Mashlahat Dakwah
Bukan Alasan
Melegalkan Kekafiran
Penulis: Abu Sulaiman Al Arkhabiliy
Pada materi yang lalu sudah dijelaskan
tentang talazum bainal dhahir wal bathin dan pada kesempatan kali ini
pembahasan selanjutnya adalah tentang alasan mashlahat atau dlarurat bukanlah
alasan yang bisa melegalkan kemusyrikan atau kekafiran.
Permasalahan ini sangat penting karena
banyak sekali orang-orang, dan para aktivis terjatuh ke dalam kemusyrikan dan
kekafiran dengan alasan mashlahat dakwah, mashlahat umat dan seterusnya.
Alasan-alasan ini kadang membuat sebagian para ikhwan merasa berat untuk mengkafirkan
orang-orang, para aktivis yang telah melakukan kemusyrikan atau kekafiran dengan
klaim alasan mashlahat penegakkan syariat, mashlahat umat atau mashlahat dakwah.
Sekarang akan kita bahas bahwa alasan
mashlahat dakwah, mashlahat perjuangan, mashlahat pergerakkan, mashlahat umat
atau bahkan darurat itu bukanlah alasan yang dapat melegalkan kemusyrikan atau
kekafiran, justru orang yang melakukan kemusyrikan syirik akbar dengan alasan
mashlahat dakwah, mashlahat pergerakan, perjuangan, mashlahat umat atau
mashlahat penegakkan syariat maka dia itu kafir.
Dan di sini akan saya tuturkan penjelasan
dari nash-nash Al-Quran dan seterusnya.
Sebelumnya kita harus memahami bahwa
Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Maha Mengetahui segala apa yang akan terjadi.
Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala mengecualikan orang yang mukrah dari vonis
kafir dan tidak mengecualikan orang yang beralasan mashlahat dakwah, karena
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui apa yang ada dibisikkan oleh manusia,
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui bahwa nanti akan ada orang yang beralasan maslahat
dakwah, tapi Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak menjadikan hal itu sebagai hal
yang melegalkan kemusyrikan dan kekafiran, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan
dalam surat Al-Mulk ayat 14:
أَلَا
يَعۡلَمُ مَنۡ خَلَقَ وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلۡخَبِيرُ
"Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui?
Sedangkan Dia adalah Dzat Yang Maha Lembut lagi Maha mengetahui".
Jadi Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui
apa yang akan menimpa berupa kesulitan-kesulitan hingga banyak umat ini yang
akan hidup di negeri kafir, akan munculnya berbagai macam kemusyrikan dengan
dalih mashlahat, namun Allah hanya mengecualikan orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan
keimanan, Allah Ta'ala berfirman:
وَلَقَدۡ
خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهِۦ نَفۡسُهُ
"Dan Kami telah menciptakan manusia dan Kami Mengetahui apa
yang dibisikkan oleh jiwa manusia itu..." (QS: Qaaf: 16).
Allah Subhanahu wa Ta'ala Dzat yang telah
menciptakan manusia dan Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Mengetahui apa yang akan
dibisikkan oleh jiwa manusia, baik zaman awal penciptaan manusia ataupun di
masa mendatang seperti zaman sekarang ini.
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui
bahwa nanti akan ada orang yang melakukan kemusyrikan dengan alasan mashlahat
dakwah, alasan penegakkan syariat, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui apa
yang dibisikkan oleh jiwa manusia, tapi Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak
melegalkan kemusyrikan, tidak mengecualikan vonis kafir dari orang yang
melakukan kekafiran dan kemusyrikan dengan alasan mashlahat dakwah.
Kemudian di dalam sebuah atsar dari Ali
bin Abi Thalib -semoga Allah meridhainya mengatakan:
لوكان الدين بالرأي لكان أسفل الخف أولى بالمسح من أعلاه, وقدرأيت رسول لله صل الله
عليه وسلم
يمسح على ظاهره خفيه
"Seandainya dien ini berdasarkan
akal, tentulah bawah sepatu lebih utama diusap daripada atas sepatu, sedangkan
sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengusap
atas sepatu” (Hr. Abu Dawud, dengan sanad hadits yang hasan).
Di sini Ali -semoga Allah meridhainya-
menjelaskan bahwa seandainya agama itu yang menjadi patokkannya adalah akal,
tentu ketika di dalam Mas-hul Khuffain (mengusap dua sepatu) itu maka yang
diusap adalah bagian bawah sepatu karena ia itu yang kotor dan yang langsung
terkena tanah atau kotoran, akan tetapi karena dien ini berdasarkan wahyu atau berdasarkan
dalil naqli maka pikiran akal itu bukan patokan di dalam syari'at, dan Ali radliyallahu
'anhu menjelaskan bahwa "aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam mengusap atas sepatu" dalam mas-hul khuffain, yang diusap adalah
sepatu bagian atasnya bukan bagian bawahnya. Oleh sebab itu di dalam dien ini
kita harus ittiba' bukan mengada-ada.
ٱتَّبِعُواْ
مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡ وَلَا تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ
"Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb
kalian dan jangan kalian mengikuti para pemimpin selain-Nya..." (QS. Al A'raf: 3).
Jadi di dalam dien ini kita jangan akal-akalan, karena kalau
dengan akal-akalan coba kita bayangkan bahwa kemusyrikan atau kekafiran itu
adalah lebih tinggi daripada membunuh, lebih tinggi dari berzina, lebih tinggi
daripada memukul orang, kalau seandainya berdasarkan logika akal bila Allah
Subhanahu wa Ta'ala melegalkan kemusyrikan atau kekafiran karena dipaksa dalam
ikrah mulji', Allah Ta'ala berfirman:
إِلَّا
مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ مُطۡمَئِنُّۢ بِٱلۡإِيمَٰنِ
"Kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram
dengan keimanan" (QS.
An Nahl: 106).
Di sini Allah melegalkan kemusyrikan di saat kondisi ikrah
mulji', dan kalau seandainya mengandalkan sekedar logika akal, maka sesungguhnya
kemusyrikan itu adalah lebih tinggi daripada membunuh, memukul, atau berzina,
bila saja kemusyrikan kekafiran yang merupakan dosa yang lebih besar daripada
membunuh, memukul, berzina dibolehkan saat mukrah berarti kalau berdasarkan
akal semata berarti yang lebih rendah daripada kemusyrikan atau kekafiran
adalah lebih utama untuk dibolehkan saat ikrah, itu kalau seandainya
berdasarkan logika, akan tetapi dalam ajaran Allah Subhanahu wa Ta'ala bahwa membunuh
atau berzina itu tidak boleh walaupun dalam kondisi mukrah yang mulji', namun justru
kemusyrikan atau kekafiran diperbolehkan saat kondisi ikrah mulji'.
Jadi dalam dien ini hal yang membolehkan sesuatu yang
dilarang itu bukanlah berdasarkan akal dan bukan pula karena niat yang baik
sebagaimana klaim sebagian orang berdalih dengan ucapannya "yang penting
niatnya baik" atau amalan itu tergantung dengan niatnya, padahal tidaklah
demikian, di mana yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala itu tidaklah
menjadi boleh kecuali dengan dalil khusus dari Allah Subhanahu wa Ta'ala,
kemusyrikan dan kekafiran adalah hal yang terlarang dan Allah hanya
membolehkannya ketika dalam kondisi ikrah mulji', maka kitapun membolehkannya
di saat kondisi ikrah mulji', kenapa? Karena ada dalilnya.
Allah mengharamkan babi, darah, dan bangkai namun ketika
kondisi darurat kelaparan dan tidak ada makanan kecuali hal-hal itu maka
dirukhshahkan untuk memakan bangkai atau darah atau babi, kenapa? Karena ada
dalilnya yang membolehkan memakan hal tersebut dalam kondisi darurat.
Jadi sesuatu yang dilarang Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadi
boleh bukan karena niat yang baik tapi menjadi boleh dengan sebab ada dalil
khusus, ini yang harus kita pahami. Adapun di antara dalil-dalil yang
menunjukkan bahwa mashlahat dakwah itu tidak menjadi alasan untuk melegalkan
kekafiran adalah di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat
Al-Isra ayat 73-75:
وَإِن كَادُواْ
لَيَفۡتِنُونَكَ عَنِ ٱلَّذِيٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ لِتَفۡتَرِيَ عَلَيۡنَا
غَيۡرَهُۥۖ وَإِذٗا لَّٱتَّخَذُوكَ خَلِيلٗا ٧٣ وَلَوۡلَآ أَن ثَبَّتۡنَٰكَ
لَقَدۡ كِدتَّ تَرۡكَنُ إِلَيۡهِمۡ شَيۡٔٗا قَلِيلًا ٧٤ إِذٗا لَّأَذَقۡنَٰكَ
ضِعۡفَ ٱلۡحَيَوٰةِ وَضِعۡفَ ٱلۡمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيۡنَا نَصِيرٗا
٧٥
"Dan mereka hampir saja
memalingkan engkau (Muhammad) dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu agar
engkau mengada-ngada yang lain terhadap Kami dan jika demikian tentu mereka
menjadikan engkau sahabat yang setia, dan sekiranya Kami tidak meneguhkan
hatimu (Muhammad) tentu Kamu sudah cenderung kepada mereka dengan kecenderungan
yang sedikit, jika demikian tentu akan Kami rasakan kepadamu siksaan yang berlipat
ganda di dunia ini dan berlipat ganda setelah kamu mati dan engkau (Muhammad) tidak
akan mendapatkan seorangpun penolong terhadap Kami".
Di sini Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan "hampir
saja mereka memalingkanmu (Muhammad) dari apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu".
Al Imam Jalaluddin as Sayuthiy rahimahullah berkata di dalam
Kitabnya Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul:
أخرج ابن مردويه و ابن أبي حاتم من طريق ابن إسحاق عن محمد بن أبي محمد عن عكرمة عن ابن
عباس قال: خرج امية بن خلف و أبو جهل بن هشام و رجال من قريش. فأتو رسول لله صلي لله عليه
وسلم فقالو: يا محمد, تعل تمسّح بالهتنا وندخل معك في دينك وكان يحب إسلام قومه, فر ق لهم, فأنزل
الله: “وَإِن كَادُو اْ لَيَفْتِنُونَ كَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْك لِتفْتَرِ يَ عَلَيْنَا غَيْرَ هُ وَإِذًا لاَّتَّخَذُو كَ خَلِيْلاً وَلَوْ لاَ أَن ثَبَّتْنَا كَ لَقَدْ
كِدْ تَّ تَرْكَنُ إِلَيْهِم شيْئًا قَلِيْلاً إِذ اً لَّأَذَقْنَا كَ ضِعْفَ الْحَيَا ةِ وَضِعْفَ الْمَمَا ت ثُمَّ لاَ تَجدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيْرًا” قلت: هذا أصح ما ورد في سبب نزولها. وهو إسناد جيد وله شاهد. وأخرج أبو الشخ عن سعيد بن جبير قال: كان رسل لله صلي لله عليه وسلم يستلم الحجر فقالوا: لا ندعك تستلم حتي تلم بألهتنا. فقال رسول لله
صلي لله عليه وسلم: وما عل ي لو فعلت ولله يعلم خلافه؟ فنزلت
“Ibnu Mardawaih dan Ibnu Abi Hatim
mengeluarkan dari jalur Ibnu Ishaq dari Muhammad Ibnu Abi Muhammad dari ‘Ikrimah
dari Ibnu ‘Abbas berkata: Umayyah Ibnu Khalaf, Abu Jahl Ibnu Hisyam dan
sejumlah tokoh dari Quraisy keluar dan terus mendatangi Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam, kemudian mereka berkata “Hai Muhammad, mari kesini kamu usap
tuhan-tuhan kami dan (nanti) kami masuk bersama kamu di dalam agamamu.” Sedangkan beliau ini menginginkan keIslaman kaumnya,
maka beliau iba terhadap mereka, maka Allah menurunkan: “Dan mereka hampir
memalingkan engkau (Muhammad) dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar
engkau mengada-ada yang lain terhadap Kami; dan jika demikian tentu mereka
menjadikan engkau sahabat yang setia. Dan sekiranya Kami tidak memperteguh
(hati)mu, niscaya engkau hampir condong sedikit kepada mereka, jika demikian,
tentu akan Kami rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan berlipat
ganda setelah mati, dan engkau (Muhammad) tidak akan mendapat seorang penolong
pun terhadap Kami.” [Al Isra: 73-75] Saya berkata: Ini adalah atsar yang paling
shahih yang ada tentang sebab nuzul ayat itu, dan ia adalah isnad jayyid (sanad
yang bagus) dan ia memiliki atsar penguat.” Abu Asy Syaikh mengeluarkan dari
Sa’id Ibnu Jubair, berkata: Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
mengusap hajar (aswad), maka mereka (orang-orang musyrik) berkata: “Kami tidak
akan membiarkan kamu mengusap (hajar aswad) sampai kamu memeluk tuhan-tuhan
kami,” maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berkata: “Tidak ada masalah
seandainya saya melakukan (hal itu) sedangkan Allah mengetahui dari saya
penyelisihannya”, Maka ayat itu turun." Selesai.
Di dalam sebab nuzul ayat-ayat di atas para pembesar Quraisy
memberikan tawaran, janji, dan jaminan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam tapi dengan syarat yang harus ditunaikan oleh beliau. Yaitu mereka
menjanjikan akan masuk Islam tapi dengan syarat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa Sallam mengusap berhala-berhala mereka, dan karena sangat inginnya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam terhadap keIslaman mereka yang akan berdampak
kepada keIslaman bangsa Quraisy karena yang menjanjikan janji tadi adalah para pemuka
Quraisy, maka hampir saja Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti
tawaran tersebut dengan anggapan bahwa hati beliau tetap bersih dan mengingkari
dan Allah ta’ala mengetahui pengingkaran hatinya itu. Maka Allah ta’ala
menurunkan ayat tersebut yang mengecam bisikan hati itu dan mengancam andaikata
bisikan hati itu direalisasikan.
Allah ta’ala menyatakan bahwa hampir
saja orang-orang kafir itu memalingkan Rasulullah dari ajaran Allah, yaitu
sekedar mengusap berhala secara dhahir sedangkan bathin mengingkari dengan
tujuan meraih mashlahat dakwah berupa keIslaman mereka, padahal pengusapan berhala
itu bukanlah syirik akbar tapi perbuatan yang haram.
Dan Allah ta’ala mengatakan “agar Engkau mengada-ada yang lain
terhadap Kami”, yaitu bahwa
tindakan mengusap berhala itu akan mengundang pertanyaan para sahabat kenapa Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa Sallam melakukan hal itu padahal perbuatan itu dilarang
oleh Allah ta’ala, maka hal itu mendorong Rasulullah untuk mencari alasan untuk
melegalkannya, dan itu adalah berdusta atas nama Allah atau mengada-ada yang
lain terhadap Allah ta’ala.
Kemudian firman-Nya ta’ala, “dan jika demikian tentu mereka
menjadikan engkau sahabat yang setia”,
maksudnya andaikata Rasulullah melakukan apa yang mereka inginkan berupa pengusapan
berhala walaupun hatinya mengingkari, tentulah orang-orang kafir itu memberikan
kepercayaan, kedudukan dan jabatan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
karena beliau telah mengikuti ajaran dan tawaran mereka.
Kemudian di dalam ayat-ayat berikutnya
Allah ta’ala menjelaskan bahwa Dia-lah yang telah meneguhkan Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak cenderung kepada mereka dan tidak
mengikuti tawaran mereka. Dan Dia ta’ala mengancam bahwa andaikata beliau mengikuti
tawaran mereka itu, tentu Allah memberikan lipatan adzab di dunia dan di
akhirat.
Bila ini adalah ancaman dan kecaman
serta vonis bagi sekedar menerima syarat pengusapan berhala yang bisa dilakukan
di dalam hitungan menit atau detik dengan ada jaminan dari para pemberi syarat
bahwa mereka akan masuk Islam setelahnya, dan itupun bisa dilakukan secara dhahir
saja sedang hati mengingkarinya. Maka lebih dasyat dari itu dalam hal ancaman, kecaman,
dan vonis adalah orang-orang yang mengklaim sebagai aktivis Islam yang mana mereka
menerima tawaran para thaghut untuk masuk di dalam sistim syirik demokrasi yang
sudah jelas kemusyrikan dan kekafirannya tanpa ada jaminan dari para thaghut
itu untuk komitmen dengan penegakkan hukum Islam. Bahkan justru para aktivis
(baca: penjual agama) itulah yang memberikan jaminan kepada para thaghut itu
untuk tetap komitmen dengan jalan demokrasi, komitmen dengan UUD 45 dan
Pancasila, yang mana itu adalah syarat yang ditetapkan para thaghut bagi semua
partai politik yang masuk di dalam kancah demokrasi dan pemilu sebagaimana yang
tertuang di dalam Undang-Undang Partai Politik, dan silahkan lihat kewajiban
partai politik di sana!
Kalau mereka berkilah bahwa hati mereka
benci dengan demokrasi dan cinta kepada Islam, maka klaim itu tidak bermanfaat
sebagaimana kebencian kepada berhala quraisy tidaklah bermanfaat bila dhahir
badan mengusap atau memeluk berhala itu. Sebagaimana tujuan baik yang diklaim
oleh orang-orang yang masuk ke dalam kancah demokrasi juga tidak bermanfaat,
seperti tidak manfaatnya tujuan baik yang diinginkan Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa Sallam, yaitu keIslaman Quraisy, dari pengusapan berhala itu. Karena
Islam itu adalah dien yang suci yang tidak melegalkan segala macam cara
sebagaimana agama mashlahat dakwah yang dianut para aktivis penjual agama itu.
Ini dikarenakan tujuan yang baik itu tidaklah bisa melegalkan hal yang
dilarang, tapi hal yang dilarang itu hanyalah menjadi boleh dengan dalil khusus,
dan dalam hal kemusyrikan dan kufur akbar hanyalah dibolehkan dalam kondisi
ikrah (dipaksa) saja, sebagaimana firman-Nya:
إِلَّا
مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ مُطۡمَئِنُّۢ بِٱلۡإِيمَٰنِ
“...kecuali
orang yang dipaksa sedangkan hatinya tenang dengan iman.” (QS. An-Nahl: 106)
Kalau Thaghut jaman sekarang tidak ada
yang memberikan jaminan bahwa kalau para aktivis Islam masuk dalam parlemen
hukum Islam akan ditegakkan tidak ada jaminan seperti itu, maka ini menjadi
dalil bahwa maslahat dakwah itu bukanlah alasan yang melegalkan kemusyrikan
justru itu menjadi sumber ancaman dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kemudian juga
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Az Zumar ayat 65:
وَلَقَدۡ أُوحِيَ إِلَيۡكَ
وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكَ لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ
وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٦٥
"Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan
kepada orang-orang sebelummu, sesungguhnya seandainya kamu (Muhammad) berbuat
syirik tentu hapus amalanmu dan kamu tergolong orang yang merugi".
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ketika
menjelaskan makna Laa ilaaha illallaah dan beliau menjelaskan ayat ini (di
dalam kitab Majmu' ah Ar Rasa'il wal Masa'il An Najdiyah) beliau menjelaskan
bahwa para ulama tafsir semua sepakat tentang penafsiran ayat ini bahwa itu
turun berkenaan dengan permintaan kafir Quraisy kepada Rasulllah shallallahu
alaihi wa sallam untuk mengucapkan suatu ucapan kekafiran dengan jaminan kalau
Rasul mengucapkannya mereka akan masuk Islam, maka turunlah ayat itu.
Lihat di sini orang Kafir Quraisy
meminta dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk mengucapkan suatu
ucapan kekafiran sekali saja walaupun hati tetap mengingkari dan tetap membenci
apa yang diucapkan itu tapi mengucapkannya dalam rangka menggiring orang-orang Quraisy
supaya masuk Islam, maka turun ayat ini: "Seandainya
kamu berbuat syirik tentu hapuslah amalanmu dan kamu tergolong orang yang
merugi".
Bila saja penghulu para muwahhidin mengucapkan
suatu ucapan kekafiran dengan tujuan mashlahat dakwah dan hati tetap
mengingkari mendapatkan ancaman yang sangat pedas, yaitu keterhapusan amalan
dan di akhirat termasuk orang merugi sedangkan amalan tidak hapus kecuali
dengan sebab orang menjadi musyrik atau kafir, maka bagaimana dengan orang yang
selain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Ini merupakan dalil bahwa alasan
mashlahat dakwah tidak menjadi legalitas untuk melakukan kemusyrikan, justru
orang yang melakukan kemusyrikan dengan alasan mashlahat dakwah itu adalah
orang kafir musyrik dan kita tidak boleh segan-segan dari menyematkan vonis
kafir musyrik kepada orang yang masuk dalam sistem demokrasi dengan alasan
mashlahat dakwah, mashlahat perjangan, atau orang menjadi anshar thaghut dengan
alasan mashlahat bisa membantu saudara-saudara dalam pergerakkan, tapi dia
menjadi anshar thaghut dalam rangka menegakkan hukum thaghut, bukankah banyak
sekarang orang membisikan "kamu jangan keluar dari tugasmu, tetap saja. Di
situ, tidak apa-apa menjadi penegak hukum thaghut karena bisa bermanfaat buat
kami" maka apa itu? itu melegalkan kemusyrikan dengan alasan mashlahat.
Kemudian juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَٱلۡفِتۡنَةُ
أَشَدُّ مِنَ ٱلۡقَتۡلِۚ
"Fitnah
itu lebih dasyat dari membunuh."(QS. Al Baqarah: 191).
Dalam ayat yang lain:
وَٱلۡفِتۡنَةُ
أَكۡبَرُ مِنَ ٱلۡقَتۡلِ
"Fitnah itu lebih besar dari membunuh" (QS. Al Baqrah: 217)
Apa yang dimaksud fitnah di sini, Imam
Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah dan Al-Hasan dan ulama-ulama lain
mengatakan tentang ayat " والفتنة أشد من القتل " mereka mengatakan والشرك أشد من القتل, maksudnya syirik itu lebih dahsyat
daripada membunuh, ayat ini kaitan dengan para sahabat Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam yang membunuh orang yang kafir di bulan Haram dan orang-orang
kafir Quraisy mencemooh para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
Allah menurunkan di antaranya ayat ini bahwa fitnah itu adalah kemusyrikan dan
sikap mereka menghalangi manusia dari jalan Allah, sedangkan kemusyrikan itu
lebih dahsyat daripada pembunuhan yang dilakukan di bulan haram.
Di sini bahwa kemusyrikan lebih dahsyat
dosanya, lebih dahsyat kemungkarannya daripada membunuh. Syaikh Sulaiman ibn
Sahman di dalam risalah tentang makna thaghut beliau mengatakan tentang ayat
tersebut " الفتنة ھي الكفر ", fitnah itu adalah kekafiran:
الفتنة هي الكفر فلو اقتتلت البادية والحاضرة حتى يذهبوا لكان أهون من أن ينصبوا في الأرض طاغوتا
يحكم بخلاف شريعة الإسلام
"Seandainya penduduk pedalaman dan
penduduk perkotaan mereka berperang saudara saling bunuh-bunuhan sampai musnah
seluruhnya, tentu lebih ringan di sisi Allah daripada mereka mengangkat di muka
bumi ini thaghut yang memutuskan hukum dengan selain syariat Islam."
Di sini Syaikh Sulaiman ibnu Sahman
menjelaskan bahwa seandainya penduduk kota yang muslim dan penduduk desa yang
muslim lainnya berperang saudara saling bunuh-bunuhan sampai mati semuanya itu
lebih ringan di sisi Allah daripada mereka mengangkat thaghut untuk
menyelesaikan pertikaian mereka yang memutuskan berdasarkan hukum buatan manusia,
lihat di sini seandainya seluruh orang terbunuh itu lebih ringan di sisi Allah,
daripada apa? Daripada mereka semua selamat namun dengan cara mengangkat
thaghut yang memutuskan pertikaian di antara mereka dengan hukum buatan. Jadi
kematian di atas maksiat tadi, yaitu membunuh muslim itu lebih ringan
konsekuensinya selagi dia masih bertauhid dan itu lebih ringan daripada apa?
Daripada selamat fisik dan tentram tapi di atas kekafiran, sedangkan kacau
balau namun masih di atas tauhid maka ia masih lebih baik daripada kondisi
nyaman, tentram namun dia di atas kemusyrikan itu.
Dan harus dipahami bahwa orang ketika
mengucapkan kekafiran dengan alasan mashlahat dakwah berarti dia mengucapkan
kekafiran itu tidak disertai keyakinan hati, sedangkan orang yang mengucapkan
itu hanya ada dua kemungkinan, yaitu dia serius mengucapkannya atau dia
main-main mengucapkannya atau memang dia serius, kalau serius berarti dari hati
sedangkan orang yang mengklaim untuk mashlahat dakwah hatinya mengingkari,
berarti dia saat mengucapkannya adalah main-main.
Imam ibnu Nujaim Al-Hanafi mengatakan dalam Kitab al-Bahru
Raa'iq juz. 5 halaman 134, beliau mengatakan:
إن من تكلم بكلمة الكفر هزلا أولاعبا كفر عند كل والعبرة بإعتقاده
"Bahwasanya orang yang mengucapkan
kalimat kekafiran seraya bercanda atau bermain-main maka dia kafir menurut
pendapat seluruh ulama, dan tidak dianggap keyakinannya itu"
Sedangkan orang yang mengucapkan kekafiran dalam rangka
mashlahat dakwah itu adalah orang yang main-main atau bercanda mengucapkannya tidak
serius, maka dia kafir juga menurut para ulama dan klaim keyakinannya tidak
dianggap.
Syaikh Sulaiman ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Abdul Wahhab
mengatakan bahwa dalam Kitab Ad Dala-il:
أجمع العلماء على أن من تكلم بالكفر هازلا, أنه كافر, فكيف بمن أظهرالكفر خوفا وطمعا في الدنيا؟
"Para ulama telah sepakat bahwa
orang yang mengucapkan kalimat kekafiran karena bermain-main maka dia kafir,
maka apa gerangan dengan orang yang menampakkan kekafiran karena takut atau
ingin dunia?!"
Di sini Syaikh Sulaiman ibn Abdillah
menjelaskan bahwa ulama telah sepakat bahwa orang yang mengucapkan kekafiran
seraya bermain-main atau bercanda maka ia kafir, sedangkan orang yang
mengucapkan kekafiran atau melakukan kekafiran dengan alasan mashlahat dakwah
itu adalah mengucapkannya apa? Tidak serius, main-main karena tidak disertai
hati, sedangkan yang tidak disertai hati adalah main-main atau bercanda dan di
sini ibnu Nujaim menyebutkan bahwa itu kafir menurut seluruh ulama, Syaikh
Sulaiman ibn Abdillah mengatakan ulama ijma bahwa orang yang mengucapkan
kekafiran seraya bermain-main adalah kafir juga.
Imam ibnul Arabi dalam Kitab Ahkam Al-Qur'an Juz 4 halaman
353 beliau mengatakan:
لا يخلو أن يكون ما قالوه من ذلك جدا أو هزلا وهو كيفما كان كفر
"Apa yang mereka ucapkan dari
ucapan-ucapan kekafiran itu tidak lepas daripada mereka mengucapkannya dengan
serius atau main-main, dan ia itu bagaimanapun keadaannya maka ia adalah
kekafiran."
Di sini Imam Ibnul Arabi mengatakan bahwa kalimat kekafiran
yang diucapkan orang itu tidak lepas antara mengucapkannya itu dengan serius
lagi sertai hati atau mengucapkannya dalam rangka bercanda gurau atau main-main
lagi tidak disertai hati, kata beliau bagaimana pun keadaannya baik
mengucapkannya itu serius atau bercanda lagi bermain-main seperti orang yang
mengucapkannya dengan alasan mashlahat dakwah, dia mengucapkan kekafiran atau melakukan
kekafiran maka dia kafir, ucapan itu merupakan kekafiran dan orangnya adalah orang
kafir.
Jadi dalam Islam bahwa sesuatu yang
dilarang itu tidak bisa dibolehkan dengan niat yang baik atau dengan anggapan
bahwa hal itu bisa membawa dan membantu dalam melakukan ketaatan kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Seperti banyak orang yang melakukan perbuatan yang tahu
bahwa hal itu haram tapi dengan anggapan kalau saya mendengarkan musik ini bisa
membuat saya bersemangat untuk beribadah, orang mengetahui bahwa musik itu
haram, terus dia mengatakan bahwa musik ini membuat saya bersemangat untuk beribadah,
kalau setelah mendengarkan musik membuat hati saya lembut sehingga saya bisa menangis
dengan mendengarkan lantunan musik membuat hati luluh, tidak boleh orang melakukan
perbuatan yang dia tahu itu adalah haram dengan anggapan bahwa itu bisa membantu
dia untuk melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan dalam Kitab Majmu Fatawa juz 14 hal 474:
انما الإنسان في نفسه فلا يحل له ان يفعل الذى يعلم انه محرم لظنه أنه يعينه على طاعة ألله
"Adapun orang pada dirinya maka
dia tidak halal melakukan sesuatu yang dia ketahui bahwa itu haram dengan
anggapan hal itu bisa membantu dia dalam ketaatan kepada Allah".
Juga beliau berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra Juz. 6 hal. 86
beliau berkata:
ثم إنه لا خلاف بين المسلمين أنه لا يجوز الأمر ولا الإذن في التكلم بكلمة الكفر لغرض من الأغراض,
بل من تكلم بها فهو كافر إلا أن يكون مكرها فيتكلم بلسانه وقلبه مطمئن بالإيمان
"Kemudian sesungguhnya tidak ada
perselisihan lagi di antara kaum muslimin bahwa tidak boleh memerintahkan dan
tidak boleh memberikan izin untuk melakukan atau mengucapkan kekafiran dengan
alasan untuk tujuan tertentu, akan tetapi barangsiapa mengucapkannya maka dia
kafir kecuali bila dia itu mukrah terus mengucapkan dengan lisannya sedangkan hatinya
teguh dengan keimanan."
Dikarenakan yang namanya kemusyrikan
itu tidak pernah Allah Subhanahu wa Ta'ala membolehkannya dalam ajaran nabi
manapun baik dalam kondisi darurat maupun dalam kondisi bukan darurat, Allah
hanya merukhshahkan mengucapkan atau melakukan kekafiran hanya pada kondisi
ikrah saja sedangkan mashlahat itu bukan ikrah karena sebagian orang suka
akal-akalan mengatakan bahwa: "Masuk
parlemen juga mukrah karena kalau seandainya kita tidak masuk parlemen nantinya
parlemen akan dikuasai oleh orang-orang kafir asli nanti mereka akan menguasai
pemerintahan terus mereka akan melakukan pembantaian terhadap kaum muslimin
sehingga membunuhi kaum muslimin".
Sekarang ada pertanyaan siapa yang
menyuruh dia masuk parlemen? siapa yang memaksa dia masuk parlemen? apakah dia
dipaksa atau justru dia mendapatkan gaji atau bayaran? Yang menyebabkan kaum
muslimin dibantai itu apa? Justru karena merekalah penyakitnya karena mereka
telah membius masyarakat dari syariat jihad, memerangi para thaghut dan kaki
tangannya dan mereka menceburkan diri dengan masuk parlemen karena apa? Jihad dusturi,
alasan maslahat dakwah.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata dalam
Majmu' al-Fatawa juz 14 hal 476:
فإن الشرك والقول على لله بغير علم والفواحش ما ظهر منها وما بطن والظلم لا
يكون فيها شيئ من
المصلحة
"Sesungguhnya syirik dan dusta
atas nama Allah tanpa ilmu dan perbuatan-perbuatan keji baik yang nampak maupun
yang tersembunyi darinya dan kedhaliman itu tidak ada sesuatupun kemashlahatan
di dalamnya."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa syirik, dusta atas nama Allah atau berbicara atas nama Allah seperti
orang yang melegalkan masuk parlemen terus berdalil dengan ayat-ayat Allah maka
itu namanya dusta atas nama Allah. Orang yang menghalalkan zina dengan mencari-cari
dalil maka itu juga namanya dusta atas nama Allah, terus Fawahisy (perbuatan keji,
zina, homo dan lain-lain) baik yang nampak maupun yang tidak, adzzulmun
(kedzaliman), membunuh tanpa hak, memukul tanpa hak, itu apa...? Sama sekali di
dalamnya tidak ada sedikitpun maslahat. Jadi Allah sudah menetapkan bahwa
syirik adalah dilarang dan tidak ada maslahat sedikitpun di dalamnya sehingga
orang yang melakukan kemusyrikan dengan alasan mashlahat itu apa...? Dia telah
menentang Allah dan RasulNya.
Jadi tidak ada yang namanya Maslahat dakwah terus melakukan
kemusyrikan. Juga Syaikhul Islam ibnu Taimiyah mengatakan dalam Al-Majmu
Al-Fatawa juz 14 halaman 470, beliau mengatakan
أَ ن الْمُحَرَّمَا تِ قِسْمَا ن أَحَدُهُمَا مَا يَقْطَعُ بِأَ نَّ الشَّرْ عَ لَمْ يُبِحْ مِنْهُ شَيْئًا لَا لِضَرُورَ ةِ وَلَا لِغَيْرِ ضَرُورَ ةٍ: كَالشَّرَ كَ
وَالْفَوَاحِشَ وَالْقَوْ ل عَلَى ا للهِ
بِغَيْرِ عِلْمٍ. وَالظُّلْمَ الْمَحْضِ
"Sesungguhnya hal-hal yang
diharamkan itu ada 2 macam yang pertama adalah hal yang memastikan bahwa
syariat ini tidak membolehkan sesuatu pun darinya baik dalam kondisi darurat
maupun bukan pada kondisi darurat seperti syirik dan fawahisy, dusta atas nama Allah
tanpa dasar ilmu dan kedhaliman murni"
Ini dalam ajaran manapun tidak pernah dibolehkan dan itu
dipastikan bahwa syariat tidak pernah membolehkan sedikit pun darinya walaupun
dalam kondisi darurat, misalnya seseorang mempunyai keluarga yang sakit keras
sudah habis biaya, yang sakit tidak bisa berdiri, tidak bisa berjalan, kasihan
bertahun-tahun menderita penyakit sehingga keluarganya sudah habis harta dan
beralasan darurat akhirnya diputuskan untuk menyuntik mati keluarga yang sakit
tersebut maka itu tidak boleh, karena apa..? Karena membunuh termasuk perbuatan
dhalim karena jiwa ini bukan milik kita namun milik Allah Subhanahu wa
Ta'ala".
Jadi dalam kondisi darurat tidak boleh apalagi bukan kondisi
darurat, dan ini adalah yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala didalam
Surat Al-Araf ayat 33:
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ
رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ
بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ
سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٣
"Katakanlah sesungguhnya yang
diharamkan Rabbku itu hanyalah mengharamkan perbuatan-perbuatan keji yang
nampak darinya dan yang tersembunyi, dosa dan aniaya tanpa hak (kedhaliman yang
murni), kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak Allah menurunkan
dalilnya dan kalian dusta atas nama Allah apa yang kalian tidak ketahui."
Di sini dalam surat Al-Araaf ayat 33 tentang apa? hal-hal
yang tidak pernah dibolehkan di dalam syariat manapun dan pengharamannya pun
itu sudah sejak di Mekkah, sudah dalam ayat-ayat Makkiyah Allah menurunkan
pengharaman hal-hal tersebut sehingga bila kondisi darurat saja tidak boleh
apalagi dengan alasan mashlahat dakwah.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah -semoga Allah merahmatinya-
beliau mengatakan juga dalam Al-Fatawa Al-Kubra Juz 6 halaman 75:
والرجل لو تكلم بكلام الكفر لمصالح دنيا من غير حقيقة اعتقاد صح كفره باطنا وظاهرا
"Seandainya orang mengucapkan
kalimat kekafiran karena kepentingan-kepentingan dunia tanpa dibarengi
keyakinan hati maka sahlah kekafirannya secara bathin dan lahir."
Jadi orang seandainya mengucapkan kekafiran untuk
kemashlahatan dia mengucapkan secara lisan saja tanpa bathin, tidak disertai
dengan keyakinan hati maka apa...? Maka sahlah kekafiran secara bathin dan
lahir.
Oleh karena itu sudah kita bahas dalam materi yang
sebelumnya, yaitu materi at-talazum bainal dhahir wal bathin, keterkaitan
antara lahir dan bathin, bahwa orang dikala mengucapkan kalimat kekafiran
secara sengaja lagi tidak dipaksa maka dia kafir lahir bathin walaupun
mengklaim bahwa dia di hatinya tidak menyakini kekafiran tersebut, makanya di sini
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah mengatakan: "Seseorang
seandainya mengucapkan...",
sedangkan orang-orang yang masuk ke dalam parlemen atau orang-orang yang masuk
dalam sistem demokrasi dengan alasan: "Kan
kita tidak menyakini, kita hanya mengikuti mekanisme saja, jadi dalam demokrasi
ini ada demokrasi yang ideologi, ada juga paham demokrasi yang sifatnya
mekanisme saja yang menjadikan wasilah atau sarana semata tidak secara
akidah", maka
ini hukumnya sama saja, karena apa...?
Karena mekanisme itu muncul daripada akidah, makanya orang
yang masuk dalam sistem demokrasi walaupun hatinya mengingkari tapi dia mengikuti
mekanisme demokrasi untuk menyandarkan hukum kepada selain Allah, menyandarkan
kebenaran kepada suara votting itu kepada suara terbanyak dan seterusnya itu
apa...? dia ketika masuk ke dalam sistem demokrasi, masuk menjadi anggota
parlemen walaupun lisannya mengatakan hati saya mengingkari tapi dia ikut
melakukan kekafiran maka dia kafir lahir bathin dan klaim mashlahat dakwah yang
dia utarakan tidaklah diterima. Inilah materi kita pada hari ini.
Dituangkan dari kajian:
Abu Sulaiman Aman Abdurrahman Al Akhabiliy
15 Rabi' Al Awwal 1436H
Sijn Thaghut KK NK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar