9/07/2019

HUDUD DAN HUQUQ - Ibnu Taimiyah


HUDUD DAN HUQUQ
Oleh : Ibnu Taimiyah


Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ

“DAN (MENYURUH KAMU) APABILA MENETAPKAN HUKUM DI ANTARA MANUSIA SUPAYA KAMU MENETAPKAN DENGAN ADIL.”
(An-N’isa’: 58).

Maka menetapkan hukum di antara manusia itu berkenaan dengan hudud dan huqun. Keduanya ada dua macam: Bagian pertama ialah hudud dan huquq yang bukan untuk kaum tertentu, tetapi sebaliknya manfaatnya untuk kaum muslimin secara umum atau segolongan dari mereka, dan mereka semua membutuhkannya.

Istilah tersebut dinamakan juga dengan Hududullah dan Huququllah (hak-hak Allah). Misalnya, hukuman bagi pelaku kerusakan seperti penyamun, perampok, pencuri, pezina dan sejenisnya. Seperti halnya hukum berkenaan dengan harta-harta negara, wakaf dan wasiat yang bukan untuk orang tertentu. Ini semua adalah urusan-urusan kekuasaan yang terpenting. Karena itu Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Manusia harus memiliki pemerintahan baik pemerintahan yang adil maupun yang zhalim. “Seseorang bertanya, “Wahai Amirul mukminin, pemerintahan yang adil telah kami ketahui, lalu bagaimana dengan pemerintahan yang zhalim?” Ia menjawab, “PEMERINTAHAN YANG ZHALIM DAPAT MENJADI SARANA DITEGAKKANNYA HUKUM, MENCIPTAKAN KEAMANAN DI JALANAN, UNTUK MEMERANGI MUSUH DAN PEMBAGIAN HARTA RAMPASAN PERANG (FAI).”

Bagian ini wajib dikaji dan ditegakkan oleh para pemimpin, tanpa ada seorang pun yang menyelisihinya. Demikian pula kesaksian ditegakkan, tanpa ada seorang pun yang menyengketakannya. Kendatipun para ahli fikib berselisih mengenai pemotongan tangan pencuri: Apakah perlu korban pencurian menuntut hartanya? Ada dua pendapat dalam madzab Ahmad dan selainnya, tetapi mereka tersepakat bahwa hukuman itu tidak memerlukan tuntutan korban supaya pencuri itu dihukum (delik hukum). Sebagian mereka mensyaratkan korban harus menuntut harta itu agar tidak ada syubhat bagi pencuri tersebut.

Bagian ini harus ditegakkan, baik terhadap kalangan terhormat (bangsawan /berkedudukan), orang miskin, maupun orang yang lemah. Tidak boleh meniadakan hukuman tersebut, baik dengan syafaat (pembelaan), hadiah maupun selainnya. Bahkan syafaat tidak halal dalam masalah ini. Barangsiapa yang tidak mau menjalankannya karena semua ini -padahal dia mampu untuk menjalankannya- maka ia akan mendapatkan laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya. Allah tidak menerima tebusan maupun pengganti darinya, dan ia termasuk orang yang menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sangat murah. Abu Daud meriwayatkan dalam Sunannya dari Abdulah bin Umar ia  menuturkan bahwa Rasulullah shalllahu ‘alaihi wasalam bersabda,

مَنْ حَالَتْ شَفَاعَتُهُ دُوْنَ حَدِّ مِنْ حُدُوْدِ اللهِ فَقَدْ ضَادَّ اللهَ وَمَنْ خَاصَمَ  فِيْ بَاطِلٍ وَهُوَ يَعْلَمُهُ لَمْ يَزَلْ فِيْ سَخَطِ اللهِ حَتَّى يَنْزِعَ عَنْهُ وَمَنْ قَالَ  فِيْ مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيْهِ أَسْكَنَهُ اللهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ
“Barangsiapa syafaatnya menghalangi (dilaksanakannya) salah satu hukuman Allah, berarti ia telah memusuhi urusan Allah. Dan barangsiapa membela kebatilan -sedangkan dia tahu- maka ia tetap berada dalam kemurkaan Allah sehingga ia berhenti darinya. Dan barangsiapa mengatakan tentang seorang muslim lagi taat beragama sesuatu yang tidak ada padanya, maka ia akan disekap dalam Radghah al-Khabal (lumpur beracun), sehingga ia keluar dari apa yang telah diucapkannya.”

Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, apakah Radghah al-Khabal  itu?” Beliau menjawab, “Yaitu cairan ahli neraka.” [Abu Daud dalam al-Aqdhiyah, no. 3597, dari Abdullah bin Umar]

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut para hakim, para saksi dan para pembela, yang merupakan pilar hukum.

Dalam Shahihain, dari Aisyah radhiallahu ‘anha disebutkan, bahwa suku Quraisy sangat dibingungkan mengenai perihal seorang wanita al-Makhzumiah yang telah melakukan pencurian. Mereka mengatakan, “Siapakah yang akan berbicara kepada Rasulullah  mengenai perihal wanita ini?” Maka yang lainnya menjawab’, Tidak ada yang berani berbicara kepada beliau selain Usamah bin Zaid.’ Maka beliau bersabda,

يَا أُسَامَةُ، أَتَشْفَعُ فِي حَدِّ مِنْ حُدُوْدِ اللهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ قَبْلَهُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ وَ إِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الضَّعِيْفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَأَيْمُ اللهِ لَوْ أَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

“Wahai Usamah, apakah kamu memberi syafaat (pembelaan) dalam salah satu had (hukuman) Allah?” Kemudian beliau berdiri untuk berkhutbah seraya bersabda, “Sesungguhnya orang-orang sebelum mereka dibinasakan adalah karena apabila yang mencuri di tengah-tengah mereka orang terhormat, mereka biarkan; dan apabila yang mencuri di tengah-tengah mereka adalah orang yang lemah, mereka tegakkan hukuman atas mereka. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.”
[Al-Bukhari dalam al-Fadha’il, no. 3733; dan Muslim dalam al-hudud, 1688]

Dalam kisah ini terdapat ibrah (pelajaran). Klan yang paling disegani dalam suku Quraisy ada dua: Bani Mahzum dan Bani Abdi Manaf. Ketika diwajibkan hukum potong tangan atas wanita ini karena mencuri padahal dia hanya mengingkari barang yang dipinjam, menurut pendapat sebagian ulama, atau pencurian lain, menurut pendapat sebagian yang lainnya-’ sedangkan wanita ini berasal dari kabilah terbesar dan klan yang paling dihormati, dan Usamah, kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, memberi pembelaan untuknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam marah dan mengingkari “orang kesayangannya” terlibat dalam perkara yang diharamkan oleh Allah, yaitu memberi pembelaan dalam masalah hudud. Kemudian beliau membuat perumpamaan dengan penghulu wanita alam semesta -dan Allah membebaskannya dari perkara itu- seraya bersabda, “Seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tanggannya.”

Telah diriwayatkan bahwa wanita yang telah dipotong tangannya ini bertaubat. Dan setelah hukuman itu, ia pernah datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau menyelesaikan hajatnya. Diriwayatkan bahwa pencuri, apabila bertaubat, tangannya akan mendahuluinya masuk surga, dan jika tidak bertaubat, maka tangannya mendahuluinya masuk neraka.” Malik meriwayatkan dalam al-Muwaththa’ bahwa sekumpulan orang menangkap seorang pencuri untuk dibawa kepada Utsman radhiallahu ‘anhu. Kemudian az-Zubair menjumpai mereka dan siap memberikan syafaat padanya, maka mereka berkata, “Nanti ketika sudah dibawa kepada Utsman, maka syafaatilah ia di sisi Utsman.” Az-Zubair menjawab, “Apabila hukuman telah sampai kepada penguasa, maka Allah akan melaknat orang yang memberi syafaat dan orang yang menerima syafaat.”

Shafwan bin Umayyah pernah tidur di atas selendangnya di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Lalu datanglah seorang pencuri dan mengambil selendang itu, ia menangkapnya dan membawanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu beliau memerintahkan untuk memotong tangannya. Ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah karena selendangku engkau akan memotong tangannya? Aku menghibahkannya untuknya.” Beliau bersabda, “Mengapa tidak kamu lakukan sebelum kamu membawa dia kepadaku?” Kemudian beliau memotong tangannya. Artinya, jika kamu memaafkannya sebelum ia kamu membawanya kepadaku, niscaya itu bisa membebaskannya (tidak dipotong tangannya). Adapun sesudah diadukan kepadaku maka tidak boleh mengabaikan hukuman, baik dengan pengampunan, syafaat, hibah maupun lainnya.

Karena itu para ulama bersepakat -sepengetahuan saya- bahwa perampok, pencuri dan sejenisnya, apabila telah diadukan kepada pemimpin kemudian ia brrtaubat setelah itu, maka hukuman tidak bisa dibatalkan dan hukuman itu harus dijalankan, meskipun ia sudah bertaubat. Jika mereka jujur dalam taubatnya, maka hukuman itu sebagai tebusan bagi mereka. Ketetapan hukuman buat mereka merupakan kesempurnaan taubat- seperti halnya kewajiban mengembalikan hak-hak kepada orang yang berhak menerimanya, dan (juga seperti) ketetapan untuk melakukan qishas dalam pelanggaran asas manusia. Prinsip mengenai bal ini terdapat dalam firman-Nya,

مَنْ يَشْفَعْ شَفَعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَّهُ نَصِيْبٌ مِّنْهَا وَ مَنْ يَشْفَعْ شَفَعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَّهُ كِفْلٌ مِّنْهَا وَ كَانَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مَّقِيْمًا

“Barangsiapa yang memberikan syafaat yang baik, niscaya ia akan memperoleh (pahala) daripadanya. Dan barangsiapa yang memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) daripadanya dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (An-Nisa’: 85).

Syafaat ialah membantu orang yang membutuhkan pertolongan sehingga ia menjadi genap bersamanya, setelah sebelumnya sendirian. Jika ia membantunya atas dasar kebajikan dan ketakwaan, maka itu adalah syafaat yang baik, dan jika membantunya atas dasar dosa dan permusuhan, maka itu adalah syafaat yang buruk. Kebajikan adalah sesuatu yang diperintahkan, sedangkan dosa adalah sesuatu yang dilarang. Adapun jìka mereka berbuat dusta (dalam taubatnya), maka Allah tidak merestui tipu daya orang-orang yang berkhianat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّمَا جَزَٰٓؤُاْ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسۡعَوۡنَ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓاْ أَوۡ يُصَلَّبُوٓاْ أَوۡ تُقَطَّعَ أَيۡدِيهِمۡ وَأَرۡجُلُهُم مِّنۡ خِلَٰفٍ أَوۡ يُنفَوۡاْ مِنَ ٱلۡأَرۡضِۚ ذَٰلِكَ لَهُمۡ خِزۡيٞ فِي ٱلدُّنۡيَاۖ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ٣٣ إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ مِن قَبۡلِ أَن تَقۡدِرُواْ عَلَيۡهِمۡۖ فَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣٤

"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ma’idah: 33-34)

Allah hanya mengecualikan orang-orang yang bertaubat sebelum mereka ditangkap. Adapun orang yang bertaubat setelah ditangkap maka hukuman tersebut tetap berlaku bagi orang yang wajib mendapatkan hukuman, berdasarkan keumuman, konteks pemahaman, dan sebab akibat dari ayat tersebut. Ini apabila telah terhukti, adapun apabila dengan pengakuan dan ía datang dengan mengakui dosanya dalam keadaan bertaubat, maka dalam hal ini terdapat perdebatan -yang disebutkan dalam pembahasan selain ini-. Zhahir madzhab Ahmad, bahwa tidak wajib melaksanakan hukuman dalam kasus semacam ini. Tetapi apabila ia meminta diterapkan hukuman terhadap dirinya, maka, hukuman tersebut dilaksanakan dan jika tidak (meminta hukunan), maka tidak dilaksanakan hukuman terhadapnya.

Berdasarkan inilah hadits Maiz bin Malik dipahami, ketika beliau bersabda, “Mengapa kalian tidak membiarkannya saja.” Juga hadits yang mengatakan, “Aku melakukan sesuatu yang mewajibkan had (hukuman), maka laksanakanlah padaku” serta atsar lainnya. Dalam Sunan Abu Daud dan an-Nasa’i dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تَعَافُوا الْحُدُودَ فِيْمَا بيْنَكُمْ فَمَا بَلَغَنِي مِنْ حَدَّ فَقَدْ وَجَبَ

“HENDAKLAH KALIAN SALING MENUTUPI HUDUD (PELANGGARAN HUKUM) YANG TERJADI DI ANTARA KALIAN. SEBAB PENGADUAN HUKUM YANG TELAH SAMPAI KEPADAKU,
MAKA WAJIB (AKU JALANKAN).”
[Abu Daud dalam al-Hudud, no. 4376]

Dalam Sunan an-Nasa’i dan Ibni Majah dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disebutkan, bahwa beliau bersabda,

حَدٌّ يُعْمَلُ بِهِ فِيْ الْأَرْضِ خَيْرٌ لِأَهْلِ الْأَرْضِ مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا ثَلَاثِيْنَ صَبَاحًا

“Hukuman yang dilaksanakan di muka bumi itu lebih baik bagi penduduk bumi daripada mereka mendapatkan curahan hujan selama tiga puluh hari di pagi hari.”
[An-Nasai dalam al-Mujtaba fir Qath’i as-sariq, no. 4904, 3905]

Ini mengingat karena kemaksiatan adalah penyebab berkurangnya rizki dan ketakutan kepada musuh, sebagaimana yang ditunjukkan oleh al—Kitab dan as-Sunbah. Jika hukuman (hudud) tersebut ditegakkan, maka ketaatan kepada Allah akan nampak dan kemaksiatan kepada Allah akan berkurang, sehingga diraihlah rizki dan kemenangan.”

Tidak boleh mengambil harta dari pezina, pencuri, peminum, pembegal dan sejenisnya untuk menggantikan hukuman (uang denda), baik diperuntukkan Baitul Mal maupun selainnya. Harta yang diambil untuk menolak hukuman adalah haram lagi keji. Jika seorang pemimpin melakukan hal itu, maka berarti ia telah menghimpun dua kerusakan besar: Pertama, meniadakan hukuman. Kedua, makan harta yang haram. Jadi ia meninggalkan kewajiban dan sekaligus mengerjakan perbuatan haram. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَوْلَا يَنْهَهُمُ الرَّبَّنِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُوْنَ

“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-Ma’idah: 63).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Yahudi,

سَمَّعُوْنَ لِلْكَذِبِ أَكَّلُونَ لِلسُّحْتِ

“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.” (Al-Maidah: 42).

Karena mereka memakan yang haram berupa suap yang disebut Birtil (uang pembungkam), dan kadangkala disebut hadiah dan yang  lainnya. Selama pemimpin memakan harta haram, maka ia merasa  perlu untuk mendengarkan kata-kata bohong berupa persaksian  palsu dan selainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaknat penyuap dan orang yang disuap, serta orang yang menjadi penengah di antara keduanya.  (HR. Ahlus Sunan).

Dalam Shahihain disebutkan, bahwa dua orang laki-laki mengadukan perkaranya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu salah satunya berkata,  "Wahai Rasulullah, putuskanlah perkara di antara kami dengan Kitabullah." Kemudian kawannya berkata -dan ia lebih paham darinya-, "Benar wahai Rasulullah, putuskanlah perkara di antara kami dengan Kitabullah, dan izinkanlah aku (untuk mengatakan sesuatu)." Beliau bersabda, "Katakanlah!" Ia mengatakan, "Putraku menjadi buruh di keluarga orang ini, lalu ia berzina dengan istrinya, lalu aku menebus darinya dengan seratus domba dan seorang pembantu. Aku telah bertanya kepada orang-orang dari ahli ilmu, lalu mereka memberitahuku bahwa anakku harus mendapatkan hukuman cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun, sementara istri orang ini dihukum rajam." Mendengar hal itu maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللهِ: الْمِائَةُ وَالْخَادِمُ رُدٌّ عَلَيْكَ. وَعَلَى ابْنِكَ جَلَّدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبُ عَامٍ، يَا أُنَيْسُ اغْدُ عَلَى امْرَأَةٍ هَذَا فَسَلْهَا، فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا فَسَأَلَهَا، فَاعْتَرَفَتْ، فَرَجَمَهَا

"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku pasti akan memutuskan perkara kalian berdua dengan Kitabullah: Seratus ekor domba dan seorang pelayan dikembalikan kepadamu, dan putramu dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun; pergilah, wahai Unais, kepada istri orang ini dan tanyakanlah kepadanya. Jika ia mengaku, maka rajamlah."

Ia pun menanyakannya, dan wanita itu mengakuinya, maka ia merajamnya. [Al-Bukhari dalam al-Ahkam, no. 7193-7194;]

Dalam hadits ini disebutkan, bahwa ketika orang tadi memberikan harta tersebut untuk menebus hukuman dari si pelaku dosa, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan supaya mengembalikan harta itu kepada pemiliknya dan memerintahkan supaya hukum ditegakkan. Beliau juga tidak mengambil harta tersebut untuk umat Islam: para mujahidin, fakir miskin dan selainnya. Umat Islam telah bersepakat bahwa meniadakan hukuman, baik dengan harta maupun lainnya, tidak boleh. Mereka juga bersepakat bahwa harta yang diambil dari pezina, pencuri, pemabuk, pelaku kejahatan, pembegal dan sejenisnya untuk meniadakan hukuman adalah harta yang haram lagi keji.

Sering dijumpai bahwa rusaknya berbagai urusan manusia itu hanyalah dikarenakan menggantikan hukuman dengan harta atau kedudukan. Ini merupakan sebab terbesar yang membawa kehancuran penduduk shara, kampung, dan kota dari kalangan Badui, Turkistan dan Kurdi, masyarakat agraris, para pengikut hawa nafsu (Ahlul Ahwa') seperti Qais dan Yaman, penduduk kota mulai dari para pimpinan mereka, orang-orang kaya dan orang miskin, para pemimpin rakyat, pemuka-pemuka mereka dan tentara-tentara mereka. Inilah yang menyebabkan jatuhnya kehormatan pemimpin, hilangnya harga diri dari hati manusia, dan tercerai-berainya urusannya. Jika ia menerima suap untuk meniadakan hukuman, maka dirinya akan menjadi lemah untuk menegakkan hukuman yang lain.

Akhirnya, ia sejenis dengan kaum Yahudi yang terlaknat. Birtil (suap) pada asalnya adalah batu yang panjang. Suap dinamakan dengan Birtil, karena ia dapat membungkam mulut orang yang disuap dari berkata yang benar, sebagaimana mulutnya disumbat dengan batu yang panjang. Sebagaimana disebutkan dalam Atsar,

"Jika suap telah masuk dari pintu, maka amanah akan keluar dari lubang-lubang dinding."

Demikian pula apabila harta untuk negara diambil dengan jalan demikian, misalnya harta haram yang disebut upeti. Tidakkah anda melihat bahwa para Arab Badui yang suka membuat kerusakan itu mengambil harta benda milik orang lain kemudian mereka datang kepada pemimpin sambil menggiring kendaraan untuk diserahkan kepadanya atau selain itu, bagaimana pemimpin itu menyokong kerakusan mereka untuk berbuat kerusakan, kehormatan jabatan dan kekuasaan hancur, dan rakyat pun merugi?

Demikian pula kaum peladang dan selain mereka. Juga para peminum minuman keras ketika ditangkap lalu ia bisa membayar dengan sebagian hartanya: bagaimana para pemabuk itu semakin rakus. Sebab mereka berharap, apabila ditangkap, mereka akan menebus dengan sebagian hartanya. Kemudian pemimpin tersebut mau mengambil harta yang haram itu yang tidak ada keberkahan di dalamnya, sementara kerusakan terus berjalan.

Demikian pula orang-orang yang mempunyai kedudukan, ketika mereka melindungi seseorang supaya tidak dijatuhi hukuman. Misalnya, seorang peladang melakukan tindakan kriminal kemudian berlindung ke kampung wakil penguasa atau amir lalu dia melindunginya, menghalangi Allah dan RasulNya. Orang yang melindunginya termasuk orang yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya. Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَعَنَ اللهُ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا

"Allah melaknat orang yang melakukan kejahatan, atau yang melindungi pelakunya." [Muslim dalam al-Hajj, 1370/ 467.]

Maka setiap orang yang melindungi pelaku kejahatan, niscaya Allah dan Rasul-Nya melaknatnya. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

مَنْ حَالَتْ شَفَاعَتُهُ دُوْنَ حَدِّ مِنْ حُدُودِ اللهِ، فَقَدْ ضَادَّ اللهَ فَيْ أَمْرِهِ

"Barangsiapa yang syafaatnya menghalangi salah satu hukuman Allah, maka berarti ia telah menentang urusan Allah"
[Ahmad, 2/ 70 dan sanadnya disahkan oleh Ahmad Syakir, no. S385; dan Abu Daud dalam al-Aqdhiyyah, no. 3597.]

Maka bagaimana halnya dengan orang yang menolak hukuman dengan kekuasaannya dan melindungi para pelaku kriminal dengan harta haram yang diambilnya. Terutama hudud bagi pelanggaran hak-hak warga negara yang baik; sebab kerusakan mereka yang terbesar ialah karena melindungi para pelanggar dari kalangan mereka dengan kedudukan dan harta, baik harta yang diambil itu untuk Baitul Mal maupun untuk penguasa, secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Semua itu diharamkan berdasarkan konsensus umat Islam, seperti menjamin kedai-kedai arak dan minuman keras. Sebab orang yang memberikan kesempatan atau membantu seseorang untuk berbuat demikian, dengan harta yang diambilnya darinya, maka ia sejenis.

Harta yang diambil melalui jalan ini serupa dengan harta yang diambil dari upah pelacuran, upah perdukunan, harga anjing, dan upah orang yang menjadi perantara dalam urusan yang haram yang biasa disebut mucikari. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,

ثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيْثٌ وَ مَهْرُ الْبَغِيِّ خَبِيْثٌ وَحُلْوَانُ الْكَاهِنِ خَبِيْثٌ

"Harga anjing itu keji, upah pelacuran itu keji, dan upah dukun itu keji." (HR. al-Bukhari)

Upah pelacuran yang disebut Hudur al-Qahab (hasil keringat pelacuran), dan termasuk dalam hal ini adalah upah yang diberikan kepada para remaja pria yang berprilaku ala wanita, baik dari kalangan hamba sahaya maupun orang merdeka, atas perbuatan nista dengan mereka. Sedangkan upah dukun ialah seperti upah ahli nujum dan sejenisnya atas berita yang disampaikannya dari berita- yang menggembirakan menurut dugaannya, dan sejenisnya.

Apabila pemimpin tidak mencegah kemungkaran dan menegakkan hukuman atas kemungkaran tersebut, dengan harta yang diambilnya, maka ia setara dengan pemuka perbuatan haram yang membagi-bagikan harta jarahan kepada para pelaku kejahatan dan setara dengan mucikari perbuatan haram yang mengambil bagiannya; mempertemukan dua orang di atas kekejian. Keadaannya juga serupa dengan keadaan istri Luth yang menunjukkan para pendurhaka untuk mesum terhadap tamunya, yang disinyalir oleh Allah dalam firmanNya,

فَأَنْجَيْنَهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِيْنَ

"Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan)." (Al-A'raf: 83).

Dia berfirman,

فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِّنَ الَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ إِنَّهُ مَصِيْبُهَا مَآ أَصَابَهُمْ

"Sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikutmu di akhir malam dan janganlah ada seorang di antara kamu yang tertinggal, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa adzab yang menimpa mereka." (Hud: 81).

Maka Allah pun mengadzab wanita jahat yang menjadi mucikari perbuatan haram tersebut sama seperti adzab yang menimpa kaum jahat yang melakukan perbuatan keji. Ini mengingat karena semuanya mengambil harta untvik membantu dalam bal dosa dan permusuhan. Padahal pemimpin diangkat untuk memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah kemungkaran. Inilah tujuan kepemimpinan itu. Sebaliknya apabila pemimpin justru memuluskan kemungkaran dengan harta yang diambilnya, maka ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan tujuan tersebut. Seperti orang yang anda angkat untuk membantumu guna melawan musuhmu, namun ternyata ia membantu musuhmu untuk melawanmu. Juga seperti kedudukan orang yang mengambil harta untuk berjihad di jalan Allah, ternyata ia memerangi umat Islam dengan harta tersebut.

Jelasnya, bahwa kebaikan hamba itu tercapai dengan Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar. Sebab baiknya hamba itu dan kehidupan terdapat dalam ketaatan kepada Allah dan RasulNya, dan itu tidak akan sempurna melainkan dengan Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar.

Dengan itulah umat ini menjadi umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia. Allah berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar." (Ali-lmran: 110).

Dia berfirman,

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar." (Ali Imran: 104).

Dia berfirman,

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَتِ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَونَ عَنِ الْمُنْكَرِ
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar." (At-Taubah: 71).

Dia berfirman tentang Bani Israil,

كَانُوْا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُّنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُوْنَ

"Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesunggidmya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu." (Al-Ma'idah: 79).

Dia berfirman,

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوابِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِيْنَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِيْنَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيْسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ

"Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka. Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zfiatim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik." (Al-A'raf: 165).

Allah subhanahu wa ta’ala, memberitahukan bahwa tatkala adzab itu turun, maka Dia menyelamatkan orang-orang yang mencegah keburukan dan mengadzab orang-orang yang zhalim dengan adzab yang pedih.

Dalam hadits yang valid disebutkan: Abu Bakar ash-Shiddiq  radhiallahu ‘anhu berkhutbah kepada khalayak di atas mimbar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya kalian membaca ayat ini tapi kalian memahaminya secara tidak tepat, 'Hai orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.' (Al-Ma'idah: 105). Padahal aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya manusia apabila mereka melihat kemungkaran lalu mereka tidak merubahnya, maka nyaris Allah akan mengadzab mereka semuanya dengan adzab dari sisiNya'.”

Dalam hadits lainnya disebutkan,

"Sesungguhnya kemaksiatan itu apabila tersembunyi, maka ia tidak membahayakan kecuali terhadap pelakunya; tetapi apabila kemaksiatan itu telah merajalela dan tidak dicegah, maka semuanya akan disiksa."

Bagian yang telah kami sebutkan mengenai ketentuan dalam Hududullah (hukum-hukum Allah) dan Huququilah (hak-hak Allah) ini, tujuan terbesarnya ialah menyuruh yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar. Menyuruh yang ma'ruf itu misalnya: shalat, zakat, puasa, haji, berkata jujur, amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambut tali kekerabatan, bergaul secara baik bersama keluarga dan tetangga, dan sejenisnya. Kewajiban bagi pemimpin ialah memerintahkan semua yang ada di bawah kekuasaannya untuk mengerjakan shalat lima waktu dan memberi sanksi kepada siapa yang meninggalkannya berdasarkan konsensus umat islam. Jika yang meninggalkan shalat itu "sekelompok pembangkang", maka mereka diperangi karena meninggalkan shalat tersebut berdasarkan Ijma' umat Islam. Demikian pula mereka diperangi karena meninggalkan zakat, puasa dan selainnya, menghalalkan perkara-perkara yang diharamkan lagi jelas-jelas disepakati keharamannya, seperti menikahi wanita-wanita yang masih mahramnya, membuat kerusakan di muka bumi, dan sejenisnya. Setiap golongan yang menolak untuk berkomitmen dengan salah satu syariat Islam yang sudah jelas dan mutawatir, maka wajib diperangi sehingga ketaatan seluruhnya hanya milik Allah berdasarkan Ijma' para ulama.

Jika yang meninggalkan shalat itu cuma satu orang, maka-konon- ia dihukum dengan cambuk dan kurungan sampai ia mengerjakan shalat. Sedangkan menurut Jumhur ulama, ia harus dibunuh apabila menolak mengerjakan shalat setelah diminta bertaubat. Jika mau bertaubat dan mengerjakan shalat (maka ia bebas); dan jika tidak, maka ia dibunuh. Apakah ia dibunuh dalam keadaan sebagai orang kafir atau muslim yang fasik? Masalah ini ada dua pendapat. Tapi kebanyakan salaf berpendapat bahwa ia dibunuh sebagai orang kafir. Ini semuanya disertai dengan pengakuan akan kewajiban shalat tersebut. Adapun orang yang mengingkari akan kewajiban shalat, maka ia kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.

Demikian pula orang yang mengingkari semua kewajiban dan keharaman-keharaman yang wajib untuk diperangi. Sanksi karena meninggalkan kewajiban dan mengerjakan keharaman adalah tujuan yang dimaksud dari jihad fi sabilillah, dan jihad itu wajib atas umat ini berdasarkan kesepakatan, sebagaimana ditunjukkan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah.

Jihad adalah amal yang paling utama. Pernah ada seorang bertanya, "Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang setara dengan jihad fi sabilillah?" Beliau menjawab, "Kamu tidak akan bisa dan tidak akan mampu menjalankannya." Ia berkata, "Beritahukanlah itu kepadaku?" Beliau bersabda, "Apakah kamu mampu, ketika mujahid keluar (ke medan perang), kamu berpuasa dan tidak berbuka serta kamu berdiri (untuk shalat) dan tanpa merasa lelah? " Ia mengatakan, "Siapakah yang mampu berbuat demikian?" Beliau bersabda, "Itulah yang menyamai jihad di jalan Allah."

[Al-Bukhari dalam al-Jihad, no. 2785 dari Abu Hurairah; dan an-Nasa'i dalam al-Jihad, no. 3128, dan tidak disandarkan oleh al-Mizzi dalam at-Tuhfah, 9/ 436, kecuali kepada al-Bukhari dan an-Nasa'i]

Beliau bersabda,

إِنَّ فِيْ الْجَنَّةِ لَمِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّ اللهُ لِلْمُجَاهِدِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

"Sesungguhnya di surga ada seratus derajat, disediakan oleh Allah untuk orang-orang yang berjuang dijalan Allah, antara satu derajat dengan derajat berikutnya seperti jarak antara langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang berjihad di jalan Allah."

[Al-Bukhari dalam al-Jihad, no. 2790 dari Abu Hurairah, dan tidak disebutkan oleh al-Mazi dalam at-Tukhfah, 10/ 278 kecuali oleh al-Bukhari]

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلَاةُ وَذُرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ

"POKOK SEGALA URUSAN ADALAH ISLAM,
TIANGNYA ADALAH SHALAT,
DAN PUNCAKNYA ADALAH JIHAD."

[At-Tirmidzi dalam Iman, no. 2616; dan Ibnu Majah dalam al-Fitan, no. 3973 dari Mu'adz bin Jabal]

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ لَمۡ يَرۡتَابُواْ وَجَٰهَدُواْ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ ١٥

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar." (Al-Hujurat: 15).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَجَعَلۡتُمۡ سِقَايَةَ ٱلۡحَآجِّ وَعِمَارَةَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ كَمَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَجَٰهَدَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۚ لَا يَسۡتَوُۥنَ عِندَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ ١٩ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَٰهَدُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ أَعۡظَمُ دَرَجَةً عِندَ ٱللَّهِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَآئِزُونَ ٢٠ يُبَشِّرُهُمۡ رَبُّهُم بِرَحۡمَةٖ مِّنۡهُ وَرِضۡوَٰنٖ وَجَنَّٰتٖ لَّهُمۡ فِيهَا نَعِيمٞ مُّقِيمٌ ٢١ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًاۚ إِنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ ٢٢

"Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan f tari kemudian serta berjiliad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zhalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dijalan Allah dengan liarta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tulian mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripadaNya, keridhaan dan surga, memperoleh kesenangan yang kekal di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar." (At-Taubah: 19-22).


Source:
KUMPULAN FATWA IBNU TAIMIYAH
[Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar & Kekuasaan,Siyasah Syar’iyah dan Jihad Fi Sabilillah]
Penerjemah: Ahmad Syaikhu, S.Ag
Muraja’ah: Tim Pustaka DH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...