(Egyptians reach to touch the shrine of Sayida Zeinab as people celebrate
the birthday of Sayida Zeinab, the granddaughter of Prophet Mohammad,
in Cairo, May 12, 2015. Picture taken May 12, 2015. (Photo by Mohamed
Abd El Ghany/Reuters))
Bab 18
Hari-hari Besar
berkenaan dengan Tempat tertentu
Hari-hari besar berkenaan dengan tempat tertentu ada beberapa macam, antara lain:
Pertama. Hari besar yang tidak ditentukan secara khusus dalam
syari‘at, misalnya ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya “Apakah ini tempat berhala kaum musyrik
Arab, atau di tempat perayaan hari besar mereka?”
kepada orang yang bernadzar menyembelih hewan kurban
di Buanah. Orang itu menjawab bahwa tempat ini bukan
tempat berhala atau tempat perayaan hari besar mereka.
Sabda beliau: “Kalau begitu penuhilah nadzarmu.” (HR.
Abu Dawud dengan sanad sesuai syarat Bukhari dan Muslim).
Contoh lain adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَا تَتَّخِذُوا قَبْرِيْ عِيْدًا
“Janganlah kalian
menjadikan kuburanku sebagai tempat merayakan hari
besar.”
(HR. Abu Ya‘la
Al-Maushuli, Sa‘id bin Mansur dan disahkan oleh Suyuthi di
dalam kitab Al Jami’ Ash Shaghir 2/97).
Contoh lain lagi adalah ‘Umar melarang kaum
mukmin menjadikan bekas peninggalan para nabi sebagai tempat tempat merayakan hari besar. Tempat-tempat tersebut
menurut syari‘at Islam tidak memiliki kelebihan apapun dan juga tidak ada sesuatu yang menyebabkan adanya kelebihan bagi tempat itu. Tempat-tempat tersebut sama saja dengan
tempat-tempat lainnya.
Dengan demikian, sengaja pergi ke tempat tertentu semacam itu
atau sengaja berkumpul di tempat itu untuk melakukan
shalat, do‘a bersama atau dzikir bersama dan lain sebagainya
adalah perbuatan yang jelas-jelas sesat.
Kemudian, mengkhususkan tempat-tempat yang
merupakan peninggalan orang-orang kafir - seperti kaum Yahudi, Nasrani atau kaum lain - adalah perbuatan yang lebih
buruk dan termasuk dalam kategori perbuatan yang dibahas dalam bab ini dan bab sebelumnya, yaitu meniru golongan kafir. Tempat-tempat untuk merayakan hari-hari besar tidak
dapat disebutkan di sini satu-persatu, karena bisa berubah oleh perubahan zaman dan biasanya berlaku terbatas. Akan
tetapi hari-hari besar berkenaan dengan tempat-tempat tertentu lebih buruk daripada yang dibicarakan pada bab
sebelumnya.
Merayakan hari-hari besar semacam ini menyerupai upacara pemujaan berhala, atau dapat menjadi perantara menuju ke perbuatan tersebut atau bahkan termasuk bagian dari pemujaan berhala. Para penyembah berhala biasanya melakukan pemujaan di tempat tertentu karena mempercayai keutamaan tempat tersebut dengan adanya berhala atau benda lain di tempat itu. Mereka beranggapan bahwa
tempat tersebut dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah.
Berhala-berhala besar yang biasa dikunjungi oleh
para pemujanya ada tiga, yaitu: Laata, ‘Uzza dan Mannat yang merupakan tiga berhala tritunggal seperti yang Allah
firmankan pada surah An Najm ayat 19-22:
أَفَرَءَيۡتُمُ ٱللَّٰتَ وَٱلۡعُزَّىٰ ١٩ وَمَنَوٰةَ
ٱلثَّالِثَةَ ٱلۡأُخۡرَىٰٓ ٢٠ أَلَكُمُ ٱلذَّكَرُ
وَلَهُ ٱلۡأُنثَىٰ ٢١ تِلۡكَ إِذٗا قِسۡمَةٞ ضِيزَىٰٓ ٢٢
“Tidakkah kalian
pikirkan tentang Laata dan ‘Uzza dan Mannat, tiga berhala yang
terakhir. Apakah laki-laki untuk kamu sekalian sedangkan
yang perempuan untuk Allah. Kalau begitu, sungguh itu
adalah pembagian yang tidak adil.”
Laata adalah berhala untuk penduduk Thaif.
Mereka mengatakan bahwa pada mulanya Laata adalah seorang laki-laki shalih yang
menyediakan makanan berupa gandum bagi para jama‘ah haji.
Tatkala dia mati, orang-orang bersemedi beberapa waktu di
atas kuburannya, kemudian mereka membuat patungnya,
lalu mereka membangun sebuah bangunan di atas
kuburannya. Kisah ini sudah terkenal.
Tatkala Thaif ditaklukkan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam setelah penaklukan Mekkah pada tahun 9 Hijrah, beliau mengutus Mughirah bin Syu‘bah untuk menghancurkan berhala itu. ‘Uzza adalah berhala untuk penduduk Mekkah.
Di sana terdapat sebuah pohon tempat penduduk Mekkah menyembelih hewan kurban dan berdo‘a. Setelah penaklukan Mekkah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim Khalid bin Walid ke tempat itu untuk membinasakan pohonnya. Setelah itu barulah Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam membagi harta rampasannya.
Keluarlah syetan yang menjadi penghuni pohon itu
dengan menyebarkan rambutnya dan ‘Uzza tidak lagi
disembah.
Adapun Mannat adalah berhala untuk penduduk
Madinah. Mereka mengucapkan talbiyah untuk berhala ini sebagai perbuatan menyekutukan Allah. Berhala ini terletak di
sebuah bukit antara Mekkah dan Madinah di arah pantai. Mendatangi tempat tertentu tanpa anjuran syari‘at untuk mengharapkan barakahnya termasuk kemungkaran, baik tempat itu berupa pohon atau yang lain, baik datang ke tempat itu untuk shalat atau untuk berdo‘a, berdzikir, membaca Al-Qur‘an, atau melakukan upacara peribadatan khusus lainnya.
Hal yang lebih buruk dari itu ialah orang yang
bernadzar di suatu tempat tertentu. Nadzar semacam ini tidak boleh dipenuhi karena termasuk perbuatan dosa, sebagaimana
telah disepakati oleh para ulama. Bahkan dia berkewajiban menebusnya seperti menebus sumpah yang dibatalkan, sebagaimana pendapat sebagian besar para ulama.
Kedua. Berkenaan dengan beberapa tempat yang mempunyai sifat
khusus, tetapi tidak biasa dijadikan tempat perayaan atau shalat
atau ibadah lainnya. Tempat-tempat semacam ini misalnya
kuburan para nabi dan orang shalih. Telah diriwayatkan bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum salaf secara umum maupun khusus
melarang menjadikan tempat-tempat tersebut sebagai tempat
perayaan dan juga melarang mendirikan bangunan di atasnya
sebagai tanda peringatan.
Adapun larangan yang bersifat umum, misalnya hadits Abu Dawud dari Abu Hurairah, ia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلَا تَجْعَلُوْا
قَبْرِيْ عِيْدًا وَ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُمُا
كُنْتُمْ
“Janganlah kalian
menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. Janganlah
kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat perayaan,
tetapi ucapkanlah shalawat atasku, karena shalawat kalian
sampai kepadaku dimanapun kalian berada.”
(Hadits hasan, seluruh rawi pada sanad hadits ini
telah dikenal)
Maksud hadits tersebut ialah larangan menjadikan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tempat perayaan hari besar. Hadits di atas juga menjelaskan bahwa kuburan Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam adalah kuburan
yang terbaik di muka bumi ini. Sekalipun demikian beliau
melarang menjadikan kuburan beliau sebagai tempat perayaan,
apalagi kuburan-kuburan yang lain, pasti lebih terlarang.
Kemudian dalam hadits itu beliau juga bersabda “Janganlah
kamu sekalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan.”
Maksudnya janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian
seperti kuburan yang sepi dari shalat-shalat sunnah, berdo‘a dan bacaan Al-Qur‘an. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallammenyuruh menyemarakkan rumah dengan banyak ibadah dan
melarangnya menjadikan bagaikan kuburan. Perintah menyemarakkan
rumah ini berlawanan dengan apa yang diperbuat oleh kaum
musyrik dari golongan Nasrani dan golongan lain yang
serupa.
Kemudian beliau menyebutkan di akhir hadits yang melarang menjadikan kuburan sebagai tempat perayaan dengan sabdanya “Dan ucapkanlah shalawat atasku, karena shalawat kamu sekalian sampai kepadaku dimanapun kalian berada.” Pada hadits lain disebutkan: “Karena ucapan
salam kalian sampai kepadaku dimana pun kalian berada.”
Pada hadits tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam menyatakan bahwa shalawat dan salam dari kalian pasti sampai kepada beliau, baik
kalian ucapkan dekat dengan kuburan beliau atau jauh dari
kuburan beliau. Oleh karena itu, kalian tidak perlu mengadakan perayaan di kuburanku. Hadits-hadits yang datang dari
beliau menyebutkan bahwa ucapan shalawat dan salam kita akan sampai kepada beliau. Hadits-hadits semacam ini banyak sekali.
Perbuatan-perbuatan bid‘ah yang berkaitan dengan masalah ini antara lain: Melakukan
shalat di atas kuburan, atau membangun masjid atau
menjadikan kuburan sebagai tempat melakukan shalat. Telah banyak
hadits-hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan adanya
larangan melakukan hal tersebut dan ancaman terhadap pelakunya.
Sebagian besar ulama dari berbagai madzhab dengan tegas
menyatakan larangan membangun masjid di atas
kuburan berdasa hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Golongan yang sepaham dengan kami dengan tegas menyatakannya haram. Imam Muslim telah meriwayatkan dari Jundub bin ‘Abdullah Al Bajali, ia berkata:
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ بِخَمْسٍ وَهُوَ يَقُوْلُ: إِنَّيْ أَبْرَأُ إِلَى اللهِ أَنْ
يَكُوْنَ لِيْ مِنْكُمْ خَلِيْلٌ فَإِنَّ اللهَ قَدِ اتَّخَذَنِيْ خَلِيْلًا كَمَا
اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِيْ خَلِيْلًا
لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلًا
أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُورَ أَنْبِيَائَهِمْ
مَسَاجِدَ أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوْا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ فَإِنِّيْ أَنْهَاكُمْ
عَنْ ذَلِكَ
“Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lima hari sebelum beliau wafat:
“Sungguh aku berlepas diri dan pasrah kepada Allah dari menjadikan
seseorang di antara kalian sebagai kawan dekatku, karena
Allah telah menjadikan diriku sebagai orang dekat-Nya, sebagaimana
Dia menjadikan Ibrahim sebagai orang dekat-Nya. Sekiranya aku mengambil seorang
kawan dekat di antara kalian, niscaya aku akan mengambil
Abu Bakar sebagai kawan dekat. Ketahuilah sesungguhnya
kaum-kaum sebelum kalian dahulu telah
menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat bersujud.
Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan
tempat bersujud. Sungguh aku melarang kalian berbuat
semacam itu.”
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu
Hurairah, sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَاتَلَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى إِتَّخَذُوا
قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah membinasakan
kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan
para nabi mereka sebagai tempat sujud (masjid).”
Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani yang telah menjadikan kuburan para
nabi mereka sebagai tempat sujud (masjid).”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada akhir hayatnya melarang mendirikan masjid di areal pekuburan, kemudian beliau menyatakan
kutukannya. Beliau juga menyebutkan
bahwa perbuatan semacam itu merupakan tradisi
ahli kitab, sehingga beliau memperingatkan kepada umatnya untuk
tidak melakukannya.
‘Aisyah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda saat beliau sakit
dan ‘Aisyah menyangga beliau:
لَعَنَ اللهُ الْبَهُودَ وَالنَّصَارَى إِتَّخَذُوا
قُبُوْرَأَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ وَلَوْ لَا ذَلِكَ لَأَبْرَزُقَبْرَهُ غَيْرَ أَنَّهُ
خَشِيَ أَنْ يَتَّخِذَ مَسْجِدًا
“Allah mengutuk kaum
Yahudi dan Nasrani, karena mereka menjadikan kuburan
para nabi mereka sebagai tempat sujud. Kalau
tidak karena demikian, tentulah kuburan beliau ditinggikan, tetapi
(kuburan beliau) tidak ditinggikan karena khawatir dijadikan
tempat sujud.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berkenaan dengan hal ini terdapat banyak hadits
dan juga riwayat para sahabat. Di sini bukan tempatnya untuk
memaparkan semuanya. Masjid-masjid yang
dibangun diatas kuburan para nabi, orang-orang
shalih, para raja, dan lain sebagainya hendaklah
dimusnahkan dengan menghancurkannya atau dengan cara
lain. Perkara ini sejauh yang saya tahu tidak ada
perbedaan pendapat di kalangan para ulama yang masyhur. Dan
setahu saya tidak ada perbedaan pendapat tentang larangan shalat di
masjid-masjid semacam itu.
Menurut pendapat kami tidak sah shalat di tempat tersebut karena adanya larangan dan kutukan sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits di atas dan hadits-hadits lain.
Adapun sengaja melakukan shalat di kuburan
sebagian nabi atau orang-orang shalih dengan maksud mencari barakah tempat tersebut, maka perbuatan semacam ini merupakan perbuatan menentang Allah dan rasul-Nya dan menyelisihi agamanya serta melakukan bid‘ah yang tidak pernah dibenarkan oleh Allah. Sungguh kaum muslimin
telah sepakat bahwa berdasarkan ketentuan pokok ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa shalat di
atas kuburan manapun merupakan perbuatan yang tidak ada
nilai kebaikannya, bahkan bernilai keburukan. Kuburan
sebenarnya bukan merupakan tempat yang mempunyai
nilai kebajikan. Kaum Nasrani telah mengagungkan
para nabi mereka dengan cara memujanya dan memuja
patung-patungnya.
Sedangkan kaum Yahudi telah melecehkan para nabi
mereka, sampai-sampai mereka membunuhnya. Adapun umat muslim, umat moderat yang mengerti martabat dan kehormatan para nabi mereka, tidak akan bersikap berlebih-lebihan
seperti yang ditunjukkan kaum Nasrani dan tidak pula melecehkan para nabi mereka seperti yang dilakukan kaum Yahudi. Pada hadits shahih diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تَطْرُوْنِيْ كَمَا
أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيسَى بْنَ مَرْيَمَ وَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا
عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian menghormati diriku seperti kaum
Nasrani menghormati ‘Isa bin Maryam, karena aku hanyalah seorang hamba. Maka katakanlah: ‘(Muhammad) adalah hamba Allah dan rasul-Nya.’” (HR. Bukhari)
Orang yang berpendapat bahwa shalat di tempat
tertentu memberikan rahmat lebih banyak daripada shalat di tempat lain, maka melakukan shalat di tempat tersebut
menjadikan ia murtad. Oleh karena, shalat di
tempat tersebut akan melenyapkan rahmat yang diharapkan
bahkan menyebabkan laknat dan adzab. Barang siapa yang
tidak memahami bahwa shalat di tempat tersebut
menyebabkan murtad, maka yang bersangkutan cukuplah
mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saja, sebab shalat ditempat
tersebut dapat lebih merusak aqidah daripada
menguatkannya. Juga karena shalat di tempat tersebut terlarang seperti
terlarangnya shalat pada tiga waktu dan puasa pada hari
raya. Begitu juga diharamkannya minuman keras, karena
keburukannya lebih berbahaya daripada kebaikannya.
Dan diharamkannya tempat-tempat tertentu untuk
shalat, karena bahayanya terhadap aqidah lebih besar daripada
manfaatnya.
Tidaklah ada hak bagi seorang mukmin menuntut para rasul
Allah untuk menjelaskan perincian hal-hal yang merusak aqidah ini, akan tetapi justru ia
berkewajiban untuk mentaati mereka sepenuhnya,
sebagaimana Allah firmankan pada surah An Nisaa’
ayat 64 dan 80:
وَمَآ
أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ
مَّن
يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَ
“Dan Kami tidak mengutus
seseorang rasul, melainkan supaya dia ditaati dengan
idzin Allah.
Barang siapa mentaati rasul Allah, maka sungguh dia telah mentaati Allah.”
Hak para nabi untuk dimuliakan, dihormati dan
dicintai adalah dalam bentuk mendahulukan mereka dibandingkan dengan diri kita sendiri, baik dalam urusan harta,
keluarga dan kepentingan lain, lebih menaati mereka, mengikuti sunnah-sunnah mereka dan lain sebagainya.
Melakukan hal-hal tersebut
sepenuhnya, bukan berarti menyembah dan menyekutukan para
nabi itu dengan Allah. Berbeda halnya dengan yang dilakukan
oleh orang-orang musryik yang menyekutukan Allah
dengan para nabi mereka, baik syirik besar maupun syirik
kecil, karena mereka tidak lagi memenuhi kewajiban menaati
mereka, bahkan mereka melakukan perbuatan bid‘ah
dengan melakukan perbuatan syirik (menyekutukan para
nabi dengan Allah).
Begitu pula hak orang-orang shalih adalah hak
untuk dicintai, dimuliakan dan lain-lain, sesuai dengan hak
mereka yang disebutkan dalam Al-Qur‘an dan sunnah serta praktek kaum salaf dari umat ini.
Barang siapa memperhatikan kitab-kitab hadits
dan riwayat-riwayat sahabat serta mengetahui keadaan
generasi salaf, niscaya akan memperoleh keyakinan kuat, bahwa generasi salaf
tersebut sama sekali tidak pernah meminta tolong kepada kuburan
dan tidak pernah memanjatkan do‘a kepada orang-orang
yang telah dikubur itu. Bahkan mereka melarang orang-orang
bodoh di kalangan mereka melakukan hal tersebut.
Orang yang berdo‘a di kuburan-kuburan dan
menganggap tempat itu lebih baik dari yang
lain, maka perbuatan itu tidak lepas dari salah satu
dari anggapan berikut:
1. Menganggap bahwa tempat tersebut lebih utama.
Anggapan semacam ini tidak boleh. Pada masa sahabat, tabi‘in dan abad berikutnya –tiga abad pertama yang terbaik– tidak dikenal adanya anggapan keutamaan tempat-tempat tertentu dan baru dikenal pada generasi abad berikutnya. Seseorang tidak boleh beranggapan adanya tempat-tempat tertentu yang punya keutamaan, lalu melakukan ibadah di tempat itu dengan harapan mendapatkan segala kebaikan, lebih-lebih berdo‘a
di tempat itu. Karena hal yang merugikan seseorang bisa terjadi dengan sebab apa saja.
2. Jika tempat tersebut tidak disukai, bagaimana
mungkin orang-orang itu mau berdo‘a di tempat itu? Mereka meyakini adanya keutamaan berdo‘a di kuburan-kuburan, bagaimana mungkin mereka melakukannya kalau bukan karena menginginkan kebaikannya? Tentu anggapan semacam ini suatu
yang tidak masuk akal, baik menurut syari‘at maupun
menurut fitrah.
3. Jika berdo‘a di tempat-tempat tertentu
tersebut tidak dianggap lebih baik, maka berdo‘a
di tempat itu tetap saja sesat dan dosa. Hal
ini sebagaimana dia memilih tempat tertentu yang lain
yang tidak dianggap ada keutamaanya untuk berdo‘a, lalu
sengaja berdo‘a di tempat itu, seperti misalnya tempat
pertemuan anak sungai, gerumbul, tengah-tengah pasar,
pinggir jalan dan lain-lain.
Terdapat beberapa ayat Al-Qur‘an yang menjelaskan masalah
ini, antara lain:
1. Pada surah Asy Syuuraa ayat 21:
أَمۡ
لَهُمۡ شُرَكَٰٓؤُاْ شَرَعُواْ لَهُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا لَمۡ يَأۡذَنۢ بِهِ ٱللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sekutu yang membuat
syari‘at agama tanpa izin dari Allah untuk mereka.”
Allah tidak membuat syari‘at yang membenarkan
mereka berdo‘a di kuburan-kuburan dan tidak pula menganjurkan perbuatan tersebut, lalu siapakah yang telah membuat
syari‘at yang tidak diizinkan oleh Allah untuk mereka.
2. Pada surah Al A‘raaf ayat 33:
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ
رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ
بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ
سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
“Katakanlah (Muhammad), Tuhanku hanya
mengharamkan semua yang keji, baik yang nyata
maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa dan
melakukan kezhaliman tanpa hak serta melarang kamu
menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Dia tidak menurunkan
kekuasaan sedikitpun, dan mengharamkan kamu mengatakan
sesuatu atas nama Allah tentang hal-hal yang tidak kamu ketahui.”
Beribadah di kuburan-kuburan termasuk perbuatan menyekutukan
Allah dengan sesuatu yang sama sekali tidak dapat memberikan kekuasaan.
Karena Allah tidak pernah memberikan argumen
(hujjah) yang berisikan pembenaran berdo‘a di atas
kuburan-kuburan dan keutamaan tempat tersebut dari yang
lain. Maka barang siapa berbuat demikian itu dengan anggapan
termasuk ajaran agama Allah, maka orang tersebut telah
berdusta atas nama Allah tentang hal yang tidak dia
ketahui.
_____________
source: Books: Bahaya Mengekor Non Muslim (Mukhtarat
Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim Syaikh Ibnu Taimiyah). Muhammad bin Ali
Adh-Dhabi‘i, Penerbit Media Hidayah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar