6/12/2019

BAHAYA MENGEKOR NON MUSLIM BAB 19



Bab 19
Kesalahan alasan
Penyembah Kuburan

Dikatakan bahwa ada riwayat dari kalangan penyembah kuburan, mereka berkata bahwa kuburan Ma‘ruf adalah kuburan mujarab. Dan juga diriwayatkan dari Ma‘ruf bahwa dia berwasiat kepada keponakan laki-lakinya supaya berdo‘a di kuburannya. Abu ‘Ali Al Kharaqi dalam buku ‘Kumpulan Kisah-kisah Hijrah Syekh Ahmad’ menyebutkan bahwa sebagian dari orang-orang yang disinggahi biasa mengunjungi Syekh Ahmad dan berdo‘a di kuburannya. Saya menduga bahwa orang yang menyebutkan kisah ini adalah Al Maruzi, ia menukil dari sekelompok orang. Mereka berdo‘a di kuburan-kuburan sejumlah nabi dan kaum shalih dari keturunan para nabi dan lain-lain, kemudian do‘a mereka itu dikabulkan.

Perbuatan ini kemudian diikuti oleh orang banyak. Para pengarang generasi belakangan ada yang ketika menyusun buku manasik haji menyebutkan bahwa jika ziarah ke kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berdo‘a di samping kubur beliau.

Sebagian penulis lain menyebutkan bahwa orang yang membaca shalawat tujuh puluh kali di kuburan beliau dan berdo‘a di tempat itu, maka do‘anya akan dikabulkan.

Sebagian lain lagi menyebutkan keutamaan berdo‘a di kuburan beberapa syekh. Ada lagi suatu kaum yang menganggap do‘anya di kuburan-kuburan tertentu mustajab, seperti: kuburan Syekh Abu Al Faraj Asyirazi Al Muqoddasi dan syekh yang lain.

Kita telah menyaksikan pada zaman kita dan zaman sebelumnya ada beberapa orang yang dianggap memiliki ilmu dan amal yang terpuji, mereka ternyata memilih berdo‘a di kuburan-kuburan dan duduk bersimpuh di kuburan tersebut. Di antara mereka ada orang-orang yang terkenal luas ilmunya dan ada pula yang dipandang mempunyai karamah.

Bagaimana cara mengingatkan mereka ini? Disini saya hanya menyebutkan pertanyaan serta menyatakan bahwa perbuatan tersebut telah menyimpang jauh dari cara ahli ilmu dan ahli agama, karena perbuatan semacam ini menjadi tujuan utama para pengikut paham keramatnya kubur.

Di antara perbuatan yang terlarang menurut agama adalah perbuatan yang sama sekali tidak dibenarkan oleh umat generasi tiga abad pertama hijriah. Sepanjang yang kami ketahui, generasi yang mendapatkan pujian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah generasi pada tiga abad tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِيْ الْقَرْنُ الَّذِيْ بُعِثْتُ فِيْهِ, ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik umatku adalah umat yang ada pada kurun aku diutus, kemudian kurun berikutnya, kemudian kurun berikutnya.” (HR. Bukhari).

Mereka adalah generasi yang sangat menyukai keutamaan. Sekiranya melakukan do‘a dan bersimpuh di kuburan tertentu merupakan keutamaan, tentu mereka telah melakukannya. Ternyata tidak ada perintah dan tidak ada praktek mereka semacam ini, sekalipun ada peluang untuk melakukannya. Kalau memang berdo‘a dan bersimpuh di kuburan merupakan keutamaan, sudah tentu ada keterangan agama yang menunjukkannya.

Pada generasi sesudahnya terjadi perbedaan pendapat di antara umat. Sebagian besar dari ulama dan golongan shidiqin melakukan hal itu, tetapi sebagian lagi melarangnya.

Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan bahwa umat Islam telah sepakat menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang baik. Alasannya adalah:

1. Sebagian besar umat membenci perbuatan tersebut dan menolaknya baik umat dahulu maupun sekarang.

2. Merupakan suatu yang mustahil bila umat menyepakati sesuatu hal dipandang baik untuk dilakukan, tetapi generasi umat terdahulu tidak pernah melaksanakannya. Hal semacam ini termasuk kategori ijma’ yang berlawanan, padahal seharusnya ijma’ tidak berlawanan.

Apabila terdapat ikhtilaf di antara generasi belakangan dalam suatu masalah, maka kata putusnya adalah Al-Qur‘an, Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ijma’ generasi terdahulu baik berupa ketetapan yang jelas ataupun hasil ijtihad.

Alhamdulillah, dalam hal ini tidak ada satupun riwayat yang dinukil dari seorang imam terkenal atau seorang alim yang berpengaruh. Bahkan riwayat yang dinukil adakalanya suatu kebohongan yang diatas namakan kepada pendapat seseorang, seperti contohnya ada sebagian orang mengatakan bahwa telah diriwayatkan dari Imam Syafi‘i, beliau pernah berkata: “Apabila saya mendapatkan kesulitan besar, maka saya datang dan berdo‘a di kuburan Abu Hanifah.” Bantahan terhadap masalah ini adalah bahwa riwayat ini dusta dan kedustaannya mudah diketahui oleh orang-orang yang sedikit mengerti hal ihwal riwayat (ilmu hadits). Karena tatkala Imam Syafi‘i datang ke Baghdad, di Baghdad belum ada satu pun kuburan yang biasa dipergunakan sebagai tempat berdo‘a.

Bahkan di masa hidup Syafi‘i hal semacam ini sama sekali tidak dikenal. Imam Syafi‘i pernah melihat sebagian dari kuburan para nabi, para shahabat dan tabi‘in dan para murid-murid mereka yang lebih utama daripada Imam Abu Hanifah dan ulama-ulama lain di Hijaz, Yaman, Syam, Iraq dan Mesir.

Lalu untuk apa Imam Syafi‘i berdo‘a dan bersimpuh di kuburan Abu Hanifah, padahal ada kuburan lain yang lebih utama?

Murid-murid Abu Hanifah yang berjumpa dengan beliau, seperti Abu Yusuf, Muhammad, Zufar, Hasan bin Zayad dan orang-orang seangkatannya sama sekali tidak pernah memilih untuk berdo‘a di kuburan Abu Hanifah dan kuburan lain.

Orang-orang yang membuat kisah-kisah semacam ini hanyalah orang yang dangkal ilmu dan agamanya. Boleh jadi penukilan riwayat-riwayat semacam ini berasal dari orang yang tidak dikenal. Jika kisah semacam ini diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun, kita tidak dibenarkan untuk mengambilnya sebelum terbukti shahihnya, apa lagi riwayat ini berasal selain beliau? Boleh jadi pembawa kisah ini mengatakannya atau melakukannya menurut ijtihadnya yang bisa salah bisa benar.

Atau ia menetapkannya dengan syarat-syarat yang banyak sehingga nyaris sama dengan melarangnya, lalu orang yang meriwayatkan dari orang tersebut merubahnya. Misalnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengizinkan ziarah kubur padahal sebelumnya melarang. Para pengikut kebatilan memahami hadits tersebut bahwa iarah kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mereka lakukan di waktu haji adalah untuk membaca shalawat dan memohon pertolongan di kuburan tersebut.

Alasan-alasan ini berkisar di antara dua hal, yaitu tidak adanya dalil yang sah untuk menetapkan hukumnya dan qiyas yang tidak boleh dipakai untuk menetapkan hukum ibadah. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menganjurkan ibadah tersebut dan tidak pula melarangnya. Bila ternyata ada tuntutan riil untuk melakukan ibadah tersebut, maka dianggap bahwa beliau melakukannya. Ketentuan ibadah tersebut tidak boleh dinukil dari pengikut agama Nasrani atau yang semisalnya, tetapi hanya boleh dinukil dari ulama Islam.

Demikian pula dalam menetapkan hukumnya harus bersumber pada Al-Qur‘an, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan perbuatan orang-orang generasi Islam pertama. Tidak boleh menetapkan hukum agama tanpa berdasar pada tiga sumber nash tersebut atau tidak boleh pula dengan jalan ijtihad.

Sesungguhnya merupakan rahmat Allah bahwa dalam urusan-urusan yang dapat dikerjakan manusia, seseorang dibolehkan memohon kepada Allah dan sekaligus minta bantuan orang lain. Permohonan semacam ini seolah-olah menyetarakan manusia dengan Allah, tetapi pelakunya sebenarnya tidak bermaksud demikian. Adapun dalam urusan-urusan besar seperti minta turun hujan di musim kering atau minta dilepaskan dari adzab di waktu timbulnya peperangan, maka perbuatan semacam ini termasuk syirik yang sama sekali tidak bermanfaat, sebagaimana hal ini Allah firmankan pada surah Al An‘aam ayat 40-41:

قُلۡ أَرَءَيۡتَكُمۡ إِنۡ أَتَىٰكُمۡ عَذَابُ ٱللَّهِ أَوۡ أَتَتۡكُمُ ٱلسَّاعَةُ أَغَيۡرَ ٱللَّهِ تَدۡعُونَ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ٤٠ بَلۡ إِيَّاهُ تَدۡعُونَ فَيَكۡشِفُ مَا تَدۡعُونَ إِلَيۡهِ إِن شَآءَ وَتَنسَوۡنَ مَا تُشۡرِكُونَ ٤١

“Katakanlah (Muhammad): ‘Bagaimana pendapat kamu sekalian jika adzab Allah datang kepada kamu atau kiamat datang kepada kamu, adakah Tuhan selain Allah yang akan kamu mintai pertolongan, jika kamu memang orang yang benar. Bahkan hanya kepada-Nya kamu memohon, lalu Dia menyelamatkan kamu dari apa yang telah kamu mohon kepada-Nya jika Dia menghendaki dan kamu tinggalkan Tuhan-tuhan yang kamu sekutukan dengan Allah.’”

Allah juga berfirman pada surah Az Zumar ayat 43-44:

أَمِ ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِ ٱللَّهِ شُفَعَآءَۚ قُلۡ أَوَلَوۡ كَانُواْ لَا يَمۡلِكُونَ شَيۡ‍ٔٗا وَلَا يَعۡقِلُونَ ٤٣ قُل لِّلَّهِ ٱلشَّفَٰعَةُ جَمِيعٗاۖ لَّهُۥ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۖ ثُمَّ إِلَيۡهِ تُرۡجَعُونَ ٤٤

“Apakah mereka menjadikan Tuhan-tuhan selain Allah sebagai pemberi pertolongan. Katakanlah (Muhammad): ‘Apakah sekalipum mereka sedikitpun tidak memiliki kekuasaan dan tidak berakal?’ Katakanlah (Muhammad): ‘Semua pertolongan hanyalah milik Allah.’”

Jadi tidak ada yang dapat mengabulkan permohonan dalam masalah-masalah yang besar kecuali hanya Allah semata. Hal ini menunjukkan adanya sifat keesaan-Nya sekaligus membantah keraguan orang-orang yang menyekutukan Allah dengan yang lain. Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa semua pemberian atas permohonan manusia hanyalah bisa terjadi semata-mata dari Allah, Tuhan yang tidak ada sekutu bagi-Nya, sekalipun jalan yang ditempuh manusia mungkin halal atau haram. Misalnya, penciptaan Allah atas langit, bumi, angin, awan dan benda-benda besar lainnya, semuanya itu membuktikan keesaan-Nya dan Dialah pencipta segalanya. Adapun bila selain Allah dapat membuat sesuatu, sebenarnya semua itu berasal dari ciptaan-ciptaan-Nya juga. Jadi Allahlah sebagai pencipta yang pertama, dan sebenarnya Dia pulalah pencipta hasil berikutnya.

Generasi salaf tidak menyukai perbuatan mendatangi kuburan-kuburan untuk berdo‘a karena mereka memahami sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

لَا تَتَّخِذُوْا قَبْرِي عِيْدًا
“Janganlah kalian mengadakan perayaan di kuburanku.”

(HR. Ali bin Husain dan Hasan bin Hasan, putera pamannya. Kedua orang ini adalah generasi tabi‘in dari keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka lebih tahu tentang masalah ini daripada orang lain sebab keduanya dekat dengan pangkuan kenabian baik keturunan maupun derajatnya.)

Diriwayatkan dari Imam Ahmad dan lain-lain, bahwa beliau memerintahkan kepada orang-orang yang mengucapkan salam di kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kuburan dua sahabat beliau (Abu Bakar dan ‘Umar) ketika ingin melanjutkan dengan berdo‘a, agar mereka berpaling lalu mengahadap kiblat.

Begitu pula kalangan ulama generasi terdahulu melarang perbuatan demikian, misalnya Imam Malik dan lain-lain. Dari kalangan ulama belakangan (yang menolak perbuatan demikian) adalah Abul Wafa’ bin ‘Uqail dan Abu Farah bin Jauzi.

Sepanjang ingatan saya, tidak ada seorang shahabat, tabi‘in atau imam terkenal yang beranggapan bahwa mendatangi kuburan-kuburan untuk berdo‘a di tempat itu adalah perbuatan baik. Juga tidak seorang pun yang meriwayatkan sesuatu tentang hal ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam atau dari seseorang imam terkenal. Para ulama telah menyusun kitab tentang do‘a, waktu-waktunya, tempat-tempatnya yang makbul dan meriwayatkan pula perbuatan-perbuatan sahabat dan tabi‘in, tetapi tidak seorangpun yang menyebutkan keutamaan berdo‘a di kuburan walaupun hanya dengan satu kalimat saja.

Bagaimana mungkin perbuatan semacam itu dibenarkan, atau berdo‘a di kuburan itu lebih dikabulkan dan lebih utama, sedangkan generasi salaf tidak pernah mengenalnya, bahkan melarangnya dan tidak pernah menyuruh kita berbuat demikian?

Setelah hampir 300 tahun sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak omongan orang, bahwa berdo‘a di kuburan si fulan mustajab, atau kuburan si fulan dapat mengabulkan permohonan seseorang yang berdo‘a di tempat itu dan lain sebagainya, seperti yang dilakukan orang-orang di Mesir. Juga dilakukan di Iraq di kuburan ‘Ali radhiallahu’anhu, kuburan Husain, kuburan Hudzaifah bin Yaman, kuburan Salman Al Farisi, kuburan Musa bin Ja‘far. Juga orang berbuat serupa di negeri Haran terhadap sebuah kuburan seseorang dari golongan Anshor.

Begitu pula di banyak kuburan di banyak negeri Islam yang tidak dapat disebutkan disini satu persatu. Mereka juga mendirikan bangunan di atas kuburan-kuburan tersebut, misalnya membangun masjid di atas kuburan Abu Hanifah, Syafi‘i dan lain-lain.


_____________
source: Books: Bahaya Mengekor Non Muslim (Mukhtarat Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim Syaikh Ibnu Taimiyah). Muhammad bin Ali Adh-Dhabi‘i, Penerbit Media Hidayah,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...