HUKUMAN
BAGI PEMINUM KHAMR
Oleh : Ibnu Taimiyah
Hukuman karena meminum
minuman keras, telah sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Ijma’ kaum muslimin. Ahlus Sunan
telah meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari berbagai jalan bahwa beliau bersabda,
مَنْ
شَرِبَ الْخِمْرَ فَاجْلِدُوْهُ ثُمَّ إِنْ شَرِبَ فَاجْلِدُوْهُ ثُمَّ إِنْ
شَرِبَ فَاجْلِدُوْهُ ثُمَّ إِنْ شَرِبَ الرَّبِعَةَ فَاقْتُلُوْهُ
"Barangsiapa yang minum
khamr maka deralah dia. Kemudian jika minum lagi maka deralah dia. Kemudian
jika minum lagi maka deralah dia. Kemudian jika minum lagi keempat kalinya maka
bunuhlah dia. "
[Abu Daud dalam al-Hudud, no. 4488]
Telah diriwayatkan dengan
shahih dari beliau bahwa beliau telah mendera pemabuk bukan sekali dua kali.
Demikian pula dilakukan oleh para khalifahnya dan kaum muslimin sesudahnya.
Hukuman bunuh, menurut kebanyakan
para ulama, telah dihapuskan (mansukh). Konon, ia masih berlaku (karena
ayat muhkam). Konon lagi, ia merupakan hukum ta'zir yang boleh dilakukan oleh seorang
imam saat dibutuhkan.
Diriwayatkan dengan shahih
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa
beliau telah memukul seseorang dengan pelepah kurma dan sandal sebanyak 40 kali
karena meminum khamar [Muslim
dalam al-Hudud, 1706/ 36, 37 dari Anas].
Abu Bakar radhiallahu ‘anhu telah
memukul sebanyak 40 kali. Umar radhiallahu ‘anhu saat menjabat khalifah memukul
sebanyak 80 kali. Sedangkan Ali radhiallahu ‘anhu memukul 40 kali pada suatu
saat, dan pada saat yang lainnya ia memukul sebanyak 80 kali. Sebagian ulama
ada yang berpendapat, wajib memukul sebanyak 80 kali. Sebagian lainnya ada yang
berpendapat bahwa yang wajib itu sebanyak 40 kali, sedangkan tambahannya boleh
dilakukan oleh seorang imam saat diperlukan, yaitu jika manusia banyak meminum khamr,
atau peminum tersebut tidak jera kecuali dengan penambahan tersebut dan
seterusnya.
Adapun jika para peminum itu
jarang dan perkara pemabuk tersebut mudah diatasi, maka cukup 40 kali. Ini
pendapat yang lebih tepat, dan inilah pendapat asy-Syafi'i dan Ahmad dalam
salah satu riwayat darinya.
Ketika mabuk-mabukan banyak
dilakukan, Umar menambah dalam hukuman tersebut berupa pengasingan dan
menggunduli kepala pemabuk guna lebih menjerakan. Seandainya peminum diasingkan,
setelah dicambuk 40 kali, supaya kebiasaannya hilang atau dilengserkan dari
jabatannya, maka itu adalah baik. Sebab Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu,
ketika mendengar berita bahwa sebagian pejabatnya membuat tamsil (permisalan)
dengan bait-bait mengenai khamr, maka ia memecatnya.
Khamr yang diharamkan Allah
dan Rasul-Nya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan supaya mendera
peminumnya, ialah setiap minuman yang memabukkan dari mana pun asalnya, baik
dari buahan, seperti anggur, kurma muda dan buah tin; biji-bijian, seperti biji
gandum, madu; maupun binatang, seperti susu kuda.
Bahkan ketika Allah subhanahu
wa ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam mengenai pengharaman khamr,
mereka di Madinah tidak memiliki khamr yang terbuat dari anggur sedikit pun,
karena di Madinah tidak ada pohon anggur. Kalaupun ada, anggur tersebut didatangkan
dari Syam. Minuman mereka pada umumnya berasal dari jus kurma yang
difermentasi. Telah diriwayatkan secara mutawatir sunnah dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para khalifahnya serta para
sahabatnya radhiallahu ‘anhum bahwa beliau telah mengharamkan segala yang
memabukkan dan beliau menjelaskan bahwa segala yang memabukkan itu adalah khamar.
Mereka biasa meminum jus yang
manis, yaitu buah kurma dan anggur kering yang dimasukkan dalam air. Jus dibuat
agar air menjadi terasa manis, terutama karena kebanyakan air Hijaz agak asin.
Jus ini halal menurut Ijma' kaum muslimin, karena tidak memabukkan. Demikian
pula dihalalkan minum Jus anggur sebelum menjadi memabukkan. Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah melarang mereka membuat Jus dalam bejana terbuat dari kayu atau
tembikar -yaitu bejana yang terbuat dari tanah liat, pohon labu, atau
tempat-tempat yang dicat dengan minyak ter- dan beliau menyuruh mereka membuat
jus pada wadah yang mulutnya diikat dengan tali; karena proses fermentasi dalam
Jus tersebut berjalan perlahan dan orang tidak menyadarinya. Adakalanya seseorang
meminum apa yang telah mengalami proses fermentasi, sedangkan ia tidak menyadarinya.
Jika tempayan kulit tersebut diikat dengan tali, maka tempat tersebut akan
pecah, apabila jus di dalamnya bergolak (karena proses fermentasi). Sehingga
manusia tidak jatuh dalam keharaman, sedangkan bejana-bejana tadi tidak akan
pecah.
Diriwayatkan dari Nabi bahwa
beliau setelah itu memberikan rukhshah (keringanan) perihal membuat jus dalam
bejana-bejana tersebut. Beliau bersabda,
كُنْتُ
نَهِيْتُكُمْ عَنِ الْإِنْتْبَاذِ فَانْتَبِذُوْل وَلَا تَشْرَبُوا الْمُسْكِرَ
"Dulu aku pernah
melarang kalian membuat jus dalam bejana-bejana, maka sekarang lakukanlah, dan
jangan kalian minum yang memabukkan.”
[An-Nasa'i dalam at-Kubra, 3/
226 (5146) dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya]
Kemudian para sahabat dan
para ulama sesudah mereka berselisih, sebagian mereka ada yang belum mendengar
informasi mengenai nasakh (penghapusan) itu, atau belum mengecek kebenaran
nasakh tersebut, maka mereka tetap melarang membuat Jus dalam bejana-bejana
itu. Sebagian mereka ada yang meyakini kebenarannya dan bahwa itu menghapuskan
(ketentuan sebelumnya). Karena itu, mereka memberikan keringanan membuat Jus dalam
bejana-bejana itu. Kemudian segolongan ahli fikih mendengar bahwa sebagian
sahabat pernah meminum jus lalu mereka meyakini bahwa itu memabukkan. Lalu
mereka memberikan keringanan untuk minum berbagai macam minuman yang bukan terbuat
dari anggur dan kurma. Mereka juga memberikan keringanan meminum jus kurma dan
anggur kering yang telah dimasak terlebih dahulu, apabila itu tidak memabukkan
orang yang meminumnya.
Yang benar ialah pendapat
jumhur umat Islam: bahwa setiap yang memabukkan itu adalah khamr, yang
peminumnya harus dihukum cambuk, meskipun ia hanya meminum satu tetes saja,
baik untuk berobat maupun selainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pernah
ditanya tentang khamr untuk berobat, maka beliau menjawab,
إِنَّهَا
دَاءٌ لَيْسَتْ بِدَوَاءٍ
"Khamr itu penyakit
bukan obat." [Muslim
dalam al-Asyhbah, 1984/ 12; Abu Daud dalam ath-Thibb, no. 3873]
إِنَّ
اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَ أُمَّتِيْ فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْهَا
"Dan sesungguhnya Allah
tidak menjadikan kesembuhan umatku dalam sesuatu yang diharamkanNya."
[Al-Bukhari secara
mu'allaq dalam al-Fath, 10/ 78; dan Abu Ya'la, 12/ 402.]
Hukuman wajib ditegakkan,
apabila bukti telah nyata atau peminum mengakui kesalahannya. Jika dari
mulutnya didapati bau khamr, atau ia terlihat muntah-muntah dan sejenisnya,
maka konon, ia tidak perlu dihukum, karena ada kemungkinan bahwa ia minum sesuatu
yang bukan khamr, meminumnya karena tidak mengetahuinya, atau karena dipaksa
dan sejenisnya. Konon lagi: ia harus didera, apabila ia mengetahui bahwa itu
memabukkan. Hal ini diriwayatkan dari para Khulafa'ur Rasyidin dan para sahabat
lainnya, seperti Utsman, Ali dan Ibnu Mas'ud. Inilah yang ditunjukkan oleh
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam nyakan nash-nashnya dan lainnya.
Dedaunan kering (hasyisy)
memabukkan yang terbuat dari daun ganja adalah haram juga, pemakainya harus
didera sebagaimana peminum khamr. Bahan ini lebih buruk daripada khamr karena dapat
merusak akal dan tabiat badan, sehingga membuat seseorang bertabiat
kebanci-bancian dan kerusakan lainnya. Dan khamr itu buruk karena dapat membawa
kepada permusuhan dan pembunuhan. Keduanya menghalangi manusia dari mengingat
Allah subhanahu wa ta’ala dan shalat.
