Tidak Ada Udzur
Karena Jahil, Takwil, Ijtihad, Dan Taqlid
Dalam Syirik Akbar
I. Dalil-dalil Al Qur’an
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ
بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ
أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ
يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ١٧٢ أَوۡ تَقُولُوٓاْ
إِنَّمَآ أَشۡرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبۡلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةٗ مِّنۢ
بَعۡدِهِمۡۖ أَفَتُهۡلِكُنَا بِمَا فَعَلَ ٱلۡمُبۡطِلُونَ ١٧٣ وَكَذَٰلِكَ
نُفَصِّلُ ٱلۡأٓيَٰتِ وَلَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ١٧٤
“Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu mengambil dari anak-anak Adam
dari sulbi-sulbi mereka keturunannya, dan Dia menjadikan sebagai saksi atas
diri mereka: “Bukankah Aku Tuhanmu”, mereka menjawab: “Benar, kami bersaksi”,
(yang demikian itu Kami lakukan) agar kalian dihari kiamat (tidak) mengatakan:
“Sesungguhnya kami lalai akan hal ini”, atau supaya kalian (tidak) mengatakan:
“yang berbuat syirik itu bapak-bapak kami dahulu, sedangkan kami adalah
keturunan setelah mereka, maka apakah Engkau membinasakan kami dengan sebab apa
yang dilakukan orang-orang sesat itu?. Dan demikianlah kami menjelaskan
ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. Al A’raaf [7]: 172-174)
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata
dalam tafsir ayat ini: (“agar
kalian di hari kiamat (tidak) mengatakan: “Sesungguhnya kami lalai akan hal
ini”), yaitu Kami katakan hal ini untuk (menolak)
alasan atau dalih kalian di hari kiamat, di mana kalian mengatakan karena sebab
kalian telah berbuat syirik: “Sesungguhnya kami lalai akan hal tauhid
rububiyyah ini dan yang menjadi keharusannya berupa tauhid uluhiyyah dengan cara
ibadah kepada Allah saja”. Dan yang dimaksud adalah bahwa Dia Subhanahu Wa Ta’ala tidak
menerima alasan kebodohan mereka, “atau
supaya kalian (tidak) mengatakan: yang berbuat syirik itu hanyalah bapak-bapak
kami sebelum ini, sedangkan kami adalah keturunan mereka” yang jahil akan kebathilan syirik mereka
sehingga tidak ada jalan bagi kami kecuali mengikuti mereka “maka apakah engkau akan membinasakan kami dengan apa yang
dilakukan orang-orang sesat itu” dengan
cara mengadakan syirik, terus Engkau jadikan adzab kami seperti adzab mereka
padahal kami ini memiliki udzur, yaitu baik sangka terhadap mereka. Dan yang
dimaksud adalah bahwa Allah Subhanahu Wa
Ta’ala tidak menerima dari mereka alasan taqlid
kepada bapak-bapak dan kakek-kakek mereka sebagaimana Dia tidak menerima dari
mereka alasan karena kebodohan setelah Dia menegakkan hujjah fitrah dengan
akal. “Dan demikianlah kami menjelaskan
ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran)”, yaitu rincian yang jelas ini kami gamblangkan kepada
anak-anak Adam ayat-ayat dan bukti-bukti supaya mereka menggunakan akal-akalnya
dan supaya mereka kembali dengannya dari kejahilan mereka dan sikap taqlidnya.
Ayat-ayat di atas menunjukan bahwa orang yang belum sampai bitsah Rasul kepadanya
tidak diudzur dihari kiamat dengan enyekutuan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan
dengan perbuatan-perbuatan keji serta kemungkinan-kemungkinan yang dijauhi oleh
fitrah yang suci, dan bahaya serta kerusakannya bisa diketahui sekedar oleh
akal. Dan mereka itu hanya diudzur dengan sebab menyelisihi petunjuk para Rasul
dalam hal-hal yang memang tidak bisa diketahui kecuali dari mereka (para
rasul), yaitu mayoritas rincian-rincian ibadah” [Aqidatul Muwahhidin: 389]
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad
Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: Seandainya tidak ada dalil terhadap pentauhidan Allah
dan pengenalan-Nya kecuali apa yang manusia akui berupa rububiyyah Allah dan hak
khusus-Nya dalam menciptakan, maka tentulah itu cukup sebagai dalil.” [Minhaj
At Ta-sis Wat Taqdis: 19]
Al Imam Al Qurthubi rahimahullah
berkata dalam tafsir ayat ini: “...dan
tidak ada ‘udzur bagi orang yang taqlid di dalam tauhid...” (7/280).
Al Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
telah menukil dari Al Imam Muhammad Ibnu Nashr Al Mawarziy seraya mengakuinya, beliau (Al Imam Muhammad Ibnu Nashr Al
Mawarziy) berkata: (Mereka yaitu Ahlussunnah berkata: Dan tatkala mengetahui Allah
itu adalah keimanan dan kejahilan terhadap-Nya adalah kekafiran, dan sedangkan mengetahui
faraidl (hal-hal yang difardlukan) itu adalah keimanan dan kejahilan terhadapnya
sebelum ia diturunkan adalah bukan kekafiran; karena sesungguhnya para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui Allah di awal waktu Allah mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka, sedangkan mereka belum mengetahui faraidl yang difardlukan
terhadap mereka setelah itu- maka kejahilan mereka terhadap faraidl itu bukanlah
kekafiran, kemudian Allah menurunkan faraidl
terhadap mereka, maka pengakuan dan
pengamalan mereka terhadapnya adalah merupakan keimanan, dan sedangkan orang
yang mengingkarinya hanyalah dikafirkan karena sebab dia mendustakan khabar (peberitahuan)
dari Allah, dan seandainya tidak datang khabar
dari Allah tentulah dia tidak menjadi kafir
dengan sebab kejahilan terhadapnya. Sedangkan setelah datangnya khabar maka orang muslim
yang tidak mendengar khabar tersebut
tidaklah menjadi kafir dengan sebab tidak mengetahuinya.
Adapun kejahilan terhadap Allah adalah dalam setiap keadaannya
merupakan kekafiran baik sebelum ada khabar
maupun setelah datangnya khabar).
Syaikh Abu Az Zubair Asy Syinqithiy berkata menjelaskan nukilan di atas ini: Lihatlah nukilan ini,
di mana kejahilan terhadap Allah adalah kekafiran baik sebelum adanya khabar maupun setelah
adanya khabar,
sedangkan yang dimaksud adalah kejahilan terhadap tauhid-Nya. Adapun dalil
terhadap hal itu adalah ucapannya (Al Imam Muhammad Ibnu Nashr Al Mawarziy):
“Karena sesungguhnya para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengakui Allah di awal waktu Allah
mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka”. Sedangkan sudah diketahui secara pasti bahwa
pengakuan di sini: adalah pengakuan terhadap tauhid ilahiyyah bukan tauhid rububiyyah
saja yang tidak membedakan antara kaum muwahhidin dengan kaum musyrikin. Jadi
kejahilan terhadap Allah adalah kekafiran baik sebelum khabar (hujjah) maupun
setelah khabar......”
[Al Idlah Wat Tabyin Fi Anna Fa’ilasy Syirki Jahlan Laisa Minal Muslimin:
99-100]
Saya berkata: Dalil yang menunjukan bahwa pengakuan terhadap
Allah di atas adalah pengakuan terhadap tauhid uluhiyyah bukan tauhid
rububiyyah adalah keberadaan para sahabat sebelum mereka menganut Islam telah
mengakui rububiyyah Allah, sebagaimana firman-Nya:
قُلۡ مَن يَرۡزُقُكُم مِّنَ
ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ أَمَّن يَمۡلِكُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَمَن يُخۡرِجُ
ٱلۡحَيَّ مِنَ ٱلۡمَيِّتِ وَيُخۡرِجُ ٱلۡمَيِّتَ مِنَ ٱلۡحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۚ
فَسَيَقُولُونَ ٱللَّهُۚ فَقُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ ٣١
“Katakanlah: “Siapakah
yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang
hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah
yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka
Katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yunus [10]: 31)
Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid berkata tentang ayat di atas: Ibnul
Qayyim berkata: Dikarenakan ayat Al A’raf ini ada
di surat Makkiyyah maka Allah menyebutkan di dalamnya mitsaq (perjanjian) dan
pengambilan kesaksian yang umum bagi seluruh mukallaf yang telah mengakui
rububiyyah-Nya, keEsaan-Nya dan kebatilan syirik, di mana ia adalah mitsaq dan pengambilan
kesaksian yang dengannya hujjah tegak atas mereka, udzur (alasan) terputus
dengannya dan sangsi hukum menimpa dengannya serta pembinasaan menimpa dengan
sebab menyelisihinya.” [Al Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid, Aqidatul
Muwahhidin: 330].
Syaikh Abu ‘Abdillah Abdurrahman Ibnu ‘Abdil Hamid berkata juga di dalam Al
Jawab Al Mufid yang tergabung dalam Aqidatul Muwahhidin
seraya menukil dari Al Baidlawi dalam tafsir ayat mitsaq: “Karena taqlid saat tegaknya dalil
dan adanya kesempatan untuk (mencari) tahu adalah tidak pantas untuk dijadikan
alasan (udzur).”[329]
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَرِيقًا هَدَىٰ وَفَرِيقًا
حَقَّ عَلَيۡهِمُ ٱلضَّلَٰلَةُۚ إِنَّهُمُ ٱتَّخَذُواْ ٱلشَّيَٰطِينَ أَوۡلِيَآءَ
مِن دُونِ ٱللَّهِ وَيَحۡسَبُونَ أَنَّهُم مُّهۡتَدُونَ ٣٠
“Sebagian (Allah) beri (mereka) petunjuk dan sebagian telah
tetap atas diri mereka kesesatan, sesungguhnya mereka telah menjadikan
syaitan-syaitan itu sebagai auliya selain Allah sedangkan mereka itu mengira
bahwa mereka itu mendapat petunjuk.” (QS. Al
A’raaf [7]: 30)
Ibnu Jarir rahimahullah
berkata seraya menafsirkan dan Ibnu Katsir rahimahullah
menguatkannya: “Dan ini tergolong dalil
yang paling jelas yang menunjukan kesalahan orang yang mengklaim bahwa Allah
tidak akan mengadzab seorangpun atas maksiat yang dia lakukan atau kesesatan
yang dia yakini kecuali bila dia melakukannya setelah dia mengetahui kebenaran
yang ada di hadapannya, terus dia melakukan (maksiat atau kesesatan) sebagai
bentuk pembangkangan darinya terhadap Tuhannya dalam hal itu, karena seandainya
keadaannya seperti itu tentulah tidak akan ada perbedaan antara kelompok
kesesatan yang sesat namun mengira bahwa dia itu mendapat petunjuk dengan
kelompok yang mendapat petunjuk, sedangkan Allah sudah membedakan antara nama-namanya
dan hukum-hukumnya dalam ayat ini.” [Tafsir Ibnu Katsir: 2/281]
Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah mengatakan
dengan maknanya: Ibnu Jarir berkata: “Dan ini menunjukan bahwa orang jahil
tidak diudzur.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/392]
Al Imam Al Baghawi rahimahullah
berkata di dalam tafsirnya: Di dalam
firman Allah ini ada dalil yang menunjukan bahwa orang kafir yang mengira bahwa
dia berada di atas kebenaran di dalam agamanya adalah sama dengan orang kafir
yang mengingkari dan orang (kafir) yang mu’anid
(membangkang). (2/156).
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ
أَعۡمَٰلًا ١٠٣ ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ
يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا ١٠٤
“Katakanlah: “Apakah kalian mau kami beritahukan akan
orang-orang yang paling rugi amalannya ? Yaitu orang-orang yang sia-sia
usahanya dalam kehidupan dunia ini sedang mereka mengira bahwa mereka melakukan
perbuatan baik.” (QS. Al Kahfi [18]: 103-104)
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata: “Ayat ini umum bagi setiap orang
yang beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak (Allah) ridlai seraya
mengira bahwa dia itu benar di dalamnya dan bahwa amalannya diterima padahal
dia itu keliru dan amalannya tertolak.” [Tafsir Ibnu Katsir: 3/143]
II. Dalil Dalil Dari As Sunnah
Adapun hadist-hadist di antaranya adalah hadist Banu Al
Muntafiq yaitu hadist shahih riwayat Al Imam Ahmad: Mereka datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya kepada beliau dalam hadist yang panjang tentang
orang yang telah meninggal dunia dari kalangan ahlu fatrah, maka Rasulullah
berkata: “Demi Allah, sungguh kamu tidak melewati
kuburan orang musyrik mana saja baik orang Amiriy atau Quraisy, maka katakan:
“Muhammad telah mengutus saya kepada kamu untuk memberi kabarmu dengan kabar
yang menakutkan kamu, wajah dan perutmu digusur di dalam api neraka.” [Musnad Imam Ahmad: 4/13 (162/51) lihat Az Zanad Syarh Lum’ah
Al I’tiqad]
Ini dalil yang jelas lagi terang yang tiada kesamaran
sedikitpun di dalamnya, yang mana beliau menghukumi orang ahli fatrah yang mati
di atas syirik dengan api neraka. Padahal mereka itu tidak lain adalah
orang-orang jahil…!
Di antaranya hadits hasan tentang masuknya seseorang kedalam
api neraka karena sebab seekor lalat. Syaikh
Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata dalam penjelasan hadist ini: “Dan dalam hadist ini ada
penghati-hatian dari terpuruk ke dalam syirik. Dan bahwa orang bisa jatuh
kedalamnya sedangkan dia tidak tahu bahwa (perbuatannya) itu tergolong syirik
yang mengharuskan masuk neraka. Dan faidah lain di dalam hadist itu: adalah
bahwa laki-laki tersebut asalnya muslim sebelum (kejadian) itu, karena kalau
bukan muslim (asalnya) tentu beliau (shalallahu
‘alaihi wa sallam) tidak mengatakan: “dia masuk neraka karena lalai.” [Fathul Majid: 132]
Ucapan
beliau: “Dia tidak tahu” artinya bahwa dia itu jahil.
Dan di antaranya hadist permohonan ampunan Nabi shalallahu alahi wasallam buat
ibunya, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tatkala meminta izin untuk memohonkan ampunan bagi ibunya
kepada Rabbnya sebab dia mati dalam kejahiliyyahan, beliau tidak mendapatkan
izin untuk memintakan ampun baginya, karena dia mati di atas ajaran kaumnya
yang penyembah berhala.”
Dan di antaranya hadist yang masyhur yang diriwayatkan oleh Muslim, tatkala beliau ditanya tentang bapak
seseorang yang mati pada masa fatrah, dan beliau memvonis bapak orang tersebut
dan bapak beliau shalallahu ‘alahi wasallam sendiri dengan api neraka, di mana beliau berkata:
إِنَّ
أَبِيْ وَأَبَاكَ فِيْ النَّارِ
“Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.”
Dan karena dia mati di atas syirik terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan peribadatan
terhadap yang lainnya… Maka apa gerangan dengan orang yang berada di tengah
kaum muslimin sedang dia beribadah kepada undang-undang dan para pembuatnya
atau kepada kuburan yang dikeramatkan? Sungguh mereka dan yang serupa dengannya
lebih utama untuk tidak diudzur, karena mereka melakukan syirik akbar sedang
mereka berada di tengah kaum muslimin dan Al Qur’an ada di hadapan mereka, dan
begitu juga sunnah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam ada di antara mereka, namun mereka
berpaling darinya.
III. Ijma’
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata:
“Dan begitu juga Ali membunuh orang-orang yang mengkultuskannya dan membakar
mereka dengan api padahal mereka itu murid para sahabat, mereka rajin ibadah,
shalat dan shaum, dan mereka mengira bahwa mereka itu berada di atas
kebenaran.” [Ijma’] Dan begitu juga ijma’ salaf atau pengkafiran Qadariyyah
yang ekstrim dan yang lainnya padahal mereka itu ahli ilmu, rajin ibadah dan
menduga bahwa mereka itu melakukan perbuatan baik, namun tak seorang salafpun tawaqquf dalam
mengkafirkan mereka dengan alasan bahwa mereka itu tidak memahami. Sesungguhnya
mereka itu semuanya tidak memahami. [Ad Durar As Saniyah: 10/94]
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah juga
berkata tentang orang-orang yang murtad di zaman Abu Bakar Ash Shidiq radliyallahu
‘anhu: Di antara mereka ada orang yang
mendustakan Nabi Muhammad shalallahu
‘alaihi wa sallam dan kembali menyembah berhala seraya
mengatakan: “Seandainya dia (Rasulullah) adalah Nabi tentulah
tidak mati.” Dan di antara mereka ada orang yang tetap
di atas dua kalimat syahadat, namun dia mengakui kenabian Musailamah dengan
dugaan bahwa beliau (Rasulullah) shallallahu
‘alaihi wa sallam menyertakan dia dalam kenabian, karena Musailamah
mengangkat para saksi palsu yang bersaksi baginya akan hal itu, kemudian banyak
dari manusia membenarkan hal itu, namun demikian para ulama ijma’ bahwa mereka adalah orang-orang murtad meskipun
jahil akan hal itu. Dan siapa yang meragukan kemurtadan
mereka maka dia kafir. [Syarh Sittati Muwadli Minas Sirah dalam Majmu’ah At
Tauhid: 23]
Bila saja orang yang mengangkat sosok manusia dalam tingkatan
nabi adalah kafir meskipun dia jahil, maka apa gerangan dengan yang mengangkat
makhluk pada derajat Al Khaliq…?!
Hamd Ibnu Nashir Alu Mu’ammar rahimahullah berkata:
“Para ulama sudah ijma’ bahwa orang yang telah sampai dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya, maka sesungguhnya hujjah Allah telah tegak atasnya.”
Kemudia beliau berkata: “Dan setiap orang yang telah sampai Al Qur’an kepadanya
adalah tidak diudzur.” [Ad Durar As Saniyyah: 72-73]
Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata:
“Ijma’ telah terjalin bahwa orang yang telah sampai kepadanya dakwah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya, maka dia kafir dan tidak diterima darinya alasan ijtihad
karena jelasnya dalil-dalil risalah dan tanda-tanda kenabian.” [Ad Durar As Saniyyah:
10/247]
Dan Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah berkata:
“Dan bila sampai apa yang dibawa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada orang Nashrani dan dia tidak tunduk
kepadanya karena dugaannya bahwa beliau adalah Rasul buat orang Arab saja, maka
dia kafir meskipun kebenaran itu pada saat itu belum jelas baginya. Begitu juga
setiap orang yang telah sampai dakwah rasul kepadanya dengan cara yang mana
dengannya dia mengetahui apa yang dimaksud dan yang dituju, terus dia menolak
hal itu karena suatu syubhat atau yang lainnya, maka dia kafir meskipun masalahnya
masih kabur atas dia, dan ini tidak ada perbedaan di dalamnya.” [Mishbah Adh
Dhalam: 326]
Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata:
“Bila pelaku syirik akbar diudzur karena kejahilannya, maka siapa orang yang
tidak diudzur? Dan lazim (konsekuensi harus) klaim ini adalah bahwa Allah tidak
memiliki hujjah kepada seorangpun kecuali atas orang yang membangkang
(mu’anid), padahal orang yang mengklaim hal ini tidak mungkin baginya membakukan
kaidah ini, akan tetapi mesti dia itu jatuh dalam kontradiksi, karena
sesungguhnya dia tidak bisa tawaqquf dalam mengkafirkan orang yang ragu akan risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atau ragu akan hari kebangkitan atau ushulud dien yang lainnya,
sedangkan orang yang ragu itu adalah jahil. Dan para ahli fiqh menyebutkan
dalam kitab-kitab fiqh hukum orang murtad, yang mana dia adalah orang muslim
yang kafir setelah Islamnya, baik dengan ucapan, perbuatan, keyakinan atau
keragu-raguan, sedangkan sebab keragu-raguan adalah kejahilan. Konsekuensi
wajib klaim orang ini adalah bahwa dia tidak mengkafirkan orang-orang jahil
dari kalangan Yahudi, Nashrani, orang-orang yang sujud kepada matahari, bulan
dan patung, karena sebab kejahilan mereka, dan tidak pula mengkafirkan
orang-orang yang dibakar Ali radliyallahu
‘anhu dengan api, karena sesungguhnya kita
pastikan bahwa mereka itu adalah orang-orang jahil. Sedangkan para ulama sudah
ijma’ atas kafirnya orang yang tidak mengkafirkan orang-orang Yahudi dan Nashrani
atau orang yang ragu akan kekafiran mereka, sedangkan kita menyakini bahwa mayoritas
mereka adalah orang-orang jahil.” [Al Intishar Li Hizbillahil Muwahhidin, Aqidatul
Muwahhidin: 16]
Dan dia berkata juga rahimahullah: “Orang yang mengklaim bahwa pelaku kekafiran (syirik) karena
takwil, atau ijtihad, atau keliru (memahami) atau taqlid, atau kejahilan
diudzur, sungguh dia itu menyelisihi Al Kitab, As Sunnah, dan ijma’ tanpa diragukan
lagi. Lagi pula dia itu mesti menggugurkan kaidah pegangannya ini, dan kalau seandainya
dia membakukan kaidahnya ini maka dia telah kafir tanpa diragukan, sebagaimana
seandainya dia tawaqquf dalam mengkafirkan orang yang ragu akan risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Al Intishar, Aqidatul Muwahhidin: 18]
Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata
seraya menukil dari penulis Ikhtiyarat Ibni Taimiyyah: “Orang murtad adalah
orang yang menyekutukan Allah, atau yang membenci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau (membenci) apa yang beliau bawa, atau meninggalkan
pengingkaran setiap kemungkaran dalam hatinya, atau menduga bahwa di antara
para sahabat itu ada orang yang berperang bersama orang-orang kafir atau
membolehkan hal itu atau mengingkari hal yang diijma’kan dengan ijma’ yang
qath’iy, atau menjadikan antara dirinya dengan Allah perantara-perantara yang mana
ia tawakkal terhadapnya, memohonnya, memintanya, maka (pelakunya) kafir berdasarkan
ijma’. Dan siapa yang ragu akan satu sifat dari sifat-sifat Allah sedangkan orang
seperti dia ini tidak (layak) jahil akannya, maka dia murtad, dan bila orang
seperti dia itu (layak) tidak mengetahuinya maka dia tidak murtad, oleh sebab
ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkafirkan orang yang ragu akan qudrah Allah ta’ala.”
Syaikh Aba Buthain menyatakan:
“Beliau sebutkan begitu saja dalam hal-hal yang membuat kafir yang di muka,
namun beliau dalam masalah sifat (Allah Subhanahu
Wa Ta’ala) membedakan antara orang jahil dengan
yang lainnya.” [Al Intishar, Aqidatul Muwahhidin: 18-19]
Dan beliau juga berkata juga setelah menukil perkataan Ibnu
Taimiyyah rahimahullah: “Sungguh beliau rahimahullah
telah memastikan dalam banyak tempat akan kekafiran
orang yang melakukan macam-macam kemusyrikan yang beliau sebutkan, dan beliau
menghikayatkan ijma’ kaum muslimin atas hal itu dan beliau tidak mengecualikan orang
yang jahil dan yang lainnya. Allah Subhanahu
Wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni penyekutuan
terhadap-Nya.” (An Nisa: 48). Dan Dia berfirman tentang
(Isa) Al Masih, bahwa ia berkata:
“Siapa yang menyekutukan Allah, maka sungguh telah Allah haramkan
surga atasnya dan tempat kembalinya adalah nereka” (QS. Al Maidah [5]: 72)
Maka siapa yang mengkhususkan ancaman itu bagi orang yang membangkang
(mu’anid) saja, dan dia mengeluarkan orang jahil, orang yang melakukan takwil,
dan orang yang taqlid (dari ancaman tersebut), maka sungguh dia telah
menyelisihi Allah dan Rasul-Nya serta dia telah keluar dari jalan kaum mukminin
(ijma’). Padahal para fuqaha telah memulai bab hukum orang murtad dengan bab
orang yang menyekutukan Allah, dan mereka tidak membatasi itu bagi mu’anid saja. Dan hal ini
adalah jelas sekali walillaahil hamd. Allah Subhanahu
Wa Ta’ala berfirman:
رُّسُلٗا
مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ
بَعۡدَ ٱلرُّسُلِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمٗا ١٦٥
“(mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira
dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah
Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”. (QS. An Nisa [4]: 165)
[Al Intishar, Aqidatul Muwahhidin: 27]
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata
tatkala menukil perkataan Ibnu Taimiyyah dalam masalah takfier: (Saya adalah
tergolong orang yang paling melarang penisbatan orang mu’ayyan terhadap
takfier, tabdi’ (bid’ah), tafsiq, atau maksiat kecuali bila telah diketahui
bahwa telah tegak hujjah atasnya hujjah risaliyyah yang mana orang yang
menyelisihinya bisa menjadi kafir, fasiq, atau maksiat). Syaikh Muhammad berkata:
“Ini adalah bentuk ucapannya dalam masalah ini. Di setiap tempat yang kami kaji
dari pernyataannya, beliau tidak menyebutkan sikap tidak kafir mu’ayyan melainkan
beliau menyusul perkataannya itu dengan (ungkapan) yang bisa menghilangkan
kemusykilan, bahwa yang dimaksud dengan sikap tawaqquf
dari mengkafirkannya adalah sebelum
sampainya hujjah kepadanya. Adapun bila hujjah telah sampai kepadanya maka dia
itu divonis sesuai dengan tuntutan masalah ini, baik takfier, tafsiq, atau
maksiat. Dan beliau rahimahullah tegas-tegasan menyatakan bahwa ucapannya itu adalah di dalam
selain masalah-masalah dhahirah. Beliau menyatakan dalam Ar Rad ‘Alal Mutakallimin tatkala menuturkan bahwa sebagian imam-imam mereka murtad dari
Islam, beliau berkata: “Dan hal ini bila dalam maqalat khafiyyah (masalah-masalah
yang samar) bisa dikatakan bahwa dia itu adalah orang yang keliru yang sesat di
dalamnya yang mana belum tegak atasnya hujjah yang membuat kafir orang yang meninggalkannya.
Namun (kesalahan) ini muncul dari mereka dalam hal-hal yang mana orang-orang
khusus dan orang-orang awam dari kaum muslimin mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus dengannya dan beliau kafirkan orang yang menyelisihinya
seperti peribadatan terhadap Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya dan larangan
dari beribadah kepada selain-Nya baik berupa malaikat, para Nabi dan yang lainnya,
sesungguhnya ini syiar-syiar Islam yang paling nyata, dan seperti wajibnya shalat
lima waktu dan pengagungan status shalat ini, juga seperti pengharaman fawahisy (perbuatan-perbuatan
keji), riba, khamar, dan judi. Kemudian engkau dapati banyak dari tokoh-tokoh
mereka terjatuh di dalamnya maka mereka itu murtad, bahkan lebih dahsyat dari
itu bahwa di antara mereka ada orang yang menulis tulisan dalam ajaran kaum musyrikin
seperti yang dilakukan oleh ‘Abdillah Ar Raziy yaitu (Al Fakhru Ar Raziy), beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata: “Dan ini adalah kemurtadan
yang terang dengan kesepakatan kaum muslimin.” Kemudian Syaikh Muhammad
berkata: “Dan kami tidak mengetahui penyelisihan dalam masalah ini dari seorang
ulamapun.” [Mufid Al Mustafid: 54-55]
Syaikh Abdullah Aba Buthain berkata
juga: Para ulama ijma’ bahwa tidak boleh taqlid dalam urusan tauhid dan
kerasulan. [Ad Durar As Saniyyah Fil Ajwibah An Najdiyyah: 10/399-400].
IV. Pernyataan Para Imam
Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Aba Buthain rahimahullah berkata:
“Dan siapa yang mengucapkan Laa ilaaha
illallaah namun dia melakukan syirik akbar, seperti permintaan
kepada mayyit dan yang ghaib, permohonan kepada mereka untuk memenuhi kebutuhan
dan diselamatkan dari bencana serta taqarrub kepada mereka dengan nadzar dan
sembelihan, maka dia musyrik, mau tidak mau. [Risalah makna kalimah At Tauhid
dalam Al Kalimat An Nafi’ah: 106]
Dan beliau berkata: “Dan termasuk hal yang maklum adalah bahwa
syirik itu hanyalah diharamkan karena keburukan pada dzatnya dan karena ia
mengandung celaan dan hinaan terhadap Rabb serta menyerupakan-Nya dengan para
makhluk, sehingga kerusakan-kerusakan ini tidak bisa hilang dengan cara merubah
namanya, seperti penamaannya sebagai tawassul, minta syafa’at, pengagungan dan
penghormatan terhadap orang-orang shalih dan yang lainnya. Orang musyrik itu
adalah orang musyrik, mau tidak mau, sebagaimana pezina itu adalah pezina mau
tidak mau, dan begitu juga pemakan riba itu adalah pemakan riba, mau tidak
mau.” [Ta’rif Al Ibadah: 155 dalam cetakan Al Kalimat An Nafi’ah]
Dan beliau berkata juga: “Sesungguhnya beliau (Ibnu Taimiyyah)
mensyaratkan fahmul hujjah dalam hal-hal yang samar atas banyak manusia serta tidak ada
penohokan di dalamnya terhadap tauhid dan risalah, seperti jahil akan sebagian
sifat (Allah).
Adapun hal-hal yang langsung menohok Tauhid dan keimanan
terhadap risalah, maka sesungguhnya beliau telah menegaskan dalam banyak tempat
terhadap kekafiran para pelakunya serta hukuman bunuh bagi mereka setelah
disuruh bertaubat, dan beliau tidak mengudzur mereka dengan sebab kejahilan,
padahal kita memastikan bahwa penyebab keterjatuhan mereka dalam hal-hal
tersebut adalah kejahilan. Karena kalau seandainya mereka mengetahui bahwa hal
itu adalah kekafiran yang mengeluarkan dari Islam tentulah mereka tidak
melakukannya.” [Al Kufru Al Ladzi Yu’dzaru Shahibuhu Bil Jahli: 14, Ad Durar
Saniyyah: 10/368]
Dan beliau berkata juga: “Dan perkataannya (Ibnu Taimiyyah) rahimahullah dalam
hal seperti itu adalah banyak, beliau tidak mengkhususkan takfir terhadap orang
mu’anid saja, padahal dipastikan bahwa mayoritas mereka itu adalah orang-orang
jahil yang tidak mengetahui bahwa apa yang mereka ucapkan atau mereka lakukan
itu adalah kekafiran, mereka tidak diudzur dengan sebab kajahilan dalam hal-hal
seperti ini, karena di antara hal itu ada yang langsung menohok tauhid yang
merupakan kewajiban terbesar, dan di antaranya ada yang mengandung penentangan
terhadap risalah dan penolakan nash-nash Al Kitab dan As Sunah yang sudah di
ijma’kan oleh ulama salaf.” [Al Kufru Al Ladzi Yu’dzaru Shahibuhu Bil Jahli:
16]
Dan beliau berkata lagi: “Masalahnya sebagaimana yang dikatakan
(oleh Ibnul Qayyim) rahimahullah bahwa sebab terjadinya syirik adalah nampaknya kajahilan, menghilangnya
ilmu, sedikitnya ulama dan dominannya orang-orang bodoh…” [Al Intishar,
Aqidatul Muwahhidin: 31]
Dan beliau berkata lagi seraya menukil dari Ibnul Qayyim: “Dan Ibnul
Qayyim berkata: “Saya melihat ucapan yang indah milik Abul Wafa Ibnu Uqail.
Saya tuturkan lengkap ucapannya: Tatkala taklif ini dirasa berat oleh
orang-orang jahil dan para pengekor, maka mereka berpaling dari
tuntunan-tuntunan syariat kepada tuntunan-tuntunan yang mereka buat-buat bagi
mereka sendiri, sehingga terasa mudah atas mereka, karena mereka dengannya
tidak berada dalam perintah selain mereka.” Beliau (Abul Wafa) berkata: Dan
mereka adalah orang-orang kafir menurut saya dengan sebab perbuatan-perbuatan
ini.
Dan Aba Buthain rahimahullah berkata:
“lihatlah pengkafiran Ibnu Uqail terhadap mereka padahal beliau mengabarkan
kejahilan mereka.” [Al-Intishar, Aqidatul Muwahhidin: 33]
Perkataan
Ibnu Uqail ini dinukil juga oleh Syaikh Muhammad dalam Mufid Al Mustafid.
[lihat Aqidatul Muwahhidin: 64 dan Tarikh Nejed: 375].
Beliau (Aba Buthain) rahimahullah
ditanya tentang orang yang melakukan salah
satu dari mukaffirah karena kejahilan, apakah dia kafir atau tidak, bila tidak
mengetahui bahwa apa yang dia lakukan itu adalah kekafiran? Beliau menjawab
setelah menuturkan 3 ayat 163-165 dari surat An Nisa: “Tidak ada udzur bagi
seorangpun setelah diutusnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam ketidakberimanan terhadap beliau dan
apa yang beliau bawa dengan alasan dia tidak memahami hujjah-hujjah dan penjelasan-penjelasan
Allah, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengabarkan tentang orang-orang kafir bahwa mereka itu
tidak paham…” [Ad Durar As Saniyyah: 10/351/352]
Dan berkata juga (Ibnu Taimiyyah) memvonis kemurtaddan mereka
(yaitu tokoh-tokoh ahli kalam) begitu saja dan beliau tidak tawaqquf pada
orang-orang yang jahil. [Ad Durar As Saniyyah: 10/355]
Dan berkata juga: “Siapa orangnya yang telah sampai kepadanya
risalah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Al Qur’an juga sampai kepadanya maka hujjah telah tegak
atasnya, sehingga tidak ada udzur dalam ketidakberimanan kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir,
kemudian tidak ada udzur baginya karena kajahilan setelah itu.” [Ad Durar As
Saniyyah: 10/365]
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab berkata: “Sesungguhnya engkau bila telah mengetahui bahwa orang
menjadi kafir dengan satu kalimat yang dilontarkan dari lisannya, dan terkadang
dia mengucapkannya sedang dia jahil, namun dia tidak diudzur karena kejahilan.”
[Kasyfu Asy Syubuhat, Majmuah At Tauhid: 60]
Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab menukil dari Ibnu Hajar dalam kitab Az Zawajir ‘An Iqtirafil Kabair: “Penjelasan syirik, dan beliau menuturkan sejumlah darinya
karena banyak terjadinya di antara menusia dan di lisan-lisan orang awam tanpa
mereka mengetahui (mereka jahil) bahwa hal itu seperti itu, sehingga bila jelas
(status)nya bagi mereka maka mudah-mudahan mereka menjauhinya supaya tidak
hapus amalan-amalan orang yang melakukan hal itu dan mereka kekal dalam adzab
yang sangat besar dan siksa yang sangat pedih.” [Al Kalimat An Nafi’ah: 40]
Dan berkata juga: “Dan Al Qur’an sangat sarat dengan ayat-ayat
seperti ini, namun mayoritas manusia tidak merasa akan masuknya realita (mereka)
dalam kandungan (makna)nya, dan dia mengiranya berkenaan dengan orang-orang
yang sudah lewat dan tidak meninggalkan penerus. Inilah yang menghalangi antara
seseorang dengan memahami Al Qur’an, sebagaimana apa yang dikatakan oleh Umar
Ibnul Khattab radhiyallahu’anhu: Ikatan-ikatan Islam ini terurai satu demi satu bila tumbuh di
dalam Islam ini orang yang tidak mengetahui jahiliyyah. Ini dikarenakan
seandainya dia tidak mengetahui syirik dan apa yang dicela dan dikecam oleh Al
Qur’an maka dia jatuh kedalamnya dan merestuinya sedangkan dia tidak mengetahui
bahwa itu adalah apa yang dikerjakan oleh orang-orang jahiliyyah sehingga
dengannya terurailah ikatan-ikatan Islam.” [Al Kalimat An Nafi’ah: 13 -14]
Al Imam Al Bukhari berkata:
Bab maksiat-maksiat adalah termasuk masalah (peninggalan) jahiliyyah dan
pelakunya tidak dikafirkan kecuali dengan sebab syirik berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alahi wasallam:
“Sesungguhnya kamu adalah orang yang pada
dirimu ada sifat kejahiliyyahan.”
Dan Allah berfirman:
إِنَّ
ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن
يَشَآءُ
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni penyekutuan terhadap-Nya
dan mengampuni (dosa) apa yang dibawah itu bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa [4]: 48) [Kitab
Al Iman: 10]
Al Imam Al Barbahari rahimahullah
berkata: “Dan seorangpun dari Ahli kiblat tidak
boleh divonis keluar dari Islam sehingga ia menolak satu ayat dari Kitabullah
‘Azza wa Jalla atau menolak sebagian dari atsar-atsar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menyembelih untuk selain Allah atau shalat kepada selain
Allah, dan bila dia melakukan sesuatu dari hal itu maka wajib atas kamu
mengeluarkan dia dari Islam. Dan bila tidak melakukan sesuatu darinya maka dia
itu muslim secara nama tidak secara hakikat (sebenarnya).” [Syarhus Sunnah poin
49]
Al Imam Asy Syaukani rahimahullah
berkata dalam bab Al Ijtihad: “Pertama: Kekeliruan
yang bisa menjadi penghalang dari mengetahui Allah dan Rasul-Nya sebagaimana
dalam menerapkan ilmu akan Pencipta, tauhid dan keadilan. Para ulama mengatakan:
masalah seperti ini kebenaran di dalamnya adalah hanya satu, siapa yang menepatinya
maka ia sampai pada kebenaran dan siapa yang keliru di dalamnya maka dia
kafir.” [Irsyadul Fuhul 2/227, Al Haqaaiq]
Dan berkata juga: “Sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallaah tanpa
mengamalkan maknanya tidaklah menetapkan keislaman(nya), karena sandainya
kalimat ini diucapkan oleh seorang dari ahlul jahiliyyah dan dia masih tetap
beribadah kepada berhalanya tentulah hal itu bukan bentuk keIslaman(nya).” [Ad
Durr An Nadlid: 77]
Dan beliau berkata: “Bila engkau mengatakan: orang-orang yang
mengkultuskan orang-orang yang sudah mati tidak mengetahui bahwa apa yang
mereka lakukan adalah syirik, bahkan seandainya dia mengetahui sedikit saja
bahwa itu adalah syirik tentulah dia tidak akan melakukannya. Maka saya
katakan: masalahnya memang seperti apa yang engkau katakan, namun tidak samar
lagi atas dirimu apa yang sudah baku dalam sebab-sebab kemurtaddan bahwa tidak
disyaratkan dalam keadaan riddah itu Al Ilmu (tahu) akan makna yang diucapkan oleh orang yang
mendatangkan lafadh kekafiran atau yang dilakukan oleh orang yang melakukan
perbuatan kafir.” [Ad Durar An Nadlid: 82]
Al Imam Ibnu Qudamah berkata
dalam Raudhatun Nadhir: “Al Jahidh mengklaim bahwa orang yang menyelisihi millah Al Islam bila dia
memandang kemudian tidak mampu mendapatkan kebenaran, maka dia diudzur lagi
tidak dosa...” Kemudian beliau (Ibnu Qudamah) berkata: “Adapun pendapat Al
Jahidh maka bathil secara yakin dan kekafiran terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan
bentuk penolakan akan Allah dan Rasul-Nya shalallahu
‘alaihi wa sallam, karena kita mengetahui secara pasti
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang Yahudi dan Nashrani untuk masuk Islam
dan mengikutinya, serta beliau mencela mereka atas sikap keras kepala mereka,
beliau perangi semuanya dan membunuhi orang yang sudah baligh di antara mereka,
sedangkan kita mengetahui bahwa orang mu’anid
(membangkang) yang mengetahui (kebenaran)
itu adalah tergolong jarang, dan justeru mayoritasnya adalah kaum muqallidin yang
menyakini ajaran pendahulu mereka secara taqlid, dan mereka tidak mengetahui
mukjizat dan kejujuran Rasulullah. [Ithaf Dzawil Bashaa-ir, Tahqiq Abdul Karim
An Namlah: 8/76-78]
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata
dalam pembatal-pembatal keislaman: Dan tidak ada perbedaan dalam semua
pembatal-pembatal ini antara orang yang main-main dan serius serta yang takut,
kecuali orang yang dipaksa. [Majmu’ah At Tauhid: 25]
Dan
beliau tidak mengecualikan orang jahil, atau melakukan takwil, atau salah ijtihad,
atau taqlid.
Syaikh Muhammad berkata
tatkala menukil perkataan Ibnu Taimiyyah dalam masalah takfier (Saya adalah
tergolong orang yang paling melarang penisbatan orang mu’ayyan terhadap
takfier, tabdi’ (bid’ah), tafsiq, atau maksiat kecuali bila telah diketahui bahwa
telah tegak hujjah atasnya hujjah risaliyyah yang mana orang yang
menyelisihinya bisa menjadi kafir, fasiq, atau maksiat). Syaikh Muhammad berkata:
“Ini adalah bentuk ucapannya dalam masalah ini. Di setiap tempat yang kami kaji
dari pernyataannya, beliau tidak menyebutkan sikap tidak kafir mu’ayyan melainkan
beliau itu menyusul perkataannya itu
dengan (ungkapan) yang bisa menghilangkan kemusykilan, bahwa yang dimaksud
dengan sikap tawaqquf dari mengkafirkannya adalah sebelum sampainya hujjah kepadanya.
Adapun bila hujjah telah sampai kepadanya maka dia itu divonis sesuai dengan
tuntutan masalah ini, baik takfier, tafsiq, atau maksiat. Dan beliau rahimahullah tegas-tegasan
menyatakan bahwa ucapannya itu adalah dalam selain masalah-masalah dhahirah.
Beliau menyatakan dalam Ar Rad ‘Alal
Mutakallimin tatkala menuturkan bahwa sebagian
imam-imam mereka murtad dari Islam, beliau berkata:
“Dan hal ini bila dalam maqalat
khafiyyah (hal-hal yang masih samar) bisa dikatakan bahwa
dia itu adalah orang yang keliru yang sesat di dalamnya yang mana belum tegak atasnya
hujjah yang membuat kafir orang yang meninggalkannya. Namun (kesalahan) ini muncul
dari mereka dalam hal-hal yang mana orang-orang khusus dan orang-orang awam
dari kaum muslimin mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus dengannya dan beliau kafirkan orang yang menyelisihinya
seperti peribadatan terhadap Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya dan larangan
dari beribadah kepada selain-Nya baik berupa malaikat, para Nabi dan yang
lainnya, sesungguhnya ini syiar-syiar Islam yang paling nyata, dan seperti
wajibnya shalat lima waktu dan pengagungan status shalat ini, juga seperti
pengharaman fawahisy (perbuatan-perbuatan keji), riba, khamar, dan judi. Kemudian
engkau dapati banyak dari tokoh-tokoh mereka terjatuh di dalamnya maka mereka
itu murtad, bahkan lebih dahsyat dari itu bahwa di antara mereka ada orang yang
menulis tulisan dalam ajaran kaum musyrikin seperti yang dilakukan oleh
‘Abdillah Ar Raziy yaitu (Al Fakhru Ar Raziy), beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata:
“Dan ini adalah kemurtadan yang terang dengan kesepakatan kaum muslimin.”
Kemudian
Syaikh Muhammad berkata: “Dan kami tidak mengetahui penyelisihan dalam masalah
ini dari seorang ulamapun.” [Mufid Al Mustafid: 54-55]
Dan sebelumnya beliau menyebutkan bahwa Al Fakhru Ar Raziy, Abu
Mi’syar dan yang lainnya bahwa mereka telah murtad dan kafir dari Islam. [Mufid
Al Mustafid: 54]
Beliau berkata dalam risalah hakikat makna Laa ilaaha illallaah:
Maka dikatakan kepada orang jahil ini bila kamu tahu al ilah adalah
al ma’bud (yang diibadati) dan kamu tahu bahwa do’a termasuk ibadah, maka
bagaimana kamu berdo’a kepada makhluk yang mati lagi lemah dan kamu tinggalkan
Dzat Yang Maha Hidup Yang Maha Berdiri Sendiri Yang Maha Lembut Yang Maha
Penyanyang lagi Maha Kuasa…? Maka orang musyrik ini malah mengatakan:
“Sesungguhnya segala urusan ada di Tangan Allah, namun orang shalih ini memberi
syafaat bagi saya. Dan dia mengira bahwa hal itu menyelamatkan dia dari
syirik”. [Aqaa-idul Islam: 17]
Beliau berkata juga setelah menuturkan hadist-hadist:
“Hadist-hadist shahih ini bila dilihat oleh orang jahil ini atau sebagiannya,
atau dia mendengarnya dari orang lain, maka jiwanya senang dan matanya
berbinar… padahal masalah tidak seperti apa yang dikira oleh orang jahil yang
musyrik ini.” [Risalah Fisy Syahadatain Aqaa-idul Islam: 24]
Dan beliau berkata setelah menyebutkan Khawarij: “Apakah orang
jahil yang musyrik ini mengira bahwa mereka meninggalkan hal itu karena alasan
mereka itu mambaca tasbih, tahlil dan takbir.” [Risalah Fisy Syahadatain
Aqaa-idul Islam: 25]
Dan beliau berkata juga dalam risalah lain tentang Kalimah At Tauhid setelah
menuturkan ayat-ayat: “Maka ketahuilah bahwa wasiat Allah bagi hamba-hamba-Nya adalah
kalimah Tauhid yang memilah antara kekafiran dan Islam. Maka saat itu terpecahlah
manusia, baik karena kejahilan, atau aniaya, atau pembangkangan.” [Aqaid Al
Islam: 37]
Dan beliau berkata lagi dalam suratnya kepada Abdurrahman Ibnu
Rabi’ah: “Siapa yang beribadah kepada Allah siang dan malam kemudian dia
menyeru Nabi atau wali di sisi kuburannya, maka dia telah mengangkat dua tuhan
dan tidak bersaksi akan Laa ilaaha
illallah, karena al
ilah adalah apa yang diseru sebagaimana apa
yang dilakukan oleh orang-orang musyrik pada hari ini dikuburan Az Zubair,
Abdul Qadir atau yang lainnya dan sebagaimana yang dilakukan sebelumnya di
kuburan Zaid dan yang lain.“ [Tarikh Nejed: 341]
Beliau berkata kepada orang yang menuduhnya dengan berbagai
tuduhan, berkata seraya membantah: “Al hamdulillaah Amma ba’du, apa yang
disebutkan oleh orang-orang musyrik bahwa saya melarang baca shalawat kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau saya pernah menyatakan bahwa seandainya saya punya kuasa
saya sudah hancurkan kubah (kuburan) Nabi shalallahu
‘alahi wasallam atau (tuduhan) bahwa saya menjelek-jelekkan
orang shaleh atau bahwa saya melarang mencintai mereka. Semua ini adalah dusta
dan fitnah yang dibuat-buat atas nama saya oleh syaitan-syaitan yang ingin memakan
harta orang lain dengan bathil, seperti Syamsan dan anak-anak Idris yang menyuruh
orang-orang agar bernadzar buat mereka, memohon kepada mereka dan menyerunya,
dan begitu syaitan-syaitan yang faqir yang mengaku-ngaku pengagung Syaikh Abdul
Qadir rahimahullah padahal beliau berlepas diri dari mereka seperi bara’-nya Ali Ibnu Abi
Thalib rahimahullah dari Rafidlah. Maka tatkala orang-orang melihat saya memerintahkan
mereka dengan apa yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu agar mereka tidak beribadah kecuali kepada Allah dan
bahwa orang yang menyeru Abdul Qadir adalah kafir dan Abdul Qadir bara’ dari
mereka…” [Tarikh Nejd: 468]
Beliau
katakan: “Dan sesungguhnya kami kafirkan thaghut penduduk Kharj dan yang lainya
karena sebab perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan, di antaranya:
►
Sesungguhnya
mereka menjadikan bapak-bapak dan kakek-kakek mereka sebagai perantara.
►
Dan
juga mereka mengajak manusia kepada kekufuran.
►
Dan
juga mereka membuat orang-orang benci akan dien Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka mengklaim bahwa penduduk ‘Aridl telah kafir tatkala menyatakan
tidak ada yang (berhak) diibadati kecuali Allah.
►
Dan
macam-macam kekafiran lainnya.
Ini adalah hal yang jelas yang lebih terang dari matahari yang
tidak membutuhkan penjelasan (lagi), namun kamu ini adalah laki-laki yang bodoh lagi musyrik…”
Kemudian beliau berkata: “Dan adapun masalah yang ketiga: Yaitu
tipu daya kamu yang paling besar yang dengannya kamu menipu orang awam: Bahwa
para ulama berkata (Tidak boleh mengkafirkan orang muslim dengan sebab dzanb (dosa)): Ini adalah benar, namun ini bukan
apa yang kami lakukan, dan itu (sebabnya) adalah bahwa Khawarij mengkafirkan
orang yang berzina, atau orang yang mencuri, atau orang yang membunuh, bahkan
bila setiap dosa besar dilakukan oleh orang muslim maka dia kafir.
Adapun Ahlus Sunnah, sesungguhnya madzhab mereka adalah bahwa
orang muslim tidak dikafirkan kecuali dengan sebab syirik. Sedangkan kami tidak
mengkafirkan thaghut-tahghut dan para pengikutnya kecuali dengan sebab syirik,
dan kamu ini adalah tergolong orang yang paling bodoh, kamu kira bahwa orang
yang shalat dan mengaku Islam itu tidak bisa kafir, kalau kamu meyakini itu,
maka apa pendapat kamu tentang orang-orang munafiq yang ikut shalat, shaum dan
ikut jihad…?” [Tarikh Nejd: 304-305 Surat kepada Ibnu Suhaim Qadli Riyad],
silahkan baca Tarikh Nejd bagi orang yang ingin petunjuk !!
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya orang yang melakukan syirik berarti telah meninggalkan Tauhid,
karena keduanya adalah dua hal yang kontradiksi yang tidak bisa bersatu, di
kala syirik ada maka Tauhid menghilang.” [Syarh Ashli Dien Al Islam, Majmu’ah
At Tauhid: 28]
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab berkata: “Dan orang yang menyelisihi dalam hal itu adalah
bermacam-macam, dan orang yang paling dahsyat penyelisihannya adalah orang yang
menyelisihi dalam semua itu.”
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata
seraya mensyarah ucapan Syaikh Muhammad: “Dia menerima syirik seraya
meyakininya sebagai dien (ajaran) dan dia mengingkarai Tauhid dan meyakini
sebagai kebathilan, sebagaimana realitas mayoritas (orang yang mengaku Islam).
Dan sebabnya adalah kebodohan akan kandungan Al Kitab dan As Sunnah berupa ma’rifah akan
Tauhid dan apa yang menafikannya berupa syirik, tandid, mengikuti hawa nafsu
dan apa yang diwariskan oleh nenek moyang, seperti keadaan para pendahulu
mereka dari kalangan musuh para rasul. Mereka menuduh ahli Tauhid dengan
tuduhan dusta, bohong, mengada-ada dan nista, dan dalih mereka adalah: “Sesungguhnya kami mendapatkan bapak-bapak kami begitulah mereka
melakukan.” (QS. Asy Syu’ara [26]: 74). Orang macam ini dan yang sesudahnya telah melanggar kandungan kalimat
ikhlas dan makna yang ditunjukannya serta isinya berupa dien yang mana Allah
tidak menerima dien selainnya yaitu Al Islam.” [Syarh Ashli Dienul Islam,
Majmu’ah At Tauhid: 29-30]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata
dalam Fatawa Al Aimmah An Najdiyyah 3/155: Dalam jawaban Ibnu Taimiyyah dalam Fatawa Al Mishriyyah
tentang ahli filsafat, setelah beliau menuturkan apa yang mereka yakini, beliau
berkata: “Dan Syaikhul Islam tidak mengatakan bahwa mereka itu diudzur karena kejahilan,
namun justeru beliau mengkafirkan mereka dan mengatakan bahwa mereka itu murtad”,
beliau berkata: “Dan siapa yang menyembunyikan (keyakinannya) maka dia itu munafiq
yang tidak disuruh taubat menurut mayoritas ulama.” [Al Mutammimah Li Kalami
Aimatid Dakwah: 22]
Dan beliau berkata: “Dikatakan setiap orang kafir pasti telah
keliru dan orang-orang musyrik itu mesti memiliki pentakwilan-pentakwilan dan
meyakini bahwa penyekutuan mereka dengan orang-orang shaleh itu adalah bentuk
pengagungan terhadap mereka yang manfa’at bagi mereka dan bisa membela mereka,
namun mereka tidak diudzur dengan sebab kekeliruan itu dan juga dengan sebab
takwil tersebut.” [Al Fatawa Al Aimmahh An Najdiyyah 3/168, Al Mutammimah
22-23]
Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah:
“Dan kita mengetahui orang yang melakukan hal itu (maksudnya syirik) dari
kalangan orang yang mengaku Islam, bahwa tidak ada yang menjerumuskan mereka ke
dalam hal itu kecuali kejahilan.
Seandainya mereka mengetahui bahwa hal itu menjauhkan dari Allah sejauh-jauhnya
dan (mengetahui) bahwa itu tergolong syirik yang telah Allah haramkan, tentulah
mereka tidak melakukannya, namun semua ulama telah mengkafirkan mereka dan
tidak mengudzur karena kejahilan sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian
orang-orang sesat: “Sesungguhnya mereka itu diudzur karena sesungguhnya mereka
itu jahil.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/405]
Beliau berkata juga: “Dan apa yang telah lalu berupa
penghikayatan Syaikhul Islam rahimahullah
terhadap ijma’ kaum muslimin bahwa orang
yang menjadikan antara dia dengan Allah para perantara yang mana ia tawakkal
terhadap mereka dan mohon kepada mereka penghadiran manfa’at dan penolakan
bahaya bahwa dia itu kafir musyrik (penghikayatan ijma’) itu meliputi orang
yang jahil dan
lainnya.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/393]
Dan beliau berkata lagi: “Dan semua ulama dalam kitab-kitab
Fiqh menyebutkan hukum orang murtad, dan macam kekafiran dan kemurtaddan yang
paling pertama mereka sebutkan adalah syirik, mereka berkata: sesungguhnya
siapa yang menyekutukan Allah maka dia telah kafir, dan mereka tidak mengecualikan orang jahil.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/402]
Dan berkata lagi: “Dan Al Qur’an membantah orang yang
menyatakan, “bahwa orang taqlid itu diudzur” (orang yang mengatakan demikian)
sungguh telah mengada-ada dan berdusta atas nama Allah.” [Ad Durar As Saniyyah:
10/394]
Syaikh Abdullathif Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya seluruh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik semenjak zaman
Nuh hingga masa kita ini mereka jahil dan melakukan takwil. Ahlul Hulul Wal
Ittihad, Ibnu ‘Arabiy, Ibnu Faridl At Tilimsaniy dan yang lainnya dari kalangan
Shufiyyah mereka melakukan takwil. Para ‘Ubbadul Qubur dan kaum musyrikin yang
menjadi fokus pembicaraan, mereka juga melakukan takwil –hingga beliau
mengatakan- dan orang-orang Nashrani juga melakukan takwil.” [Minhaj At Ta’sis:
262]
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata:
“Syirik akbar berupa ibadah kepada selain Allah dan memalingkannya kepada
makhluk-makhluk yang mereka sekutukan bersama Allah, berupa para Nabi, para
wali dan orang-orang shalih, sesungguhnya hal ini tidak seorangpun diudzur
karena kejahilan akannya, namun mengetahuinya dan iman kepadanya termasuk
hal-hal yang paling pokok dalam Islam.” [Kasyfu Asy Syubhatain: 63]
Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Abdullathif Ibnu Abdirrahman
Ibnu Hasan Ibnu Muhammad ditanya dan di
daftar isi pengumpul fatwa-fatwanya mengatakan: Apakah diudzur karena kejahilan
dalam tauhid, kemudian pengumpul berkata: Beliau (Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim)
ditanya: meskipun dia itu jahil…? beliau menjawab: Tauhid, tidak dianggap
kejahilan di dalamnya. Hal seperti ini tidak layak tidak diketahui. Orang
seperi ini hanyalah berpaling dari dien. Apakah orang tidak tahu matahari ?”
[Al Fatawa 12/198, Al Mutammimah: 36]
Syaikh Abu ‘Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid rahimahullah berkata:
“Ashlud Dien adalah mengenal Allah ‘Azza wa Jalla dan beribadah kepada-Nya saja
tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan hal ini tidak ada udzur karena kajahilan di
dalamnya, sama saja apakah tempat kemungkinan ilmu ada seperti Darul Islam atau
tidak ada seperti Darul Harbi, dan sama saja apakah penegakan hujjah itu sudah
terjadi atau belum.
Dan
wajib menganggap orang yang jahil darinya sebagai orang kafir dalam urusan dhahir.”
[Al Jawabul Mufid dalam Aqidatul Muwahhidin: 327]
Kemudian beliau menuturkan masalah yang mungkin bisa diudzur:
“Dan mereka itu diudzur dengan sebab menyelisihi petunjuk para rasul hanya
dalam hal-hal yang tidak bisa diketahui kecuali dari mereka, yaitu mayoritas
ibadah-ibadah yang terperinci.”
Penulis kitab Ma’aarij
Al Qabul berkata bahwa macam-macam kekafiran tidak keluar
dari empat: Kufr Jahl wa takdzib (Kekafiran karena sebab kejahilan dan pendustaan), Kufr Kitman Wa inkar (Kekafiran
karena pengingkaran dan penyembunyian), Kufr
‘inad wastikbar (Kekufuran karena pembangkangan dan
penolakan), dan kufur nifaq. Bila semuanya terkumpul pada sesorang maka itu kegelapan
berlapis kegelapan, karena masalahnya bisa jadi hal itu semuanya tidak ada,
yaitu ucapan hati, perbuatannya, ucapan lisan dan amalan anggota badan, atau
hilang sebagiannya saja berdasarkan rincian berikut… Kemudian dia sebutkan yang
kedua: Dan bila hilang pembenaran hati yang disertai tidak adanya pengetahuan
akan kebenaran maka hal ini adalah kekafiran karena sebab kejahilan dan
pendustaan, dan itu seperti kafirnya orang-orang musyrik Arab. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
بَلۡ
كَذَّبُواْ بِمَا لَمۡ يُحِيطُواْ بِعِلۡمِهِۦ وَلَمَّا يَأۡتِهِمۡ تَأۡوِيلُهُ
“Namun mereka mendustakan apa yang tidak mereka kuasai ilmunya
dan belum datang kepada mereka takwilnya.” (QS. Yunus [10]: 39) [Mukhtashar
Ma’aarij Al Qabul: 183]
Ibnu Qayyim rahimahullah
berkata: “Selama si hamba tidak membawa
hal ini (tauhid…) maka dia bukan muslim, bila dia bukan kafir mu’anid maka dia
kafir jahil.
Status thabaqah orang-orang ini adalah kafir jahil yang tidak
mu’anid, sedangkan ketidakmembangkangan mereka itu tidaklah mengeluarkan mereka
dari statusnya sebagai orang-orang kafir.” [Thariq Al Hijratain: 542]
V. Qiyas
Pembahasan ini kami ambil sepenuhnya dari kitab Al Mutammimah Li Kalam Aimmatid Dakwah karya Syaikh Ali Ibnu Khudlair hafidhahullah.
Beliau berkata: Setelah menuturkan dalil-dalil dari Al Kitab dan As Sunnah,
Ijma’ dan pernyataan para ulama yang menunjukan tidak ada udzur karena
kejahilan dalam hal syirik akbar, kami akan menuturkan apa yang ditunjukan oleh
qiyas dalam hal itu. Dan di sini ada dua qiyas: Qiyas Aula dan Qiyas Syabah.
Petama: Qiyas Aula
1. Ijma’ para sahabat atas kafirnya Musailamah dan para
pengikutnya secara ta’yin dan mereka tidak diudzur karena kejahilan tatkala dia
mengaku sekutu Rasulullah dalam kenabian. Sisi Qiyasnya adalah tidak diudzurnya
dia dalam persekutuan ini, maka apa gerangan dengan orang yang mengklaim musyarakah (menyertai/menyekutui)
Allah dalam ibadah kepada-Nya, dia dan pengikutnya. Dan ini lebih utama (untuk
tidak diudzur)
2. Ijma’ para sahabat atas kafirnya Al Mukhtar Ats Tsaqafi dan
para pengikutnya tatkala dia mengklaim menjadi Nabi, sebagaimana yang kami
katakan tentang Musailamah dan para pengikutnya. Ini juga lebih utama (untuk
tidak diudzur karena kejahilan).
3. Ijma’ para sahabat atas tidak diudzurnya orang-orang yang
menolak bayar zakat dengan sebab kejahilan, karena mereka menolak (menunaikan)
salah satu dari hak Laa ilaaha illallaah, maka lebih utama lagi orang yang menolak Laa
ilaaha illallaah yang merupakan inti.
4. Tidak diudzurnya orang yang menikahi ibu tirinya dengan
ijma’ dengan sebab kejahilan, bahkan tidak diminta rincian masalah darinya,
karena masalahnya adalah sama dalam hal itu, karena dia tidak komitmen akan
hak-hak Laa ilaaha illallaah maka apa gerangan dengan Laa
ilaaha illallaah.
Kedua: Qiyas Syabah
1. Salaf ijma’ atas kafirnya Ahlul Hulul Wal Ittihad, karena
mereka mengklaim bahwa Allah telah menyatu pada sebagian makhluk-Nya... Maha
Suci Allah dari hal itu. Maka begitu juga sama dengannya orang yang mengklaim
bahwa uluhiyyah (sifat Ketuhanan) itu menyatu pada diri orang-orang shalih,
sehingga dia mengibadatinya.
2. Salaf ijma’ atas kafirnya Al Musyabbihah yang menyamakan
Allah dengan makhluk- Nya dalam asma dan sifat, maka serupa dengannya orang
yang menyamakan salah satu makhluk Allah dengan Allah dalam sifat uluhiyyah
baginya, terus dia mengibadati selain Allah.
3. Salaf ijma’ atas kafirnya orang-orang Jahmiyyah Mu’aththilah
dan Qadariyyah yang mengingkari lagi menafikan sifat Ilmu bagi Allah, maka
serupa dengannya orang yang menafikan sifat uluhiyyah dari Allah dan memberikan
kepada sebagian makhluk-Nya
4. Mengqiyaskannya dengan qiyas
syabah terhadap orang yang memperolok-olok Allah,
maka sesungguhnya dia kafir dengan ijma’ dan tidak diudzur dengan kejahilannya,
sedangkan orang musyrik dengan penyekutuannya itu dia memperolok-olok Allah sebagaimana
kata ulama salaf, Allah berfirman: “Dan
Maha Suci Allah dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik”
VI. Lawazim (Konsekuensi-Kensekuensi) Yang Bathil
Orang yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan, dia
memiliki konsekuensi-konsekuensi yang bathil bila memberlakukan pendapatnya
secara baku:
1) Dia harus mengudzur orang-orang yang jahil
lagi awam dari kalangan Yahudi dan Nashrani.
2) Dia harus mengudzur ahlul fatrah atau
sebagiannya karena kejahilan mereka.
(dan
ini tentunya menyelisihi ijma’)
3) Dia harus mengudzur orang-orang yang jahil
dan awam dari kalangan munafiqin.
(dan
ini tentunya menyelisihi ijma’)
4) Dia harus mengudzur setiap orang yang
mengingkari rububiyyah Allah karena jahil.
(dan
ini tentunya menyelisihi ijma’)
5) Dia harus mengudzur orang yang mengingkari
Ilmu Allah karena kejahilan atau takwil.
(dan
ini tentunya menyalahi ijma’)
6) Dia harus mengudzur orang yang menafikan
nama-nama dan sifat Allah karena kejahilan dari kalangan Jahmiyyah.
(dan
ini tentunya menyalahi ijma’)
7) Pendapat ini mengharuskan adanya pendapat
bahwa hujjah itu belum tegak atas seorangpun dari umat ini baik dengan Rasul
atau dengan Al Qur’an.
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata
saat menjelaskan batalnya lawazim yang lalu, beliau berkata dalam kitabnya Kasyfusy Syubhatain: “Sesungguhnya
larangan dari mengkafirkan dan menetapkan dosa dengan sebab kekeliruan dalam
hal ini semua (yaitu syirik akbar) adalah merupakan sikap membantah terhadap
(ulama-ulama) yang telah mengkafirkan Mu’aththilah Dzat, Mu’aththilah
Rububiyyah, Mu’aththilah Asma dan Sifat dan mu’aththilah sifat Esa Allah ta’ala
dengan Ilahiyyah, dan orang-orang yang mengatakan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak
mengetahui apa-apa yang akan terjadi sebelum kejadiaannya seperti Qadariyyah
yang ekstrim, dan orang-orang yang berpendapat dengan penyandaran segala
kejadian kepada bintang-bintang yang ada di atas, serta orang yang berkeyakinan
adanya dua pokok, cahaya dan gelap. Sesungguhnya orang yang komitmen dengan hal
ini semua, maka dia lebih kafir dan lebih sesat daripada Yahudi dan Nashrani.
Apakah setelah jabaran yang ringkas ini, wajarkah orang yang
berakal mengatakan bahwa saya adalah mubtadi’ yang perlu disuruh taubat…?
Kepada Allah tempat mengadu dan
dihadapan Allah kita akan bertemu…
_________
Sumber:
Al Urwah Al Wutsqa (Buhul Tali yang Sangat KokoH), Kumpulan
Manhaj Tauhid, Ust. Abu Sulaiman Aman Abdurrahman, Tahun 1425 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar