ULAMA
SESAT
DILAKNAT DAN DIMURKAI
sumber: RUMIYAH Edisi 1
Allah telah
memuliakan ilmu, mengangkat derajat ulama dan meninggikan kedudukannya. Allah
berfirman: {Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang
berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang
berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang
berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana}. [QS Ali Imran: 18]).
Imam
al-Qurthubi berkata: “Tidak ada seorangpun yang lebih mulia daripada ulama. Tidak
ada yang namanya disandingan dengan nama Allah dan malaikatnya seperti nama
ulama.” (al-Jami’ li Ahkam al-Quran)
Oleh karena
itu, Allah menolak jika ulama disamakan dengan selain ulama, kalam-Nya:
{Katakanlah: „Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui?“ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran}. [QS az-Zumar: 9]), dan Allah juga memerintahkan untuk merujuk
kepada mereka, kalam-Nya: {Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui}. [QS an-Nahl: 43]).
Namun,
apakah yang dimaksud dengan ilmu itu sekedar menghafal matan, membuat
ensiklopedia, mentahqiq naskah, mengetahui berbagai pendapat, dan menulis untuk
diperjual belikan? Tidak demikian. Sesungguhnya ulama yang dipuji dan dinamakan
oleh Allah sebagai ‘orang-orang yang berilmu’ mereka adalah yang menyampaikan
dan mengamalkan ilmunya. asy-Syathibi berkata: “Ilmu yang muktabar secara syari
– maksudku yang dipuji Allah dan Rasul-Nya secara mutlak – adalah ilmu yang
mendorong kepada amal” (al-Muwafaqat). Maka ilmu dan amal itu dua hal yang
tidak bisa dipisahkan. Tidak ada amal tanpa ilmu, dan tidak ada ilmu tanpa
amal.
Ilmu itu menyeru amal
Jika tidak dibalas maka ia akan pergi
Ilmu yang
diamalkan maka akan berbuah takut kepada Allah, sehingga rasa takutnya kepada
Allah membawanya meyuarakan kebenaran lantaran takut akan murka Allah. Allah
berfirman: {Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama} [QS Fāthir: 28]). Dari Ibnu Abbar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Orang-orang yang mengetahui Allah itu adalah orang-orang yang takut
kepada-Nya.” (az-Zuhdi li Abi Dawud). Ibnu Mas’ud berkata: “Ilmu itu bukanlah
dengan banyaknya riwayat, namun ilmu itu adalah rasa takut kepada Allah.”
(Hilyah al-Auliyā`).
Dari buah
ilmu itu juga berjihad di jalan Allah. Jihad itu adalah teman dekatnya ulama,
seperti dalam hadits Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, berkata: “Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang
dikehendaki kebaikan baginya maka Allah akan memahamkannya perkara-perkara
agama. Akan selalu ada sekelompok kaum muslimin yang terus berperang di jalan
kebenaran, mereka terus menang dari lawan-lawannya sampai hari kiamat.” (HR
Muslim)
Kedua
perkara yang disandingkan dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa ilmu dan
jihad adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Yang melakukannya merekalah
thaifah manshurah. Tegaknya agama dan menangnya kebenaran tidak mungkin terjadi
kecuali dengan ilmu dan jihad.
Demikanlah
kondisi sahabat radhiyallahu ‘anhum yang mereka adalah para ulama umat ini.
Mereka sandingkan antara ilmu dengan jihad. Yang memperhatikan biografi para
sahabat muhajirin dan ansar akan mendapati bahwa banyak dari mereka yang
terbunuh di medan-medan jihad. Mereka wujudkan ilmunya dengan amalnya. Pada
Perang Yamamah saja para sahabat penghafal al-Quran banyak yang terbunuh.
Ketika bendera perang pasukan muslimin jatuh, maka Salim maula Abu Hudzaifah
radhiyallahu ‘anhu segera mengambilnya. Melihat hal itu kaum muslimin berkata
kepadanya: “Wahai Salim, kami takut diserang dari arahmu”, Salim menjawab:
“Sungguh sejelek-jelek penghafal al-Quran aku ini jika kalian diserang dari
arahku”. Ia menerjang maju dan bertempur sampai terbunuh.
Demikian
jugalah perjalanan hidup para tabiin dan imam-imam setelahnya. Mereka banyak
didapati di medan-medan ribat dan pertempuran, sekalipun pada masanya jihad itu
hukumnya fardhu kifayah. Para imam ahli hadits dan zuhud itu, sebagaimana
mereka mempunyai riwayat mereka juga ikut serta dalam ribat menjaga perbatasan
dan berlatih memanah. Mereka seperti al-Auza’i, Abdullah bin Mubarak, Ibnul
Qasim, Abu Ishak al-Fazari, Mukhallad bin Husain, Ibrahim bin Adham, Ḥuzaifah
al- Mar’asyi, Yusuf bin Asbath, dan masih banyak ulama lain. Mereka terjemahkan
ilmu mereka dengan amal jihad dan ribat. Bahkan diantara ahli hadits ada yang
terus menjaga perbatasan tidak pernah meninggalkannya, seperti Imam Isa bin
Yunus. Oleh karena itu dua imam mulia Ibnu Mubarak dan Ahmad bin Hanbal serta selainnya
berkata: “Jika manusia berselisih dalam suatu hal, maka lihatlah sikap ahli
tsughur, karena kebenaran berpihak kepada mereka, berdasarkan firman Allah:
{Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami}. [QS al-‘Ankabūt: 69]).
Sepanjang
sejarah, engkau dapati ulama ahli hadits menegakkan kewajiban beramal dengan
berjihad dan menyerukan kebenaran, semisal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang
menyuarakan kebenaran dan berjihad melawan bangsa Mongol, sampai masa Imam
Muhammad bin Abdul Wahhab, yang memerangi musyrikin di Jazirah Arab dengan
pedang dan argumentasi. Sampai pada masa kita sekarang. Orang-orang yang Allah
menghidupkan ilmu dan akidah melalui tangan mereka, mereka tampakkan kebenaran
dan kebenaran nampak melalui usaha mereka. Mereka termasuk orang-orang yang
menyandingkan ilmu dengan jihad, semisal Syaikh Abu Mush’ab az-Zarqawi, Syaikh
Abu Anas asy-Syami, Syaikh Abdullah ar-Rasyud, Syaikh Abul Hasan al-
Filisthini, dan Syaikh Abu Maisarah al-Gharib, semoga Allah merahmati mereka
semua.
Sehingga,
siapa yang mengetahui ilmu namun tidak mengamalkannya maka ia tercela secara
syari. Ia bukan termasuk orang-orang yang berilmu secara makna syari. Bagaimana
ia disebut berlimu sedangkan ia dibenci dan dilaknat Allah. Allah murka kepada
Yahudi dan menyebut mereka sebagai kaum yang dimurkai karena mereka tidak
mengamalkan ilmunya. Allah berfirman: {Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa
kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan}. [QS as-Shaff: 3]). Dalam
ayat ini dijelaskan betapa besar kebencian dan kemurkaan Allah atas orang yang
tidak mengamalkan ilmunya.
al-Quran
juga menjelaskan bahwa orang yang berilmu namun menyembunyikannya ia adalah
terlaknat, sebagaimana termaktub dalam kalam-Nya: {Sesungguhnya orang-orang
yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan
(yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al
Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang
dapat melaknati}. [QS al-Baqarah: 159). Bisa dipahami dari semua itu bahwa
orang yang berilmu adalah orang yang membawa, mengamalkan dan menyerukan
ilmunya.
Allah
menyifati orang yang tidak mengamalkan ilmunya itu dengan kebodohan dalam
kalam- Nya tentang ulama Yahudi yang mulai menyukai dan memilih sihir:
{Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab
Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah
perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui}. [QS
al-Baqarah: 102]).
Maka dari
itu, yang tidak mengamalkan ilmunya dengan menyuarakan kebenaran dan berjihad,
malah menyembunyikan ilmunya dan menutupi kebenaran dengan kebatilan, ia
bukanlah seorang alim. Bahkan ia adalah imam setan bisu atau setan yang
berbicara.
Para ahli
ilmu itu tidak pernah menganggap Ahlu Bid’ah itu sebagai ulama, sebagaimana
perkataan Ibnu Abdil Barr tentang ahli kalam: “Para ahli fikih dan atsar di seluruh
penjuru negeri, sepakat bahwa perkataan ahli Kalam dan Ahlu bid’ah tidak
dianggap di tingkatan Fuqaha’ manapun. Hanyasanya ulama itu adalah ahlul
atsar.” (Jami’ Bayan al-Ilmi wa Fadhlihi). Maka bagaimana jika mereka melihat
umat ini sekarang diuji dengan para imam kekafiran?
Yang melihat
kondisi para pengaku ahli ilmu pada zaman kita sekarang mendapati bahwa
mayoritasnya bukanlah ulama bahkan tidak masuk sama sekali dalam golongan orang
berilmu. Hal itu lantaran mereka tidak mengamalkan ilmunya. Mereka tidak
menyuarakan kebenaran di hadapan para thaghut, malah menyembunyikan ilmu dan
menutupi kebenaran dengan kebatilan. Mereka sesatkan hamba-hamba Allah. Mereka
mengerti ayat-ayat qital dan perang, namun mereka enggan melaksanakan kewajiban
yang dibebankan kepada mereka itu. Mereka menyelisihi Sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, para sahabatnya dan para tabiin. Engkau dapati mereka
mempelajari nash-nash tentang al wala’ wal bara’ namun malah menyimpang
darinya. Mereka mengerti ayat-ayat tentang wajibnya menyampaikan dan
menerangkan kebenaran namun mereka sembunyikan kebenaran itu. Lalu apakah
mereka itu yang dinamakan Allah sebagai orang-orang yang berilmu? Pastilah
bukan. Bahkan mereka adalah orang-orang sesat. Mereka terancam diazab karena tidak
mengamalkan ilmunya malah menyembunyikannya. Bahkan, mayoritas yang kita tahu
ia dijadikan rujukan dan diakui orang-orang yang mengaku berilmu di zaman kita
ini ternyata telah menampakkan ketaatan kepada thaghut, tunduk pada
kekuasaannya, dan membantunya memberangus para muwahhid yang keluar
menentangnya. Hukum orang yang melakukan hal ini sudah jelas dalam Kitabullah
dan Sunnah Rasul-Nya.
Maka dari
itu, Bin Baz, Ibnu Utsaimin, al- Fauzan, Alu Syaikh (yang masih hidup saat
ini), Muhammad Hassan, Abu Ishaq al- Ḥuwaini, Husain Ya’qub, al-Qaradhawi,
al-Buthi, an- Nablusi, al-Gharyani, al-Maqdisi, Abu Qotadah, al-Ḥadusyi, dan
al-Faḥl, mereka semua bukanlah ulama. Mana amal mereka dengan ilmu yang mereka
miliki? Mana seruan mereka kepada kebenaran? Mana pengingkaran mereka atas
kemusyrikan para thaghut? Mana perang dan ribat mereka? Mana bimbingan dan
penjelasan mereka kepada kebenaran? Mana perlawanan mereka kepada koalisi kafir
yang menyerang kaum muslimin? Ataukah mereka dengan sukarela telah menjadi tongkat
di tangan para thaghut untuk menggebuk dan menghabisi mujahidin dengan
mengatasnamakan agama dan syariat? Bukankah mereka itu tidak lain hanyalah para
imam kesesatan dan ulama thaghut?
Janganlah
engkau tertipu dengan keilmuan mereka. Ilmu mereka telah menjadi hujjah atas
mereka. Bahkan keilmuan mereka itu lebih mirip dengan keilmuan orientalis.
Bahkan sebagian orientalis Kristen itu betul-betul mahir dalam ilmu hadits
semisal A. J. Wensinck seorang orientalis Belanda yang menulis buku al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfazh al-Hadits an-Nabawi yang terkenal itu. Demikian juga
orientalis lain yang bernama Whittstam yang mentahqiq kitab ar-Radd ‘ala
al-Jahmiyah karya ad-Darami. Apakah orientalis-orientalis itu bisa
dikategorikan sebagai orang yang berilmu dan bisakah mereka dikategorikan
sebagai ulama?
Bukankah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi tahu golongan yang pertama
kali dihisab pada hari kiamat dengan sabdanya: “Didatangkan seseorang yang
mempelajari ilmu, mengajarkannya, dan membaca al- Quran, lalu ditanya tentang
nikmat itu dan mengakuinya. Allah bertanya: Apa yang engkau kerjakan? Jawabnya:
Aku mempelajari ilmu, mengajarkannya, dan membaca al-Quran itu karena-Mu. Allah
menjawab: Engkau dusta, engkau mempelajari ilmu itu agar disebut seorang alim,
engkau membaca al-Quran itu agar disebut qori’, dan semuanya telah dikatakan.
Maka diseretlah orang itu dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Muslim)
Jika
rusaknya niat seorang alim itu menyeretnya pada kebinasaan, maka bagaimana
halnya dengan orang yang amalnya menyelisihi ilmunya, menyembunyikan kebenaran,
dan menyesatkan manusia? Dan bagaimana juga halnya dengan orang yang tunduk
pada kekuasaan thaghut dan mendukung hukumnya?
Dari Harim
bin Ḥayan, ia berkata: “Berhati-hatilah dengan seorang alim fasik”.
Kata-katanya ini sampai di telinga Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu, maka
beliau menyuratinya menanyakan apa yang dimaksud dengan perkataannya itu. Harim
membalas: “Yaitu seorang imam yang berbicara tentang keilmuan, namun melakukan
kefasikan, sehingga membingungkan manusia yang berakibat menyesatkan mereka.”
(HR Darami). Ini tentang seorang alim fasik, maka bagaimana halnya dengan
seorang alim sesat menyesatkan yang keluar dari millah? Dengan ini jelaslah
kekeliruan kata-kata sebagian orang bodoh tentang orang-orang yang menisbatkan
dirinya kepada ilmu, “Ambillah ilmunya dan tinggalkan perilakunya”. Justru
tanyakanlah amalnya, jihadnya, seruannya pada kebenaran, dan rasa takutnya
kepada Rabbnya sebagaimana engkau tanyakan ilmu dan keseksamaannya. Sehingga
jelaslah bagimu siapa itu seorang alim. Karena yang mengkhianati amanat amal
maka ia juga akan mengkhianati amanat ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar