PENGERTIAN Thoifah Manshuroh
DAN Tugas Utamanya
Penulis:
Syaikh ‘Abdul Qoodir bin ‘Abdul ‘Aziiz
Penerjemah:
Abu Musa Ath Thoyyaar
تزال طائفة من أمتى ظاىرين على الحق لا يضرىم من خالفهم ولا من
خذلهم حتى تقوم الساعة
Akan selalu ada sekelompok
dari ummatku yang dzohir
diatas kebenaran, mereka tidak
peduli dengan orang-orang
yang menyelisihi dan
mentelantarkan mereka
hingga terjadi qiamat.
Judul Asli :
Ma'na Thoifah
Manshuroh
Wa Wadhoo-ifatuha
Penulis :
Syaikh Abqul Qodir
bin Abdul Aziiz
Edisi Indonesia :
Pengertian Thoifah
Manshuroh
Dan Tugas-Tugas
Utamanya
Alih Bahasa :
Abu Musa Ath
Thoyyar
Publikasi :
Maktab Al Jaami'
© All Right Reserved
Silahkan memperbanyak tanpa merubah isi, pergunakanlah untuk
kepentingan kaum Muslimin “Demi Kembalinya seluruh Dien hanya milik
Allah Ta’ala”
Definisi Thoifah
Manshuroh
Kebanyakan para Ulama salaf berpendapat bahwa Ath
Thoifah Al Manshurah adalah para ulama dan ahlul hadiits sebagaimana
pendapat Al Bukhooriy dan Imam Ahmad bin Hambali, akan tetapi ada kerancuan
pada pendapat mereka karena Rasulullah SAW bersabda :
... هَذَا الدِّيْنُ
قَائِمَةٌ يُقَاتَلُ عَلَيْهِ ...
“… dien ini tegak yang
berperang diatasnya…”
Juga riwayat-riwayat yang lainnya yang menyebutkan
dengan jelas bahwa berperang itu merupakan ciri khas Thoifah ini, seperti
riwayat Jaabir bin ‘Abdulloh, Imam bin Hushoin dan Yaziid bin Al Ashom dari Mu’aawiyah dan „Uqbah bin ‘Aamir, maka tidak mungkin Thoifah ini terdiri dari ulama saja akan
tetapi mereka adalah Ahlul „Ilmi (Ulama) dan Ahlul Jihad (Mujahidin) oleh karena itu Imam An Nawawiy setelah menyebutkan perkataan Imam
Al Bukhooriy, Imam Ahmad dan yang lainnya beliau berkata:
”Dan bisa jadi Thoifah ini terpisah-pisah diberbagai macam kalangan orang-orang
beriman, diantara mereka ada ahli perang yang pemberani, ada para fuqoha, ada
para ahli hadits, ada orang yang zuhud dalam melaksanakan amar ma‟ruf
nahi munkar, dan ada pula yang ahli dalam berbagai macam kebajikan dan tidak
harus mereka itu berkumpul semuanya akan tetapi tersebar diberbagai penjuru
dunia.”(Sahih Muslim Bisyarh An Nawawi, XIII /67) begitu juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah didalam fatwanya
yang berkenaan dengan perang melawan orang-orang Tartar yang mengucapkan
dua kalimat Syahadat namun berhukum dengan selain syari‟at
Islam, beliau berpendapat bahwa orang yang berjihad adalah orang-orang yang
paling berhak masuk dalam kriteria Thoifah Manshuroh sebagaimana perkataannya:
”Sedangkan kelompok yang berada di Syam, Mesir dan lainnya mereka pada saat ini
adalah orang-orang yang berperang melawan Dienul Islam dan mereka adalah
orang-orang yang paling berhak masuk dalam Thoifah Manshuroh yang disebut oleh Nabi SAW
didalam haditsnya yang shahih dan masyhur :
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى
الْحَقُّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ وَلَا مَنْ خَذْلَهُمْ حَتَّى تَقُومُ
السَّاعَةَ وَفَي رِوَايَةٍ مُسْلِمُ : لَا يَزَالُ أَهْلُ الْغّرْبُ
“Akan selalu ada sekelompok dari ummatku
yang dzohir diatas kebenaran, mereka tidak peduli dengan orang-orang yang menyelisihi
dan mentelantarkan mereka hingga terjadi qiamat, dan diriwayat Muslim berbunyi
:”Akan senantiasa ada ahlul ghorb” (orang-orang barat) (Majmu’ Fatawa, XIII / 531)
Maka tidak diragukan lagi bahwa "ulamaa‟ "aamiliin
(Para ulama‟ yang
mengamalkan ilmunya) adalah orang-orang yang pertama masuk dalam kelompok ini
dan sisanya seperti Mujahidin dan yang lainnya mengikuti mereka.
Dan yang mendorong para salaf untuk mengatakan bahwa
Thoifah tersebut adalah para ulama, karena tidak ada perbedaan pendapat antara
kaum muslimin tentang jihad kala itu, sedang daerah perbatasan telah dipenuhi
dengan tentara dan pasukan yang dihadapkan kearah negara-negara musuh, dan juga
karena yang menjadi perusak dien pada zaman itu adalah bid‟ah dan
kesesatan-kesesatan yang besar sehingga orang yang berperang untuk melawan
semua itu adalah para ulama.
Sedangkan kita pada hari ini sangat membutuhkan kesungguhan
para ulama dan Mujahidin yang masing-masing berada pada medannya, sesungguhnya
dien ini tidak akan tegak hanya dengan ilmu saja, namun harus dengan keduanya
secara bersamaan sebagaimana firman Alloh dalam surat Al Hadiid :
لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا
رُسُلَنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَأَنزَلۡنَا مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡمِيزَانَ
لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَأَنزَلۡنَا ٱلۡحَدِيدَ فِيهِ بَأۡسٞ شَدِيدٞ
وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعۡلَمَ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥ وَرُسُلَهُۥ بِٱلۡغَيۡبِۚ
إِنَّ ٱللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٞ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus
rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama
mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan
berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan
supaya Alloh mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-
Nya padahal Alloh tidak dilihatnya. Sesungguhnya Alloh Maha Kuat lagi Maha
Perkasa”.(QS. Al Hadiid : 25)
Ibnu Taimiyyah berkata :”Dan sekali-kali
tidak akan tegak Dien ini kecuali dengan kitab, mizan (timbangan) dan besi, kitab
sebagai petunjuk dan besi sebagai pembela, sebagaimana firman Alloh:... لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami…”. Maka dengan kitabakan tegak ilmu
dan dien, dengan mizan (neraca) akan tegak hak-hak dan transaksi serta serah
terima keuangan dan dengan besi akan tegak hukum huduud.” (Majmu’ Fatawa, XXXV/361). Juga berkata :
“dan pedang-pedang kaum muslimin sebagai pembela syari‟at yang
berupa Al Kitab dan As Sunnah” sebagaimana yang dikatakan oleh Jaabir bin ‘Abdulloh: ”Kami diperintahkan oleh
Rasulullah untuk memukul dengan ini, yaitu pedang, orang-orang yang keluar dari
ini, yaitu Al Qur‟an” (Majmu’ Fatawa, XXV/365) Beliau berkata :
“Sesungguhnya tegaknya dien itu dengan kitab yang menjadi petunjuk dan besi
yang menjadi pembela, sebagaimana yang disebutkan oleh Alloh SWT”. (Majmu’ Fatawa, XXVIII/396 dan seterusnya).
Saya katakan :”Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Thoifah Manshuroh adalah Thoifah Mujaahidah (kelompok yang berjihad) yang mengikuti Manhaj Syar‟i yang lurus yaitu Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah.
CATATAN :
APAKAH FIRQOH NAJIYAH ITU
THOIFAH MANSHUROH
?
Kebanyakan kitab Aqidah menyebutkan bahwa Firqoh Najiyah (ahlus sunnah wal jama‟ah) itu
adalah Thoifah Manshuroh (sebagai contoh lihat bab akhir dalam Al “Aqiidah Al Waasithiyyah, karangan Ibnu Taimiyyah, begitu juga Muqaddimah Kitab Ma’aarijul Qobuul karangan Haafidh Hakamiy dll), dan yang rojih menurut saya adalah Firqoh dan
Thoifah itu tidak sama, sesungguhnya Thoifah adalah bagian dari Firqoh, maka Thoifah Manshuroh adalah bagian dari Firqoh Najiyah yang melakukan pembelaan
terhadap Dien dengan ilmu dan jihad, yang itu berada pada manhaj dan aqidah
yang sahih.
Berdasarkan hal itu kami katakan bahwa seorang
Mujaddid (pembaharu) itu adalah salah satu personal dalam Thoifah Manshuroh yang menegakkan
kewajiban-kewajiban yang paling penting pada zamannya, berdasarkan pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang
berpendapat bahwa mujaddid itu adalah satu orang, dalil dari pendapat ini adalah
:
1. Firman Alloh Ta‟ala :
فَلَوۡلَا
نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama” (QS. At Taubah : 122)
Ayat ini membedakan antara Firqoh dan Thoifah dan
menjelaskan bahwa Thoifah adalah satu bagian yang menuntut ilmu dan berjihad
dari kalangan Firqoh sebagaimana yang disebutkan dalam tafsiran ayat ini (lihat
Ibnu Katsiir).
2. Ilmu dan jihad keduanya adalah sifat Thoifah Manshuroh yang paling utama, asalnya
keduanya adalah fardhu kifayah wajib bagi sebagian orang dan bukan kewajiban
semua ummat Islam untuk melaksanakan keduanya, dan kelompok yang berilmu dan
berjihad dari ummat inilah yang dimaksud Thoifah Manshuroh.
3. Perkataan Imam-imam hadits seperti Al Bukhari dan
Ahmad yang menyebutkan bahwa Thoifah
itu adalah ahlul hadiits atau ahlul ilmi, sebagaimana Al Bukhooriy membuat sendiri dalam kitab Al I’tisham dalam shohihnya., ia
mengisyaratkan adanya perbedaan karena tidak setiap ahlus sunnah (Firqoh Najiyah) itu adalah ahlul hadiits.
Sedangkan apa yang dinukil oleh Imam An Nawawiy tentang Thoifah ini : “Imam Ahmad berkata : Kalau bukan ahlul hadiits maka aku tidak tahu siapa lagi
mereka. Qoodhiy ‘Iyaadl berkata: Sesungguhnya yang dimaksud oleh Imam Ahmad adalah ahlus sunah wal jama‟ah dan
siapa saja yang meyakini madzhab ahlul hadiits.” Maka perkataan Qoodhiy ‘Iyaadl: Sesungguhnya ahlul hadiits adalah semua ahlus sunnah, itu
tidak lurus kecuali kalau yang dimaksud adalah sebagai pengikut. Inilah yang
tersirat dalam perkataannya (dan siapa saja yang meyakini madzhab ahlul hadiits), karena sesungguhnya orang
awam seharusnya mengikuti ulama, dan sesungguhnya ulama termasuk ulil amri yang
disebutkan dalam firman Alloh Ta‟ala :
أَطِيعُواْ
ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡ
“…ta`atilah
Alloh dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…” (QS. An Nisaa’ : 59)
Dan yang lebih jelas lagi dalam firman Alloh Ta‟ala :
وَلَوۡ
رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ
يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡ
“…Dan kalau mereka menyerahkannya kepada
Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)…” (QS. An Nisaa’ : 83)
Dalam ayat ini Alloh Ta‟ala
menamakan Ulama
(orang-orang yang mengambil istimbaath) dengan sebuatan ulil amri,
ini adalah nash yang menunjukkan bahwa ulama adalah ulil amri, dan ayat ini
juga mengisyaratkan akan wajibnya menjadikan mereka sebagai pemimpin sebagaimana
isyarat tersebut --- juga --- terdapat dalam hadits tentang qobdhul ilmu (dicabutnya ilmu). Maka
orang-orang awam adalah pengikut ulama. Alloh Ta‟ala berfirman :
يَوۡمَ
نَدۡعُواْ كُلَّ أُنَاسِۢ بِإِمَٰمِهِمۡ
“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu)
Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya…” (QS. Al Israa’ : 71)
Dan Ahlus sunnah wal Jama‟ah
mengikuti ulama mereka yaitu Thoifah Manshuroh yang melaksanakan peran
Rasulullah SAW didalam ummat ini. Maka apabila dikatakan bahwa ahlus sunnah (Firqoh Najiyah) adalah Thoifah Manshuroh artinya adalah sebagai
pengikutnya, karena Thoifah ini lebih khusus dari pada Firqoh, wallohu a’lam.
Tujuan dari pembahasan ini adalah hendaknya setiap muslim
berusaha untuk menjadi Thoifah Manshuroh yang melakukan pembelaan terhadap dien dengan ilmu, dakwah dan
jihad, Alloh Ta‟ala berfirman :
وَفِي
ذَٰلِكَ فَلۡيَتَنَافَسِ ٱلۡمُتَنَٰفِسُونَ
“…dan untuk yang demikian itu hendaknya
orang berlomba-lomba”. (QS. Al Muthaffifin : 26)
Kami katakan : Namun demikian sesungguhnya bisa jadi
Thoifah Manshuroh adalah Firqoh Najiyah secara keseluruhan, yaitu
nanti pada akhir zaman ketika orang-orang mukmin bergabung ke Syam, lalu
disanalah turun Nabi Isa AS, untuk memerangi Dajjal sebagaimana disebutkan
dalam hadits-hadits shahih. Beginilah cara mendudukkan berbagai riwayat yang
menyebutkan bahwa Thoifah Manshuroh itu berada di Syam atau Baitul Maqdis (hadits Abu Umamah) yaitu
terjadi pada akhir Thoifah ini secara mutlak.
Sedangkan masa-masa sebelum itu, masa Thoifah ini bisa
berada di Syam atau selainnya (lihat perkataan pengarang Fat-hul Madiij Syarh
Kitab Tauhid dalam penjelasan hadits Thoifah, cet. Anshorus sunnah, hal.
278-279).
CATATAN : KEWAJIBAN YANG
PALING UTAMA /
PENTING BAGI THOIFAH
MANSHUROH PADA
ZAMAN INI.
Sesungguhnya diantara kewajiban yang paling penting
bagi Thoifah Manshuroh pada zaman ini adalah berjihad
melawan penguasa yang murtad, yang mengganti syari‟at
Alloh dan memberlakukan undang-undang kafir buatan manusia terhadap kaum
muslimin, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsiir dalam menafsirkan firman Alloh
Ta‟ala :
أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki…”
(QS. Al Maaidah : 50)
“Alloh mengingkari orang yang
keluar dari hukum Alloh yang mengandung segala kebaikan, melarang segala kejelekan,
serta berpaling kepada yang lain seperti pandangan-pandangan hawa nafsu serta
istilah-istilah yang dibuat oleh manusia tanpa bersandar pada syari‟at
Alloh – sampai pada perkataannya – barang siapa yang berbuat hal itu diantara
mereka maka ia telah kafir wajib diperangi, sampai mereka kembali kepada hukum
Alloh dan RasulNya, sehingga tidak ada hukum kecuali hukum Alloh, baik sedikit maupun
banyak”.
Banyak ulama-ulama masa kini yang telah memberi catatan
terhadap perkataan Ibnu Katsiir tersebut dengan menerangkan bahwa inilah keadaan para penguasa
yang mengatur kaum muslimin dengan undang-undang buatan manusia saat ini.
Syaikh Ahmad Syaakir Rahimahulloh berkata:
”Apakah diperbolehkan --- dengan ini --- didalam
syari‟at Alloh
orang-orang muslim berhukum dinegara mereka dengan hukum yang diambil dari
undang-undang negara Eropa yang menyembah patung dan atheis (sekuler)?, bahkan
undang-undangnya telah dimasuki oleh hawa nafsu dan pendapat bathil yang bisa
mereka rubah-rubah dan diganti semau mereka. Tidak menghiraukan siapa yang membuatnya,
apakah sesuai dengan syari‟at Islam atau tidak ?”, ---
sampai pada perkataannya --- “Sesungguhnya masalah undang-undang buatan manusia
ini adalah permasalahan jelas, sejelas sinar matahari yaitu kuffrun bawwaah (kekafiran yang nyata), tidak
ada kesamaran dan penutup padanya serta tidak ada uzur (alasan) bagi seorangpun
yang menganut agama Islam --- siapapun orangnya --- untuk mengamalkan atau
tunduk kepadanya atau mengakuinya” (Umdatut Tafsir Mukhtashar Tafsiir Ibnu
Katsiir, karya
Ahmad Syaakir, cet. Daarul Ma‟arif,
IV / 173-174)
Dan Al ‘Allaamah Muhammad Haamid Al Fiqi berkata, dalam mengomentari
perkataan Ibnu Katsiir Rahimahullah :”Dan yang seperti ini bahkan yang lebih jelek lagi
adalah orang-orang yang menjadikan pendapat orang eropa sebagai undang-undang
untuk sandaran hukum dalam masalah darah (nyawa), seks dan harta, dan lebih mengutamakannya
dari apa yang sudah diketahui dan jelas baginya dari kitab Alloh dan sunnah
Rasul SAW, orang tersebut tidak diragukan lagi murtad, apabila terus melakukan
hal itu dan tidak kembali kepada hukum yang diturunkan oleh Alloh. Dan tidak
ada gunanya apapun nama yang ia gunakan serta amalan apapun yang ia kerjakan dari
amalan-amalan yang nampak seperti shalat, shiyam, zakat, dan yang semisalnya”.
(Fathul Majiid, cet.
Anshoorus Sunnah, catatan, 396).
Muhammad bin Ibrohim Aalu Syaikh Mufti (juru fatwa)
Arab Saudi terdahulu rahimahulloh berkata: “Sesungguhnya berhukum dengan selain apa yang diturunkan
oleh Alloh adalah kufur akbar keluar dari agama pada enam macam keadaan, yang
kelima beliau menggambarkan keadaan negara-negara kaum muslimin pada saat ini
dengan secara detil, disana beliau berkata: ”Yang paling besar dan paling
menyeluruh dan yang paling jelas pertentangannya terhadap syariat, kesombongannya
terhadap hukum-hukum Alloh, pembangkangannya terhadap Alloh dan rasulNya,
persaingan terhadap hukum-hukum syar’i dari persiapan-persiapan
dukungan, pengawasan dan pengukuhan baik dari sisi pembentukannya, keragaman
dan ketetapannya serta komitmen, juga dari segi referensi dan sandaran.
Sebagaimana pengadilan-pengadilan syar’i
memiliki referensi dan sandaran yang semuanya bersumber dari kitab Alloh dan
sunnah RasulNya begitu juga pengadilan tersebut juga memiliki beberapa
referensi diantaranya :Undang-undang yang dibuat dari berbagai macam syari’at dan
undang-undang seperti undang-undang Perancis, undang-undang Amerika,
undang-undang Inggris dan undang-undang lainnya, serta berbagai pandangan-pandangan
ahlul bid‟ah yang menyandarkan dirinya kepada syari’at dan
yang lainnya.
Mahkamah ini tersedia secara sempurna diberbagai wilayah-wilayah
ummat Islam dibuka pintunya lebar-lebar sedangkan manusia berbondong-bondong
untuk mendatanginya, para penguasanya menghukumi mereka dengan hukum-hukum yang
menyelisihi Al Qur‟an dan As Sunnah yaitu dengan
hukum-hukum dan undang-undang tersebut dan mengharuskan mereka untuk
mengikutinya, diterapkan baginya serta diwajibkan untuk berhukum dengannya.
Maka kekufuran apakah yang lebih tinggi dari kekufuran ini, dan perbuatan apa
yang lebih membatalkan terhadap kesaksian bahwa Muhammad adalah Rasulullah, yang
melebihi perbuatan ini.” (Risaalah Tahkiimul Qowaaniin).
Inilah beberapa pendapat ahlul ilmu (ulama) mengenai
penguasa-penguasa hari ini. Adapun kewajiban kaum muslimin terhadap penguasa
yang murtad, adalah sebagaimana perkataan Al Qoodhii ‘Iyaadh Rahimahullah : ”Apabila terjadi kekufuran
atau perobahan syari‟at atau terjadi bid‟ah maka
gugurlah kepemimpinannya dan gugurlah kewajiban taat kepadanya, dan wajib bagi
kaum muslimin bangkit mencopot dan mengangkat Imam yang adil. Apabila tidak ada
yang bisa melaksanakannya kecuali sekelompok orang maka wajib bagi kelompok
tersebut untuk mencopot penguasa kafir tersebut. Namun hal ini tidak wajib
dilakukan terhadap imam yang berbuat bid‟ah kecuali kalau diperkirakan
mampu untuk melakukannya, apabila tidak mampu untuk melakukannya /
melaksanakannya karena lemah maka tidak wajib untuk melaksanakannya namun
hendaknya setiap muslim berhijrah dari negerinya untuk menyelamatkan diennya
ketempat yang lain. (Sohiih Muslim Bisyarh An Nawawiy, Kitaabul Imaaroh, XII /229).
Dan telah kami sampaikan sebelumnya perkataan Syaikhul
Islam Imam Ibnu Taimiyyah: ”Sebagaimana wajib melakuka i‟dad untuk jihad dengan
mempersiapkan kekuatan dan kuda-kuda perang, disaat dalam keadaan lemah, karena
sesungguhnya jika suatu kewajiban tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan
sesuatu sarana maka sarana itu menjadi wajib.” (Majmu’ Fatawa, XVIII / 259) dan firman Alloh
Ta‟ala :
وَأَعِدُّواْ
لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٖ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka
kekuatan apa saja yang kamu sanggupi…” (QS. Al Anfaal : 60)
Mereka mempersiapkan diri untuk berjihad melawan orang-orang
murtad itu adalah kewajiban yang paling wajib bagi kaum muslimin pada hari ini
khususnya karena tidak ada tempat yang sesuai untuk berhijrah, dan hijrah
bukanlah hal yang mudah bagi mayoritas kaum muslimin disebabkan keadaan pribadi
mereka, negeri mereka, sistem yang berlaku dinegara mereka.
Inilah pembahasan yang berkenaan dengan kewajiban terbesar
bagi Thoifah Manshuroh pada zaman ini.
Permasalahan ini, yaitu kafirnya para penguasa yang
berhukum dengan syari‟at Islam serta kewajiban memeranginya
--- menurutku bahayanya --- menyerupai pemurtadan yang terjadi setelah wafatnya
Nabi SAW, karena sesungguhnya masalah ini mengancam mayoritas kaum muslimin dan
generasinya dengan pemurtadan yang menyeluruh. Apabila mereka dibiarkan seperti
itu dengan kerusakan dan pengerusakan yang dilakukan oleh penguasa tersebut, mereka
rubah syari‟at dan sebarkan perbuatan-perbuatan keji dikalangan kaum muslimin.
Seandainya para sahabat hidup pada hari ini niscaya amal mereka yang paling
utama adalah memeragi para penguasa tersebut.
Selain itu fitnah yang ditimbulkan oleh masalah ini
melebihi dari fitnah yang ditimbulkan oleh masalah khalqul qur‟an (pendapat bahwa Al qur‟an adalah makhluq).
Dan kami berpendapat tidaklah seorangpun yang memiliki
ilmu syar‟i pada zaman kita ini yang
tidak membicarakan masalah ini --- dengan cara mengingkari dan menghasung kaum
muslimin untuk berjihad --- kami berpendapat orang yang seperti ini tidak
bertemu dengan Alloh, kecuali Alloh akan murka terhadapnya, Alloh Ta‟ala berfirman :
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡتُمُونَ مَآ أَنزَلۡنَا مِنَ ٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلۡهُدَىٰ
مِنۢ بَعۡدِ مَا بَيَّنَّٰهُ لِلنَّاسِ فِي ٱلۡكِتَٰبِ أُوْلَٰٓئِكَ يَلۡعَنُهُمُ ٱللَّهُ
وَيَلۡعَنُهُمُ ٱللَّٰعِنُونَ ١٥٩ إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ وَأَصۡلَحُواْ وَبَيَّنُواْ
فَأُوْلَٰٓئِكَ أَتُوبُ عَلَيۡهِمۡ وَأَنَا ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ ١٦٠
“Sesungguhnya orang-orang yang
menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang
jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab,
mereka itu dila`nati Alloh dan dila`nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat
mela`nati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan
menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan
Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Baqarah :
159-160)
Maka seorang alim dituntut oleh syar‟i untuk
menerangkan kebenaran yang seharusnya dilakukan dalam keadaan seperti ini
sebelum dia ditanya, berdasarkan firman Alloh Ta‟ala :
قُلۡ
تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡ
“Katakanlah:
"Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu,…” (QS. Al An ‘aam : 151)
Seorang alim juga, dituntut untuk menyatukan manusia
berdasarkan firman Alloh Ta‟ala (تَعَالَوْا ) untuk memahamkan pada mereka
mana yang haq dan mana yang bathil.
Al Qurthubiy berkata dalam menafsirkan ayat
ini: ”Dan beginilah kewajiban orang-orang hidup setelah nabi SAW dari kalangan
ulama untuk menyampaikan kepada para manusia dan menerangkan kepada mereka
apa-apa yang diharamkan dan apa-apa yang dihalalkan bagi mereka, Alloh Ta‟ala
berfirman :
لَتُبَيِّنُنَّهُۥ
لِلنَّاسِ وَلَا تَكۡتُمُونَهُ
“Untuk menerangkan pada manusia dan jangan
disembunyikan‟ (QS. Ali Imraan : 187) (Tafsiir Al Qurthubiy VII / 131)
Saya katakan dan tidak boleh ditangguhkan keterangan
diwaktu dibutuhkan, jika ada seorang alim yang berkata: “Aku takut terhadap
manusia” maka sesungguhnya Alloh Ta‟ala berfirman :
أَتَخۡشَوۡنَهُمۡۚ
فَٱللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخۡشَوۡهُ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ
“…Mengapakah kamu takut kepada mereka
padahal Alloh-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang
yang beriman.” (QS. At Taubah : 13)
Ayat ini berkenaan dengan para ulama yang berdiam diri,
lalu bagaimana dengan ulama-ulama yang bermudaahanah (kompromi)?,
bagaimana dengan ulama yang membela mereka ?, Alloh Ta‟ala berfirman :
وَمَنْ يَّتَوَلَهُمْ مْنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“…Barangsiapa di antara kamu berwala‟
(loyal) kepada mereka, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka…” (QS. Al Maa-idah : 51)
Diterjemahkan dari Buku Al ‘Umdah Fii ‘Idaadil ‘Uddah
Lil Jihaadi Fii Sabiilillaah, Syaikh ‘Abdul Qoodir bin
‘Abdul ‘Aziiz, hal. 130-138.
Perhatian:
Dipersilahkan kepada
siapa saja untuk memperbanyak atau menukil isi buku ini baik sebagian maupun
secara keseluruhan dengan cara apapun, tanpa merobah isinya. Semoga Alloh
memberi balasan kepada siapa saja yang membantu tersebarnya buku ini.
Sediaan unduh dari http://www.jahizuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar