BAB 1
TAUHID
(HAKEKAT DAN KEDUDUKANNYA)
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
Firman Allah Subhanahu
wata’ala :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَالْأِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذريات:56)
“Tidak Aku ciptakan jin
dan manusia melainkan hanya untuk beribadah([1]) kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat, 56).
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي
كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوت(النحل: من الآية:36)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada
setiap umat (untuk menyerukan) “Beribadalah kepada Allah (saja) dan jauhilah thoghut”([2]).” (QS. An Nahl, 36).
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ
تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ
عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ
تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ
الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya
kamu jangan beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan hendaklah kamu berbuat baik
kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya
atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan, dan
ucapkanlah : “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil” (QS. Al Isra’, 23-24).
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ
مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ مِنْ إِمْلاَقٍ
نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ
بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ وَلاَ تَقْرَبُوا
مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لاَ نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلاَّ
وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ
اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ وَأَنَّ
هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ
فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“Katakanlah (Muhammad) marilah kubacakan apa
yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu “Janganlah kamu mempersekutukan
sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tuamu, dan janganlah
kamu membunuh anak anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki
kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan perbuatan
yang keji, baik yang nampak diantaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu
supaya kamu memahami(nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah
takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu
berlaku adil, kendatipun dia adalah kerabat(mu). Dan penuhilah janji Allah.
Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan bahwa (yang
Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al An’am, 151-153).
Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu berkata : “Barang siapa yang ingin melihat wasiat
Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam yang tertera di atasnya cincin
stempel milik beliau, maka supaya membaca firman Allah Subhanahu wata’ala :
“Katakanlah (Muhammad) marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh
Tuhanmu, yaitu “Janganlah kamu berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya, dan
“Sungguh inilah jalan-Ku berada dalam keadaan lurus, maka ikutilah jalan
tersebut, dan janganlah kalian ikuti jalan-jalan yang lain.([3])”
Mu’adz
bin Jabal Radhiallahu’anhu berkata :
كنت رديف النبي على
حمار، فقال لي :" يا معاذ، أتدري ما حق الله على العباد، وما حق العباد على
الله ؟ قلت : الله ورسوله أعلم، قال : حق الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به
شيئا، وحق العباد على الله أن لا يعذب من لا يشرك به شيئا، قلت : يا رسول الله،
أفلا أبشر الناس ؟ قال : " لا تبشرهم فيتكلوا ".
“Aku pernah diboncengkan
Nabi Shallallahu’alaihi wasallam di atas keledai, kemudian beliau berkata
kepadaku : “ wahai muadz, tahukah kamu apakah hak Allah yang harus dipenuhi
oleh hamba-hambaNya, dan apa hak hamba-hambaNya yang pasti dipenuhi oleh
Allah?, Aku menjawab : “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui”, kemudian
beliau bersabda : “Hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hambaNya ialah
hendaknya mereka beribadah kepadaNya dan tidak menyekutukanNya dengan
sesuatupun, sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah ialah bahwa
Allah tidak akan menyiksa orang orang yang tidak menyekutukanNya dengan
sesuatupun, lalu aku bertanya : ya Rasulullah, bolehkah aku menyampaikan berita
gembira ini kepada orang-orang?, beliau menjawab : “Jangan engkau lakukan itu,
karena Khawatir mereka nanti bersikap pasrah” (HR. Bukhari, Muslim).
Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini :
1.
Hikmah
diciptakannya jin dan manusia oleh Allah Ta'ala.
2.
Ibadah
adalah hakekat (tauhid), sebab pertentangan yang terjadi antara Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam dengan kaumnya adalah dalam masalah tauhid
ini.
3.
Barang
siapa yang belum merealisasikan tauhid ini dalam hidupnya, maka ia belum
beribadah (menghamba) kepada Allah Tabaroka wata’ala inilah sebenarnya
makna firman Allah :
وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُوْنَ مَا أَعْبُدْ
“Dan sekali-kali kamu sekalian bukanlah penyembah (Tuhan) yang aku
sembah” (QS. Al Kafirun, 3)
4.
Hikmah
diutusnya para Rasul [adalah untuk menyeru kepada tauhid, dan melarang
kemusyrikan].
5.
Misi
diutusnya para Rasul itu untuk seluruh umat.
6.
Ajaran
para Nabi adalah satu, yaitu tauhid [mengesakan Allah Subhanahu wata’ala saja].
7.
Masalah
yang sangat penting adalah : bahwa ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala tidak
akan terealisasi dengan benar kecuali dengan adanya pengingkaran terhadap
thoghut.
Dan
inilah maksud dari firman Allah Subhanahu wata’ala :
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوْتُ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدْ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Barang siapa yang mengingkari thoghut dan beriman kepada Allah,
maka ia benar benar telah berpegang teguh kepada tali yang paling kuat” (QS. Al
Baqarah, 256).
8.
Pengertian
thoghut bersifat umum, mencakup semua yang diagungkan selain Allah.
9.
Ketiga
ayat muhkamat yang terdapat dalam surat Al An’am menurut para ulama salaf
penting kedudukannya, didalamnya ada 10 pelajaran penting, yang pertama adalah
larangan berbuat kemusyrikan.
10. Ayat-ayat muhkamat yang terdapat dalam surat Al Isra' mengandung
18 masalah, dimulai dengan firman Allah :
لَا تَجْعَلْ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرْ فَتَقْعُدُ مَذْمُوْمًا مَخْذُوْلًا
“Janganlah
kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, agar kamu tidak menjadi
terhina lagi tercela” (QS. Al Isra’, 22).
Dan
diakhiri dengan firmanNya :
وَلَا تَجْعَلْ مَعَ اللهَ إِلهًا آخر فَتُلْقَى فِيْ جَهَنَّمَ مَلُوْمًا
مَدْحُورًا
“Dan
janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, sehingga kamu
(nantinya) dicampakkan kedalam neraka jahannam dalam keadaan tercela, dijauhkan
(dari rahmat Allah)” (QS. Al Isra’, 39).
Dan Allah
mengingatkan kita pula tentang pentingnya masalah ini, dengan firmanNya:
ذَلِكَ مِمَّا أُوحِىَ إِلَيْكَ رَبَّكَ مِنَ الْحِكْمَةِ
“Itulah
sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu” (QS. Al Isra’, 39).
11. Satu ayat yang terdapat dalam surat An Nisa’, disebutkan
didalamnya 10 hak, yang pertama Allah memulainya dengan firmanNya:
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Beribadahlah
kamu sekalian kepada Allah (saja), dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan
sesuatu pun.” (QS. An Nisa’, 36).
12. Perlu diingat wasiat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam di
saat akhir hayat beliau.
13. Mengetahui hak-hak Allah yang wajib kita laksanakan.
14. Mengetahui hak-hak hamba yang pasti akan dipenuhi oleh Allah
apabila mereka melaksanakannya.
15. Masalah ini tidak diketahui oleh sebagian
besar para sahabat([4]).
16. Boleh merahasiakan ilmu pengetahuan untuk maslahah.
17. Dianjurkan untuk menyampaikan berita yang menggembirakan kepada
sesama muslim.
18. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam merasa khawatir terhadap
sikap menyandarkan diri kepada keluasan rahmat Allah.
19. Jawaban orang yang ditanya, sedangkan dia tidak mengetahui adalah
: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.
20. Diperbolehkan memberikan ilmu kepada orang tertentu saja, tanpa
yang lain.
21. Kerendahan hati Rasulullah, sehingga beliau hanya naik keledai,
serta mau memboncengkan salah seorang dari sahabatnya.
22. Boleh memboncengkan seseorang diatas binatang, jika memang
binatang itu kuat.
23. Keutamaan Muadz bin Jabal..
([1]) Ibadah
ialah penghambaan diri kepada Allah ta’ala dengan mentaati segala perintah Nya
dan menjauhi segala larangan-Nya, sebagaimana yang telah
disampaikan oleh Rasulullah SAW. Dan inilah hakekat agama Islam, karena Islam
maknanya ialah penyerahan diri kepada Allah semata, yang disertai dengan
kepatuhan mutlak kepada-Nya, dengan penuh rasa rendah diri dan cinta.
Ibadah
berarti juga segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, yang
dicintai dan diridhoi oleh Allah. Dan suatu amal akan diterima oleh Allah
sebagai ibadah apabila diniati dengan ikhlas karena Allah semata dan mengikuti
tuntunan Rasulullah SAW.
([2]) Thoghut
ialah : setiap yang diagungkan selain Allah dengan disembah, ditaati, atau
dipatuhi, baik yang diagungkan itu berupa batu, manusia ataupun setan. Menjauhi
thoghut berarti mengingkarinya, tidak menyembah dan memujanya, dalam bentuk dan
cara apapun.
([3])
Atsar ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Abi Hatim.
([4]) idak diketahui oleh sebagian besar para sahabat, karena Rasulullah
menyuruh Muadz agar tidak memberitahukannya kepada meraka, dengan alasan beliau
khawatir kalau mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri kepada keluasan
rahmat Allah. Sehingga tidak mau berlomba lomba dalam mengerjakan amal sholeh.
Maka Mu’adz pun tidak memberitahukan masalah tersebut, kecuali di akhir
hayatnya dengan rasa berdosa. Oleh sebab itu, di masa hidup Mu’adz masalah ini
tidak diketahui oleh kebanyakan sahabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar