6/01/2019

RISALAH


Risalah Fi Makna At Thaghut

I. Kufur Kepada Thaghut

Ketahuilah bahwa orang itu tidak bisa dianggap sebagai orang yang beriman kepada Allah kecuali dengan kufur terhadap thaghut, dan adapun dalilnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“…Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus…” (QS. Al Baqarah [2]: 256)

Ar Rusydu adalah agama Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan Al Ghayy
( Rusydu adalah jalan kebenaran, sedangkan Al Ghayy adalah jalan kesesatan..)

adalah agama Abu Jahal, sedangkan Al ‘Urwah Al Wutsqa adalah kesaksian Laa ilaaha illallaah, di mana hal ini mengandung penafian dan penetapan. Penafian semua macam ibadah dari selain Allah, dan menetapkan seluruh ibadah hanya kepada Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya.

Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah:

(1) Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah,
(2) Engkau meninggalkannya,
(3) Engkau membencinya,
(4) Engkau mengkafirkan pelakunya,
(5) Dan engkau memusuhi para pelakunya.

Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
قَدۡ كَانَتۡ لَكُمۡ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ فِيٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ إِذۡ قَالُواْ لِقَوۡمِهِمۡ إِنَّا بُرَءَٰٓؤُاْ مِنكُمۡ وَمِمَّا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ كَفَرۡنَا بِكُمۡ وَبَدَا بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمُ ٱلۡعَدَٰوَةُ وَٱلۡبَغۡضَآءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَحۡدَهُۥٓ إِلَّا قَوۡلَ إِبۡرَٰهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسۡتَغۡفِرَنَّ لَكَ وَمَآ أَمۡلِكُ لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن شَيۡءٖۖ رَّبَّنَا عَلَيۡكَ تَوَكَّلۡنَا وَإِلَيۡكَ أَنَبۡنَا وَإِلَيۡكَ ٱلۡمَصِيرُ ٤

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya tatkala mereka mengatakan kepada kaumnya: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja” (Al Mumtahanah: 4)

Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut:

(1) Engkau Meyakini Bathilnya Ibadah Kepada Selain Allah

Ibadah adalah hak khusus Allah, maka ketika dipalingkan kepada selain Allah, itu adalah syirik lagi bathil. Do’a adalah ibadah sebagaimana firman-Nya ta’ala:

ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِي سَيَدۡخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ ٦٠

“Berdo’alah kepadaKu, tentu akan Kukabulkan permohonan kalian, sesungguhnya orang-orang
yang menolak beribadah kepadaKu, maka mereka akan masuk nereka Jahannam dalam keadaan
hina” (QS. Al Mukmin [40]: 60)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam besabda: “Do’a itu adalah ibadah” Memohon kepada orang-orang yang sudah mati adalah di antara bentuk pemalingan ibadah do’a kepada selain Allah, dan itu harus diyakini bathil, sedang orang yang meyakini bahwa memohon kepada orang atau wali yang sudah mati adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap wali tersebut maka dia belum kufur terhadap thaghut.

Sembelihan adalah ibadah, dan bila dipalingkan kepada selain Allah, maka hal tersebut adalah syirik lagi bathil, Allah ta’ala berfirman:

قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٦٢ لَا شَرِيكَ لَهُۥۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرۡتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ ١٦٣

“Katakanlah, sesunggunya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku adalah bagi Allah Rabbul ‘alamin, tiada satu sekutupun bagi-Nya” (QS. Al An’am [6]: 162-163)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah (tumbal)” (HR Muslim). Sedangkan dalam kenyataan, orang yang membuat tumbal, baik berupa ayam atau kambing saat hendak membangun rumah, gedung, jembatan dsb, dia menganggap sebagai tradisi yang patut dilestarikan, maka orang ini tidak kufur terhadap thaghut.

Taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan cara bersedekah makanan adalah ibadah, sedangkan taqarrub kepada jin dan syaitan dengan sesajen adalah syirik lagi bathil. Allah berfirman tentang syiriknya orang-orang Arab dahulu:
وَجَعَلُواْ لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ ٱلۡحَرۡثِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ نَصِيبٗا فَقَالُواْ هَٰذَا لِلَّهِ بِزَعۡمِهِمۡ وَهَٰذَا لِشُرَكَآئِنَاۖ فَمَا كَانَ لِشُرَكَآئِهِمۡ فَلَا يَصِلُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَىٰ شُرَكَآئِهِمۡۗ سَآءَ مَا يَحۡكُمُونَ ١٣٦

“Dan mereka menjadikan bagi Allah satu bahagian dari apa yang telah Allah ciptakan berupa tanaman dan binatang ternak. Mereka mengatakan sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini bagi Allah dan ini bagi berhala-berhala kami” (QS. Al An’am [6]: 136)

Jadi orang yang menganggap pembuatan sesajen sebagai tradisi yang mesti dilestarikan, berarti dia tidak kufur terhadap thaghut.

Wewenang (menentukan/ membuat) hukum/ undang-undang/ aturan adalah hak Allah. Penyandaran hukum kepada Allah adalah bentuk ibadah kepada-Nya, sedangkan bila wewenang itu disandarkan kepada makhluk, maka itu adalah syirik dan merupakan suatu bentuk ibadah kepada makhluk tersebut. Allah ta’ala berfirman:

إِنِ ٱلۡحُكۡمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ

“(Hak) menentukan hukum itu tidak lain adalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepadaNya. Itulah dien yang lurus” (QS. Yusuf [12]: 40)

Dalam ayat ini Allah memerintahkan manusia agar tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah, dan Allah namakan penyandaran hukum itu sebagai ibadah, sehingga apabila disandarkan kepada makhluk maka hal itu adalah perbuatan syirik, sebagaimana firman-Nya:

وَلَا تَأۡكُلُواْ مِمَّا لَمۡ يُذۡكَرِ ٱسۡمُ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ وَإِنَّهُۥ لَفِسۡقٞۗ وَإِنَّ ٱلشَّيَٰطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰٓ أَوۡلِيَآئِهِمۡ لِيُجَٰدِلُوكُمۡۖ وَإِنۡ أَطَعۡتُمُوهُمۡ إِنَّكُمۡ لَمُشۡرِكُونَ ١٢١

“Dan janganlah kalian memakan dari (sembelihan) yang tidak disebutkan nama Allah padanya, sesungguhnya hal itu adalah fisq. Dan sesungguhnya syaitan mewahyukan kepada wali-walinya untuk mendebat kalian, dan bila kalian menta’ati mereka maka sungguh kalian ini adalah orang-orang musyrik” (QS. Al An’am [6]: 121)

Kita mengetahui dalam ajaran Islam bahwa sembelihan yang tidak memakai nama Allah adalah bangkai dan itu haram, sedangkan dalam ajaran kaum musyrikin adalah halal. Syaitan membisikan kepada wali-walinya (agar berkata): “Hai Muhammad, ada kambing mati di pagi hari, siapakah yang membunuhnya?” maka Rasulullah menjawab, “Allah yang telah mematikannya” Mereka berkata, “Kambing yang telah Allah sembelih (maksudnya bangkai) dengan tangan-Nya Yang Mulia kalian haramkan, sedangkan yang kalian sembelih dengan tangan-tangan kalian, kalian katakan halal, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah” Hadits ini diriwayatkan Al Hakim dari Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang shahih.

Ucapan tersebut adalah wahyu syaitan untuk mendebat kaum muslimin agar setuju dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah, atau agar setuju dengan penyandaran kewenangan pembuatan hukum walaupun satu hukum saja kepada selain Allah, maka Allah tegaskan, bahwa apabila mereka (kaum muslimin) setuju dengan hal itu berarti mereka telah musyrik. Dan dalam ayat lain Allah ta’ala berfirman:

ٱتَّخَذُوٓاْ أَحۡبَارَهُمۡ وَرُهۡبَٰنَهُمۡ أَرۡبَابٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَٱلۡمَسِيحَ ٱبۡنَ مَرۡيَمَ وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُوٓاْ إِلَٰهٗا وَٰحِدٗاۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۚ سُبۡحَٰنَهُۥ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ٣١

“Mereka (orang-orang Nashrani) telah menjadikan alim ulama dan para Rahib (ahli ibadah) mereka sebagai Arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah, dan juga Al Masih putera Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan Yang Haq kecuali Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS. At Taubah [9]: 31)

Dalam ayat ini Allah vonis orang-orang Nashrani sebagai berikut:

1)     Mereka telah mempertuhankan para ahli ilmu dan para rahib
2)     Mereka telah beribadah kepada selain Allah
3)     Mereka telah musyrik.
4)     Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah.
5)      Juga para ahli ilmu dan para rahib tersebut telah Allah vonis sebagai orang-orang yang memposisikan dirinya sebagai Arbaab.

Dalam atsar yang diriwayatkan At Tirmidzi yang dihasankan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dari ‘Adiy Ibnu Hatim (dia asalnya Nasrani kemudian masuk Islam) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat itu di hadapan ‘Adiy Ibnu Hatim, maka dia berkata: “Wahai Rasulullah, kami tidak pernah ibadah kepada mereka (ahli ilmu dan para rahib)”, maka Rasulullah berkata, “Bukankah mereka itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan kalian ikut-ikutan menghalalkannya? Bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan lalu kalian ikut-ikutan mengharamkannya?” lalu ‘Adiy Ibnu Hatim berkata, “Ya, betul” lalu Rasulullah berkata lagi, “Itulah bentuk peribadatan kepada mereka itu”

Jadi orang Nasrani divonis musyrik karena mereka setuju dengan penyandaran hukum kepada selain Allah, yaitu kepada ahli ilmu dan para rahib. Sedangkan pada masa sekarang, banyak orang meyakini bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik, atau minimal boleh menurut mereka. Padahal demokrasi berintikan pada penyandaran wewenang pembuatan hukum/undang-undang kepada selain Allah, yaitu rakyat atau wakil-wakilnya, sedangkan ini adalah syirik akbar, maka orang tersebut tidak kufur terhadap thaghut sehingga dia itu belum muslim.

Allah ta’ala berfirman berkaitan dengan semua peribadatan diatas:

ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدۡعُونَ مِن دُونِهِ ٱلۡبَٰطِلُ

“Itu dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq, dan sesungguhnya apa yang mereka seru selain Dia adalah bathil” (QS. Luqman [31]: 30)

juga firman-Nya ta’ala:

ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدۡعُونَ مِن دُونِهِۦ هُوَ ٱلۡبَٰطِلُ

Itu dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq dan sesungguhnya apa yang mereka seru selain-Nya adalah yang bathil” (QS. Al Hajj [22]: 62)

Allah adalah Tuhan yang haq, peribadatan kepada-Nya adalah haq, penyandaran kewenangan pembuatan hukum/undang-undang kepada-Nya adalah haq, hukum/ undang-undang Allah adalah haq dan mengikuti hukum/undang-undang yang Allah turunkan adalah haq. Sedangkan sembahan dan para pembuat hukum selain Allah adalah bathil, peribadatan kepada selain Allah adalah bathil, penyandaran kewenangan pembuatan hukum kepada selain Allah adalah bathil, hukum dan undang-undang selain yang Allah turunkan adalah bathil, serta mengikuti hukum dan undang-undang tersebut adalah kebathilan.

(2) Engkau Meninggalkannya

Meyakini perbuatan syirik itu adalah bathil belumlah cukup, namun harus disertai meninggalkan perbuatan syirik itu. Orang yang meyakini pembuatan tumbal/sesajen itu bathil, akan tetapi karena takut akan dikucilkan masyarakatnya lalu ia melakukan hal tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Orang yang meyakini bahwa demokrasi itu syirik, tetapi dengan dalih ‘Mashlahat Dakwah’ lalu ia masuk ke dalam sistem demokrasi tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Seperti orang yang membuat partai-partai berlabel Islam dalam rangka ikut dalam ‘Pesta Demokrasi’.

Sesungguhnya kufur terhadap thaghut menuntut seseorang untuk meninggalkan dan berlepas diri dari kemusyrikan tersebut. Ini berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ para ulama.

Adapun Al Qur’an di antaranya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

إِنَّهُمۡ كَانُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ يَسۡتَكۡبِرُونَ ٣٥ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوٓاْ ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٖ مَّجۡنُونِۢ ٣٦

“Sesungguhnya mereka dahulu bila dikatakan kepada mereka Laa ilaaha illallaah, mereka menyombongkan diri (tidak mau menerima), dan mereka berkata:”Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan tuhan-tuhan kami karena seorang penyair gila?” (QS. Ash Shaaffaat [37]:
35-36).

Di dalam ayat ini orang-orang kafir arab paham bahwa konsekuensi mereka bila mengucapkan Laa ilaaha illallaah adalah harus meninggalkan segala bentuk kemusyrikan, sedangkan mereka merasa keberatan dengannya maka mereka menolak untuk mengucapkannya.

وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوۡمِهِۦٓ إِنَّنِي بَرَآءٞ مِّمَّا تَعۡبُدُونَ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati…” (QS. Az Zukhruf [43]: 26-27)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi akan Laa ilaaha ilallaah…” (Muttafaq ‘alaih)

Sedangkan orang yang tidak meninggalkan syirik akbar, maka dia itu tidak dianggap syahadatnya, karena yang dia lakukan bertentangan dengan apa yang dia ucapkan, oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “dan siapa yang bersyahadat Laa ilaaha ilallaah, namun di samping ibadah kepada Allah, dia beribadah kepada yang lain juga, maka syahadatnya tidak dianggap meskipun dia shalat, shaum, zakat dan melakukan amalan Islam lainnya” [Ad Durar As Saniyyah: 1/323, & Minhajut Ta’sis: 61].

Ketika Abu Thalib mau meninggal dunia, di mana dia itu mengakui kebenaran dakwah Rasul dan bahkan ikut melindungi Rasulullah, Rasulullah datang sedang di sisi Abu Thalib sudah ada abu Jahal dan Abdullah Ibnu Abi Umayyah. Rasulullah berkata kepadanya: “Wahai paman, ucapkanlah Laa ilaaha illallaah, suatu kalimat yang akan saya jadikan hujjah untuk membelamu di sisi Allah!” Maka keduanya (Abu Jahal dan Abdullah Ibnu Abi mayyah) berkata kepadanya: “Apakah kamu (Abu Thalib) tidak suka ajaran Abdul Muthallib?” Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya dan mereka berduapun mengulangi ucapannya. Maka akhir ucapan Abu Thalib adalah bahwa ia di atas ajaran Abdul Muthallib dan enggan menucapkan Laa ilaaha illallaah.” (HR Al Bukhari dan Muslim).

Di sini mereka paham bahwa konsekuensi pengucapan Laa ilaaha illallaah adalah meninggalkan segala kemusyrikan.

Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata: “Ulama berijma’, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan para shahabat dan tabi’in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang tidak dianggap muslim, kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar dan melepaskan diri darinya…” [Ad Durar As Saniyyah: 11/545].

Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam kitab beliau Taisir Al ‘Aziz Al Hamid: “Sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan segala bentuk syirik akbar dan kafir terhadap thaghut maka pengucapan Laa ilaaha illallaah-nya tersebut tidak bermanfaat berdasarkan ijma’ para ulama”.

Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: “Para ‘ulama ijma’, bahwa siapa yang memalingkan sesuatu dari dua macam do’a kepada selain Allah, maka dia telah musyrik meskipun dia mengucapkan Laa ilaaha ilallaah Muhammadurrasulullah, dia shalat, shaum dan mengaku muslim” [Ibthal At Tandid: 76].

Orang yang melakukan syirik akbar meskipun tujuannya baik maka dia tetap belum kufur terhadap thaghut.

Al Imam Su’ud Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah berkata: “Orang yang memalingkan sedikit dari (ibadah) itu kepada selain Allah maka dia itu musyrik, sama saja dia itu ahli ibadah atau orang fasik, dan sama saja maksudnya itu baik ataupun buruk” [Durar As Saniyyah: 9/270].

Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Orang tidak disebut muwahhid kecuali dengan cara menafikan syirik dan bara’ah darinya” [Syarh Ashli Dienil Islam, Aqidatul Muwahhidin: 209]

Jadi, orang yang tidak meninggalkan syirik, dia tidak kufur terhadap thaghut...


(3) Engkau Membencinya

Orang yang meninggalkan perbuatan syirik akan tetapi dia tidak membencinya, maka dia belum kufur terhadap thaghut. Ini dikarenakan Allah mensyaratkan adanya kebencian terhadap syirik dalam merealisasikan tauhid kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman tentang Ibrahim ‘alaihissalam:
وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوۡمِهِۦٓ إِنَّنِي بَرَآءٞ مِّمَّا تَعۡبُدُونَ ٢٦

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati…” (QS. Az Zukhruf [43]: 26)

Kata bara’ (berlepas diri) dari syirik itu menuntut adanya kebencian akan adanya syirik itu. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah” [HR Ahmad dari Al Bara Ibnu ‘Azib].

Kebencian terhadap syirik ini berbentuk realita, yaitu tidak hadir di majelis syirik saat syirik sedang berlangsung. Sebagai contoh: Orang yang hadir di tempat membuat atau mengubur tumbal yang sedang dilakukan, maka dia itu sama dengan pelakunya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَقَدۡ نَزَّلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ أَنۡ إِذَا سَمِعۡتُمۡ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ يُكۡفَرُ بِهَا وَيُسۡتَهۡزَأُ بِهَا فَلَا تَقۡعُدُواْ مَعَهُمۡ حَتَّىٰ يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيۡرِهِۦٓ إِنَّكُمۡ إِذٗا مِّثۡلُهُمۡ

“Dan sungguh Dia telah menurunkan kepada kalian dalam Al Kitab, yaitu bila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kalian duduk bersama mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya kalian (bila duduk bersama mereka saat hal itu dilakukan), berarti sama (status) kalian dengan mereka” (QS. An Nisaa’ [4]: 140)

Jadi orang yang duduk dalam majelis di mana kemusyrikan atau kekufuran sedang berlangsung atau sedang dilakukan atau dilontarkan (diucapkan) dan dia duduk tanpa dipaksa dan tanpa mengingkari hal tersebut maka dia sama kafir dan musyrik seperti para pelaku kemusyrikan tersebut walaupun dia mengaku benci dengan hatinya. Seandainya kalau tidak dapat mengingkari dengan lisannya, maka hal tersebut harus diingkari dengan hatinya yang berbentuk sikap meninggalkan majelis tersebut. Sungguh sebuah kesalahan fatal orang yang mengatakan: “Saya ingkar dan benci di hati saja” sedangkan dia tidak pergi meninggalkan majelis tersebut.

Oleh karenanya para shahabat pada masa khalifah Utsman radliyallahu ‘anhu berijma’ atas kafirnya seluruh jama’ah mesjid di kota Kuffah yang berjumlah 170 orang saat salah seorang di antara mereka mengatakan pembenaran kenabian Musailamah dan yang lain -yang hadir di mesjid- tidak mengingkari ucapannya atau tidak pergi darinya. (Riwayat para penyusun As Sunan/Ashhabus Sunan)

Orang yang tidak membenci ajaran syirik, agama kuffar, system kafir, dan thaghut berarti ia tidak kufur terhadap thaghut.


(4) Engkau Mengkafirkan Pelakunya.

Kita harus mengkafirkan para pelaku syirik akbar karena 2 hal:

Pertama: Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengkafirkan para pelaku syirik akbar dalam banyak ayat, di antaranya:

وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَ مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحۡكُمُ بَيۡنَهُمۡ فِي مَا هُمۡ فِيهِ يَخۡتَلِفُونَۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي مَنۡ هُوَ كَٰذِبٞ كَفَّارٞ ٣

“Dan orang-orang yang menjadikan sembahan-sembahan selain Allah, (mereka mengatakan): “Kami tidak beribadah kepada mereka, melainkan supaya mereka itu mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah memutuskan di antara mereka di hari kiamat dalam apa yang telah mereka perselisihkan, sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang yang dusta lagi sangat kafir” (QS. Az Zumar [39]: 3)

Dan firman-Nya ta’ala:
وَمَن يَدۡعُ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ لَا بُرۡهَٰنَ لَهُۥ بِهِۦ فَإِنَّمَا حِسَابُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦٓۚ إِنَّهُۥ لَا يُفۡلِحُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ١١٧

“Dan siapa yang menyeru ilaah yang lain bersama Allah yang tidak ada bukti dalil kuat buat itubaginya, maka perhitungannya hanyalah disisi Rabnya, sesungguhnya tidak beruntung orang-orang kafir itu” (QS. Al Mukminun [23]: 117)

Bila Allah mengkafirkan para pelaku syirik, maka orang yang tidak mengkafirkan mereka berarti tidak membenarkan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala di dalam vonis-Nya.

Kedua: Karena Dia Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan untuk mengkafirkan para pelaku syirik, di antaranya adalah firman-Nya:

وَجَعَلَ لِلَّهِ أَندَادٗا لِّيُضِلَّ عَن سَبِيلِهِۦۚ قُلۡ تَمَتَّعۡ بِكُفۡرِكَ قَلِيلًا إِنَّكَ مِنۡ أَصۡحَٰبِ ٱلنَّارِ ٨

“Dan dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah supaya dia menyesatkan dari jalan-Nya, katakanlah, “Nikmatilah kekafiranmu sebentar, sesungguhnya kamu tergolong penghuni neraka” (QS. Az Zumar [39]: 8)

Dan orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik, berarti dia menolak perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

“Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia kufur terhadap segala yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya adalah atas Allah ‘azza wa jalla” (HR. Muslim)

Para Imam dakwah Najdiyyah telah menjelaskan maksud sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, Dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah”, maksud kalimat tersebut adalah: Mengkafirkan pelaku syirik dan berlepas diri dari mereka dan dari apa yang mereka ibadati [Ad Durar As Saniyyah: 9/291].

Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar adalah orang yang tidak kufur kepada thaghut.

Al Imam Al Barbahari rahimahullah berkata: “Tidak seorangpun dari ahli kiblat ini boleh dikeluarkan dari Islam, sehingga dia menolak satu ayat dari Al Qu’an atau sesuatu dari atsar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, atau shalat (beribadah) kepada selain Allah atau menyembelih untuk selain-Nya, dan barangsiapa melakukan sesuatu dari hal itu maka telah wajib atas kamu untuk mengeluarkan dia dari Islam.” [Syarhus Sunnah no: 49]

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia telah kafir” [Risalah Nawaqidlul Islam, Majmu’atut Tauhid: 24]

Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Seseorang tidak menjadi muwahhid kecuali dengan menafikan syirik, berlepas diri darinya dan mengkafirkan pelakunya” [Syarh Ashli Dienil Islam - Majmu’ah Tauhid: 29]

Syaikh ‘Abdul Lathif Ibnu ‘Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Dan sebahagian ulama memandang bahwa hal ini (mengkafirkan pelaku syirik) dan jihad diatasnya adalah salah satu rukun yang mana Islam tidak tegak tanpanya” [Mishbahuzh Zhallam: 28].

Beliau berkata lagi: [“Adapun menelantarkan jihad dan tidak mengkafirkan orang-orang murtad, orang yang menjadikan andaad (tandingan-tandingan) bagi Tuhannya, dan orang yang mengangkat andaad dan arbaab (tuhan-tuhan) bersamaNya, maka sikap seperti ini hanyalah ditempuh oleh orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak mengagungkan perintah-Nya, tidak meniti jalan-Nya dan tidak mengagungkan Allah dan Rasul-Nya dengan pengagungan yang sebenar-benarnya, bahkan dia itu tidak menghargai kedudukan ulama dan para imam umat ini dengan selayaknya” [Mishbahuzh Zhalam: 29]

Para Imam dakwah Nejd berkata: “Di antara hal yang mengharuskan pelakunya diperangi adalah sikap tidak mengkafirkan pelaku-pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka karena sesungguhnya hal itu termasuk pembatal dan penggugur keIslaman. Siapa yang memiliki sifat ini maka dia telah kafir, halal darah dan hartanya serta wajib diperangi sehingga dia mengkafirkan para pelaku syirik” [Ad Durar As Saniyyah: 9/291]

Mereka juga mengatakan: “Sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik adalah dia itu tidak membenarkan Al Qur’an, karena sesungguhnnya Al Qur’an telah mengkafirkan para pelaku syirik dan memerintahkan untuk mengkafirkan mereka, memusuhi mereka dan memerangi mereka” [Ad Durar As Saniyyah: 9/291]

Jadi, takfir (mengkafirkan) para pelaku syirik adalah bagian Tauhid dan pondasi dien ini, bukan fitnah sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Allah dari kalangan ulama suu’ (ulama jahat) kaki tangan thaghut dan kalangan Neo Murji-ah.

Orang yang mengkafirkan pelaku syirik bukanlah Khawarij, justeru mereka itu adalah penerus dakwah para rasul. Orang yang menuduh mereka sebagai Khawarij adalah orang yang tidak paham akan dakwah para rasul.

Syaikh ‘Abdul Lathif Ibnu ‘Abdirrahman rahimahullah berkata: “Siapa yang menjadikan pengkafiran dengan syirik akbar termasuk akidah Khawarij maka sungguh dia telah mencela semua rasul dan (ulama) umat ini, dia tidak bisa membedakan antara Dien para rasul dengan madzhab Khawarij, dia telah mencampakkan nash-nash Al Qur’an dan dia mengikuti selain jalan kaum mu’minin” [Mishbahuzh Zhallam: 72]

Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar secara nau’ (jenis pelaku) maka dia kafir, sedangkan orang yang membedakan antara nau’ dengan mu’ayyan (orang tertentu) maka minimal jatuh dalam bid’ah dan bila (sudah) ditegakkan hujjah kepada orang yang tidak mau mengkafirkan pelaku syirik secara ta’yin itu maka dia kafir juga, karena mendustakan vonis Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Orang yang tidak mau mengkafirkan para pelaku syirik, akbar pada umumnya dia lebih loyal kepada pelaku syirik itu dan justru memusuhi para muwahhid yang mengkafirkan pelaku syirik. Demikianlah realita yang terjadi, sehingga banyak yang jatuh dalam kekafiran. Banyak orang yang tidak mengkafirkan para penguasa murtad, dan pada akhirnya mereka tawalliy kepada para penguasa kafir murtad itu.

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Siapa yang membela-bela mereka (para thaghut dan pelaku syirik akbar) atau mengingkari terhadap orang yang mengkafirkan mereka, atau mengklaim bahwa: ‘perbuatan mereka itu meskipun bathil tetapi tidak mengeluarkan mereka pada kekafiran’, maka status minimal orang yang membela-bela ini adalah fasiq, tidak diterima tulisannya, tidak pula kesaksiannya, serta tidak boleh shalat bermakmum dibelakangnya” [Ad Durar As Saniyyah: 10/53]

Ini adalah status minimal, adapun kebanyakan berstatus sebagaimana yang digambarkan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah: [“Orang-orang yang merasa keberatan dengan masalah takfir (pelaku syirik akbar), bila engkau mengamati mereka ternyata kaum muwahhidin adalah musuh mereka, mereka benci dan dongkol kepada para muwahhid itu. Sedangkan para pelaku syirik dan munafiqin adalah teman mereka yang mana mereka bercengkrama dengannya. Akan tetapi hal seperti ini telah menimpa orang-orang yang pernah bersama kami di Dir’iyyah dan ‘Uyainah yang mana mereka murtad dan benci akan dien ini” [Ad Durar As Saniyyah: 10/92]

(5) Engkau Memusuhi Mereka

Kita harus memusuhi orang-orang kafir karena 2 alasan:

Pertama: Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mencap orang-orang kafir itu sebagai musuh, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

إِنَّ ٱلۡكَٰفِرِينَ كَانُواْ لَكُمۡ عَدُوّٗا مُّبِينٗا ١٠١

Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (An Nisaa’ [4]: 101).

Kedua: Karena Allah telah memerintahkan kita untuk memusuhi mereka, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ ٱلشَّيۡطَٰنَ لَكُمۡ عَدُوّٞ فَٱتَّخِذُوهُ عَدُوًّاۚ
“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah dia sebagai musuh.” (QS. Fathir [35]: 6).

Sedangkan syaithan itu ada dua, syaithan manusia (yaitu orang kafir) dan syaithan jin (yaitu jin kafir), sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوّٗا شَيَٰطِينَ ٱلۡإِنسِ وَٱلۡجِنِّ

“Dan demikianlah, Kami telah jadikan musuh bagi setiap nabi itu, yaitu syathan-syaithan manusia dan (syaithan-syaithan) jin.(QS. Al An’am [6]: 112).

Orang yang tidak memusuhi pelaku syirik bukanlah orang yang kufur kepada thaghut, Allah berfirman tentang ajaran Ibrahim shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para nabi yang bersamanya:

وَبَدَا بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمُ ٱلۡعَدَٰوَةُ وَٱلۡبَغۡضَآءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَحۡدَهُۥٓ

“Dan tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selamanya hingga kalian beriman kepada Allah saja” (QS. Al Mumtahanah [60]: 4)

Dan firman-Nya ta’ala:

لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡ

“Kalian tidak mungkin mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka itu ayah-ayahnya, anak-anaknya, saudara-saudaranya atau karib kerabatnya” (QS. Al Mujaadilah [58]: 22)

Syaikh Muhammad rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya orang tidak tegak keislamnnya walaupun ia mentauhidkan Allah dan meninggalkan kemusyrikan kecuali dengan memusuhi para pelaku syirik…” [Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah, Majmu’ah Tauhid: 21]

Permusuhan lawannya adalah loyalitas kepada orang kafir. Menafikan (meniadakan) keimanan/ tauhid, Allah ta’ala berfirman:

وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡ

“Dan siapa yang berloyalitas kepada mereka (orang-orang kafir) di antara kalian, maka sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka” (QS. Al Maidah [5]: 51)

Karena permusuhan ini Allah ta’ala berfirman:

فَٱقۡتُلُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَيۡثُ وَجَدتُّمُوهُمۡ وَخُذُوهُمۡ وَٱحۡصُرُوهُمۡ وَٱقۡعُدُواْ لَهُمۡ كُلَّ مَرۡصَدٖ

“Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu dimanapun kalian mendapati mereka, tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka ditempat pengintaian” (At Taubah [90]: 5)


II. I m a n  Kepada Allah

Adapun makna I m a n kepada Allah adalah:

(1) Engkau meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya ilaah yang berhak diibadahi
(2) Engkau memurnikan seluruh macam ibadah hanya kepada Allah
(3) Engkau menafikan ibadah itu dari selain Allah
(4) Engkau mencintai lagi loyal kepada orang yang bertauhid
(5) Serta engkau membenci lagi memusuhi para pelaku syirik


Penjelasannya adalah sebagai berikut:

(1) Engkau meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Ilaah yang berhak diibadati

Orang yang membolehkan tumbal, sesajen, permohonan kepada orang yang sudah meninggal atau meyakini serta memegang sistem demokrasi berarti dia telah meyakini adanya ilaah yang lain bersama Allah, mereka tidak beriman kepada Allah. Orang yang menyerukan penegakan hukum thaghut atau menyerukan demokrasi, dia itu tidak beriman kepada Allah, begitu juga orang yang menyerukan hukum adat. Orang yang meyakini bahwa ada yang berhak membuat hukum dan undang-undang selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala maka dia itu meyakini bahwa ada tuhan selain Allah yang berhak diibadati dengan ketaatan, sehingga dia itu tidak dikatakan telah beriman kepada Allah walaupun dia itu mengaku telah beriman kepada-Nya.

Orang yang bertauhid hanya meyakini satu sumber hukum, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Orang yang bertauhid hanya meyakini satu Dzat yang berhak diibadati. Allah Ta’ala berfirman:

قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ
“Katakanlah ; “Dialah Allah Yang Maha Esa” (QS. Al Ikhlas [112]: 1)

Dan firmanNya ta’ala:

لَا تَتَّخِذُوٓاْ إِلَٰهَيۡنِ ٱثۡنَيۡنِۖ إِنَّمَا هُوَ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞ

“Janganlah engkau mengangkat dua tuhan, Dia itu hanyalah Tuhan Yang Maha Esa” (QS. An
Nahl [16]: 51).

Dan Dia ta’ala berfirman:
 .... إِنِ ٱلۡحُكۡمُ إِلَّا لِلَّهِ ....

Hak menetapkan hukum itu hanyalah di Tangan Allah.” (QS. Yusuf [12]: 40).

Sedangkan tuhan-tuhan para ‘Ubadul Qubur adalah banyak, yaitu orang-orang yang sudah mati yang mereka ajukan permohonan (permintaan) kepadanya. Dan adapun tuhan-tuhan para pengusung demokrasi dan para penyembah undang-undang adalah banyak pula, ada tuhan dari Partai A, Partai B, Partai C dan seterusnya, di mana para pembuat hukum itu adalah tuhan-tuhan mereka.

(2) Engkau memurnikan seluruh macam ibadah hanya kepada Allah.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala bukan memerintahkan ibadah kepada-Nya, akan tetapi Dia memerintahkan supaya orang hanya ibadah kepada-Nya, dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya dalam ibadah-ibadah tersebut, sebagaimana firman-Nya:

وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ

“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali supaya mereka beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh Dien (ketundukan) hanya kepada-Nya” (QS. Al Bayyinah [98]: 5)

Juga firman-Nya ta’ala:

وَمَن يُسۡلِمۡ وَجۡهَهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ وَهُوَ مُحۡسِنٞ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ

“Dan barangsiapa yang menyerahkan wajahnya sepenuhnya kepada Allah sedang dia itu muhsin (mengikuti tuntunan rasul), maka dia itu telah berpegang pada buhul tali yang sangat kokoh (tauhid/Islam)” (QS. Luqman [31]: 22)

Menyerahkan wajah sepenuhnya kepada Allah adalah dengan cara beribadah hanya kepada Allah, sebagaimana Dia ta’ala berfirman:

بَلَىٰۚ مَنۡ أَسۡلَمَ وَجۡهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحۡسِنٞ فَلَهُۥٓ أَجۡرُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ١١٢

“Ya, siapa orangnya yang menyerahkan wajahnya sepenuhnya kepada Allah, sedang dia muhsin (berbuat kebaikan) maka bagi dia pahala disisi Tuhannya, tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka itu tidaklah bersedih” (QS. Al Baqarah [2]: 112)

Syaikh ‘Abdul Lathif Ibnu ‘Abdirrahman rahimahullah berkata: “Ayat ini adalah bantahan terhadap ‘Ubbadul Qubur yang menyeru selain Allah dan ber-istighatsah  kepada selain-Nya, karena penyerahan wajah serta ihsan dalam beramal itu tidak ada pada diri mereka” [Minhaj At Ta’sis: 70]

‘Ubbadul Qubur adalah orang-orang yang mengaku Islam, shalat, zakat, shaum, haji, dsb, tetapi masih suka meminta kepada orang yang sudah mati, terutama orang shalih atau wali atau orang-orang yang beribadah kepada tuhan yang lain di samping mereka beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jadi ‘ubbadul qubur adalah kaum musyrikin.

Syaikh Ali Al Khudlair di awal kitab Ath Thabaqat menyebutkan bahwa di antara golongan yang termasuk ‘Ubbadul Qubur adalah: Para penyembah penguasa (thaghut), para penganut ideologi-ideologi dan falsafah-falsafah (kafir), para penyembah negara-negara kafir, para budaknya, para penganut sistim-sistim kafir, para hamba hukum dan perundang-undangan buatan, serta yang lainnya. [Kitab Ath Thabaqat: 3].

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah mereka beribadah kepada-Nya dan mereka tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya” (HR. Al Bukhari dan Muslim dari Mu’adz Ibnu Jabal)

Orang yang berbuat syirik, berarti dia telah melanggar hak Allah. Subhanahu Wa Ta’ala. Jelasnya bahwa orang yang mengaku beriman pada rukun iman, rukun Islam dan dia beribadah kepada Allah, akan tetapi di samping itu dia membuat tumbal, sesajen, memohon kepada penghuni kubur atau membuat hukum dan undang-undang atau menyandarkan kewenangan pembuatan hukum kepada selain Allah atau mengkomitmeni undang-undang buatan atau membelanya, maka mereka itu dianggap tidak beriman kepada Allah (dia bukan muslim).

Syaikh ‘Adurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Para ulama telah berijma’, baik salaf maupun khalaf dari kalangan shahabat, tabi’in, para imam dan seluruh Ahlus Sunnah bahwa seseorang tidak dianggap muslim, kecuali dengan cara (dia) mengosongkan diri dari syirik akbar, berlepas diri darinya dan dari pelakunya, membenci mereka, memusuhi mereka sesuai kekuatan dan kemampuan, serta memurnikan amalan seluruhnya bagi Allah” [Ad Durar As Saniyyah: 11/545]

Perkataan seseorang: “Saya beriman kepada Allah dan saya bukan musyrik” tidaklah bermanfaat bila ternyata realita syirik ada padanya, oleh sebab itu Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata: “Iman itu bukan angan-angan dan bukan dengan hiasan, akan tetapi ia adalah apa yang terpatri di dalam hati dan dibenarkan dengan amalan]”.

(3) Menafikan ibadah itu dari selain Allah

Orang yang beriman kepada Allah tidak mungkin memalingkan satu macam ibadahpun kepada selain Allah, karena orang yang memalingkan satu saja ibadah kepada selain Allah, berarti telah meninggalkan Islam. Oleh sebab itu Allah ta’ala memerintahkan kepada nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan kepada orang-orang kafir:

لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ ٢
“Aku tidak beribadah kepada apa yang kalian ibadahi” (QS. Al Kaafirun [109]: 2).

Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: Ulama telah ijma’ bahwa barangsiapa memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allah maka dia itu telah musyrik, walaupun dia itu mengucapkan Laa ilaaha illallaah, dan walaupun dia itu shalat, shaum serta mengaku muslim. [Ibthalut Tandid: 76].

(4) Engkau Mencintai Dan Loyal (Wala) Kepada Orang Yang Bertauhid

Orang yang beriman kepada Allah pasti mencintai dan loyal kepada orang yang bertauhid, karena mereka memiliki ikatan persaudaran diatas dien ini, Allah ta’ala berfirman:

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ.....

"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” (QS. Al Hujurat [49]: 10)

dan firman-Nya dalam ayat yang lain:

وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖ

“Orang-orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan sebahagiannya adalah penolong bagi sebahagian yang lain” (QS. At Taubah [9]: 71)

Oleh sebab itu, tidak mungkin orang mukmin mendukung orang-orang kafir dalam rangka menghancurkan kaum muslimin karena itu bertentangan dengan wala (loyalitas) terhadap kaum muslimin.

(5) Engkau membenci pelaku-pelaku syirik dan memusuhi mereka

Allah mengatakan tentang ucapan para rasul semua-Nya yang harus kita ikuti:

وَبَدَا بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمُ ٱلۡعَدَٰوَةُ وَٱلۡبَغۡضَآءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَحۡدَهُ

“Dan tampaklah antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sehingga kalian beriman kepada Allah saja…” (QS. Al Mumtahanah [60]: 4)

Orang yang tidak membenci dan tidak memusuhi pelaku syirik adalah orang yang tidak beriman kepada Allah.

Falsafah yang mengajarkan agar tidak membenci atau tidak memusuhi ajaran agama lain adalah falsafah kafir. Sistem yang menyamakan semua ajaran agama adalah system syirik. Orang yang bertauhid pasti membenci dan memusuhi pelaku syirik meskipun ayah sendiri atau anak sendiri.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Dan tidak selamat dari jeratan syirik akbar ini kecuali orang yang memurnikan tauhid kepada Allah dan memusuhi kaum musyrikin karena Allah dan mendekatkan diri kepada Allah dengan membenci mereka. [Dari Mufudul Mustafid Fi Kufri Tarikit Tauhid, Tarikh Nejed: 371]

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Sesungguhnya keislaman itu tidak sah kecuali dengan memusuhi para pelaku syirik akbar, dan bila dia tidak memusuhi mereka maka dia itu termasuk bagian dari mereka walaupun dia tidak melakukan syirik itu” [Mufidul Mustafid Fi Kufri Tarikit Tauhid, lihat Tarikh Nejed: 372].


_________
Sumber: Al Urwah Al Wutsqa (Buhul Tali yang Sangat KokoH), Kumpulan Manhaj Tauhid, Ust. Abu Sulaiman Aman Abdurrahman, Tahun 1425 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...