BID’AH
PALING BERBAHAYA
(DAN
PENGARUHNYA TERHADAP JIHAD SYAM)
sumber: DABIQ 8 - SPESIAL PERGESERAN PARADIGMA
Para ulama Salaf
memberikan peringatan keras terhadap bid’ah Irja’, sebab dia merupakan bid’ah
sesat yang melemahkan agama kaum Muslimin, membuat perbuatan-perbuatan dosa
besar dan bahkan kekafiran tampak seperti sesuatu yang remeh. Melalui Irja’,
masyarakat Muslim mulai meninggalkan aktifitas agama mereka dan menggantikan amal
ikhlas mereka dengan sesuatu yang tidak lebih dari sekedar bisnis duniawi dan –
yang buruk – amalan bid’ah. Mereka bahkan berpaling dari mempelajari agama
–seolah-olah cukup dengan memiliki beberapa syarat “kesadaran” yang tidak jelas
–serta fokus pada ilmu dunia dan tidak mengambil sekedarnya saja. Sedikit demi
sedikit, kebodohan muncul ke dalam bentuk seperti yang digambarkan oleh
Al-Fudhail ibnu ‘Iyadh (raḥimahullah – wafat 187 H), “Bagaimana sikapmu bila
engkau berada pada zaman di mana engkau melihat manusia tidak bisa membedakan
lagi antara kebenaran dan kebatilan, tidak pula antara kebodohan dan ilmu.
Mereka tidak akan mengetahui yang baik adalah baik dan yang buruk adalah buruk”
[al-Ibānah al-Kubrā].
Ibnu Baththah (raḥimahullāh
– w. 387 H) mengomentari perkataan Al-Fudhail dengan mengatakan, “Innā lillāhi
wa innā ilaihi rāji’ūn, kita telah mencapai zaman itu, mendengarnya, mengetahui
lebih banyak tentangnya, dan menyaksikannya. Jika seorang pria yang telah Allah
karuniai fikiran dan pemahaman yang mendalam mau memperhatikan, merenungkan,
dan membayangkan kondisi Islam dan umatnya – dalam mengikuti jalan yang paling menentukan
dan sunnah yang paling mendapat petunjuk – akan sangat jelas baginya bahwa mayoritas
manusia dan umumnya telah berbalik dan murtad. Dengan begitu, mereka telah
menyimpang dari tujuan dan berpaling dari dalil yang benar. Akhirnya banyak manusia
menganggapnya sebagai kebaikan yang biasanya mereka pandang sebagai keburukan,
menganggapnya sebagai hal yang halal yang biasanya mereka pandang sebagai
haram, dan menganggapnya kebaikan yang biasanya mereka pandang sebagai
kejahatan. Hal ini – semoga Allah merahmati kita – bukan berasal dari sifat seorang
Muslim, bukan pula perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai
pemahaman mengenai agama ini, dan tidak juga amal orang yang mengimani agama
dengan penuh keyakinan” [al-Ibānah al-Kubrā].
Ibnu Baththah juga
berkata, “Manusia di zaman kita seperti kawanan burung. Mereka saling
mengikuti. Jika seorang pria muncul dan mengaku nabi – walaupun mereka
mengetahui bahwa Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) adalah nabi
terakhir – atau mengaku tuhan, dia akan mendapatkan pengikut dan pendukung atas
seruannya” [al-Ibānah al-Kubrā].
Sebab
kebanyakan yang menyebabkan umat Islam terjatuh ialah bid’ah yang sesat ini,
maka penting bagi muwahhid mujahid untuk memahami secara mendalam fenomena
tersebut, khususnya yang bersinggungan dengan jihad.
Kaum Salaf
dan Peringatan
Keras
Mereka Terhadap Irja‟
Kaum salaf yang telah
menyaksikan kemunculan Irja’ sudah memperingatkan jauh-jauh hari akan hal tersebut.
Mereka mengetahui bahwa hal itu bisa membawa ke arah terabaikannya agama, baik dalam
mempelajari maupun mempraktekkannya.
Sa’id ibnu Jubair
(rahimahullāh– w. 95 H) berkata, “Kaum Murji’ah adalah Yahudi Ahli Kiblat”1 [as-Sunnah
– ‘Abdullah ibnu Imam Ahmad].
Ibrahim An-Nakha’i
(rahimahullāh– w. 96 H) berkata, “Fitnah Murji’ah bagi umat ini lebih aku
takutkan daripada fitnah Azariqah [sebuah sekte Khawarij]” [as-Sunnah –
‘Abdullah ibnu Imam Ahmad].
Beliau juga berkata, “Fitnah
Murji’ah bagi ahli Islam lebih aku takutkan daripada sejumlah orang-orang Azariqah”
[as-Sunnah – ‘Abdullah ibnu Imam Ahmad]. Beliau juga mengatakan, “Menurut
pandanganku, orang Khawarij lebih diuzur daripada orang Murji’ah” [as-Sunnah –
‘Abdullah ibnu Imam Ahmad].
Dia juga berkata, “Murji’ah
meninggalkan agama lebih tipis daripada pakaian paling tipis” [as-Sunnah–
‘Abdullah ibnu Imam Ahmad] Selain itu, beliau juga berkata, “Murji’ah membuat sebuah
pendapat, maka aku mengkhawatikan mereka atas umat. Kejahatan dari mereka lebih
besar, maka sangat berhati-hatilah terhadap mereka” [asy-Syarī’ah
– Al-Ajurri].
Dia juga mengatakan, “Aku
tidak tahu manusia yang lebih bodoh dalam berpendapat selain orang-orang Murji’ah
ini” *as-Sunnah – ‘Abdullah ibnu Imam Ahmad].
Mujahid (rahimahullāh– w. 104
H) berkata, “Mereka memulainya sebagai Murji’ah, kemudian Qadariyyah
[orang-orang yang menolak qadar], kemudian berubah menjadi Majusi [penyembah Api]” [Al-Lalika`i].
Qatadah (rahimahullāh– w. 118 H) dan Yahya ibnu Abi Katsir
(rahimahullāh– w. 129 H) berkata, “Tidak ada satu pun penyimpangan yang lebih
mereka khawatirkan atas umat ini daripada Irja’” [as-Sunnah– ‘Abdullah ibnu
Imam Ahmad].
Muhammad ibnu ‘Ali ibnu Al-Husain
(rahimahullāh–w. 118 H) berkata, “Tidak ada sesuatu pun, baik
siang atau malam, yang lebih mirip dengan kaum Yahudi selain
orang-orang Murji’ah” [Al-Lalika`i].
Az-Zuhri (rahimahullāh– w. 124
H) berkata, “Tidak ada penyimpangan yang dibuat setelah kedatangan Islam yang
lebih berbahaya terhadap umatnya daripada irja`” [asy-Syarī’ah – Al-Ajurri].
Manshur ibnu Al-Mu’tamir
(rahimahullāh– w. 133 H) berkata, “Murji’ah dan Rafidhah adalah musuh Allah” [Al-Lalika`i].
Mughirah Adh-Dhabbi (rahimahullāh– w. 133 H) berkata, “Demi Allah yang tiada
ilah selain Dia, orang Murji’ah lebih aku khawatirkan daripada orang-orang
fasik bagi agama ini” [as-Sunnah –‘Abdullah ibnu Imam Ahmad].
Al-A’masy (rahimahullāh– w. 148 H)
berkata, “Demi Allah yang tiada ilah selain Dia, aku tidak mengetahui orang
yang lebih jahat selain orang Murji’ah” *as-Sunnah – ‘Abdullah ibnu Imam Ahmad].
Sufyan Ats-Tsauri (rahimahullāh– w. 161 H) berkata, “Agama Irja’
adalah agama bid’ah” [as-Sunnah – Al-Khallal].
Ia juga mengatakan, seraya membolak-balikkan halaman Al-Qur’an, “Tidak
ada orang yang lebih jauh darinya [Al-Qur’an+ selain daripada Murji’ah” [Al-Lalika`i].
Syarik (rahimahullāh– w. 177 H) berkata,
“Murji’ah adalah kaum yang sangat buruk. Orang Rafidhah cukup buruk, tetapi
orang Murji’ah berdusta atas Allah” [as-Sunnah – ‘Abdullah ibnu Imam Ahmad].
Ibnu Al-Mubarak
(rahimahullāh– w. 181 H) ditanya, “Mana yang lebih dulu muncul, Dajjal atau
Dabbah?” Ia menjawab, “Kaum Jahmiyyah yang berbuat begini dan begitu kemudian
diangkat sebagai qadhi atas Bukhara lebih berbahaya bagi Muslimin daripada kemunculan Dabbah atau Dajjal!” Sang Qadhi berasal dari
Murji’ah ekstrim [as-Sunnah – ‘Abdullah ibnu Imam Ahmad].
An-Nadhr ibnu Syumail
(rahimahullāh– w. 204 H) ditanya soal Irja’, maka ia menjawab, “Itu adalah agama
yang sesuai dengan hawa nafsu raja-raja di mana Murji’ah mendapatkan sebagian
dunia dari raja dan kehilangan sebagian agama mereka” [al-Bidāyah wan-Nihāyah].2
Jika para Salaf telah
memberikan peringatan dengan sangat keras terhadap Irja’, bagaimana bisa bid’ah
ini diabaikan begitu saja oleh kaum Muslimin?
Asal-Usul
dan Makna Irja‟
Irja’ merupakan reaksi dari
penyimpangan Khawarij. Murji’ah berusaha untuk menjauhkan diri mereka dari
Khawarij tanpa mengambil Sunnah; dalam melakukannya, mereka membuat firqah sendiri. Ini dijelaskan dengan baik
sekali oleh ulama Salaf, Sa’id ibnu Jubair (raḥimahullah) yang berkata, “Perumpamaan
Murji’ah adalah seperti Sabi’ah.
Mereka pergi kepada orang-orang Yahudi dan bertanya, ‘Apa agama
kalian?’
Mereka
menjawab, ‘Yudaisme.’
Mereka bertanya, ‘Apa kitab kalian?’
Mereka
menjawab, ‘Taurat.’
Mereka bertanya, ‘Siapakah nabi kalian?’
Mereka
menjawab, ‘Musa.’
Mereka bertanya, ‘Apa balasan bagi orang
yang mengikuti kalian?’
Mereka menjawab,
‘Surga.’
Kemudian mereka pergi kepada orang-orang Nasrani dan bertanya, ‘Apa
agama kalian?’
Mereka
menjawab, ‘Nasrani.’
Mereka bertanya, ‘Apa kitab kalian?’
Mereka
menjawab, ‘Injil.’
Mereka bertanya, ‘Siapa nabi kalian?’
Mereka
menjawab, ‘’Isa.’
Mereka bertanya, ‘Apa balasan bagi orang
yang mengikuti kalian?’ Mereka menjawab, ‘Surga.’ Kemudian mereka menyatakan,
‘Kami berada di antara kedua agama ini’” [Al-Lalika`i].
Orang-orang Murji’ah membantah Khawarij
yang telah menjadikan semua kewajiban dan meninggalkan semua dosa adalah hal
paling pokok bagi seseorang yang ingin menjadi Muslim, yaitu dengan membalas
berdasarkan bid’ah mereka sendiri. Mereka mengklaim bahwa meninggalkan semua
kewajiban dan melaksanakan semua dosa tidak mempengaruhi iman seseorang, bahkan
jika orang tersebut meninggalkan seluruh rukun Islam! Mereka mengeluarkan amal
dari realita iman, yaitu “menangguhkan” amal dari definisi iman. Ini adalah akar
bahasa dari kata Irja’, sebab Irja’ artinya “penangguhan.”
Bid’ah mereka memiliki
sejumlah karakteristik, manifestasi, dan konsekwensi praktis – beberapa di
antaranya akan dibahas – namun penting diingat pertama kali bahwa adanya
pendapat yang hampir sama dari beberapa ulama dan da’i dengan definisi iman
menurut Salaf, bukan berarti mereka sendiri telah terbebas dari sifat Irja’.
Hal ini menjadi sangat jelas ketika seseorang memperhatikan pernyataan para
ulama istana “Salafi” kontemporer yang berkata bahwa berhukum dengan
hukum-hukum buatan manusia dan berpihak kepada kuffar melawan Muslimin adalah
kufur akbar, tetapi kemudian mereka tidak mengimplementasikan konsekwensi-konsekwensi
praktis atas hukum-hukum teoritis ini kepada rezim Saudi.
Sebaliknya, mereka
memutarbalikkan perkataan para Salaf dan ulama sebagai jalan keluar dan pembenaran
bagi tuan-tuan kafir mereka. Hal serupa, terdapat beberapa individu pada era
ini yang mempunyai spesialisasi dalam bidang hadits dan biasanya mengulang-ulang
definisi Salaf tentang iman kata demi kata, “Iman adalah perkataan dan
perbuatan; bertambah dan berkurang.” Akan tetapi, mereka secara nyata menentang
implikasi yang terkandung dalam definisi ini dengan mengklaim bahwa jika
seorang Muslim meninggalkan sepenuhnya secara bersama-sama: shalat, zakat,
shaum, dan haji, sementara ia memaki Allah, ia masih tetap menjadi seorang Muslim
yang akhirnya akan masuk surga! Dengan demikian, mereka telah menjadikan Islam
menjadi semata-mata pengklaiman tanpa realita.
Definisi
Irja‟ Menurut
Salaf
Murji’ah asli mengeluarkan
amal dari definisi iman, sehingga hanya meninggalkan perkataan hati dan lisan
di dalam inti pokoknya. Perkataan lisan ialah syahadat bahwa tiada ilah selain
Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Mereka juga mengklaim bahwa iman tidak
bertambah dan tidak berkurang.
Pemahaman mereka mengenai
iman memiliki beberapa implikasi, konsekwensi, dan perubahan. Di antaranya yang
paling penting ialah meninggalkan kewajiban sama sekali tidak mempengaruhi iman
seseorang, fenomena kemunafikan tidak ada, dan kebodohan dalam masalah yang
diketahui secara pasti dari agama – harus diketahui oleh setiap Muslim –
bukanlah konsekwensi.
Ketundukan
Bukanlah
Keharusan
Menurut Murji‟ah
Murji’ah bertentangan dengan
Ahlus Sunnah dengan mengklaim bahwa ketundukan anggota badan kepada Allah
bukanlah bagian pokok keimanan.
Sufyan ibnu ‘Uyainah
(rahimahullāh– w. 199 H), ditanya tentang Irja’, maka beliau menjawab, “Murji’ah berkata bahwa iman
adalah ucapan. Sedangkan menurut kita dia adalah ucapan dan perbuatan. Murji’ah
mengharuskan masuk surga bagi orang yang bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah
walau dia berketetapan dalam hatinya untuk meninggalkan kewajiban3.
Mereka menyebut meninggalkan kewajiban adalah dosa seperti dosa lainnya,
meskipun tidak sama, padahal melakukan perbuatan dosa tanpa istiḥlāl (menghalalkan
dosa) hanyalah dosa, sementara meninggalkan kewajiban secara sadar tanpa
kebodohan atau uzur adalah kufur. Hal yang menjelaskan hal ini ialah perkara
Nabi Adam (‘alaihi as-salām), Iblis, dan rabbi Yahudi.
Adapun untuk Nabi Adam, maka
Allah (‘Azza wa Jalla) melarang beliau memakan buah dari pohon dan
menjadikannya haram baginya. Akan tetapi, secara sadar beliau memakan darinya
agar menjadi seorang malaikat atau kekal, maka ia disebut tidak taat tanpa
kufur. Adapun bagi Iblis (semoga Allah melaknatnya), maka Allah mewajibkan baginya
satu kali sujud, namun ia secara sadar menolaknya, sehingga ia disebut kafir.
Adapun untuk rabbi Yahudi,
maka mereka mengetahui gambaran Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) dan ia
adalah seorang nabi dan rasul, sebagaimana halnya mereka mengenal anak-anak
mereka. Mereka mengakuinya dengan lisan mereka, tetapi mereka tidak mengikuti
syari’atnya, maka Allah (‘Azza wa Jalla) menyebut mereka kafir. Jadi, melanggar larangan adalah seperti dosa
Nabi Adam (‘alaihi as-salām) dan nabi-nabi lainnya. Adapun meninggalkan kewajiban
dengan pembangkangan, maka ia adalah kufur seperti kufurnya Iblis (semoga Allah
melaknatnya).
Adapun meninggalkan
kewajiban-kewajiban dengan kesadaran tapi tanpa pembangkangan, maka ia adalah
kufur seperti kufurnya para rabbi Yahudi. Dan Allah lebih mengetahui” [as-Sunnah
– ‘Abdullah ibnu Imam Ahmad].
Al-Humaidi
(rahimahullāh– w. 219 H) berkata, “Aku diberitahu mengenai orang-orang yang berkata,
‘Barangsiapa mengakui shalat, zakat, shaum, dan haji, namun tidak melaksanakan
satu pun perbuatan itu hingga ia mati, dan shalat membelakangi kiblat hingga ia
mati, maka ia adalah seorang beriman selama tidak menyangkal
kewajiban-kewajiban ini, selama ia tahu bahwa dengan tidak menyangkal
kewajiban-kewajiban ini memastikan keimanannya dan ia mengakui kewajiban-kewajiban
tersebut dan mengetahui arah kiblat.’ Kukatakan: Ini adalah kekafiran yang
nyata dan bertentangan dengan Kitab
Allah, Sunnah Rasul-Nya, dan para ulama
Muslim. Allah (Ta’ala) berfirman, {Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya mengibadahi Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang
lurus} [QS. Al-Bayyinah : 5]” [Al-Lalika`i]. Imam Ahmad juga berkomentar,
“Barangsiapa yang mengatakan hal ini maka ia telah kufur kepada Allah dan
menolak perintah Allah dan apa yang dibawa oleh Rasul” [Al-Lalika`i].
Ishaq ibnu Rahawaih
(rahimahullāh– w. 238 H) berkata, “Orang Murji’ah langsung terjatuh ke dalam ekstrimisme
ketika sebagian mereka berkata, ‘Barangsiapa yang meninggalkan kewajiban
shalat, shaum Ramadhan, zakat, haji, dan kewajibankewajiban seluruhnya tanpa
menyangkal status kewajibannya, maka kami tidak mengkafirkannya dan setelah itu
urusannya terserah Allah, sebab ia mengakui kewajiban-kewajiban ini.’ Ini
adalah Murji’ah, tidak diragukan lagi” [Masā`il al-Imām Aḥmad wa Isḥāq ibn
Rāhawaih].
Para Salaf juga menjadikan sebagai dalil:
{Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik
itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan
intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.
Sesunggunhya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang} [QS. At-Taubah : 5] dan {Jika mereka
bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudarasaudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayatayat itu bagi kaum yang
mengetahui} [QS. At-Taubah : 11]. Ayat-ayat ini mengindikasikan bahwa kaum
musyrikin yang mendirikan shalat dan membayarzakat merupakan syarat diterimanya
taubatmereka dari syirik.
Selain itu, para
ulama juga menggunakan sebagai dalil ayat-ayat yang mengindikasikan bahwa berpaling
dari Rasul (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) –sepenuhnya meninggalkan ketaatan
kepadanya –adalah kekafiran. ,Katakanlah, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika
kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”- [QS.
Ali ‘Imran : 32].4
Mereka juga menjadikan
sebagai dalil hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Umar dan
Abu Hurairah (radhiyallāhu ‘anhumā). Di dalamnya, Jibril (‘alaihi as-salām)
berkata kepada Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wasallam), “Ya Muhammad, katakan
kepadaku tentang Islam.” Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wasallam) bersabda, “Islam
ialah bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad ialah utusan Allah,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, shaum Ramadhan, dan melaksanakan haji jika
mampu.”
Dalam riwayat lain, Jibril bertanya kepada
beliau, “Jika aku melakukannya, maka aku seorang Muslim?” Beliau menjawab, “Ya”
[Shahih: HR. Ibnu Mandah].
Mereka juga
menjadikan dalil hadits Nabi (shallāllāhu ‘alaihi wasallam), “Aku diperintahkan
untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah
dan Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka
melakukannya, maka darah dan harta mereka telah terjaga dariku kecuali dengan
hak Islam dan perhitungannya ada pada Allah” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Selain itu, mereka
menjadikan dalil hadits Rasul (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam), “Barangsiapa
shalat seperti shalat kami, menghadap kiblat kami, dan makan daging sembelihan
kami, maka ia Muslim yang mendapat perlindungan Allah dan Rasul-Nya” [HR.
Al-Bukhari dari Anas].
Mereka pun
menjadikan dalil ijma’ sahabat dalam memandang meninggalkan shalat sebagai kemurtadan
dan ijma’ sahabat dalam menyatakan suku-suku yang menolak membayar zakat adalah
orang-orang murtad. Yang disebut terakhir adalah dalil yang membuktikan
kafirnya kelompok-kelompok yang dengan kekuatannya menentang hukum yang jelas
dan terkenal dalam syari’at seperti larangan minum khamr, larangan hubungan
sedarah, dan larangan riba (usuri).
Al-Marwazi
(rahimahullāh– w. 294 H) berkata, “Kami lalu menyebutkan riwayat dari Nabi
(shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) yang menyatakan kafirnya orang yang
meninggalkan shalat, mengeluarkannya dari agama, dan halalnya membunuh orang
yang menolak untuk melaksanakannya. Demikian pula, terdapat riwayat-riwayat
serupa yang datang kepada kami dari para sahabat (radhiyallāhu ‘anhum). Dari mereka
tidak ada hadits yang datang kepada kami yang bertentangan dengan hal ini” [Ta’zhīm
Qadr ash –Shalāh].
Al-Fudhail ibnu
‘Iyadh (rahimahullāh– w. 187 H) berkata, “Allah berfirman, ,Dia telah
mensyari’atkan bagi kamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa, dan ‘Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya} [QS. Asy-Syuura : 13]. Jadi, agama ialah penegasan [keimanan]
melalui perbuatan yang dijelaskan oleh Allah dan bagaimana Dia memerintahkan
nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya untuk mendirikan agama. Berpecah belah di situ
ialah meninggalkan perbuatan dan membagi antara perkataan dan perbuatan. Allah
(‘Azza wa Jalla) berfirman, {Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama} [QS.
At-Taubah : 111].
Jadi, Allah memberikan syarat bahwa
bertaubat dari syirik harus dilakukan dengan perkataan dan perbuatan, dengan
mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Orang-orang Ahlu ar-Ra’yi (pendapat
batil) berkata, ‘Shalat tidak berasal dari iman, tidak pula zakat atau kewajiban
lainnya.’
Mereka telah berdusta kepada Allah dan
menentang Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya. Jika apa yang mereka katakan itu
benar, Abu Bakar tidak akan memerangi orang-orang murtad” [as-Sunnah –‘Abdullah
ibnu Imam Ahmad].
Al-Qasim ibnu Salam (rahimahullāh– w. 224
H) berkata, “Maka jika mereka menolak zakat setelah mengakuinya, menyebarkan
hal ini dengan lisan mereka, yaitu dengan mendirikan shalat tapi menolak zakat,
penolakan itu akan meniadakan segala sesuatu sebelumnya termasuk pengakuan dan
shalat mereka, sebagaimana penolakan mereka untuk shalat sebelumnya dapat
meniadakan pengakuan mereka. Yang membuktikan hal ini ialah jihad Abu Bakar
Ash-Shiddiq (radhiyallāhu ‘anhu) bersama Muhajirin dan Anshar di bawah
komandonya melawan penolakan bangsa Arab terhadap zakat. Jihadnya seperti
halnya jihad Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) melawan orang-orang
musyrik, karena tidak ada perbedaan antara kedua jihad yang berkenaan dengan
tertumpahnya darah, memperbudak keluarga, dan mengambil harta. Dan mereka hanya
menolak zakat tanpa menyangkalnya” [al-Īmān].
Ibnu Abi ‘Ashim (rahimahullāh– w. 287 H)
berkata, “Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam pandanganku adalah orang yang paling
berilmu setelah Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) di antara para
sahabat, sebagaimana yang paling shalih, zuhud, berani, dan dermawan di antara
mereka. Buktinya adalah pernyataannya berkenaan dengan orang-orang murtad,
ketika para sahabat Nabi (shallāllāhu ‘alaihi
wa sallam) mendebatnya agar dia dapat menerima dari orang-orang murtad
sebagian agama, namun beliau menolak untuk menerima apa pun yang kurang dari
apa yang telah Allah wajibkan terhadap mereka, dan kalau tidak, maka ia akan
memerangi mereka.Beliau mengetahui bahwa melakukan kekafiran yang berhubungan
dengan beberapa ayat telah sah untuk membuat darah mereka tertumpah, maka
beliau berketetapan untuk memerangi mereka dan beliau mengetahui bahwa itu
adalah benar” *as-Sunnah].
Setelah debat awal sebagaimana yang
disebutkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim, para
sahabat kemudian pun sepakat. ‘Umar (radhiyallāhu ‘anhu) berkata, “Demi Allah,
tidak lama setelah itu aku mengetahui bahwa Allah (‘Azza wa Jalla) telah
membukakan hati Abu Bakar untuk mengumandangkan perang, aku menyadari bahwa ia
di atas kebenaran” [Al-Bukhari dan Muslim].
Sulaiman Alu Asy-Syaikh (raḥimahullāh)
berkata, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata bahwa beliau ditanya mengenai
masalah memerangi Tatar sementara mereka mengklaim mengikatkan diri dengan
syahadatain dan mengklaim mengikuti dasar pokok Islam, ‘Setiap kelompok yang
menolak hukum-hukum Islam yang jelas dan pasti dari orang-orang ini atau yang
lainnya, maka wajib untuk memerangi mereka hingga mereka tunduk kepada
hukum-hukumnya bahkan jika mereka melafalkan syahadatain dan mengikuti sebagian
hukum-hukumnya, sebagaimana Abu Bakar dan para sahabat (radhiyallāhu ‘anhum) memerangi
orang-orang yang menolak membayar zakat. Para Fuqaha’ setelah mereka sepakat
akan hal ini.’ Beliau kemudian berkata, ‘Maka setiap kelompok yang
mempertahankan diri (tha`ifah mumtani’ah) yang menentang beberapa kewajiban
shalat, shaum, haji, atau menentang untuk menaati larangan menumpahkan darah,
merampas harta, khamr, berjudi, hubungan sedarah, atau menentang jihad melawan orang-orang
kafir atau penerapan jizyah kepada Ahli Kitab, atau
menaati selain kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan agama, hukum-hukum
tersebut yang tidak diuzur seorang pun untuk jahil (bodoh) atau meninggalkan
dan di mana seorang individu melakukan kekafiran dengan penolakan, maka
kelompok yang mempertahankan diri diperangi berdasarkan hukum-hukum ini bahkan
jika mereka mengakui semuanya. Ini adalah sesuatu yang kuketahui tidak ada
perbedaan pendapat di antara para Ulama.’ Beliau berkata, ‘Hal ini – menurut ulama-ulama
paling arif – tidak berada pada tingkat yang sama dengan bughāt (para
pemberontak). Akan tetapi, mereka telah keluar dari Islam pada tingkat yang
sama dengan orang-orang yang menolak zakat.’
… Jadi, jika seseorang yang
mengikatkan diri kepada hukum-hukum agama namun menentang larangan berjudi,
riba, atau perzinaan adalah telah kafir yang wajib diperangi, maka bagaimana
lagi dengan kasus orang yang melakukan syirik kepada Allah dan diserukan untuk
menaati agama dengan ikhlas kepada Allah serta mengumumkan barā`ah dan kufur
terhadap segala sesuatu yang diibadahi selain Allah, namun sebaliknya, dia
menolak dengan sombong dan ia termasuk orang-orang kafir” [Taisīr al-‘Azīz al-Ḥamīd].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
(raḥimahullāh) juga berkata, “Para sahabat tidak berkata ‘Apakah kamu mengakui
bahwa ini adalah wajib atau apakah kamu menolak hukumnya?’ Hal ini tidak
dikenal dari para khalifah dan sahabat. Namun sebaliknya, Ash-Shiddiq berkata
kepada ‘Umar (radhiyallāhu ‘anhumā), ‘Demi Allah! Jika mereka menahan dariku
untuk memberikan sekedar seutas tali kecil yang biasa mereka berikan kepada
Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam), pasti aku akan memerangi mereka
atas penolakan mereka untuk memberikannya.” Maka dia menjadikan penolakan
mereka untuk menunaikan zakat dasar bagi diperbolehkannya memerangi mereka, bukan
penolakan kewajibannya. Diriwayatkan bahwa sekelompok dari mereka ada yang
mengakui kewajibannya tetapi bakhil dalam menunaikannya. Namun, meskipun
demikian, para khalifah mengatasi mereka dengan cara yang sama: membunuh para
pejuangnya, memperbudak keluarga mereka, merampas harta mereka sebagai
ghanimah, dan mempersaksikan bahwa para pejuang mereka berada di neraka. Dan
mereka menyebutkan semuanya murtad” [al-Kalīmah an-Nāfi’ah – ‘Abdullah ibnu
Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab].
Akhirnya, jika meninggalkan
shalat adalah kemurtadan, bagaimana lagi dengan pembatalan tauhid dengan syirik
akbar! Hal serupa, jika mempertahankan diri dengan kekuatan dalam masalah zakat
adalah kekafiran, bagaimana lagi dengan dakwah kepada agama syirik demokrasi
dan berperang di jalannya!
Note:_______________________________
[1]
Orang-orang
Murji’ah membuat sebuah agama di mana para pengikutnya berharap untuk masuk
surga sementara secara total meninggalkan amal-amal pokok keimanan (empat rukun
Islam setelah syahadatain) dan mengaku membenarkan kalimatnya! Maka mereka serupa
dengan Yahudi penipu yang {beriman kepada sebagian isi Al-Kitab dan kufur
kepada sebagian yang lain} [QS. Al-Baqarah : 85] dan berkata, ,“Kami mendengar
tapi tidak menaati”- *QS. Al-Baqarah : 93], sementara mereka menyatakan, ,“Kami
sekali-kali tidak akan disentuh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja”-
*QS. Al-Baqarah : 80, dan ,“Kami akan diberi ampun”- *QS. Al-A’raaf : 169+.
Para Salaf juga membandingkan Irja’ dengan Nasrani, karena beberapa di antara
mereka diriwayatkan telah mengatakan, “Hati-hatilah dengan Irja’ karena ia
merupakan bagian dari Nasrani” *Al-Lalika`i]. Hal ini karena Nasrani, seperti
Yahudi, mengklaim keselamatan dapat diraih dengan semata kata-kata tanpa amal
sama sekali yang mendukung ucapan tersebut; Allah (Ta’ala) membantah orang -orang
Yahudi dengan berfirman, ,Katakan, “Sudahkah kamu menerima janji Allah sehingga
Allah tidak akan memungkiri janji-Nya ataukah kamu hanya mengatakan terhadap
Allah apa yang tidak kamu ketahui?”. (Bukan demikian), yang benar, barangsiapa
berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya. Dan orang-orang yang beriman serta beramal shaleh,
mereka itu penghuni suga; mereka kekal di dalamnya} [QS. Al-Baqarah : 80-82+.
Dia (Ta’ala)membantah dengan berfirman, “Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu memang
orang-orang yang benar.” (Tidak demikian), bahkan, barangsiapa yang menyerahkan
diri kepada Allah sementara ia beramal shalih, maka baginya pahala pada sisi
Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati} [QS. Al-Baqarah : 111-112].
Lihat pula Surat An-Nisaa’ ayat 123-124. Orang-orang Yahudi dan
Nasrani menyatakan bahwa pengakuan iman semata kepada rasul-rasulnya sudah cukup
untuk menyelamatkan mereka dari api neraka sementara mereka meninggalkan
implikasi pokok keimanan ini. Maka ditujukan kepada merekalah keharusan untuk
mengikuti Nabi terakhir Muhammad (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam), baik
perkataan maupun perbuatan, sebab beliau disebutkan kenabiannya di dalam
lembaran-lembaran mereka. Akhirnya,
rahmat dan ampunan Allah bukanlah suatu dalih atas perbuatan dosa dan
kezhaliman; lupakan masalah syirik dan kufur!
[2] Murji’ah
di masa lampau – dengan meremehkan agama dan mereduksi bahaya dosa – memberi
para raja Muslim pembenaran untuk melakukan dosa dan kezhaliman. Sebagian
Murji’ah kontemporer membenarkan para thaghut zaman modern untuk membuat hukum
buatan manusia dan berloyalitas dengan orang-orang Yahudi, Nasrani, musyrik, dan
murtad melawan Muslimin.
[3]
Oleh
kewajiban-kewajiban, maksud beliau empat rukun Islam setelah syahadatain (shalat,
zakat, shaum, dan haji), sebagaimana terlihat jelas pada kutipan berikutnya. Para
sahabat secara tegas bersepakat bahwa meninggalkan shalat adalah kufur akbar. Adapun
untuk tiga rukun lainnya, maka terdapat perbedaan pendapat di antara ulama terkemudian
berkaitan dengan hukum atas orang yang meninggalkan salah satu dari ketiga
rukun ini. Dan Allah lebih mengetahui.
[4
]Lihat pula Surat
An-Nuur ayat 47, Surat Al-Qiyamah ayat 31-32, Surat Al- Lail ayat 15-16, dan
Surat Thaahaa ayat 48. Catatan: Terdapat perbedaan antara tidak menaati
Rasulullah (shallāllāhu ‘alaihi wa sallam) semata dalam sejumlah perkara, yang
merupakan dosa, dan antara tidak menaatinya sepenuhnya dengan tidak mengikuti
perintah mana pun dari agama beliau sama sekali. Kondisi ketidakpatuhan total
ini akan menyebabkan ditinggalkannya shalat lima waktu yang merupakan
kekafiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar