Bab 17
Perbuatan-perbuatan Bid‘Ah
yang
dilakukan pada Hari-Hari
Besar
Terkadang pada hari-hari besar diadakan kegiatan-kegiatan yang tergolong
bid‘ah, seperti hari raya lokal yang diisi dengan
kegiatan buruk di luar syari‘at Islam, misalnya kegiatan
yang dilakukan pada hari ‘Arafah. Padahal sepanjang yang saya
ketahui, kaum muslim tidak ada yang berbeda pendapat
mengenai terlarangnya kegiatan ini, seperti menuju ke kuburan
orang-orang yang dianggap shalih atau berkumpul di kuburannya
yang hal itu biasa dilakukan oleh sebagian penduduk
wilayah timur dan barat, seperti ibadah yang dilakukan oleh
para jama‘ah haji di ‘Arafah. Kegiatan bid‘ah dalam ibadah
haji semacam ini sama sekali tidak pernah disyari‘atkan
Allah, tetapi mereka menganggapnya sama dengan ibadah
haji yang memang disyari‘atkan Allah. Mereka juga
menjadikan kuburan-kuburan tertentu sebagai tempat merayakan hari
besar.
Perbuatan lain yang semacam itu di antaranya
adalah bersuara keras-keras di masjid ketika berdo‘a,
mengadakan berbagai macam khutbah dan membaca
syair-syair yang menyesatkan dan lain-lain. Semua
ini adalah perbuatan yang dibenci agama. Dalam satu riwayat dengan sanad yang shahih meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa‘id bin
Musayyab, Al Khalal berkata: “Orang-orang banyak mengeraskan
suaranya di saat berdo‘a (dalam masjid).”
Dari Sa‘id bin Abi ‘Arubah, ia berkata:
“Sesungguhnya Mujalid bin Sa‘id pernah mendengar
suatu kaum mengeraskan suara mereka ketika berdo‘a, lalu
ia datangi mereka kemudian berkata: “Wahai suatu
kaum, jika kamu ini memang benar, berarti kamu
lebih baik para pendahulu kamu, tetapi sayang kamu sekalian
sesat.” Kata Sa‘id: “Kemudian seorang demi seorang pergi
meninggalkan tempat itu.”
Dalam sebuah riwayat dengan sanad dari Ibnu
Saudzab dari Abu Syayyah, Al Khalal berkata: “Saya berkata
kepada Hasan: ‘Ketika Imam kami bercerita, orang-orang
laki-laki dan perempuan datang berkumpul,
kemudian mereka mengeraskan suara mereka ketika
berdo‘a, bagaimana perbuatan semacam ini?’ Hasan
berkata: ‘Mengeraskan suara ketika berdo‘a adalah
bid‘ah. Mengangkat tangan ketika berdo‘a adalah bid‘ah.
Perempuan dan laki-laki berkumpul semacam itu adalah bid‘ah.’”
Masalah mengangkat tangan ketika berdo‘a masih
menjadi masalah yang diperselisihkan. Ada beberapa hadits berkenaan dengan hal ini, tetapi bukan di sini tempatnya untuk membahasnya. Perbedaan pemahaman dalam masalah ini masih diperselisihkan. Masalah yang tidak lagi
diperselisihkan ialah bahwa memilih tempat tertentu
untuk melakukan suatu kegiatan keagamaan, seperti
memilih kuburan orang shalih atau masjidil Aqsha, hal
semacam ini hanya meniru kegiatan berkumpul di
‘Arafah. Hal ini berbeda dengan berkumpul di masjid
kampung. Sebab berkumpul di tempat-tempat tertentu yang dianggap lebih utama biasanya dimaksudkan untuk menghormati tempat itu dan bukan hanya melakukan kebaikan di tempat itu. Mendatangi
masjid merupakan perbuatan yang dibenarkan oleh syari‘at,
selama tujuannya adalah pergi ke salah satu rumah Allah, bukan dengan niat mengistimewakan tempat itu semata-mata.
Kalau mengistimewakan masjid tertentu karena dianggap lebih utama dari masjid lain, maka hal ini dilarang. Begitu
pula seseorang yang pergi ke tempat tertentu yang dianggapnya seperti orang melakukan haji ke ‘Arafah. Hal ini berbeda dengan berkumpul di masjid kampung, karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ
مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِيْ هَذَا
“Janganlah melakukan
perjalanan dengan susah payah kecuali hanya ke tiga masjid,
yaitu: Masjidil Haram, Masjidil Aqsha dan masjidku ini.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Sepanjang yang saya ketahui masalah ini tidak
ada perbedaan pendapat. Sekalipun Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam melarang mengunjungi masjid-masjid lain kecuali 3 masjid di atas, tetapi
sudah dimaklumi bahwa seseorang datang ke masjid di kampungnya adakalanya wajib, seperti untuk shalat Jum‘ah dan adakalanya sunnah seperti untuk melaksanakan i‘tikaf.
Sesungguhnya berkumpul beramai-ramai di kuburan
untuk melakukan perayaan hari-hari besar adalah haram, baik
dilakukan dengan melakukan perjalanan jauh atau tidak, baik pada hari ‘Arafah atau hari lain. Demikian pula perayaan
hari-hari besar setempat yang dilakukan berkaitan dengan waktu
tertentu.
Perbuatan menabuh kendang dan membunyikan
terompet juga termasuk perbuatan yang dilarang, bukan hanya khusus hari raya saja, juga pada hari-hari lain. Begitu
pula memakai kain sutera atau pakaian yang lain yang telah dilarang agama. Meninggalkan hal-hal yang sunnah juga termasuk dalam kategori berbuat bid‘ah.
Dengan demikian sudah seharusnya kita merayakan
hari-hari besar
seperti yang biasa dilakukan oleh para pendahulu kita
dengan cara melaksanakan shalat, khutbah, takbir, berzakat
pada hari raya ‘Idul Fitri atau menyembelih hewan kurban
pada hari raya ‘Idul Adha. Sebagian manusia ada yang mengurangi
pelaksanaan takbir yang disunnahkan pada hari-hari tersebut. Sebagian dari khatib dan imam shalat hari raya ada yang meninggalkan tuntunan khutbah, yaitu setelah berkhutbah di hadapan jama‘ah laki-laki seharusnya dia datang ke barisan kaum perempuan untuk memberikan khutbah kepada mereka sebagaimana yang dahulu dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian
lain lagi ada yang tidak lagi menggunakan
bacaan-bacaan yang seharusnya ia baca dalam khutbahnya, tetapi
justru ia beralih kepada bacaan-bacaan yang sedikit sekali
kebaikannya. Sebagian lagi tidak menyelenggarakan penyembelihan
hewan kurban di lapangan tempat pelaksanaan
shalat dan ada yang melakukan hal-hal
lain yang tidak sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Sesungguhnya Islam itu adalah
melaksanakan ma‘ruf atau segala yang diperintahkan
dan meninggalkan yang mungkar atau segala yang dilarang.
_____________
source: Books: Bahaya
Mengekor Non Muslim (Mukhtarat Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim Syaikh Ibnu
Taimiyah). Muhammad bin Ali Adh-Dhabi‘i, Penerbit Media Hidayah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar