6/12/2019

BAHAYA MENGEKOR NON MUSLIM BAB 18

(Egyptians reach to touch the shrine of Sayida Zeinab as people celebrate the birthday of Sayida Zeinab, the granddaughter of Prophet Mohammad, in Cairo, May 12, 2015. Picture taken May 12, 2015. (Photo by Mohamed Abd El Ghany/Reuters))


Bab 18
Hari-hari Besar
berkenaan dengan Tempat tertentu

Hari-hari besar berkenaan dengan tempat tertentu ada beberapa macam, antara lain:

Pertama. Hari besar yang tidak ditentukan secara khusus dalam syari‘at, misalnya ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya  “Apakah ini tempat berhala kaum musyrik Arab, atau di tempat perayaan hari besar mereka?” kepada orang yang bernadzar menyembelih hewan kurban di Buanah. Orang itu menjawab bahwa tempat ini bukan tempat berhala atau tempat perayaan hari besar mereka. Sabda beliau: “Kalau begitu penuhilah nadzarmu.” (HR. Abu Dawud dengan sanad sesuai syarat Bukhari dan Muslim).

Contoh lain adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

لَا تَتَّخِذُوا قَبْرِيْ عِيْدًا

“Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat merayakan hari besar.”
(HR. Abu Ya‘la Al-Maushuli, Sa‘id bin Mansur dan disahkan oleh Suyuthi di dalam kitab Al Jami’ Ash Shaghir 2/97).

Contoh lain lagi adalah ‘Umar melarang kaum mukmin menjadikan bekas peninggalan para nabi sebagai tempat tempat merayakan hari besar. Tempat-tempat tersebut menurut syari‘at Islam tidak memiliki kelebihan apapun dan juga tidak ada sesuatu yang menyebabkan adanya kelebihan bagi tempat itu. Tempat-tempat tersebut sama saja dengan tempat-tempat lainnya. Dengan demikian, sengaja pergi ke tempat tertentu semacam itu atau sengaja berkumpul di tempat itu untuk melakukan shalat, do‘a bersama atau dzikir bersama dan lain sebagainya adalah perbuatan yang jelas-jelas sesat.

Kemudian, mengkhususkan tempat-tempat yang merupakan peninggalan orang-orang kafir - seperti kaum Yahudi, Nasrani atau kaum lain - adalah perbuatan yang lebih buruk dan termasuk dalam kategori perbuatan yang dibahas dalam bab ini dan bab sebelumnya, yaitu meniru golongan kafir. Tempat-tempat untuk merayakan hari-hari besar tidak dapat disebutkan di sini satu-persatu, karena bisa berubah oleh perubahan zaman dan biasanya berlaku terbatas. Akan tetapi hari-hari besar berkenaan dengan tempat-tempat tertentu lebih buruk daripada yang dibicarakan pada bab sebelumnya.
Merayakan hari-hari besar semacam ini menyerupai upacara pemujaan berhala, atau dapat menjadi perantara menuju ke perbuatan tersebut atau bahkan termasuk bagian dari pemujaan berhala. Para penyembah berhala biasanya melakukan pemujaan di tempat tertentu karena mempercayai keutamaan tempat tersebut dengan adanya berhala atau benda lain di tempat itu. Mereka beranggapan bahwa tempat tersebut dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah.

Berhala-berhala besar yang biasa dikunjungi oleh para pemujanya ada tiga, yaitu: Laata, ‘Uzza dan Mannat yang merupakan tiga berhala tritunggal seperti yang Allah firmankan pada surah An Najm ayat 19-22:

 أَفَرَءَيۡتُمُ ٱللَّٰتَ وَٱلۡعُزَّىٰ ١٩ وَمَنَوٰةَ ٱلثَّالِثَةَ ٱلۡأُخۡرَىٰٓ ٢٠  أَلَكُمُ ٱلذَّكَرُ وَلَهُ ٱلۡأُنثَىٰ ٢١ تِلۡكَ إِذٗا قِسۡمَةٞ ضِيزَىٰٓ ٢٢

“Tidakkah kalian pikirkan tentang Laata dan ‘Uzza dan Mannat, tiga berhala yang terakhir. Apakah laki-laki untuk kamu sekalian sedangkan yang perempuan untuk Allah. Kalau begitu, sungguh itu adalah pembagian yang tidak adil.”

Laata adalah berhala untuk penduduk Thaif. Mereka mengatakan bahwa pada mulanya Laata adalah seorang laki-laki shalih yang menyediakan makanan berupa gandum bagi para jama‘ah haji. Tatkala dia mati, orang-orang bersemedi beberapa waktu di atas kuburannya, kemudian mereka membuat patungnya, lalu mereka membangun sebuah bangunan di atas kuburannya. Kisah ini sudah terkenal.

Tatkala Thaif ditaklukkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam setelah penaklukan Mekkah pada tahun 9 Hijrah, beliau mengutus Mughirah bin Syu‘bah untuk menghancurkan berhala itu.  ‘Uzza adalah berhala untuk penduduk Mekkah. Di sana terdapat sebuah pohon tempat penduduk Mekkah menyembelih hewan kurban dan berdo‘a. Setelah penaklukan Mekkah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim Khalid bin Walid ke tempat itu untuk membinasakan pohonnya. Setelah itu barulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membagi harta rampasannya. Keluarlah syetan yang menjadi penghuni pohon itu dengan menyebarkan rambutnya dan ‘Uzza tidak lagi disembah.

Adapun Mannat adalah berhala untuk penduduk Madinah. Mereka mengucapkan talbiyah untuk berhala ini sebagai perbuatan menyekutukan Allah. Berhala ini terletak di sebuah bukit antara Mekkah dan Madinah di arah pantai. Mendatangi tempat tertentu tanpa anjuran syari‘at untuk mengharapkan barakahnya termasuk kemungkaran, baik tempat itu berupa pohon atau yang lain, baik datang ke tempat itu untuk shalat atau untuk berdo‘a, berdzikir, membaca Al-Qur‘an, atau melakukan upacara peribadatan khusus lainnya.

Hal yang lebih buruk dari itu ialah orang yang bernadzar di suatu tempat tertentu. Nadzar semacam ini tidak boleh dipenuhi karena termasuk perbuatan dosa, sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Bahkan dia berkewajiban menebusnya seperti menebus sumpah yang dibatalkan, sebagaimana pendapat sebagian besar para ulama.

Kedua. Berkenaan dengan beberapa tempat yang mempunyai sifat khusus, tetapi tidak biasa dijadikan tempat perayaan atau shalat atau ibadah lainnya. Tempat-tempat semacam ini misalnya kuburan para nabi dan orang shalih. Telah diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum salaf secara umum maupun khusus melarang menjadikan tempat-tempat tersebut sebagai tempat perayaan dan juga melarang mendirikan bangunan di atasnya sebagai tanda peringatan.

Adapun larangan yang bersifat umum, misalnya hadits Abu Dawud dari Abu Hurairah, ia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلَا تَجْعَلُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا وَ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُمُا كُنْتُمْ

“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat perayaan, tetapi ucapkanlah shalawat atasku, karena shalawat kalian sampai kepadaku dimanapun kalian berada.”
(Hadits hasan, seluruh rawi pada sanad hadits ini telah dikenal)

Maksud hadits tersebut ialah larangan menjadikan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tempat perayaan hari besar. Hadits di atas juga menjelaskan bahwa kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kuburan yang terbaik di muka bumi ini. Sekalipun demikian beliau melarang menjadikan kuburan beliau sebagai tempat perayaan, apalagi kuburan-kuburan yang lain, pasti lebih terlarang. Kemudian dalam hadits itu beliau juga bersabda “Janganlah kamu sekalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan.” Maksudnya janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan yang sepi dari shalat-shalat sunnah, berdo‘a dan bacaan Al-Qur‘an. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallammenyuruh menyemarakkan rumah dengan banyak ibadah dan melarangnya menjadikan bagaikan kuburan. Perintah menyemarakkan rumah ini berlawanan dengan apa yang diperbuat oleh kaum musyrik dari golongan Nasrani dan golongan lain yang serupa.

Kemudian beliau menyebutkan di akhir hadits yang melarang menjadikan kuburan sebagai tempat perayaan dengan sabdanya “Dan ucapkanlah shalawat atasku, karena shalawat kamu sekalian sampai kepadaku dimanapun kalian berada.” Pada hadits lain disebutkan: “Karena ucapan salam kalian sampai kepadaku dimana pun kalian berada.”

Pada hadits tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa shalawat dan salam dari kalian pasti sampai kepada beliau, baik kalian ucapkan dekat dengan kuburan beliau atau jauh dari kuburan beliau. Oleh karena itu, kalian tidak perlu mengadakan perayaan di kuburanku. Hadits-hadits yang datang dari beliau menyebutkan bahwa ucapan shalawat dan salam kita akan sampai kepada beliau. Hadits-hadits semacam ini banyak sekali.

Perbuatan-perbuatan bid‘ah yang berkaitan dengan masalah ini antara lain: Melakukan shalat di atas kuburan, atau membangun masjid atau menjadikan kuburan sebagai tempat melakukan shalat. Telah banyak hadits-hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan adanya larangan melakukan hal tersebut dan ancaman terhadap pelakunya. Sebagian besar ulama dari berbagai madzhab dengan tegas menyatakan larangan membangun masjid di atas kuburan berdasa hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Golongan yang sepaham dengan kami dengan tegas menyatakannya haram. Imam Muslim telah meriwayatkan dari Jundub bin ‘Abdullah Al Bajali, ia berkata:

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ بِخَمْسٍ وَهُوَ يَقُوْلُ: إِنَّيْ أَبْرَأُ إِلَى اللهِ أَنْ يَكُوْنَ لِيْ مِنْكُمْ خَلِيْلٌ فَإِنَّ اللهَ قَدِ اتَّخَذَنِيْ خَلِيْلًا كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِيْ خَلِيْلًا لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلًا  أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُورَ أَنْبِيَائَهِمْ مَسَاجِدَ أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوْا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ فَإِنِّيْ أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ

“Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lima hari sebelum beliau wafat: “Sungguh aku berlepas diri dan pasrah kepada Allah dari menjadikan seseorang di antara kalian sebagai kawan dekatku, karena Allah telah menjadikan diriku sebagai orang dekat-Nya, sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai orang dekat-Nya. Sekiranya aku mengambil seorang kawan dekat di antara kalian, niscaya aku akan mengambil Abu Bakar sebagai kawan dekat. Ketahuilah sesungguhnya kaum-kaum sebelum kalian dahulu telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat bersujud. Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan tempat bersujud. Sungguh aku melarang kalian berbuat semacam itu.”

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قَاتَلَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى إِتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Allah membinasakan kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat sujud (masjid).”

Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani yang telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat sujud (masjid).”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada akhir hayatnya melarang mendirikan masjid di areal pekuburan, kemudian beliau menyatakan kutukannya. Beliau juga menyebutkan bahwa perbuatan semacam itu merupakan tradisi ahli kitab, sehingga beliau memperingatkan kepada umatnya untuk tidak melakukannya.

‘Aisyah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda saat beliau sakit dan ‘Aisyah menyangga beliau:

لَعَنَ اللهُ الْبَهُودَ وَالنَّصَارَى إِتَّخَذُوا قُبُوْرَأَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ وَلَوْ لَا ذَلِكَ لَأَبْرَزُقَبْرَهُ غَيْرَ أَنَّهُ خَشِيَ أَنْ يَتَّخِذَ مَسْجِدًا

“Allah mengutuk kaum Yahudi dan Nasrani, karena mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat sujud. Kalau tidak karena demikian, tentulah kuburan beliau ditinggikan, tetapi (kuburan beliau) tidak ditinggikan karena khawatir dijadikan tempat sujud.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Berkenaan dengan hal ini terdapat banyak hadits dan juga riwayat para sahabat. Di sini bukan tempatnya untuk memaparkan semuanya. Masjid-masjid yang dibangun diatas kuburan para nabi, orang-orang shalih, para raja, dan lain sebagainya hendaklah dimusnahkan dengan menghancurkannya atau dengan cara lain. Perkara ini sejauh yang saya tahu tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama yang masyhur. Dan setahu saya tidak ada perbedaan pendapat tentang larangan shalat di masjid-masjid semacam itu.

Menurut pendapat kami tidak sah shalat di tempat tersebut karena adanya larangan dan kutukan sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits di atas dan hadits-hadits lain.

Adapun sengaja melakukan shalat di kuburan sebagian nabi atau orang-orang shalih dengan maksud mencari barakah tempat tersebut, maka perbuatan semacam ini merupakan perbuatan menentang Allah dan rasul-Nya dan menyelisihi agamanya serta melakukan bid‘ah yang tidak pernah dibenarkan oleh Allah. Sungguh kaum muslimin telah sepakat bahwa berdasarkan ketentuan pokok ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa shalat di atas kuburan manapun merupakan perbuatan yang tidak ada nilai kebaikannya, bahkan bernilai keburukan. Kuburan sebenarnya bukan merupakan tempat yang mempunyai nilai kebajikan. Kaum Nasrani telah mengagungkan para nabi mereka dengan cara memujanya dan memuja patung-patungnya.

Sedangkan kaum Yahudi telah melecehkan para nabi mereka, sampai-sampai mereka membunuhnya. Adapun umat muslim, umat moderat yang mengerti martabat dan kehormatan para nabi mereka, tidak akan bersikap berlebih-lebihan seperti yang ditunjukkan kaum Nasrani dan tidak pula melecehkan para nabi mereka seperti yang dilakukan kaum Yahudi. Pada hadits shahih diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا تَطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيسَى بْنَ مَرْيَمَ وَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ

“Janganlah kalian menghormati diriku seperti kaum Nasrani menghormati ‘Isa bin Maryam, karena aku hanyalah seorang hamba. Maka katakanlah: ‘(Muhammad) adalah hamba Allah dan rasul-Nya.’” (HR. Bukhari)

Orang yang berpendapat bahwa shalat di tempat tertentu memberikan rahmat lebih banyak daripada shalat di tempat lain, maka melakukan shalat di tempat tersebut menjadikan ia murtad. Oleh karena, shalat di tempat tersebut akan melenyapkan rahmat yang diharapkan bahkan menyebabkan  laknat dan adzab. Barang siapa yang tidak memahami bahwa shalat di tempat tersebut menyebabkan murtad, maka yang bersangkutan cukuplah mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saja, sebab shalat ditempat tersebut dapat lebih merusak aqidah daripada menguatkannya. Juga karena shalat di tempat tersebut terlarang seperti terlarangnya shalat pada tiga waktu dan puasa pada hari raya. Begitu juga diharamkannya minuman keras, karena keburukannya lebih berbahaya daripada kebaikannya. Dan diharamkannya tempat-tempat tertentu untuk shalat, karena bahayanya terhadap aqidah lebih besar daripada manfaatnya.

Tidaklah ada hak bagi seorang mukmin menuntut para rasul Allah untuk menjelaskan perincian hal-hal yang merusak  aqidah ini, akan tetapi justru ia berkewajiban untuk mentaati mereka sepenuhnya, sebagaimana Allah firmankan pada surah An Nisaa’ ayat 64 dan 80:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ
مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَ

“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan supaya dia ditaati dengan idzin Allah.
Barang siapa mentaati rasul Allah, maka sungguh dia telah mentaati Allah.”

Hak para nabi untuk dimuliakan, dihormati dan dicintai adalah dalam bentuk mendahulukan mereka dibandingkan dengan diri kita sendiri, baik dalam urusan harta, keluarga dan kepentingan lain, lebih menaati mereka, mengikuti sunnah-sunnah mereka dan lain sebagainya. Melakukan hal-hal tersebut sepenuhnya, bukan berarti menyembah dan menyekutukan para nabi itu dengan Allah. Berbeda halnya dengan yang dilakukan oleh orang-orang musryik yang menyekutukan Allah dengan para nabi mereka, baik syirik besar maupun syirik kecil, karena mereka tidak lagi memenuhi kewajiban menaati mereka, bahkan mereka melakukan perbuatan bid‘ah dengan melakukan perbuatan syirik (menyekutukan para nabi dengan Allah).

Begitu pula hak orang-orang shalih adalah hak untuk dicintai, dimuliakan dan lain-lain, sesuai dengan hak mereka yang disebutkan dalam Al-Qur‘an dan sunnah serta praktek kaum salaf dari umat ini.

Barang siapa memperhatikan kitab-kitab hadits dan riwayat-riwayat sahabat serta mengetahui keadaan generasi salaf, niscaya akan memperoleh keyakinan kuat, bahwa  generasi salaf tersebut sama sekali tidak pernah meminta tolong kepada kuburan dan tidak pernah memanjatkan do‘a kepada orang-orang yang telah dikubur itu. Bahkan mereka melarang orang-orang bodoh di kalangan mereka melakukan hal tersebut.

Orang yang berdo‘a di kuburan-kuburan dan menganggap tempat itu lebih baik dari yang lain, maka perbuatan itu tidak lepas dari salah satu dari anggapan berikut:

1. Menganggap bahwa tempat tersebut lebih utama. Anggapan semacam ini tidak boleh. Pada masa sahabat, tabi‘in dan abad berikutnya –tiga abad pertama yang terbaik– tidak dikenal adanya anggapan keutamaan tempat-tempat tertentu dan baru dikenal pada generasi abad berikutnya. Seseorang tidak boleh beranggapan adanya tempat-tempat tertentu yang punya keutamaan, lalu melakukan ibadah di tempat itu dengan harapan mendapatkan segala kebaikan, lebih-lebih berdo‘a di tempat itu. Karena hal yang merugikan seseorang bisa terjadi dengan sebab apa saja.

2. Jika tempat tersebut tidak disukai, bagaimana mungkin orang-orang itu mau berdo‘a di tempat itu? Mereka meyakini adanya keutamaan berdo‘a di kuburan-kuburan, bagaimana mungkin mereka melakukannya kalau bukan karena menginginkan kebaikannya? Tentu anggapan  semacam ini suatu yang tidak masuk akal, baik menurut syari‘at maupun menurut fitrah.

3. Jika berdo‘a di tempat-tempat tertentu tersebut tidak dianggap lebih baik, maka berdo‘a di tempat itu tetap saja sesat dan dosa. Hal ini sebagaimana dia memilih tempat tertentu yang lain yang tidak dianggap ada keutamaanya untuk berdo‘a, lalu sengaja berdo‘a di tempat itu, seperti misalnya tempat pertemuan anak sungai, gerumbul, tengah-tengah pasar, pinggir jalan dan lain-lain.

Terdapat beberapa ayat Al-Qur‘an yang menjelaskan masalah ini, antara lain:

1. Pada surah Asy Syuuraa ayat 21:

أَمۡ لَهُمۡ شُرَكَٰٓؤُاْ شَرَعُواْ لَهُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا لَمۡ يَأۡذَنۢ بِهِ ٱللَّهُ

“Apakah mereka mempunyai sekutu yang membuat syari‘at agama tanpa izin dari Allah untuk mereka.”

Allah tidak membuat syari‘at yang membenarkan mereka berdo‘a di kuburan-kuburan dan tidak pula menganjurkan perbuatan tersebut, lalu siapakah yang telah membuat syari‘at yang tidak diizinkan oleh Allah untuk mereka.

2. Pada surah Al A‘raaf ayat 33:
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ

“Katakanlah (Muhammad), Tuhanku hanya mengharamkan semua yang keji, baik yang nyata maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa dan melakukan kezhaliman tanpa hak serta melarang kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Dia tidak menurunkan kekuasaan sedikitpun, dan mengharamkan kamu mengatakan sesuatu atas nama Allah tentang hal-hal yang tidak kamu ketahui.”

Beribadah di kuburan-kuburan termasuk perbuatan  menyekutukan Allah dengan sesuatu yang sama sekali tidak dapat memberikan kekuasaan. Karena Allah tidak pernah memberikan argumen (hujjah) yang berisikan pembenaran berdo‘a di atas kuburan-kuburan dan keutamaan tempat tersebut dari yang lain. Maka barang siapa berbuat demikian itu dengan anggapan termasuk ajaran agama Allah, maka orang tersebut telah berdusta atas nama Allah tentang hal yang tidak dia ketahui.


_____________
source: Books: Bahaya Mengekor Non Muslim (Mukhtarat Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim Syaikh Ibnu Taimiyah). Muhammad bin Ali Adh-Dhabi‘i, Penerbit Media Hidayah,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...