9/06/2019

MAKNA IBADAH - Ibnu Qayyim


MAKNA IBADAH
Oleh : Ibnu Qayyim

Ibadah menghimpun dua pokok, yaitu tujuan cinta dengan tujuan ketundukan dan kepatuhan. Orang-orang Arab berkata, “Thariq mu’abbad”, artinya jalan yang diratakan. Ta’abbud artinya tunduk dan patuh. Jika engkau mencintai seseorang namun engkau tidak mau tunduk kepadanya, maka engkau bukan orang yang menyembahnya. Jika engkau patuh kepadanya namun engkau tidak mencintainya, maka engkau bukanlah orang yang menyembahnya. Engkau disebut orang yang menyembahnya jika engkau mencintai dan patuh kepadanya. Berangkat dari sinilah orang-orang yang mengingkari cinta hamba kepada Rabb-nya juga mengingkari hakikat ubudiyah. Mereka juga mengingkari keberadaan Rabb yang dicintai hamba, meskipun Dia adalah tujuan dari apa yang mereka cari dan Wajah-Nya yang tinggi adalah puncak tujuan mereka. Karena itulah orang-orang yang mengingkari hakikat ubudiyah itu juga mengingkari-Nya sebagai Ilah, meskipun mereka mengakui keberadaan-Nya sebagai Rabb bagi semesta alam dan Pencipta mereka. Inilah puncak tauhid mereka, yaitu puncak Rububiyah yang juga diakui orang-orang musyrik Arab. Meskipun mereka mengakui hal itu, toh mereka tidak keluar dari syirik. Firman Allah,

“Dan, sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka’, niscaya mereka menjawab, ‘Allah’.” (Az-Zukhruf: 87).

“Dan, sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, Niscaya mereka menjawab, ‘Allah’.” (Az-Zumar: 38).

“Katakanlah, ‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kalian mengetahui?’ Mereka akan menjawab, Kepunyaan Allah ’.” (Al-Mukminun: 84-85).

Karena itu perlu digunakan tauhid Ilahiyah untuk membantah mereka, dan bahwa tidak ada yang boleh disembah selain-Nya, sebagaimana tidak ada pencipta selain-Nya serta tidak ada Rabb yang lain.

Isti’aanah (memohon pertolongan) menghimpun dua pokok, yaitu keyakinan terhadap Allah dan bersandar kepada-Nya. Adakalanya seorang hamba yakin terhadap seseorang namun tidak mau bersandar kepadanya dalam berbagai urusannya, meskipun dia meyakininya karena dia meminta pertolongan darinya. Adakalanya dia bersandar kepadanya dan juga yakin kepadanya, karena dia membutuhkannya dan tidak ada orang yang dapat memposisikan diri seperti dia, sehingga dia perlu bersandar kepada orang lain itu, karena dia tidak yakin kepadanya.

Tawakal merupakan makna yang juga berasal dari dua pokok, yaitu dari keyakinan dan penyandaran. Inilah hakikat iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin. Dua pokok ini, tawakal dan ibadah, telah disebutkan di dalam Al-Qur’an di beberapa tempat, yang dipasangkan antara keduanya. Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin merupakan salah satu di antaranya. Yang lainnya seperti yang dikatakan Syu’aib,
“Dan, tidak ada taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nyalah aku kembali.” (Hud: 88).

Firman Allah yang lain,

“Dan, kepunyaan Allah lah apa yang gaib di langit dan di bumi dan kepada-Nyalah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya.” (Hud: 123).

Allah befirman mengisahkan orang-orang Mukmin,

“Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (A1-Mumtahanah: 4).

“Sebutlah nama Rabbmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Rabb masyrik dan maghrib, tiada Ilah melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.” (Al-Muzzammil: 8-9).

“(Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Rabbku. Kepada-Nyalah aku bertawakaldan kepada-Nyalah aku kembali.”(Asy-Syura:10).

Inilah enam tempat yang di dalamnya terhimpun dua pokok, yaitu iyyaaka na ’budu wa iyyaaka nasta’iin.

Didahulukannya ibadah daripada isti’aanah (permohonan pertolongan) di dalam surat Al-Fatihah termasuk masalah mendahulukan tujuan daripada sarana. Sebab ibadah merupakan tujuan hamba, yang karena ibadah itulah mereka diciptakan. Sedangkan isti’aanah merupakan sarana untuk ibadah. Di samping itu, iyyaaka na’budu berkaitan dengan Uluhiyah dan nama-Nya “Allah”, sedangkan iyyaaka nasta ’iin berkaitan dengan Rububiyah-Nya dan nama-Nya “Rabb Didahulukannya iyyaaka na ’budu daripada iyyaaka nasta’iin seperti didahulukannya nama Allah daripada Rabb di awal Al-Fatihah. Sebab lain, karena iyyaaka na 'budu merupakan bagian Rabb. Paroh pertama merupakan pujian terhadap Allah, karena Dia lebih layak untuk itu. Sedangkan iyyaaka nasta’iin merupakan bagian hamba. Yang juga menyertai paroh ini ialah ihdinaa ash-shiraath almustaqiim hingga akhir surat.

Di samping itu, ibadah yang mutlak mencakup isti’aanah tanpa ada pembalikan. Setiap orang yang menyembah Allah dengan ubudiyah yang sempurna, berarti juga memohon pertolongan kepada-Nya dan tidak berbalik. Sebab orang yang ingin mendapatkan tujuan dan syahwat bisa meminta tolong dengan syahwat itu sendiri untuk mendapatkan syahwat.

Sementara ibadah adalah lebih sempurna dan lebih komplit. Karena itulah ibadah merupakan bagian Rabb. Isti’aanah merupakan bagian dari ibadah tanpa ada pembalikan. Isti’aanah merupakan permintaan dari Allah dan ibadah merupakan tuntutan bagi Allah. Ibadah tidak terjadi kecuali dari orang yang mukhlis. Sementara isti’aanah bisa berasal dari orang mukhlis dan tidak mukhlis. Ibadah merupakan hak Allah yang diwajibkan atas dirimu. Sedangkan isti'aanah merupakan tuntutan pertolongan atas ibadah. Ini merupakan penjelasan kebenaran-Nya yang membenarkan atas dirimu. Adapun memenuhi hak-Nya lebih penting daripada menuntut pembenaran-Nya. Ibadah adalah mensyukuri nikmat-Nya atas dirimu. Allah suka jika disyukuri. Memberi pertolongan merupakan perbuatan Allah terhadap dirimu dan taufiq-Nya kepadamu. Jika engkau senantiasa beribadah kepada-Nya dan engkau masuk di bawah sentuhan kelembutan ibadah, tentu Dia akan menolongmu dengan ibadah itu. Senantiasa beribadah dan masuk dalam kelembutannya merupakan sebab untuk mendapatkan pertolongan. Selagi seorang hamba lebih sempurna ibadahnya, maka pertolongan dari Allah untuk dirinya juga lebih besar.

Ibadah dikelilingi dua macam pertolongan, yaitu pertolongan sebelumnya untuk melaksanakan ibadah itu, dan pertolongan sesudahnya untuk melaksanakan ibadah yang lain. Begitulah yang senantiasa terjadi, sampai dia meninggal dunia. Iyyaaka na’budu merupakan bagian Allah dan iyyaaka nasta’iin merupakan kewajiban-Nya. Apa yang menjadi bagian-Nya harus didahulukan daripada kewajiban-Nya. Sebab apa yang menjadi bagian-Nya berkaitan dengan cinta dan ridha-Nya, sedangkan apa yang menjadi kewajiban-Nya berkaitan dengan kehendak-Nya. Apa yang berkaitan dengan cinta-Nya lebih sempurna daripada apa yang berkaitan dengan kehendak-Nya. Seisi alam ini berkaitan dengan kehendak-Nya, begitu pula para malaikat, syetan, orang-orang Mukmin, orang-orang kafir, ketaatan dan kedurhakaan. Yang berkaitan dengan cinta-Nya ialah ketaatan dan iman mereka. Orang-orang kafir ada dalam kehendak-Nya, sedangkan orang-orang Mukmin ada dalam cinta-Nya. Karena itu tidak ada sesuatu pun yang diperuntukkan bagi Allah yang selamanya berada di dalam neraka. Segala apa yang ada di dalam neraka adalah yang berkaitan dengan kehendak-Nya.

Berbagai rahasia ini memperjelas hikmah didahulukannya iyyaaka na’budu daripada iyyaaka nasta’iin. Adapun didahulukannya Dzat yang disembah daripada yang dimintai pertolongan dalam bentuk dua kata kerja, terkandung adab hamba terhadap Allah, dengan mendahulukan nama-Nya daripada perbuatan mereka. Di sini juga terkandung perhatian yang amat besar kepada-Nya dan perkenan untuk menggunakan kekhususan sebutan, dalam suatu ungkapan yang kuat: Kami tidak menyembah melainkan kepada-Mu dan kami tidak memohon pertolongan melainkan kepada-Mu. Hal ini dapat dirasakan orang yang mendalami sentuhan bahasa Arab dan yang memahaminya serta menelusuri sumber-sumbernya.

Sibawaih menetapkan makna perhatian, namun tidak menafikan makna lain. Sebab dia memburukkan orang yang berkata hendak memerdekakan sepuluh budak umpamanya. Kemudian dia berkata kepada salah seorang di antara mereka, “Kamulah yang aku akan memerdekakan”.

Orang yang mendengarnya mengingkari perkataannya itu.” Namun dia berkata, “Yang lainnya juga engkau merdekakan.” Kalau tidak karena pemahaman terhadap kekhususan ini tentunya tidak akan memburukkan perkataan semacam itu dan pengingkarannya tidak bagus. Coba perhatikan firman Allah,

“Dan, hanya kepada-Kulah kalian harus takut (tunduk).” (Al-Baqarah: 40).

“Dan, hanya kepada-Kulah kalian harus bertakwa.” (Al-Baqarah: 41).

Lihat bagaimana engkau mendapatkan kuatnya ungkapan ini:

“Janganlah kalian takut kepada selain aku. Janganlah kalian bertakwa kepada selain Aku”. Begitu pengertian yang ada dalam iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta ’iin, yang begitu kuat: “Kami tidak menyembah selain Engkau dan kami tidak memohon pertolongan kepada selain Engkau”. Setiap orang yang punya sentuhan cita rasa tentu bisa memahami kekhususan ini. Tidak ada ungkapan untuk membantah orang yang sedikit pemahamannya dan membuka pintu keraguan. Mereka adalah bencana ilmu dan cobaan pemahaman. Padahal dalam kata ganti /iyyaaka terkandung isyarat ke Dzat. Hakikat ini tidak ada dalam kata ganti /muttashil. Sebagai misal dalam ungkapan, “/Iyyaaka qashadtu wa ahbabtu, hanya kepadamu aku menuju dan hanya kamu yang aku cintai, terkandung pembuktian makna hakikatmu dan dzatmu dari tujuanku, yang tidak ada dalam perkataanmu, “/Qashadtuka wa ahbabtuka”, aku menuju kepadamu dan aku mencintaimu. Jadi /iyyaaka terkandung makna dirimu, dzatmu dan hakikatmu-lah yang kumaksud.

Berangkat dari sinilah ada pakar ilmu nahwu yang berkata, bahwa /iyya adalah ism zhahir, yang disambungkan kepada kata ganti muttashil dan tidak tertolak dengan penolakan yang pasti.

Kalau tidak karena kami ada di belakang pembahasan ini, tentu kami akan menguraikan panjang lebar masalah ini dan beberapa pendapat para pakar nahwu, sehingga kami bisa menekankan mana pendapat yang lebih kuat.

Pengulangan /iyyaaka sekali lagi merupakan bukti kaitan perkara ini dengan masing-masing di antara dua kata kerja. Pengulangan kata ganti ini mencerminkan kekuatan penunjukan, yang tidak akan terjadi jika tidak ada pengulangan. Jika engkau katakan kepada seorang raja, “Hanya kepada Tuan aku mencintai, dan hanya kepada Tuan aku takut”, maka di sini terkandung pengkhususan cinta dan takut kepada dzatnya. Perhatian dengan penyebutan ini tidak terjadi jika engkau berkata, “Hanya kepada Tuan aku mencintai dan takut.”

Source:
TAFSIR IBNU QAYYIM
 Tafsir Ayat-ayat Pilihan
Penerjemah : Kathur Suhardi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...