MAKNA IBADAH
Oleh : Ibnu Qayyim
Ibadah menghimpun dua pokok, yaitu tujuan cinta
dengan tujuan ketundukan dan kepatuhan. Orang-orang Arab berkata, “Thariq
mu’abbad”, artinya jalan yang diratakan. Ta’abbud artinya tunduk dan patuh. Jika
engkau mencintai seseorang namun engkau tidak mau tunduk kepadanya,
maka engkau bukan orang yang menyembahnya. Jika engkau patuh kepadanya namun
engkau tidak mencintainya, maka engkau bukanlah orang yang menyembahnya. Engkau
disebut orang yang menyembahnya jika engkau mencintai dan patuh kepadanya.
Berangkat dari sinilah orang-orang yang mengingkari cinta hamba kepada Rabb-nya
juga mengingkari hakikat ubudiyah. Mereka juga mengingkari keberadaan Rabb yang
dicintai hamba, meskipun Dia adalah tujuan dari apa yang mereka cari dan
Wajah-Nya yang tinggi adalah puncak tujuan mereka. Karena itulah orang-orang
yang mengingkari hakikat ubudiyah itu juga mengingkari-Nya sebagai Ilah,
meskipun mereka mengakui keberadaan-Nya sebagai Rabb bagi semesta alam dan
Pencipta mereka. Inilah puncak tauhid mereka, yaitu puncak Rububiyah yang juga
diakui orang-orang musyrik Arab. Meskipun mereka mengakui hal itu, toh mereka
tidak keluar dari syirik. Firman Allah,
“Dan, sungguh
jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka’, niscaya
mereka menjawab, ‘Allah’.” (Az-Zukhruf: 87).
“Dan, sungguh
jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’,
Niscaya mereka menjawab, ‘Allah’.” (Az-Zumar: 38).
“Katakanlah,
‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kalian
mengetahui?’ Mereka akan menjawab, Kepunyaan Allah ’.” (Al-Mukminun:
84-85).
Karena
itu perlu digunakan tauhid Ilahiyah untuk membantah mereka, dan bahwa tidak ada
yang boleh disembah selain-Nya, sebagaimana tidak ada pencipta selain-Nya serta
tidak ada Rabb yang lain.
Isti’aanah
(memohon pertolongan) menghimpun dua pokok, yaitu keyakinan terhadap Allah dan
bersandar kepada-Nya. Adakalanya seorang hamba yakin terhadap seseorang namun
tidak mau bersandar kepadanya dalam berbagai urusannya, meskipun dia
meyakininya karena dia meminta pertolongan darinya. Adakalanya dia bersandar
kepadanya dan juga yakin kepadanya, karena dia membutuhkannya dan tidak ada
orang yang dapat memposisikan diri seperti dia, sehingga dia perlu bersandar
kepada orang lain itu, karena dia tidak yakin kepadanya.
Tawakal
merupakan makna yang juga berasal dari dua pokok, yaitu dari keyakinan dan
penyandaran. Inilah hakikat iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin. Dua
pokok ini, tawakal dan ibadah, telah disebutkan di dalam Al-Qur’an di beberapa
tempat, yang dipasangkan antara keduanya. Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin
merupakan salah satu di antaranya. Yang lainnya seperti yang dikatakan Syu’aib,
“Dan, tidak
ada taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku
bertawakal dan hanya kepada-Nyalah aku kembali.” (Hud: 88).
Firman Allah
yang lain,
“Dan,
kepunyaan Allah lah apa yang gaib di langit dan di bumi dan kepada-Nyalah
dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakallah
kepada-Nya.”
(Hud: 123).
Allah befirman
mengisahkan orang-orang Mukmin,
“Ya Rabb kami,
hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami
bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (A1-Mumtahanah:
4).
“Sebutlah nama
Rabbmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Rabb
masyrik dan maghrib, tiada Ilah melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai
pelindung.”
(Al-Muzzammil: 8-9).
“(Yang
mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Rabbku. Kepada-Nyalah aku
bertawakaldan kepada-Nyalah aku kembali.”(Asy-Syura:10).
Inilah enam
tempat yang di dalamnya terhimpun dua pokok, yaitu iyyaaka na ’budu wa
iyyaaka nasta’iin.
Didahulukannya
ibadah daripada isti’aanah (permohonan pertolongan) di dalam surat
Al-Fatihah termasuk masalah mendahulukan tujuan daripada sarana. Sebab ibadah
merupakan tujuan hamba, yang karena ibadah itulah mereka diciptakan. Sedangkan
isti’aanah merupakan sarana untuk ibadah. Di samping itu, iyyaaka na’budu
berkaitan dengan Uluhiyah dan nama-Nya “Allah”, sedangkan iyyaaka nasta ’iin
berkaitan dengan Rububiyah-Nya dan nama-Nya “Rabb Didahulukannya iyyaaka na
’budu daripada iyyaaka nasta’iin seperti didahulukannya nama
Allah daripada Rabb di awal Al-Fatihah. Sebab lain, karena iyyaaka na 'budu
merupakan bagian Rabb. Paroh pertama merupakan pujian terhadap Allah, karena Dia
lebih layak untuk itu. Sedangkan iyyaaka nasta’iin merupakan bagian hamba.
Yang juga menyertai paroh ini ialah ihdinaa ash-shiraath almustaqiim hingga
akhir surat.
Di samping
itu, ibadah yang mutlak mencakup isti’aanah tanpa ada pembalikan. Setiap
orang yang menyembah Allah dengan ubudiyah yang sempurna, berarti juga memohon
pertolongan kepada-Nya dan tidak berbalik. Sebab orang yang ingin mendapatkan
tujuan dan syahwat bisa meminta tolong dengan syahwat itu sendiri untuk
mendapatkan syahwat.
Sementara
ibadah adalah lebih sempurna dan lebih komplit. Karena itulah ibadah merupakan
bagian Rabb. Isti’aanah merupakan bagian dari ibadah tanpa ada
pembalikan. Isti’aanah merupakan permintaan dari Allah dan ibadah
merupakan tuntutan bagi Allah. Ibadah tidak terjadi kecuali dari orang yang
mukhlis. Sementara isti’aanah bisa berasal dari orang mukhlis dan tidak
mukhlis. Ibadah merupakan hak Allah yang diwajibkan atas dirimu. Sedangkan isti'aanah
merupakan tuntutan pertolongan atas ibadah. Ini merupakan penjelasan
kebenaran-Nya yang membenarkan atas dirimu. Adapun memenuhi hak-Nya lebih
penting daripada menuntut pembenaran-Nya. Ibadah adalah mensyukuri nikmat-Nya
atas dirimu. Allah suka jika disyukuri. Memberi pertolongan merupakan perbuatan
Allah terhadap dirimu dan taufiq-Nya kepadamu. Jika engkau senantiasa beribadah
kepada-Nya dan engkau masuk di bawah sentuhan kelembutan ibadah, tentu Dia akan
menolongmu dengan ibadah itu. Senantiasa beribadah dan masuk dalam
kelembutannya merupakan sebab untuk mendapatkan pertolongan. Selagi seorang
hamba lebih sempurna ibadahnya, maka pertolongan dari Allah untuk dirinya juga
lebih besar.
Ibadah
dikelilingi dua macam pertolongan, yaitu pertolongan sebelumnya untuk
melaksanakan ibadah itu, dan pertolongan sesudahnya untuk melaksanakan ibadah
yang lain. Begitulah yang senantiasa terjadi, sampai dia meninggal dunia. Iyyaaka
na’budu merupakan bagian Allah dan iyyaaka nasta’iin merupakan
kewajiban-Nya. Apa yang menjadi bagian-Nya harus didahulukan daripada
kewajiban-Nya. Sebab apa yang menjadi bagian-Nya berkaitan dengan cinta dan
ridha-Nya, sedangkan apa yang menjadi kewajiban-Nya berkaitan dengan
kehendak-Nya. Apa yang berkaitan dengan cinta-Nya lebih sempurna daripada apa
yang berkaitan dengan kehendak-Nya. Seisi alam ini berkaitan dengan
kehendak-Nya, begitu pula para malaikat, syetan, orang-orang Mukmin,
orang-orang kafir, ketaatan dan kedurhakaan. Yang berkaitan dengan cinta-Nya
ialah ketaatan dan iman mereka. Orang-orang kafir ada dalam kehendak-Nya,
sedangkan orang-orang Mukmin ada dalam cinta-Nya. Karena itu tidak ada sesuatu pun
yang diperuntukkan bagi Allah yang selamanya berada di dalam neraka. Segala apa
yang ada di dalam neraka adalah yang berkaitan dengan kehendak-Nya.
Berbagai
rahasia ini memperjelas hikmah didahulukannya iyyaaka na’budu daripada iyyaaka
nasta’iin. Adapun didahulukannya Dzat yang disembah daripada yang dimintai
pertolongan dalam bentuk dua kata kerja, terkandung adab hamba terhadap Allah,
dengan mendahulukan nama-Nya daripada perbuatan mereka. Di sini juga terkandung
perhatian yang amat besar kepada-Nya dan perkenan untuk menggunakan kekhususan sebutan,
dalam suatu ungkapan yang kuat: Kami tidak menyembah melainkan kepada-Mu dan
kami tidak memohon pertolongan melainkan kepada-Mu. Hal ini dapat dirasakan
orang yang mendalami sentuhan bahasa Arab dan yang memahaminya serta menelusuri
sumber-sumbernya.
Sibawaih
menetapkan makna perhatian, namun tidak menafikan makna lain. Sebab dia
memburukkan orang yang berkata hendak memerdekakan sepuluh budak umpamanya.
Kemudian dia berkata kepada salah seorang di antara mereka, “Kamulah yang aku
akan memerdekakan”.
Orang yang
mendengarnya mengingkari perkataannya itu.” Namun dia berkata, “Yang lainnya
juga engkau merdekakan.” Kalau tidak karena pemahaman terhadap kekhususan ini
tentunya tidak akan memburukkan perkataan semacam itu dan pengingkarannya tidak
bagus. Coba perhatikan firman Allah,
“Dan, hanya kepada-Kulah kalian harus
takut (tunduk).”
(Al-Baqarah: 40).
“Dan, hanya kepada-Kulah kalian harus
bertakwa.”
(Al-Baqarah: 41).
Lihat bagaimana engkau mendapatkan
kuatnya ungkapan ini:
“Janganlah
kalian takut kepada selain aku. Janganlah kalian bertakwa kepada selain Aku”. Begitu
pengertian yang ada dalam iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta ’iin, yang
begitu kuat: “Kami tidak menyembah selain Engkau dan kami tidak memohon
pertolongan kepada selain Engkau”. Setiap orang yang punya sentuhan cita rasa
tentu bisa memahami kekhususan ini. Tidak ada ungkapan untuk membantah orang
yang sedikit pemahamannya dan membuka pintu keraguan. Mereka adalah bencana ilmu
dan cobaan pemahaman. Padahal dalam kata ganti /iyyaaka terkandung
isyarat ke Dzat. Hakikat ini tidak ada dalam kata ganti /muttashil.
Sebagai misal dalam ungkapan, “/Iyyaaka qashadtu wa ahbabtu, hanya
kepadamu aku menuju dan hanya kamu yang aku cintai, terkandung pembuktian makna
hakikatmu dan dzatmu dari tujuanku, yang tidak ada dalam perkataanmu, “/Qashadtuka
wa ahbabtuka”, aku menuju kepadamu dan aku mencintaimu. Jadi /iyyaaka
terkandung makna dirimu, dzatmu dan hakikatmu-lah yang kumaksud.
Berangkat dari
sinilah ada pakar ilmu nahwu yang berkata, bahwa /iyya adalah ism
zhahir, yang disambungkan kepada kata ganti muttashil dan tidak tertolak dengan
penolakan yang pasti.
Kalau tidak karena kami ada di belakang pembahasan ini, tentu kami
akan menguraikan panjang lebar masalah ini dan beberapa pendapat para pakar
nahwu, sehingga kami bisa menekankan mana pendapat yang lebih kuat.
Pengulangan /iyyaaka sekali lagi merupakan bukti kaitan perkara
ini dengan masing-masing di antara dua kata kerja. Pengulangan kata ganti ini
mencerminkan kekuatan penunjukan, yang tidak akan terjadi jika tidak ada
pengulangan. Jika engkau katakan kepada seorang raja, “Hanya kepada Tuan aku
mencintai, dan hanya kepada Tuan aku takut”, maka di sini terkandung
pengkhususan cinta dan takut kepada dzatnya. Perhatian dengan penyebutan ini
tidak terjadi jika engkau berkata, “Hanya kepada Tuan aku mencintai dan takut.”
Source:
TAFSIR
IBNU QAYYIM
Tafsir Ayat-ayat Pilihan
Penerjemah
: Kathur Suhardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar