Bab 19
Kesalahan alasan
Penyembah Kuburan
Dikatakan bahwa ada riwayat dari kalangan
penyembah kuburan, mereka berkata bahwa kuburan Ma‘ruf adalah kuburan mujarab.
Dan juga diriwayatkan dari Ma‘ruf bahwa dia berwasiat kepada keponakan
laki-lakinya supaya berdo‘a di kuburannya. Abu ‘Ali Al Kharaqi dalam buku
‘Kumpulan Kisah-kisah Hijrah Syekh Ahmad’ menyebutkan bahwa sebagian dari
orang-orang yang disinggahi biasa mengunjungi Syekh Ahmad dan berdo‘a di
kuburannya. Saya menduga bahwa orang yang menyebutkan kisah ini adalah Al
Maruzi, ia menukil dari sekelompok orang. Mereka berdo‘a di kuburan-kuburan
sejumlah nabi dan kaum shalih dari keturunan para nabi dan lain-lain, kemudian
do‘a mereka itu dikabulkan.
Perbuatan ini kemudian diikuti oleh orang
banyak. Para pengarang generasi belakangan ada yang ketika menyusun buku
manasik haji menyebutkan bahwa jika ziarah ke kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam, ia berdo‘a di samping kubur beliau.
Sebagian penulis lain menyebutkan bahwa orang
yang membaca shalawat tujuh puluh kali di kuburan beliau dan berdo‘a di tempat
itu, maka do‘anya akan dikabulkan.
Sebagian lain lagi menyebutkan keutamaan berdo‘a
di kuburan beberapa syekh. Ada lagi suatu kaum yang menganggap do‘anya di
kuburan-kuburan tertentu mustajab, seperti: kuburan Syekh Abu Al Faraj Asyirazi
Al Muqoddasi dan syekh yang lain.
Kita telah menyaksikan pada zaman kita dan zaman
sebelumnya ada beberapa orang yang dianggap memiliki ilmu dan amal yang
terpuji, mereka ternyata memilih berdo‘a di kuburan-kuburan dan duduk bersimpuh
di kuburan tersebut. Di antara mereka ada orang-orang yang terkenal luas
ilmunya dan ada pula yang dipandang mempunyai karamah.
Bagaimana cara mengingatkan mereka ini? Disini
saya hanya menyebutkan pertanyaan serta menyatakan bahwa perbuatan tersebut
telah menyimpang jauh dari cara ahli ilmu dan ahli agama, karena perbuatan
semacam ini menjadi tujuan utama para pengikut paham keramatnya kubur.
Di antara perbuatan yang terlarang menurut agama
adalah perbuatan yang sama sekali tidak dibenarkan oleh umat generasi tiga abad
pertama hijriah. Sepanjang yang kami ketahui, generasi yang mendapatkan pujian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah generasi pada tiga abad tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِيْ الْقَرْنُ الَّذِيْ بُعِثْتُ فِيْهِ, ثُمَّ
الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik umatku
adalah umat yang ada pada kurun aku diutus, kemudian kurun berikutnya, kemudian
kurun berikutnya.” (HR. Bukhari).
Mereka adalah generasi yang sangat menyukai
keutamaan. Sekiranya melakukan do‘a dan bersimpuh di kuburan tertentu merupakan
keutamaan, tentu mereka telah melakukannya. Ternyata tidak ada perintah dan
tidak ada praktek mereka semacam ini, sekalipun ada peluang untuk melakukannya.
Kalau memang berdo‘a dan bersimpuh di kuburan merupakan keutamaan, sudah tentu
ada keterangan agama yang menunjukkannya.
Pada generasi sesudahnya terjadi perbedaan
pendapat di antara umat. Sebagian besar dari ulama dan golongan shidiqin
melakukan hal itu, tetapi sebagian lagi melarangnya.
Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan bahwa umat Islam telah
sepakat menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang baik. Alasannya
adalah:
1. Sebagian besar umat membenci perbuatan tersebut dan
menolaknya baik umat dahulu maupun sekarang.
2. Merupakan suatu yang mustahil bila umat menyepakati sesuatu
hal dipandang baik untuk dilakukan, tetapi generasi umat terdahulu tidak pernah
melaksanakannya. Hal semacam ini termasuk kategori ijma’ yang berlawanan,
padahal seharusnya ijma’ tidak berlawanan.
Apabila terdapat ikhtilaf di antara generasi belakangan dalam
suatu masalah, maka kata putusnya adalah Al-Qur‘an, Sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam dan ijma’ generasi
terdahulu baik berupa ketetapan yang jelas ataupun hasil ijtihad.
Alhamdulillah, dalam hal ini tidak ada satupun
riwayat yang dinukil dari seorang imam terkenal atau seorang alim yang
berpengaruh. Bahkan riwayat yang dinukil adakalanya suatu kebohongan yang
diatas namakan kepada pendapat seseorang, seperti contohnya ada sebagian orang
mengatakan bahwa telah diriwayatkan dari Imam Syafi‘i, beliau pernah berkata:
“Apabila saya mendapatkan kesulitan besar, maka saya datang dan berdo‘a di
kuburan Abu Hanifah.” Bantahan terhadap masalah ini adalah bahwa riwayat ini
dusta dan kedustaannya mudah diketahui oleh orang-orang yang sedikit mengerti
hal ihwal riwayat (ilmu hadits). Karena tatkala Imam Syafi‘i datang ke Baghdad,
di Baghdad belum ada satu pun kuburan yang biasa dipergunakan sebagai tempat
berdo‘a.
Bahkan di masa hidup Syafi‘i hal semacam ini
sama sekali tidak dikenal. Imam Syafi‘i pernah melihat sebagian dari kuburan
para nabi, para shahabat dan tabi‘in dan para murid-murid mereka yang lebih
utama daripada Imam Abu Hanifah dan ulama-ulama lain di Hijaz, Yaman, Syam,
Iraq dan Mesir.
Lalu untuk apa Imam Syafi‘i berdo‘a dan bersimpuh di kuburan Abu
Hanifah, padahal ada kuburan lain yang lebih utama?
Murid-murid Abu Hanifah yang berjumpa dengan
beliau, seperti Abu Yusuf, Muhammad, Zufar, Hasan bin Zayad dan orang-orang
seangkatannya sama sekali tidak pernah memilih untuk berdo‘a di kuburan Abu
Hanifah dan kuburan lain.
Orang-orang yang membuat kisah-kisah semacam ini
hanyalah orang yang dangkal ilmu dan agamanya. Boleh jadi penukilan
riwayat-riwayat semacam ini berasal dari orang yang tidak dikenal. Jika kisah
semacam ini diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun, kita
tidak dibenarkan untuk mengambilnya sebelum terbukti shahihnya, apa lagi
riwayat ini berasal selain beliau? Boleh jadi pembawa kisah ini mengatakannya
atau melakukannya menurut ijtihadnya yang bisa salah bisa benar.
Atau ia menetapkannya dengan syarat-syarat yang
banyak sehingga nyaris sama dengan melarangnya, lalu orang yang meriwayatkan
dari orang tersebut merubahnya. Misalnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengizinkan ziarah kubur padahal
sebelumnya melarang. Para pengikut kebatilan memahami hadits tersebut bahwa
iarah kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mereka lakukan di waktu haji adalah untuk
membaca shalawat dan memohon pertolongan di kuburan tersebut.
Alasan-alasan ini berkisar di antara dua hal,
yaitu tidak adanya dalil yang sah untuk menetapkan hukumnya dan qiyas yang
tidak boleh dipakai untuk menetapkan hukum ibadah. Padahal Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
pernah menganjurkan ibadah tersebut dan tidak pula melarangnya. Bila ternyata
ada tuntutan riil untuk melakukan ibadah tersebut, maka dianggap bahwa beliau
melakukannya. Ketentuan ibadah tersebut tidak boleh dinukil
dari pengikut agama Nasrani atau yang semisalnya, tetapi hanya boleh dinukil
dari ulama Islam.
Demikian pula dalam menetapkan hukumnya harus
bersumber pada Al-Qur‘an, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan perbuatan orang-orang generasi Islam
pertama. Tidak boleh menetapkan hukum agama tanpa berdasar pada tiga sumber
nash tersebut atau tidak boleh pula dengan jalan ijtihad.
Sesungguhnya merupakan rahmat Allah bahwa dalam
urusan-urusan yang dapat dikerjakan manusia, seseorang dibolehkan memohon
kepada Allah dan sekaligus minta bantuan orang lain. Permohonan semacam ini
seolah-olah menyetarakan manusia dengan Allah, tetapi pelakunya sebenarnya
tidak bermaksud demikian. Adapun dalam urusan-urusan besar seperti minta turun
hujan di musim kering atau minta dilepaskan dari adzab di waktu timbulnya
peperangan, maka perbuatan semacam ini termasuk syirik yang sama sekali tidak
bermanfaat, sebagaimana hal ini Allah firmankan pada surah Al An‘aam ayat
40-41:
قُلۡ أَرَءَيۡتَكُمۡ إِنۡ
أَتَىٰكُمۡ عَذَابُ ٱللَّهِ أَوۡ أَتَتۡكُمُ ٱلسَّاعَةُ أَغَيۡرَ ٱللَّهِ
تَدۡعُونَ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ٤٠ بَلۡ إِيَّاهُ تَدۡعُونَ فَيَكۡشِفُ مَا
تَدۡعُونَ إِلَيۡهِ إِن شَآءَ وَتَنسَوۡنَ مَا تُشۡرِكُونَ ٤١
“Katakanlah (Muhammad): ‘Bagaimana pendapat kamu
sekalian jika adzab Allah datang kepada kamu atau kiamat datang kepada kamu,
adakah Tuhan selain Allah yang akan kamu mintai pertolongan, jika kamu memang
orang yang benar. Bahkan hanya kepada-Nya kamu memohon, lalu Dia menyelamatkan
kamu dari apa yang telah kamu mohon kepada-Nya jika Dia menghendaki dan kamu
tinggalkan Tuhan-tuhan yang kamu sekutukan dengan Allah.’”
Allah juga berfirman pada surah Az Zumar ayat 43-44:
أَمِ ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِ
ٱللَّهِ شُفَعَآءَۚ قُلۡ أَوَلَوۡ كَانُواْ لَا يَمۡلِكُونَ شَيۡٔٗا وَلَا
يَعۡقِلُونَ ٤٣ قُل لِّلَّهِ ٱلشَّفَٰعَةُ جَمِيعٗاۖ لَّهُۥ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ
وَٱلۡأَرۡضِۖ ثُمَّ إِلَيۡهِ تُرۡجَعُونَ ٤٤
“Apakah mereka menjadikan Tuhan-tuhan selain
Allah sebagai pemberi pertolongan. Katakanlah (Muhammad): ‘Apakah sekalipum
mereka sedikitpun tidak memiliki kekuasaan dan tidak berakal?’ Katakanlah
(Muhammad): ‘Semua pertolongan hanyalah milik Allah.’”
Jadi tidak ada yang dapat mengabulkan permohonan
dalam masalah-masalah yang besar kecuali hanya Allah semata. Hal ini
menunjukkan adanya sifat keesaan-Nya sekaligus membantah keraguan orang-orang
yang menyekutukan Allah dengan yang lain. Dengan demikian dapatlah diketahui
bahwa semua pemberian atas permohonan manusia hanyalah bisa terjadi semata-mata
dari Allah, Tuhan yang tidak ada sekutu bagi-Nya, sekalipun jalan yang ditempuh
manusia mungkin halal atau haram. Misalnya, penciptaan Allah atas langit, bumi,
angin, awan dan benda-benda besar lainnya, semuanya itu membuktikan keesaan-Nya
dan Dialah pencipta segalanya. Adapun bila selain Allah dapat membuat sesuatu,
sebenarnya semua itu berasal dari ciptaan-ciptaan-Nya juga. Jadi Allahlah
sebagai pencipta yang pertama, dan sebenarnya Dia pulalah pencipta hasil
berikutnya.
Generasi salaf tidak menyukai perbuatan mendatangi
kuburan-kuburan untuk berdo‘a karena mereka memahami sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam:
لَا
تَتَّخِذُوْا قَبْرِي عِيْدًا
“Janganlah kalian
mengadakan perayaan di kuburanku.”
(HR. Ali bin Husain
dan Hasan bin Hasan, putera pamannya. Kedua orang ini adalah generasi tabi‘in
dari keturunan Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam. Mereka lebih tahu tentang
masalah ini daripada orang lain sebab keduanya dekat dengan pangkuan kenabian
baik keturunan maupun derajatnya.)
Diriwayatkan dari Imam Ahmad dan lain-lain,
bahwa beliau memerintahkan kepada orang-orang yang mengucapkan salam di kuburan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kuburan dua sahabat beliau (Abu Bakar dan
‘Umar) ketika ingin melanjutkan dengan berdo‘a, agar mereka berpaling lalu
mengahadap kiblat.
Begitu pula kalangan ulama generasi terdahulu melarang perbuatan
demikian, misalnya Imam Malik dan lain-lain. Dari kalangan ulama belakangan
(yang menolak perbuatan demikian) adalah Abul Wafa’ bin ‘Uqail dan Abu Farah
bin Jauzi.
Sepanjang ingatan saya, tidak ada seorang
shahabat, tabi‘in atau imam terkenal yang beranggapan bahwa mendatangi
kuburan-kuburan untuk berdo‘a di tempat itu adalah perbuatan baik. Juga tidak
seorang pun yang meriwayatkan sesuatu tentang hal ini dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam atau dari seseorang imam
terkenal. Para ulama telah menyusun kitab tentang do‘a, waktu-waktunya,
tempat-tempatnya yang makbul dan meriwayatkan pula perbuatan-perbuatan sahabat
dan tabi‘in, tetapi tidak seorangpun yang menyebutkan keutamaan berdo‘a di
kuburan walaupun hanya dengan satu kalimat saja.
Bagaimana mungkin perbuatan semacam itu dibenarkan, atau berdo‘a
di kuburan itu lebih dikabulkan dan lebih utama, sedangkan generasi salaf tidak
pernah mengenalnya, bahkan melarangnya dan tidak pernah menyuruh kita berbuat
demikian?
Setelah hampir 300 tahun sepeninggal Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak omongan orang, bahwa berdo‘a di kuburan si
fulan mustajab, atau kuburan si fulan dapat mengabulkan permohonan seseorang
yang berdo‘a di tempat itu dan lain sebagainya, seperti yang dilakukan
orang-orang di Mesir. Juga dilakukan di Iraq di kuburan ‘Ali radhiallahu’anhu,
kuburan Husain, kuburan Hudzaifah bin Yaman, kuburan Salman Al Farisi, kuburan
Musa bin Ja‘far. Juga orang berbuat serupa di negeri Haran terhadap sebuah
kuburan seseorang dari golongan Anshor.
Begitu pula di banyak kuburan di banyak negeri
Islam yang tidak dapat disebutkan disini satu persatu. Mereka juga mendirikan
bangunan di atas kuburan-kuburan tersebut, misalnya membangun masjid di atas
kuburan Abu Hanifah, Syafi‘i dan lain-lain.
_____________
source: Books: Bahaya
Mengekor Non Muslim (Mukhtarat Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim Syaikh Ibnu
Taimiyah). Muhammad bin Ali Adh-Dhabi‘i, Penerbit Media Hidayah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar