Makna Tegak Dan Sampainya
Hujjah
Dalam Masaail
Dhahirah6
Orang yang telah sampai kepadanya Al-Qur’an Al Adhim maka
hujjah dan peringatan telah tegak terhadapnya, terutama dalam bab dien yang
paling jelas yang karenanya semua rasul diutus.
Adapun
bila yang dimaksud dengan hujjah dan tegaknya itu adalah bahwa setiap orang di
datangi ke tempatnya terus hujjah ditegakan kepadanya, maka ini adalah apa yang
Allah Subhanahu Wa Ta’ala ingkari di dalam firman-Nya tentang para pelaku Syirik:
فَمَا لَهُمۡ عَنِ ٱلتَّذۡكِرَةِ
مُعۡرِضِينَ ٤٩ كَأَنَّهُمۡ حُمُرٞ
مُّسۡتَنفِرَةٞ ٥٠ فَرَّتۡ مِن
قَسۡوَرَةِۢ ٥١ بَلۡ يُرِيدُ كُلُّ ٱمۡرِيٕٖ مِّنۡهُمۡ أَن يُؤۡتَىٰ صُحُفٗا
مُّنَشَّرَةٗ ٥٢
“Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari
peringatan (Allah)? Seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut,
lari daripada singa. Bahkan tiap-tiap orang dari mereka berkehendak supaya
diberikan kepadanya lembaran-lembaran yang terbuka. (QS. Al Muddatstsir [74]: 49-52)
Dan sudah maklum dari sirah
(perjalanan) Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa sikap beliau dalam mendakwahi kelompok-kelompok yang
memiliki kekuatan, beliau mengirim surat kepada tokoh-tokohnya saja tanpa
rakyatnya. Dan beliau tidak mensyaratkan atau menyuruh para utusannya serta
para gubenurnya untuk mendatangi individu-individu orang dalam rangka
menegakkan hujjah atas mereka, terutama bagi orang-orang kafir harbiy. Dan
sedangkan keadaan setelah tersebar dan tersiarnya Islam di belahan bumi ini
menurut para ulama tidaklah seperti di awal dakwah dan permulaan Islam atau
bersama orang yang baru masuk Islam.
I. Dalil-Dalil Dari Al-Qur’an
Masalah tegaknya hujjah dalam masalah masail dhahirah (masalah-masalah
yang nampak) adalah al-ilmu (mengetahui) atau al
balaagh (sampai) atau adanya dakwah yang
berjalan
atau tinggal di tempat keberadaan ilmu7 atau adanya tamakkun (peluang kesempatan).8 [lihat Al Haqaiq karya Syaikh Ali Al Khudlair]
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَإِنۡ
أَحَدٞ مِّنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٱسۡتَجَارَكَ فَأَجِرۡهُ حَتَّىٰ يَسۡمَعَ كَلَٰمَ ٱللَّهِ
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia sampai ia sempat mendengar firman
Allah” (QS. At Taubah [9]: 6)
Dan
firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
لَمۡ يَكُنِ ٱلَّذِينَ
كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ مُنفَكِّينَ حَتَّىٰ
تَأۡتِيَهُمُ ٱلۡبَيِّنَةُ ١
رَسُولٞ مِّنَ ٱللَّهِ يَتۡلُواْ صُحُفٗا
مُّطَهَّرَةٗ ٢
“Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang
kepada mereka bukti yang nyata, (yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad)
yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Qur’an)” (QS. Al Bayyinah [98]: 1-2)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata: “Dan Allah mengkhitabi semua jin
dan manusia dengan Al Qur’an sebagaimana firman-Nya: “Supaya dengannya aku memberikan peringatan kepada kalian dan
(kepada) orang-orang yang sampai Al Qur’an kepadanya.” Maka setiap yang telah sampai kepadanya (Al Qur’an) baik manusia
atau jin berarti telah diberi peringatan oleh Rasul dengannya.” [Majmu Al
Fatawa: 16/148-149]
Dan
beliau rahimahullah berkata dalam penjelasan firman Allah ta’ala:
لَا
تَسۡمَعُواْ لِهَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانِ وَٱلۡغَوۡاْ فِيهِ
“Jangan kalian dengar akan Al Qur’an ini dan buat gaduh di
dalam (majelis)nya.” (QS. Fushshilat
[41]: 26)
Beliau berkata: “Hujjah
itu sudah tegak dengan adanya Rasul yang menyampaikan dan adanya kesempatan (tamakkun)
mereka untuk mendengar dan mentadabburi, bukan
dengan mendengarnya itu, karena di antara orang-orang kafir ada orang yang menghindar
dari mendengar Al Qur’an dan memilih yang lainnya.” [Majmu Al Fatawa: 16/166]
II. Ijma’
Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab berkata: “Telah terjalin ijma’, bahwa orang yang telah sampai
kepadanya dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam, terus tidak beriman, maka dia itu kafir
dan tidak diterima darinya alasan ijtihad karena nampaknya dalil-dalil risalah
dan bukti-bukti kenabian.” (Ad Durar A
Saniyyah: 10/237)
Syaikh Hamd Ibnu Nashir Alu Ma’mar rahimahullah berkata:
“Para ulama telah ijma’, bahwa orang yang telah sampai kepada-Nya dakwah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya hujjah telah ditegakkan atasnya.” [Ar Raddu ‘Alal Qubuuriyyiin: 115]
III. Pernyataan-Pernyataan Para Imam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Hujjah Allah dengan rasul-rasul-Nya telah tegak dengan adanya kesempatan (tamakkun) untuk
mengetahui, sehingga bukan termasuk syarat (tegaknya) hujjah Allah tahunya
orang-orang yang didakwahi akan hujjah tersebut, dan oleh sebab ini
keberpalingan orang-orang kafir dari mendengarkan dan mentadabburi Al-Qur’an
bukanlah penghalang dari tegaknya hujjah Allah ta’ala atas mereka, serta begitu
juga keberpalingan mereka dari mendengarkan apa yang dinukil dari para nabi dan
dari membaca atsar-atsar yang diriwayatkan dari mereka tidaklah menghalangi
(tegaknya) hujjah,9 karena
kesempatan sudah ada.” [Kitab Ar Radd ‘Alal
Manthiqiyyin: 99]
Beliau juga berkata: “Bukan termasuk syarat penyampaian risalah
ini adalah sampainya hal itu kepada setiap mukallaf di dunia ini, namun yang
menjadi syarat adalah orang-orang mukallaf itu memiliki kesempatan untuk
menyampaikan hal itu kepada diri mereka, kemudian bila mereka teledor dan tidak
berupaya untuk sampainya hal itu kepada mereka padahal sarana-sarana yang mesti
ditempuh itu ada, maka keteledoran (tafrith) itu dari mereka, bukan darinya (yang menyampaikannya).” [Ikhtishar
Ali Al Khudlair dari Al Fatawa: 28/125, silakan lihat Al Haqaiq]
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata tentang orang-orang yang taqlid
kepada guru-gurunya dalam Masaa-il Mukaffirah: “Orang yang memiliki kesempatan
dan yang berpaling itu mufarrith (teledor) lagi meninggalkan kewajibannya yang sama sekali tidak
ada udzur dihadapan Allah.” [Thariq Al Hijratain: 544]
Beliau berkata juga: “Sesungguhnya adzab didapatkan karena dua
hal: Pertama, Keberpalingan dari hujjah dan tidak menginginkannya serta
terhadap sebab-sebab yang menghantarkan kepadanya. Dan kedua, membangkang akan
hujjah setelah tegaknya dan meninggalkan keinginan akan tuntutannya. Yang
pertama kufur i’radl (karena berpaling) dan yang kedua kufur inad (pembangkangan).”
[Tahriq Al Hijratain: 546]
Syaikh Muhhamad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata
dalam risalahnya kepada Isa Ibnu Qasim dan Ahmad Ibnu Suwailim: “Dan
sesungguhnya kalian masih ragu tentang thaghut-thaghut itu dan para pengikutnya
apakah hujjah itu sudah tegak atau belum atas mereka? Ini adalah tergolong
keanehan yang paling mengherankan, bagaimana kalian ragu akan hal ini sedangkan
sudah saya jelaskan berkali-kali kepada kalian… Sesungguhnya orang yang belum
tegak hujjah atasnya adalah orang yang baru masuk
Islam dan orang
yang hidup di pedalaman yang sangat jauh10
atau hal
itu dalam masalah khafiyyah11 (yang masih samar) seperti sharf dan ‘athaf (pelet) maka
(dalam hal seperti ini) pelakunya tidak dikafirkan sehingga diberitahu
(terlebih dahulu). Dan adapun ushuluddien
yang telah Allah jelaskan dan Dia pastikan
di dalam kitab-Nya maka sesungguhnya hujjah Allah adalah Al-Qur’an. Siapa yang
sampai kepadanya Al-Qur’an berarti hujjah itu sudah tegak, akan tetapi inti kekeliruan adalah kalian tidak membedakan tegak
hujjah dengan paham hujjah, karena
sesungguhnya mayoritas orang kafir dan munafik, mereka itu tidak paham hujjah
Allah padahal hujjah itu sudah tegak atas mereka, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
أَمۡ تَحۡسَبُ أَنَّ
أَكۡثَرَهُمۡ يَسۡمَعُونَ أَوۡ يَعۡقِلُونَۚ إِنۡ هُمۡ إِلَّا كَٱلۡأَنۡعَٰمِ بَلۡ
هُمۡ أَضَلُّ سَبِيلًا ٤٤
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu
mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatangternak itu).” (QS. Al Furqan [25]: 44)
Tegak dan sampainya hujjah adalah lain, sedangkan paham hujjah
adalah hal lain pula. Dan Allah telah mengkafirkan mereka dengan sebab
sampainya hujjah kepada mereka meskipun mereka tidak memahaminya.” [Tarikh
Nejd: 410]
Syaikh Hamd Ibnu Nashir Alu Ma’mar rahimahullah berkata:
“Setiap orang yang telah sampai Al-Qur’an kepadanya maka dia itu tidak diudzur,
karena inti yang besar yang mana ia adalah pokok dien Islam telah Allah
jelaskan dalam kitab-Nya, Dia menerangkannya dan menegakan hujjah dengannya
atas hamba-hamba-Nya, dan yang dimaksud tegak hujjah itu bukanlah si orang itu
memahami dengan pemahaman yang jelas seperti dipahaminya oleh orang yang telah
Allah beri hidayah dan taufiq serta yang tunduk kepada perintah-Nya, karena
sesungguhnya orang-orang kafir itu telah tegak hujjah atas mereka padahal Allah
mengabarkan bahwa Dia telah menjadikan pada hati mereka penghalang (yang
menghalangi) dari memahami firman-Nya.” [Ar Raddu ‘Alal Quburiyyin: 116-117]
Dan beliau rahimahullah berkata juga: “Sesungguhnya sampainya hujjah adalah lain dan
paham akan hujjah adalah lain pula.” [Ar Raddu Alal Quburiyyin: 117] Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya hujjah telah tegak dengan Al Qur’an atas setiap orang yang Al Qur’an
telah sampai kepadanya dan dia mendengarnya meskipun dia tidak memahaminya.”
[Hukmu Takfir Al Mu’ayyan: 154]
Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata
setelah menyebutkan ayat-ayat yang mencela taqlid: “Para ulama dengan ayat ini
dan lainnya berdalil bahwa tidak boleh taqlid dalam mengenal Allah dan risalah.
Dan hujjah Allah tegak atas manusia dengan diutusnya para rasul kepada mereka
meskipun mereka tidak memahami hujjah Allah dan penjelasan-penjelasan-Nya.” [Al
Intishar, Aqidatul Muwahhidin: 17]
Dan beliau berkata lagi: “Orang yang telah sampai kepadanya
risalah Muhammad shalallallahu ‘alaihi wasallam dan telah sampai Al Qur’an kepadanya maka hujjah telah tegak
atasnya, sehingga tidak ada udzur dalam hal tidak beriman kepada Allah,
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, maka tidak udzur
baginya setelah itu dengan sebab kejahilan.” [Al Kufru Al Ladzu Yu’dzaru
Shahibuhu Bil Jahil: 11]
Beliau rahimahullah berkata lagi: “Tidak ada udzur (alasan) bagi seorangpun dalam kejahilan
akan hal-hal ini dan yang serupa dengannya setelah diutusnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan sampainya hujjah-hujjah Allah dan penjelasan-penjelasan-Nya
meskipun orang yang telah sampai hujjah kepadanya itu tidak memahaminya, karena
hujjah Allah itu tegak atas hamba-hamba-Nya dengan sampainya hujjah itu bukan dengan
paham terhadapnya. Sampainya hujjah adalah satu hal sedangkan paham terhadapnya
adalah hal lain pula, oleh sebab ini Allah tidak mengudzur orang-orang kafir
dengan sebab ketidakpahaman mereka setelah hujjah dan penjelasan-penjelasan-Nya
itu sampai kepadanya.” [Ad Durar As Saniyyah: 10/359-360]
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman berkata seraya mengingkari Al Mulhid musuh tauhid Ustman Ibnu
Manshur12 yang
mengklaim bahwa hujjah itu tidak tegak atas orang jahil sehingga nampak jelas
baginya dan dia mengetahui bahwa apa yang dikatakan kepadanya itu adalah benar,
Syaikh berkata:
“Ulama mana dan ahli Fiqh mana yang mensyaratkan dalam tegaknya
hujjah dan penjelasan itu tahunya orang yang diajak bicara akan kebenaran ini…??!
(kemudian beliau menuturkan ayat-ayat….) terus berkata: dari ayat-ayat semacam
ini yang menunjukan kebutaan mereka (orang-orang kafir) dan ketidaktahuan
mereka terhadap kebenaran adalah banyak sekali. Dan tidak ada seorangpun yang
mengatakan pendapat seperti ini sebelum orang bodoh ini (Ustman, maksudnya),
namun justeru yang disyaratkan itu hanyalah paham terhadap apa yang diinginkan
oleh si pembicara dan (paham) akan maksud dari ucapan itu, bukan (tahu) bahwa
itu adalah kebenaran, ini adalah bagian kedua. Dan hal inilah yang diambil kesimpulannya
dari nash Al Kitab, As Sunnah dan perkataan para ulama, bukan apa yang
dikatakan oleh orang yang ngawur lagi membuat pengkaburan ini.” [Mishbah Adh Dhalam:
122-123]
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah berkata:
“Dan bila telah sampai kepada orang Nashrani apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
dan dia tidak tunduk kepadanya karena dugaan dia bahwa beliau adalah Rasul buat
orang Arab saja, maka dia kafir meskipun kebenaran dalam hal itu belum jelas baginya.
Dan begitu juga setiap orang yang telah sampai kepadanya dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang dengannya dia bisa mengetahui apa yang diinginkan dan yang
dimaksud, terus dia menolak akan hal itu karena syubhat atau yang lainnya, maka
dia itu kafir meskipun masalahnya masih samar bagi dia. Dan hal ini tidak ada perselisihan
di dalamnya.” [Mishbah Adh Dhalam: 326]
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata
tentang orang yang baligh lagi berakal yang paham akan ucapan: “Orang yang telah
sampai risalah Muhammad shalallahu ‘alaihi
wa sallam dan juga Al Qur’an telah sampai kepadanya,
maka sungguh hujjah telah tegak atasnya.” [Kasyfu Asy Syubhatain: 368]
6 Permasalahan
yang mana orang-orang khusus dan orang-orang awam dari kaum muslimin mengetahui
bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi
wasallam diutus dengannya dan seperti peribadatan terhadap Allah saja tidak ada
sekutu bagi-Nya dan
larangan dari beribadah
kepada selain-Nya baik berupa malaikat, para Nabi dan yang lainnya juga dan
sepeti wajibnya shalat lima waktu, zakat, shaum, dan haji, dan seperti
pengharaman fawahisy (perbuatan-perbuatan keji), riba, khamar, dan
judi. (lihat Mufidul Mustafid)
7 Oleh
sebab itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di
dalam hadits shahih memerintahkan seorang sahabat untuk membunuh dan mengambil
harta orang yang menikahi ibu tirinya tanpa memberikan penjelasan kepada orang
tersebut atau memerintahkan utusannya untuk menegakkan hujjah kepadanya sebelum
dibunuh, karena orang tersebut berada di tengah kaum muslimin lagi memiliki
tamakkun untuk mengetahui, sedangkan pengharaman menikahi mahram adalah
termasuk masalah dhahirah. Dan dia dikafirkan karena menolak hukum pengharaman
menikahi mahram atau menghalalkannya dengan perbuatannya.
8 Oleh
sebab itu Al Imam Ibnu Qudamah menukil ijma para ulama tentang kekafiran orang
yang mengingkari kewajiban zakat sedang dia hidup di tengah kaum muslimin dan
tidak mengudzurnya dengan sebab kejahilan, karena dia memiliki tamakkun dengan keberadaannya
di tengah kaum muslimin, dan kewajiban zakat adalah termasuk masalah dhahirah.
9 Oleh
sebab itu orang-orang yang melakukan kemusyrikan yang nyata yang dia ketahui
maknanya dalam kondisi seperti sekarang ini, di mana sarana-sarana ilmu banyak,
dakwah di mana-mana dan thaghutpun mengetahui bahwa dakwah ini berbahaya bagi pemerintahan
mereka, maka apakah ada orang yang berakal yang mengatakan bahwa hujjah belum
tegak di dalam hal ini?
10 Harus
ingat bahwa orang macam ini bila melakukan kemusyrikan, tetap disebut orang
musyrik bukan muslim, namun belum dikafirkan. Camkan hal ini!
11 Seperti
masalah Khalqul Qur’an dan masalah-masalah yang dipertentangkan antara Ahlus
Sunnah dengan Ahli Bid’ah lainnya yang pada dasarnya mengandung unsur
kekafiran. Contohnya pernyataan bahwa Al Qur’an adalah makhluq, maka ini
mengandung pendustaan terhadap nash yang menyatakan bahwa Al Qur’an itu
Kalamullah bukan makhluq, namun karena ini adalah masalah yang tersamar, maka
orangnya tidak dikafirkan sampai ditegakkan hujjah secara khusus kepadanya dan
syubhatnya disingkapkan.
Jadi yang namanya
hujjah di dalam masaail khafiyyah adalah bayaan dan
diskusi. Dan digolongkan juga di dalam masaail khafiyyah adalah permasalahan
syirik akbar yang samar dari sisi makna dan hakikatnya, seperti Demokrasi
berkaitan dengan orang yang tidak terlibat langsung di dalamnya namun dia hanya
sekedar mencoblos atau mencontreng, maka sebelum pengkafiran orang mu’ayyan yang
mencoblos harus ditegakkan hujjah terlebih dahulu secara khusus karena ada
ihtimaal (kemungkinan) dia itu tidak mengetahui makna dan hakikat demokrasi itu
dan hakikat mencoblos.
12 Dia
itu dahulunya termasuk orang baik dan sempat mensyarah Kitab Tauhid Syaikh
Muhammad, kemudian terkena syubhat
Dawud Ibnu Jirjis Al’Iraqi
yang mengudzur pelaku syirik akbar dengan sebab kejahilan.
_________
Sumber: Al Urwah Al Wutsqa (Buhul
Tali yang Sangat KokoH), Kumpulan Manhaj Tauhid, Ust. Abu Sulaiman Aman
Abdurrahman, Tahun 1425 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar