Arti ISLAM
Oleh: Ibnu Taimiyah
Islam itu menghimpun dua
makna: Pertama, Ketundukan dan Kepatuhan, dan tidak menyombongkan diri; Kedua,
Ikhlas –ini berasal dari firman-Nya,
وَرَجُلًا
سَلَمًا لِّرَجُلٍ
“Dan seorang hamba yang
menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja).” (Az-Zumar: 29)-
Dan tidak menyekutukan-Nya.
Yaitu seorang hamba yang berserah diri kepada Allah, Tuhan semesta alam.
Sebagaimana firman-Nya,
وَمَنْ
يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ
فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ (130) إِذْ قَالَ
لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ (131) وَوَصَّى
بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى
لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (132)
“Dan tidak ada yang benci
kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan
sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat
benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman
kepadanya, "Tunduk patuhlah" Ibrahim menjawab, "Aku tunduk patuh
kepada Tuhan semesta alam." Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu
kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub (Ibrahim berkata), "Hai
anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kalian, maka
janganlah kalian mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (Al-Baqarah: 130-132)
Dia berfirman,
قُلْ
إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِلَّةَ
إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (161) قُلْ إِنَّ صَلَاتِي
وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162) لَا شَرِيكَ
لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163)
“Katakanlah,
"Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus,
(yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah
termasuk orang-orang yang musyrik." Katakanlah, "Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada
sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." (Al-An'am: 161-163)
Kata Islam
dipergunakan dalam bentuk intransitif yang dijadikan transitif dengan huruf lam,
seperti yang disebutkan dalam ayat tersebut, dan seperti firman-Nya,
وَأَنِيبُوا
إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ
ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ (54)
“Dan kembalilah kamu
kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu,
kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (Az-Zumar: 34)
قَالَتْ
رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ (44)
“Berkatalah Balqis, "Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah
diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (An-Naml: 44)
أَفَغَيْرَ
دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ (83)
“Maka apakah mereka mencari
agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nyalah menyerahkan diri segala
apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya
kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (Ali Imran: 83).
قُلْ
أَنَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُنَا وَلَا يَضُرُّنَا وَنُرَدُّ
عَلَى أَعْقَابِنَا بَعْدَ إِذْ هَدَانَا اللَّهُ كَالَّذِي اسْتَهْوَتْهُ
الشَّيَاطِينُ فِي الْأَرْضِ حَيْرَانَ لَهُ أَصْحَابٌ يَدْعُونَهُ إِلَى الْهُدَى
ائْتِنَا قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَأُمِرْنَا لِنُسْلِمَ لِرَبِّ
الْعَالَمِينَ (71) وَأَنْ أَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَاتَّقُوهُ وَهُوَ الَّذِي
إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (72)
Katakanlah, "Apakah kita
akan menyeru selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan
kepada kita, tidak (pula) mendatangkan kemudaratan kepada kita, dan (apakah)
kita akan dikembalikan ke belakang sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita,
seperti orang yang telah disesatkan oleh setan di pesawangan yang menakutkan;
dalam keadaan bingung dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada jalan
yang lurus (dengan mengatakan), "Marilah ikuti kami!" Katakanlah,
"Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita
disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam, dan agar mendirikan salat
serta bertakwa kepada-Nya.” (Al-An’am: 71-72)
Kata Islam juga
dipergunakan dalam bentuk kata kerja transitif yang dikaitkan dengan ihsan
(kebajikan), seperti firman-Nya,
وَقَالُوا
لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ
أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (111) بَلَى
مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ
وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (112)
“Dan mereka (Yahudi dan
Nasrani) berkata, "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang
(yang beragama) Yahudi dan Nasrani" Demikian itu (hanya) angan-angan
mereka yang kosong belaka. Katakanlah, "Tunjukkanlah bukti kebenaran
kalian jika kalian adalah orang-orang yang benar." (Tidak demikian) bahkan
barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan ia berbuat
kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 111-112).
وَمَنْ
أَحْسَنُ دِيناً مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ
مِلَّةَ إِبْراهِيمَ حَنِيفاً وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْراهِيمَ خَلِيلاً (125)
“Dan siapakah yang lebih baik
agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan
dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan
Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (An-Nisa’: 125)
Allah mengingkari adanya
agama yang lebih baik daripada agama ini, yaitu menyerahkan diri secara ikhlas
kepada Allah di sertai dengan ihsan (mengerjakan kebajikan). Dia juga
mengabarkan bahwa setiap orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan
ia mengerjakan kebajikan, maka ia akan mendapatkan pahalanya di sisi Tuhannya
serta tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.
Kalimat yang ringkas tapi padat serta problem yang umum ini sebagai penolakan
terhadap dugaan pihak yang menduga bahwa yang akan masuk surga hanyalah orang
yang beragama Yahudi dan Nasrani.
Kedua sifat ini -menyerahkan
diri secara ikhlas kepada Allah dan berbuat kebajikan- adalah dua prinsip
yang telah disinggung sebelumnya, yaitu: Amal itu harus dilaksanakan secara
ikhlas karena Allah dan benar, sesuai dengan Sunnah dan Syariah. Sebab penyerahan
diri kepada Allah itu mencakup tujuan dan niat karena Allah. Seperti kata
seorang penyair:
أَسْتَغْفِرُ
اللهَ ذَنْبًا لَسْتَ مُحْصِيْهِ --- رَبُّ الْعِبَادِ إِلَيْهِ الْوَجْهُ وَ
الْعَمَلُ
Aku memohon ampun kepada
Allah atas dosa yang tak kuhingga
Rabb segala hamba, hanya kepada-Nya
Niat dan amal
Di sini, dipergunakan empat
ungkapan: Islam al—Wajih, Iqamah al-Wajh, sebagaimana firman-Nya,
وَأَقِيْمُوا
وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Luruskanlah muka (diri) mu di setiap shalat.” (Al-A’raf: 29)
Juga
firman-Nya,
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَةتَ اللهِ الَّـتِى فَطَرَ النَّاسَ
عَلَيْهَا
“Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Ar-Rum: 30).
Taujih
al-Wajh (menghadapkan wajah), seperti kata al-Khalil,
إِنِّي
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا
أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Sesungguhnya
aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan.” (Al-An’am: 79).
Demikian pula Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam mengucapkan dalam doa Istiftah dalam sholat:
وَجَّهْتُ
وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضَ حَنِيْفًا وَ مَا أَنَا مِنَ
الْمُشْرِكِيْنَ
“Aku hadapkan wajahku kepada
Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan lurus, dan aku bukan termasuk
orang-orang yang musyrik.” [Abu Daud dalam ash-Shalah, no. 760; dan an-Nasa’i dalam
al-Iftitah, no. 897; keduanya dari Ali]
Dalam ash-Shahihain dari al-Bara’ bin Azib dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, salah
satu
yang diucapkan beliau ketika menuju tempat tidurnya ialah:
أَللَّهُمَّ
أَسْلَمْتُ نَفْسِيْ إِلَيْكَ وَ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ إِلَيْكَ
“Ya Allah, aku menyerahkan diriku kepada-Mu dan menghadapkan
wajahku kepada-Mu.”
[Al-Bukhari dalam ad-Da’awat, no. 5840; dab Muslim dalam adz-Dzikr, 271/ 57,
dan lafal milik Muslim.]
Kata “wajah” itu mencakup mutawajjih
(orang yang menghadapkan wajahnya) dan mutawajjah ilaih (wajah yang
dihadapi), serta mufawajjah nahwahu (arah wajah menghadap). Sebagaimana dikatakan,
“Ayyu wajhin turidu?” yang dimaksud adalah apa dan arah mana yang kamu maksudkan
sebab keduanya adalah dua hal yang saling berkaitan. Di mana manusia menghadap,
maka ia menghadapkan mukanya, dan wajahnya senantiasa mengikuti kemana dirinya
menghadap. Ini dilakukan secara lahir dan batin. Kemudian pembahasan ini ada Empat
Hal:
1. Batin adalah pondasinya,
sedangkan zhahir adalah kesempurnaan dan simbolnya.
2. Jika hatinya mengarah
kepada sesuatu, maka diikuti oleh wajah zhahirnya.
3. Jika niat, kehendak dan tawajjuh
(mengarahkan wajah)nya kepada Allah, maka ini berarti kehendak dan niatnya baik.
4. Jika bersamaan dengan itu ia
berbuat kebajikan, maka telah berhimpun dalam dirinya dua hal: amal shalih dan
tidak menyekutukan pada sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.
Itulah ucapan Umar “Ya Allah, jadikanlah amaIku seluruhnya shalih
dan jadikanlah amal tersebut ikhlas karena-Mu, serta jangan Kau jadikan pada tersebut karena seseorang sedikit
pun.” Amal shalih adalah ihsan, kebajikan, dan suatu yang diperintahkan
oleh Allah.
Apa yang diperintahkan Allah
itulah yang disyariatkan-Nya, dan selaras dengan Sunnah Allah dan Rasul-Nya.
Allah telah memberitakan bahwa siapa yang mengikhlaskan niatnya karena Allah
dan muhsin dalam amalnya, maka ia berhak mendapatkan dan selamat dan adzab.
Karena itu, para imam salaf selalu
menggabungkan dua prinsip ini, seperti kata Fudhail bin ‘lyadh mengenai firman
Allah subhanahu wa ta’ala:
لِيَبْلُوَكُمْ
أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih
baik amalnya.”
(Al-Mulk: 2).
la berkomentar “Yang dimaksud
ayat tersebut adalah yang paling ikhlas (Akhlashuhu) dan yang paling
benar (Ashwabuhu).” Ditanyakan kepadanya, “wahai Abu Ali, apakah yang
paling ikhlas dan yang paling benar?” Ia menjawab, “Amalan, jika sudah benar tapi
tidak ikhlas, maka tidak diterima. Jika sudah ikhlas tapi tidak benar, maka
tidak diterima juga sehinga amalan tersebut ikhlas dan benar. Amal yang ikhlas
adalah yang semata karena Allah, dan yang benar itu adalah yang sesuai dengan
Sunnah.”
Ibnu Syahin dan al-Lalika’i
telah meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair. Ia mengatakan, “Ucapan dan perbuatan
tidak diterima melainkan dengan niat. Sementara ucapan, perbuatan dan niat
tidak diterima kecuali bila selaras dengan Sunnah.’
Keduanya meriwayatkan dari
al-Hasan al—Bashri hal yang sama, tapi dengan ungkapan “La yashluh” (tidak
dinilai shalih) sebagai ganti ungkapan “la yuqbalu” (tidak diterima).
Ini sebagai bantahan atas kaum Murji’ah yang menganggap iman itu cukup dengan sekedar
ucapan saja. la menerangkan bahwa iman itu harus dengan pernyataan dan perbuatan.
Sebab iman itu memang pernyataan dan perbuatan. Harus dengan keduanya, sebagaimana
yang telah kami paparkan dalam pembahasan lain. Kami telah menjelaskan bahwa sekedar
mempercayai dengan hati dan lisan yang disertai dengan kebencian dan
kesombongan, maka bukan beriman menurut kesepakatan kaum mukminin- sehingga
kepercayaan tersebut disertai dengan perbuatan.
Pokok amalan adalah amalan
hati, yaitu cinta dan pengagungan yang menafikan kebencian dan kesombongan. Kemudian
mereka (para salaf) mengatakan, Ucapan dan amalan itu tidak diterima melainkan
dengan niat.” Ini jelas. Sebab, ucapan dan amalan, jika tidak ikhlas karena
Allah, maka tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian mereka
mengatakan, “Sedangkan ucapan, perbuatan dan niat tidak akan diterima oleh
Allah sehingga sesuai dengan Sunnah.” Yakni syariat, yaitu apa yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Karena ucapan, amalan dan niat yang tidak “disunnahkan”
lagi disyariatkan yang diperintahkan oleh Allah, maka itu bid’ah, bukan suatu
yang dicintai Allah. Dia tidak akan menerimanya. Dan bukan amal shalih –semisal
amalan-amalan kaum musyrikin dan Ahlul Kitab.
Source:
KUMPULAN FATWA IBNU TAIMIYAH
[Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar &
Kekuasaan,Siyasah Syar’iyah dan Jihad Fi Sabilillah]
Penerjemah: Ahmad Syaikhu, S.Ag
Muraja’ah: Tim Pustaka DH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar