HUKUMAN
BAGI
PEZINA DAN HOMOSEKS
Oleh : Ibnu Taimiyah
Adapun pezina, jika muhshan
(sudah menikah), maka ia dirajam (dilempari)
batu sampai mati, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah merajam Ma'iz bin Malik al-Aslam, merajam
al-Ghamidiyah, merajam dua orang Yahudi
dan merajam selainnya, dan umat Islam juga memberlakukan rajam sesudah masa
beliau. Para ulama telah berselisih: Apakah ia didera seratus kali sebelum
dirajam? Ada dua pendapat menurut adzhab Ahmad dan selainnya. Jika ia ghairu
Muhshan (belum menikah), maka ia
didera seratus kali berdasarkan Kitabullah dan diasingkan selama setahun berdasarkan
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -meskipun sebagian ulama tidak melihat
wajibnya pengasingan tersebut- .
Hukuman tidak dilaksanakan
sehingga ada empat orang saksi yang bersaksi atas perbuatannya, atau ia
bersaksi atas dirinya dengan empat persaksian, menurut kebanyakan para ulama
bahkan mayoritas mereka. Sebagian mereka ada yang menganggap cukup persaksiannya
atas dirinya satu kali persaksian. Seandainya ia mengakui perbuatan dirinya,
kemudian ia menarik pengakuannya, maka sebagian mereka berpendapat, hukumannya
dibatalkan. Sementara sebagian yang lainnya berpendapat, hukumannya tidak dibatalkan.
Muhshan adalah orang merdeka dan
muknllaf yang telah menyetubuhi wanita yang dinikahinya secara sah sebelumnya,
meskipun hanya satu kali. Apakah disyaratkan wanita yang disetubuhi itu sepadan
dengan orang yang menyetubuliinya dalam sifat-sifat tersebut? Ada dua pendapat
menurut para ulama. Dan apakah remaja yang menjelang baligh itu muhslwn atau
sebaliknya?
Adapun ahlu Dzimmah (warga
non muslim yang dilindungi) maka mereka itu muhshan juga menurut
kebanyakan para ulama, seperti asy-Syafi'i dan Ahmad. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam telah merajam dua orang Yahudi
di sisi pintu masjid, dan itu merupakan awal hukum rajam dalam Islam.
Ulama berselisih mengenai
wanita apabila didapati sedang hamil, padahal ia tidak memiliki suami dan tidak
pula memiliki Tuan (bila ia seorang hamba sahaya) serta tidak ada syubhat dalam
kehamilan itu. Mengenai hal ini ada dua pendapat dalam madzhab Ahmad dan
selainnya. Konon, tidak ada had atasnya; karena boleh saja ia hamil karena
diperkosa atau karena berbagai kemungkinan atau karena persetubuhan yang
syubhat. Konon, bahkan ia harus dihukum. Inilah yang ma'tsur diriwayatkan dari
para Khulafa'ur Rasyidin dan ini lebih mendekati prinsip-prinsip syariat serta
inilah madzhab penduduk Madinah; sebab kemungkinan-kemungkinan yang jarang
terjadi tidak perlu diindahkan, seperti kemungkinan kedustaannya dan kedustaan
para saksi.
Adapun mengenai liwath
(homoseksual dan lesbian) maka sebagian ulama berpendapat bahwa hukumannya
seperti hukuman zina. Konon, hukumannya tidak seperti itu yang benar ialah pendapat
yang disepakati oleh para sahabat: Keduanya dibunuh, pelaku dan yang
diperlakukan, baik muhshan maupun ghairu muhshan.
Ahlus Sunan telah meriwayatkan
dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda,
مَنْ
وَجَدْتُمُوْهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوْا الْفَاعِلَ وَ
الْمَفْعُوْلَ بِهِ
"Siapa saja yang kalian
dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah pelakunya dan yang
diperlakukan."
[Abu Daud dalam al-Hudud, no. 4462;
at-Tirmidzi dalam al-Hudud, no. 1456; dan Ibnu Majah dalam al-Hudud, no.
2561]
Abu Daud meriwayatkan dari
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu mengenai seorang gadis yang kepergok melakukan
lesbian. Menurutnya, ia harus dirajam, dan hal yang sama diriwayatkan dari Ali
bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Para sahabat tidak berselisih
mengenai ketetapan hukum bunuh, cuma mereka berselisih mengenai cara
membunuhnya. Diriwayatkan dari ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu bahwa ia
memerintahkan supaya membakarnya. Menurut lainnya, ia dibunuh. Menurut sebagian
mereka, ia dijatuhi tembok sampai mati di bawah reruntuhan tersebut. Konon, keduanya
dikurung di tempat yang paling busuk sehingga keduanya mati. Menurut sebagian
yang lainnya, ia dinaikkan di atas tembok yang paling tinggi di kampung lalu ia
dilemparkan darinya lantas diiringi dengan batu, sebagaimana yang diperbuat
oleh Allah terhadap kaum Luth. Ini riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu.
Sedangkan riwayat lainnya mengatakan, ia dirajam. Inilah pendapat kebanyakan salaf.
Kata mereka, "Karena Allah merajam kaum Luth, dan Dia mensyariatkan untuk
merajam pezina yang menyerupai rajam yang ditimpakan kepada kaum Luth."
Keduanya dirajam, baik keduanya orang merdeka maupun hamba sahaya, atau salah
satunya hamba sahaya dan yang lainnya orang merdeka, jika keduanya telah
baligh. Jika salah satunya belum baligh, maka ia dihukum dengan selain bunuh.
Yang dihukum rajam hanyalah yang sudah baligh.
Source:
KUMPULAN FATWA IBNU TAIMIYAH
[Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar & Kekuasaan, Siyasah Syar’iyah
dan Jihad Fi Sabilillah]
Penerjemah: Ahmad Syaikhu, S.Ag
Muraja’ah: Tim Pustaka DH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar