orang kafir bahwa mereka itu tidak paham…” [Ad Durar As Saniyyah: 10/351/352]

Dan berkata juga (Ibnu Taimiyyah) memvonis kemurtaddan mereka (yaitu tokoh-tokoh ahli kalam) begitu saja dan beliau tidak tawaqquf pada orang-orang yang jahil. [Ad Durar As Saniyyah: 10/355]

Dan berkata juga: “Siapa orangnya yang telah sampai kepadanya risalah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Al Qur’an juga sampai kepadanya maka hujjah telah tegak atasnya, sehingga tidak ada udzur dalam ketidakberimanan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, kemudian tidak ada udzur baginya karena kajahilan setelah itu.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/365]

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab berkata: “Sesungguhnya engkau bila telah mengetahui bahwa orang menjadi kafir dengan satu kalimat yang dilontarkan dari lisannya, dan terkadang dia mengucapkannya sedang dia jahil, namun dia tidak diudzur karena kejahilan.” [Kasyfu Asy Syubuhat, Majmuah At Tauhid: 60]

Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab menukil dari Ibnu Hajar dalam kitab Az Zawajir ‘An Iqtirafil Kabair: “Penjelasan syirik, dan beliau menuturkan sejumlah darinya karena banyak terjadinya di antara menusia dan di lisan-lisan orang awam tanpa mereka mengetahui (mereka jahil) bahwa hal itu seperti itu, sehingga bila jelas (status)nya bagi mereka maka mudah-mudahan mereka menjauhinya supaya tidak hapus amalan-amalan orang yang melakukan hal itu dan mereka kekal dalam adzab yang sangat besar dan siksa yang sangat pedih.” [Al Kalimat An Nafi’ah: 40]

Dan berkata juga: “Dan Al Qur’an sangat sarat dengan ayat-ayat seperti ini, namun mayoritas manusia tidak merasa akan masuknya realita (mereka) dalam kandungan (makna)nya, dan dia mengiranya berkenaan dengan orang-orang yang sudah lewat dan tidak meninggalkan penerus. Inilah yang menghalangi antara seseorang dengan memahami Al Qur’an, sebagaimana apa yang dikatakan oleh Umar Ibnul Khattab radhiyallahu’anhu: Ikatan-ikatan Islam ini terurai satu demi satu bila tumbuh di dalam Islam ini orang yang tidak mengetahui jahiliyyah. Ini dikarenakan seandainya dia tidak mengetahui syirik dan apa yang dicela dan dikecam oleh Al Qur’an maka dia jatuh kedalamnya dan merestuinya sedangkan dia tidak mengetahui bahwa itu adalah apa yang dikerjakan oleh orang-orang jahiliyyah sehingga dengannya terurailah ikatan-ikatan Islam.” [Al Kalimat An Nafi’ah: 13 -14]

Al Imam Al Bukhari berkata: Bab maksiat-maksiat adalah termasuk masalah (peninggalan) jahiliyyah dan pelakunya tidak dikafirkan kecuali dengan sebab syirik berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alahi wasallam: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang pada dirimu ada sifat kejahiliyyahan.” Dan Allah berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni penyekutuan terhadap-Nya dan mengampuni (dosa) apa yang dibawah itu bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa [4]: 48) [Kitab Al Iman: 10]

Al Imam Al Barbahari rahimahullah berkata: “Dan seorangpun dari Ahli kiblat tidak boleh divonis keluar dari Islam sehingga ia menolak satu ayat dari Kitabullah ‘Azza wa Jalla atau menolak sebagian dari atsar-atsar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menyembelih untuk selain Allah atau shalat kepada selain Allah, dan bila dia melakukan sesuatu dari hal itu maka wajib atas kamu mengeluarkan dia dari Islam. Dan bila tidak melakukan sesuatu darinya maka dia itu muslim secara nama tidak secara hakikat (sebenarnya).” [Syarhus Sunnah poin 49]

Al Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata dalam bab Al Ijtihad: “Pertama: Kekeliruan yang bisa menjadi penghalang dari mengetahui Allah dan Rasul-Nya sebagaimana dalam menerapkan ilmu akan Pencipta, tauhid dan keadilan. Para ulama mengatakan: masalah seperti ini kebenaran di dalamnya adalah hanya satu, siapa yang menepatinya maka ia sampai pada kebenaran dan siapa yang keliru di dalamnya maka dia kafir.” [Irsyadul Fuhul 2/227, Al Haqaaiq]

Dan berkata juga: “Sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallaah tanpa mengamalkan maknanya tidaklah menetapkan keislaman(nya), karena sandainya kalimat ini diucapkan oleh seorang dari ahlul jahiliyyah dan dia masih tetap beribadah kepada berhalanya tentulah hal itu bukan bentuk keIslaman(nya).” [Ad Durr An Nadlid: 77]

Dan beliau berkata: “Bila engkau mengatakan: orang-orang yang mengkultuskan orang-orang yang sudah mati tidak mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan adalah syirik, bahkan seandainya dia mengetahui sedikit saja bahwa itu adalah syirik tentulah dia tidak akan melakukannya. Maka saya katakan: masalahnya memang seperti apa yang engkau katakan, namun tidak samar lagi atas dirimu apa yang sudah baku dalam sebab-sebab kemurtaddan bahwa tidak disyaratkan dalam keadaan riddah itu Al Ilmu (tahu) akan makna yang diucapkan oleh orang yang mendatangkan lafadh kekafiran atau yang dilakukan oleh orang yang melakukan perbuatan kafir.” [Ad Durar An Nadlid: 82]

Al Imam Ibnu Qudamah berkata dalam Raudhatun Nadhir: “Al Jahidh mengklaim bahwa orang yang menyelisihi millah Al Islam bila dia memandang kemudian tidak mampu mendapatkan kebenaran, maka dia diudzur lagi tidak dosa...” Kemudian beliau (Ibnu Qudamah) berkata: “Adapun pendapat Al Jahidh maka bathil secara yakin dan kekafiran terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan bentuk penolakan akan Allah dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena kita mengetahui secara pasti bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang Yahudi dan Nashrani untuk masuk Islam dan mengikutinya, serta beliau mencela mereka atas sikap keras kepala mereka, beliau perangi semuanya dan membunuhi orang yang sudah baligh di antara mereka, sedangkan kita mengetahui bahwa orang mu’anid (membangkang) yang mengetahui (kebenaran) itu adalah tergolong jarang, dan justeru mayoritasnya adalah kaum muqallidin yang menyakini ajaran pendahulu mereka secara taqlid, dan mereka tidak mengetahui mukjizat dan kejujuran Rasulullah. [Ithaf Dzawil Bashaa-ir, Tahqiq Abdul Karim An Namlah: 8/76-78]

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam pembatal-pembatal keislaman: Dan tidak ada perbedaan dalam semua pembatal-pembatal ini antara orang yang main-main dan serius serta yang takut, kecuali orang yang dipaksa. [Majmu’ah At Tauhid: 25]

Dan beliau tidak mengecualikan orang jahil, atau melakukan takwil, atau salah ijtihad, atau taqlid.

Syaikh Muhammad berkata tatkala menukil perkataan Ibnu Taimiyyah dalam masalah takfier (Saya adalah tergolong orang yang paling melarang penisbatan orang mu’ayyan terhadap takfier, tabdi’ (bid’ah), tafsiq, atau maksiat kecuali bila telah diketahui bahwa telah tegak hujjah atasnya hujjah risaliyyah yang mana orang yang menyelisihinya bisa menjadi kafir, fasiq, atau maksiat). Syaikh Muhammad berkata: “Ini adalah bentuk ucapannya dalam masalah ini. Di setiap tempat yang kami kaji dari pernyataannya, beliau tidak menyebutkan sikap tidak kafir mu’ayyan melainkan beliau itu menyusul  perkataannya itu dengan (ungkapan) yang bisa menghilangkan kemusykilan, bahwa yang dimaksud dengan sikap tawaqquf dari mengkafirkannya adalah sebelum sampainya hujjah kepadanya. Adapun bila hujjah telah sampai kepadanya maka dia itu divonis sesuai dengan tuntutan masalah ini, baik takfier, tafsiq, atau maksiat. Dan beliau rahimahullah tegas-tegasan menyatakan bahwa ucapannya itu adalah dalam selain masalah-masalah dhahirah. Beliau menyatakan dalam Ar Rad ‘Alal Mutakallimin tatkala menuturkan bahwa sebagian imam-imam mereka murtad dari Islam, beliau berkata:
“Dan hal ini bila dalam maqalat khafiyyah (hal-hal yang masih samar) bisa dikatakan bahwa dia itu adalah orang yang keliru yang sesat di dalamnya yang mana belum tegak atasnya hujjah yang membuat kafir orang yang meninggalkannya. Namun (kesalahan) ini muncul dari mereka dalam hal-hal yang mana orang-orang khusus dan orang-orang awam dari kaum muslimin mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus dengannya dan beliau kafirkan orang yang menyelisihinya seperti peribadatan terhadap Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya dan larangan dari beribadah kepada selain-Nya baik berupa malaikat, para Nabi dan yang lainnya, sesungguhnya ini syiar-syiar Islam yang paling nyata, dan seperti wajibnya shalat lima waktu dan pengagungan status shalat ini, juga seperti pengharaman fawahisy (perbuatan-perbuatan keji), riba, khamar, dan judi. Kemudian engkau dapati banyak dari tokoh-tokoh mereka terjatuh di dalamnya maka mereka itu murtad, bahkan lebih dahsyat dari itu bahwa di antara mereka ada orang yang menulis tulisan dalam ajaran kaum musyrikin seperti yang dilakukan oleh ‘Abdillah Ar Raziy yaitu (Al Fakhru Ar Raziy), beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata: “Dan ini adalah kemurtadan yang terang dengan kesepakatan kaum muslimin.”

Kemudian Syaikh Muhammad berkata: “Dan kami tidak mengetahui penyelisihan dalam masalah ini dari seorang ulamapun.” [Mufid Al Mustafid: 54-55]

Dan sebelumnya beliau menyebutkan bahwa Al Fakhru Ar Raziy, Abu Mi’syar dan yang lainnya bahwa mereka telah murtad dan kafir dari Islam. [Mufid Al Mustafid: 54]

Beliau berkata dalam risalah hakikat makna Laa ilaaha illallaah: Maka dikatakan kepada orang jahil ini bila kamu tahu al ilah adalah al ma’bud (yang diibadati) dan kamu tahu bahwa do’a termasuk ibadah, maka bagaimana kamu berdo’a kepada makhluk yang mati lagi lemah dan kamu tinggalkan Dzat Yang Maha Hidup Yang Maha Berdiri Sendiri Yang Maha Lembut Yang Maha Penyanyang lagi Maha Kuasa…? Maka orang musyrik ini malah mengatakan: “Sesungguhnya segala urusan ada di Tangan Allah, namun orang shalih ini memberi syafaat bagi saya. Dan dia mengira bahwa hal itu menyelamatkan dia dari syirik”. [Aqaa-idul Islam: 17]

Beliau berkata juga setelah menuturkan hadist-hadist: “Hadist-hadist shahih ini bila dilihat oleh orang jahil ini atau sebagiannya, atau dia mendengarnya dari orang lain, maka jiwanya senang dan matanya berbinar… padahal masalah tidak seperti apa yang dikira oleh orang jahil yang musyrik ini.” [Risalah Fisy Syahadatain Aqaa-idul Islam: 24]

Dan beliau berkata setelah menyebutkan Khawarij: “Apakah orang jahil yang musyrik ini mengira bahwa mereka meninggalkan hal itu karena alasan mereka itu mambaca tasbih, tahlil dan takbir.” [Risalah Fisy Syahadatain Aqaa-idul Islam: 25]

Dan beliau berkata juga dalam risalah lain tentang Kalimah At Tauhid setelah menuturkan ayat-ayat: “Maka ketahuilah bahwa wasiat Allah bagi hamba-hamba-Nya adalah kalimah Tauhid yang memilah antara kekafiran dan Islam. Maka saat itu terpecahlah manusia, baik karena kejahilan, atau aniaya, atau pembangkangan.” [Aqaid Al Islam: 37]

Dan beliau berkata lagi dalam suratnya kepada Abdurrahman Ibnu Rabi’ah: “Siapa yang beribadah kepada Allah siang dan malam kemudian dia menyeru Nabi atau wali di sisi kuburannya, maka dia telah mengangkat dua tuhan dan tidak bersaksi akan Laa ilaaha illallah, karena al ilah adalah apa yang diseru sebagaimana apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik pada hari ini dikuburan Az Zubair, Abdul Qadir atau yang lainnya dan sebagaimana yang dilakukan sebelumnya di kuburan Zaid dan yang lain.“ [Tarikh Nejed: 341]

Beliau berkata kepada orang yang menuduhnya dengan berbagai tuduhan, berkata seraya membantah: “Al hamdulillaah Amma ba’du, apa yang disebutkan oleh orang-orang musyrik bahwa saya melarang baca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau saya pernah menyatakan bahwa seandainya saya punya kuasa saya sudah hancurkan kubah (kuburan) Nabi shalallahu ‘alahi wasallam atau (tuduhan) bahwa saya menjelek-jelekkan orang shaleh atau bahwa saya melarang mencintai mereka. Semua ini adalah dusta dan fitnah yang dibuat-buat atas nama saya oleh syaitan-syaitan yang ingin memakan harta orang lain dengan bathil, seperti Syamsan dan anak-anak Idris yang menyuruh orang-orang agar bernadzar buat mereka, memohon kepada mereka dan menyerunya, dan begitu syaitan-syaitan yang faqir yang mengaku-ngaku pengagung Syaikh Abdul Qadir rahimahullah padahal beliau berlepas diri dari mereka seperi bara’-nya Ali Ibnu Abi Thalib rahimahullah dari Rafidlah. Maka tatkala orang-orang melihat saya memerintahkan mereka dengan apa yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu agar mereka tidak beribadah kecuali kepada Allah dan bahwa orang yang menyeru Abdul Qadir adalah kafir dan Abdul Qadir bara’ dari mereka…” [Tarikh Nejd: 468]

Beliau katakan: “Dan sesungguhnya kami kafirkan thaghut penduduk Kharj dan yang lainya karena sebab perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan, di antaranya:

   Sesungguhnya mereka menjadikan bapak-bapak dan kakek-kakek mereka sebagai perantara.
   Dan juga mereka mengajak manusia kepada kekufuran.
   Dan juga mereka membuat orang-orang benci akan dien Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka mengklaim bahwa penduduk ‘Aridl telah kafir tatkala menyatakan tidak ada yang (berhak) diibadati kecuali Allah.
   Dan macam-macam kekafiran lainnya.

Ini adalah hal yang jelas yang lebih terang dari matahari yang tidak membutuhkan penjelasan (lagi), namun kamu ini adalah laki-laki yang bodoh lagi musyrik…”

Kemudian beliau berkata: “Dan adapun masalah yang ketiga: Yaitu tipu daya kamu yang paling besar yang dengannya kamu menipu orang awam: Bahwa para ulama berkata (Tidak boleh mengkafirkan orang muslim dengan sebab dzanb (dosa)): Ini adalah benar, namun ini bukan apa yang kami lakukan, dan itu (sebabnya) adalah bahwa Khawarij mengkafirkan orang yang berzina, atau orang yang mencuri, atau orang yang membunuh, bahkan bila setiap dosa besar dilakukan oleh orang muslim maka dia kafir.

Adapun Ahlus Sunnah, sesungguhnya madzhab mereka adalah bahwa orang muslim tidak dikafirkan kecuali dengan sebab syirik. Sedangkan kami tidak mengkafirkan thaghut-tahghut dan para pengikutnya kecuali dengan sebab syirik, dan kamu ini adalah tergolong orang yang paling bodoh, kamu kira bahwa orang yang shalat dan mengaku Islam itu tidak bisa kafir, kalau kamu meyakini itu, maka apa pendapat kamu tentang orang-orang munafiq yang ikut shalat, shaum dan ikut jihad…?” [Tarikh Nejd: 304-305 Surat kepada Ibnu Suhaim Qadli Riyad], silahkan baca Tarikh Nejd bagi orang yang ingin petunjuk !!

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Sesungguhnya orang yang melakukan syirik berarti telah meninggalkan Tauhid, karena keduanya adalah dua hal yang kontradiksi yang tidak bisa bersatu, di kala syirik ada maka Tauhid menghilang.” [Syarh Ashli Dien Al Islam, Majmu’ah At Tauhid: 28]

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab berkata: “Dan orang yang menyelisihi dalam hal itu adalah bermacam-macam, dan orang yang paling dahsyat penyelisihannya adalah orang yang menyelisihi dalam semua itu.”

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata seraya mensyarah ucapan Syaikh Muhammad: “Dia menerima syirik seraya meyakininya sebagai dien (ajaran) dan dia mengingkarai Tauhid dan meyakini sebagai kebathilan, sebagaimana realitas mayoritas (orang yang mengaku Islam). Dan sebabnya adalah kebodohan akan kandungan Al Kitab dan As Sunnah berupa ma’rifah akan Tauhid dan apa yang menafikannya berupa syirik, tandid, mengikuti hawa nafsu dan apa yang diwariskan oleh nenek moyang, seperti keadaan para pendahulu mereka dari kalangan musuh para rasul. Mereka menuduh ahli Tauhid dengan tuduhan dusta, bohong, mengada-ada dan nista, dan dalih mereka adalah: “Sesungguhnya kami mendapatkan bapak-bapak kami begitulah mereka melakukan.” (QS. Asy Syu’ara [26]: 74). Orang macam ini dan yang sesudahnya telah melanggar kandungan kalimat ikhlas dan makna yang ditunjukannya serta isinya berupa dien yang mana Allah tidak menerima dien selainnya yaitu Al Islam.” [Syarh Ashli Dienul Islam, Majmu’ah At Tauhid: 29-30]

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata dalam Fatawa Al Aimmah An Najdiyyah 3/155: Dalam jawaban Ibnu Taimiyyah dalam Fatawa Al Mishriyyah tentang ahli filsafat, setelah beliau menuturkan apa yang mereka yakini, beliau berkata: “Dan Syaikhul Islam tidak mengatakan bahwa mereka itu diudzur karena kejahilan, namun justeru beliau mengkafirkan mereka dan mengatakan bahwa mereka itu murtad”, beliau berkata: “Dan siapa yang menyembunyikan (keyakinannya) maka dia itu munafiq yang tidak disuruh taubat menurut mayoritas ulama.” [Al Mutammimah Li Kalami Aimatid Dakwah: 22]

Dan beliau berkata: “Dikatakan setiap orang kafir pasti telah keliru dan orang-orang musyrik itu mesti memiliki pentakwilan-pentakwilan dan meyakini bahwa penyekutuan mereka dengan orang-orang shaleh itu adalah bentuk pengagungan terhadap mereka yang manfa’at bagi mereka dan bisa membela mereka, namun mereka tidak diudzur dengan sebab kekeliruan itu dan juga dengan sebab takwil tersebut.” [Al Fatawa Al Aimmahh An Najdiyyah 3/168, Al Mutammimah 22-23]

Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah: “Dan kita mengetahui orang yang melakukan hal itu (maksudnya syirik) dari kalangan orang yang mengaku Islam, bahwa tidak ada yang menjerumuskan mereka ke dalam hal itu kecuali kejahilan. Seandainya mereka mengetahui bahwa hal itu menjauhkan dari Allah sejauh-jauhnya dan (mengetahui) bahwa itu tergolong syirik yang telah Allah haramkan, tentulah mereka tidak melakukannya, namun semua ulama telah mengkafirkan mereka dan tidak mengudzur karena kejahilan sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang-orang sesat: “Sesungguhnya mereka itu diudzur karena sesungguhnya mereka itu jahil.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/405]

Beliau berkata juga: “Dan apa yang telah lalu berupa penghikayatan Syaikhul Islam rahimahullah terhadap ijma’ kaum muslimin bahwa orang yang menjadikan antara dia dengan Allah para perantara yang mana ia tawakkal terhadap mereka dan mohon kepada mereka penghadiran manfa’at dan penolakan bahaya bahwa dia itu kafir musyrik (penghikayatan ijma’) itu meliputi orang yang jahil dan lainnya.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/393]

Dan beliau berkata lagi: “Dan semua ulama dalam kitab-kitab Fiqh menyebutkan hukum orang murtad, dan macam kekafiran dan kemurtaddan yang paling pertama mereka sebutkan adalah syirik, mereka berkata: sesungguhnya siapa yang menyekutukan Allah maka dia telah kafir, dan mereka tidak mengecualikan orang jahil.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/402]

Dan berkata lagi: “Dan Al Qur’an membantah orang yang menyatakan, “bahwa orang taqlid itu diudzur” (orang yang mengatakan demikian) sungguh telah mengada-ada dan berdusta atas nama Allah.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/394]

Syaikh Abdullathif Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Sesungguhnya seluruh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik semenjak zaman Nuh hingga masa kita ini mereka jahil dan melakukan takwil. Ahlul Hulul Wal Ittihad, Ibnu ‘Arabiy, Ibnu Faridl At Tilimsaniy dan yang lainnya dari kalangan Shufiyyah mereka melakukan takwil. Para ‘Ubbadul Qubur dan kaum musyrikin yang menjadi fokus pembicaraan, mereka juga melakukan takwil –hingga beliau mengatakan- dan orang-orang Nashrani juga melakukan takwil.” [Minhaj At Ta’sis: 262]

Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata: “Syirik akbar berupa ibadah kepada selain Allah dan memalingkannya kepada makhluk-makhluk yang mereka sekutukan bersama Allah, berupa para Nabi, para wali dan orang-orang shalih, sesungguhnya hal ini tidak seorangpun diudzur karena kejahilan akannya, namun mengetahuinya dan iman kepadanya termasuk hal-hal yang paling pokok dalam Islam.” [Kasyfu Asy Syubhatain: 63]

Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad ditanya dan di daftar isi pengumpul fatwa-fatwanya mengatakan: Apakah diudzur karena kejahilan dalam tauhid, kemudian pengumpul berkata: Beliau (Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim) ditanya: meskipun dia itu jahil…? beliau menjawab: Tauhid, tidak dianggap kejahilan di dalamnya. Hal seperti ini tidak layak tidak diketahui. Orang seperi ini hanyalah berpaling dari dien. Apakah orang tidak tahu matahari ?” [Al Fatawa 12/198, Al Mutammimah: 36]

Syaikh Abu ‘Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid rahimahullah berkata: “Ashlud Dien adalah mengenal Allah ‘Azza wa Jalla dan beribadah kepada-Nya saja tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan hal ini tidak ada udzur karena kajahilan di dalamnya, sama saja apakah tempat kemungkinan ilmu ada seperti Darul Islam atau tidak ada seperti Darul Harbi, dan sama saja apakah penegakan hujjah itu sudah terjadi atau belum.

Dan wajib menganggap orang yang jahil darinya sebagai orang kafir dalam urusan dhahir.” [Al Jawabul Mufid dalam Aqidatul Muwahhidin: 327]

Kemudian beliau menuturkan masalah yang mungkin bisa diudzur: “Dan mereka itu diudzur dengan sebab menyelisihi petunjuk para rasul hanya dalam hal-hal yang tidak bisa diketahui kecuali dari mereka, yaitu mayoritas ibadah-ibadah yang terperinci.”

Penulis kitab Ma’aarij Al Qabul berkata bahwa macam-macam kekafiran tidak keluar dari empat: Kufr Jahl wa takdzib (Kekafiran karena sebab kejahilan dan pendustaan), Kufr Kitman Wa inkar (Kekafiran karena pengingkaran dan penyembunyian), Kufr ‘inad wastikbar (Kekufuran karena pembangkangan dan penolakan), dan kufur nifaq. Bila semuanya terkumpul pada sesorang maka itu kegelapan berlapis kegelapan, karena masalahnya bisa jadi hal itu semuanya tidak ada, yaitu ucapan hati, perbuatannya, ucapan lisan dan amalan anggota badan, atau hilang sebagiannya saja berdasarkan rincian berikut… Kemudian dia sebutkan yang kedua: Dan bila hilang pembenaran hati yang disertai tidak adanya pengetahuan akan kebenaran maka hal ini adalah kekafiran karena sebab kejahilan dan pendustaan, dan itu seperti kafirnya orang-orang musyrik Arab. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

بَلۡ كَذَّبُواْ بِمَا لَمۡ يُحِيطُواْ بِعِلۡمِهِۦ وَلَمَّا يَأۡتِهِمۡ تَأۡوِيلُهُ

“Namun mereka mendustakan apa yang tidak mereka kuasai ilmunya dan belum datang kepada mereka takwilnya.” (QS. Yunus [10]: 39) [Mukhtashar Ma’aarij Al Qabul: 183]

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Selama si hamba tidak membawa hal ini (tauhid…) maka dia bukan muslim, bila dia bukan kafir mu’anid maka dia kafir jahil.

Status thabaqah orang-orang ini adalah kafir jahil yang tidak mu’anid, sedangkan ketidakmembangkangan mereka itu tidaklah mengeluarkan mereka dari statusnya sebagai orang-orang kafir.” [Thariq Al Hijratain: 542]

V. Qiyas

Pembahasan ini kami ambil sepenuhnya dari kitab Al Mutammimah Li Kalam Aimmatid Dakwah karya Syaikh Ali Ibnu Khudlair hafidhahullah. Beliau berkata: Setelah menuturkan dalil-dalil dari Al Kitab dan As Sunnah, Ijma’ dan pernyataan para ulama yang menunjukan tidak ada udzur karena kejahilan dalam hal syirik akbar, kami akan menuturkan apa yang ditunjukan oleh qiyas dalam hal itu. Dan di sini ada dua qiyas: Qiyas Aula dan Qiyas Syabah.

Petama: Qiyas Aula

1. Ijma’ para sahabat atas kafirnya Musailamah dan para pengikutnya secara ta’yin dan mereka tidak diudzur karena kejahilan tatkala dia mengaku sekutu Rasulullah dalam kenabian. Sisi Qiyasnya adalah tidak diudzurnya dia dalam persekutuan ini, maka apa gerangan dengan orang yang mengklaim musyarakah (menyertai/menyekutui) Allah dalam ibadah kepada-Nya, dia dan pengikutnya. Dan ini lebih utama (untuk tidak diudzur)

2. Ijma’ para sahabat atas kafirnya Al Mukhtar Ats Tsaqafi dan para pengikutnya tatkala dia mengklaim menjadi Nabi, sebagaimana yang kami katakan tentang Musailamah dan para pengikutnya. Ini juga lebih utama (untuk tidak diudzur karena kejahilan).

3. Ijma’ para sahabat atas tidak diudzurnya orang-orang yang menolak bayar zakat dengan sebab kejahilan, karena mereka menolak (menunaikan) salah satu dari hak Laa ilaaha illallaah, maka lebih utama lagi orang yang menolak Laa ilaaha illallaah yang merupakan inti.

4. Tidak diudzurnya orang yang menikahi ibu tirinya dengan ijma’ dengan sebab kejahilan, bahkan tidak diminta rincian masalah darinya, karena masalahnya adalah sama dalam hal itu, karena dia tidak komitmen akan hak-hak Laa ilaaha illallaah maka apa gerangan dengan Laa ilaaha illallaah.

Kedua: Qiyas Syabah

1. Salaf ijma’ atas kafirnya Ahlul Hulul Wal Ittihad, karena mereka mengklaim bahwa Allah telah menyatu pada sebagian makhluk-Nya... Maha Suci Allah dari hal itu. Maka begitu juga sama dengannya orang yang mengklaim bahwa uluhiyyah (sifat Ketuhanan) itu menyatu pada diri orang-orang shalih, sehingga dia mengibadatinya.

2. Salaf ijma’ atas kafirnya Al Musyabbihah yang menyamakan Allah dengan makhluk- Nya dalam asma dan sifat, maka serupa dengannya orang yang menyamakan salah satu makhluk Allah dengan Allah dalam sifat uluhiyyah baginya, terus dia mengibadati selain Allah.

3. Salaf ijma’ atas kafirnya orang-orang Jahmiyyah Mu’aththilah dan Qadariyyah yang mengingkari lagi menafikan sifat Ilmu bagi Allah, maka serupa dengannya orang yang menafikan sifat uluhiyyah dari Allah dan memberikan kepada sebagian makhluk-Nya

4. Mengqiyaskannya dengan qiyas syabah terhadap orang yang memperolok-olok Allah, maka sesungguhnya dia kafir dengan ijma’ dan tidak diudzur dengan kejahilannya, sedangkan orang musyrik dengan penyekutuannya itu dia memperolok-olok Allah sebagaimana kata ulama salaf, Allah berfirman: “Dan Maha Suci Allah dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik”

VI. Lawazim (Konsekuensi-Kensekuensi) Yang Bathil

Orang yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan, dia memiliki konsekuensi-konsekuensi yang bathil bila memberlakukan pendapatnya secara baku:

1)      Dia harus mengudzur orang-orang yang jahil lagi awam dari kalangan Yahudi dan Nashrani.
2)      Dia harus mengudzur ahlul fatrah atau sebagiannya karena kejahilan mereka.
(dan ini tentunya menyelisihi ijma’)
3)      Dia harus mengudzur orang-orang yang jahil dan awam dari kalangan munafiqin.
(dan ini tentunya menyelisihi ijma’)
4)      Dia harus mengudzur setiap orang yang mengingkari rububiyyah Allah karena jahil.
(dan ini tentunya menyelisihi ijma’)
5)      Dia harus mengudzur orang yang mengingkari Ilmu Allah karena kejahilan atau takwil.
(dan ini tentunya menyalahi ijma’)
6)      Dia harus mengudzur orang yang menafikan nama-nama dan sifat Allah karena kejahilan dari kalangan Jahmiyyah.
(dan ini tentunya menyalahi ijma’)
7)      Pendapat ini mengharuskan adanya pendapat bahwa hujjah itu belum tegak atas seorangpun dari umat ini baik dengan Rasul atau dengan Al Qur’an.

Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata saat menjelaskan batalnya lawazim yang lalu, beliau berkata dalam kitabnya Kasyfusy Syubhatain: “Sesungguhnya larangan dari mengkafirkan dan menetapkan dosa dengan sebab kekeliruan dalam hal ini semua (yaitu syirik akbar) adalah merupakan sikap membantah terhadap (ulama-ulama) yang telah mengkafirkan Mu’aththilah Dzat, Mu’aththilah Rububiyyah, Mu’aththilah Asma dan Sifat dan mu’aththilah sifat Esa Allah ta’ala dengan Ilahiyyah, dan orang-orang yang mengatakan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengetahui apa-apa yang akan terjadi sebelum kejadiaannya seperti Qadariyyah yang ekstrim, dan orang-orang yang berpendapat dengan penyandaran segala kejadian kepada bintang-bintang yang ada di atas, serta orang yang berkeyakinan adanya dua pokok, cahaya dan gelap. Sesungguhnya orang yang komitmen dengan hal ini semua, maka dia lebih kafir dan lebih sesat daripada Yahudi dan Nashrani.

Apakah setelah jabaran yang ringkas ini, wajarkah orang yang berakal mengatakan bahwa saya adalah mubtadi’ yang perlu disuruh taubat…?

Kepada Allah tempat mengadu dan
dihadapan Allah kita akan bertemu…

_________
Sumber: Al Urwah Al Wutsqa (Buhul Tali yang Sangat KokoH), Kumpulan Manhaj Tauhid, Ust. Abu Sulaiman Aman Abdurrahman, Tahun 1425 H.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...