Sebagian para ahli fikih muta'akhkhirin
(masa akhir) bersikap abstain mengenai ketentuan hukumnya. Ia berpendapat bahwa
pemakainya dijatuhi hukuman ta'zir bukan had. Mereka menyangka bahwa ia dapat
merubah akal dengan tanpa menggetarkan tubuhnya, seperti halnya narkotika. Kami
belum menemukan statemen para ulama mutaqaddimin (masa dahulu) mengenai
hal itu. Bukan demikian masalahnya, bahkan orang yang memakannya dapat mencium
baunya dan menginginkannya, sebagaimana minuman khamr, bahkan lebih, dan dapat
menghalangi mereka dari mengingat Allah dan shalat. Jika mereka terlalu banyak
memakannya, maka akan membawa kehancuran lainnya yaitu: berprilaku banci serta merusak
tabiat badan, akal dan seterusnya.
Tetapi karena barang yang
memabukkan ini padat dan berupa makanan, bukan minuman, maka para ahli fikih
berselisih mengenai kenajisannya pada tiga pendapat dalam madzhab Ahmad dan selainnya.
Konon, ia najis sebagaimana khamr yang diminum. Ini perbandingan yang benar.
Konon, tidak najis, karena kepadatannya. Konon, harus dibedakan antara masih
beku dan sudah mencair. Apapun keadaannya ia masuk dalam kategori yang
diharamkan oleh Allah dan RasulNya: yaitu khamr dan memabukkan, baik lafazh
maupun makna. Abu Musa al-Asy'ari radhiallahu ’anhu bertanya, "Wahai Rasulullah,
berilah fatwa kepada kami mengenai dua minuman yang biasa kami buat di Yaman.
Pertama, al-Bita' (arak) yaitu minuman terbuat dari madu yang difermentasi
sampai mengeras; kedua, al-Mizar (bir) yaitu minuman terbuat dari biji jagung
dan gandum yang difermentasi sampai mengeras." Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam yang telah diberi jawami' al-kalim (hadits yang djadikan kaidah
fikih) menjawab,
كُلُّ
مُسْكِرٍ حَرَامٌ
"Segala yang memabukkan
adalah haram." (Muttafaq alaih dalam Shahihain)
Dari an-Nu'man bin Basyir radhiallahu
’anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ
مِنَ الْحِنْطَةِ خَمْرًا وَمِنَ الشَّعِيْرِ خَمْرًا وَمِنَ الزَّبِيْبِ خَمْرًا
وَمِنَ التَّمْرِ خَمْرًا وَمِنَ الْعَسَلِ خَمْرًا وَأَنَا أَنْهَى كُلَّ
مُسْكِرٍ
"Sesungguhnya dari biji
gandum bisa menjadi khamr, dari kismis bisa menjadi khamr, dari kurma bisa
menjadi khamr, dari madu bisa menjadi khamr; dan aku melarang segala yang
memabukkan." (HR. Abu Daud
dan lainnya).
Tetapi redaksi ini dalam
shahihain berasal dari Umar secara mauauf, bahwa ia pernah berkhutbah di atas
mimbar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Katanya, "Khamr ialah
sesuatu yang dapat menutupi akal."
Dari Ibnu Umar radhiallahu ’anhu
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّ
مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
"Setiap yang memabukkan
adalah khamr dan setiap yang memabukkan adalah haram."
Dan dalam satu riwayat
lainnya,
كُلُّ
مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
"Setiap yang memabukkan
adalah khamr dan setiap khamr adalah haram."
Keduanya diriwayatkan Muslim
dalam shahihnya. [Muslim dalam al-Asyribah, 2003/ 73, 74]
Dari Aisyah radhiallahu ’anha,
ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّ
مُسْكِرٍ حَرَامٌ مَا أَسْكَرَ الْفِرَقُ مِنْهُ فَمِلْءُ الْكَفِّ مِنْهُ حَرَامٌ
"Setiap yang memabukkan
adalah haram. Apa yang memabukkan satu faraq darinya, maka sepenuh telapak
tangan pun haram."
(HR. at-Tirmidzi dalam al-Asyribah, no. 1866 dan
ia menilai sebagai hadits hasan).
Ahlus Sunan meriwayatkan dari
berbagai jalur bahwa beliau bersabda,
مَا
أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ
"Apakah memabukkan, baik
banyak maupun sedikit, adalah haram."
(Dishahihkan oleh al-Hafizh).
Dari Jabir radhiallahu ’anhu bahwa
seseorang bertanya kepada Rasulullah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang
minuman yang mereka minum di negeri mereka yang berasal dari jagung yang
disebut al-Mizr (bir). Beliau bertanya, "Apakah ia
memabukkan?"
أَمُسْكِرٌ
هُوَ؟
Ia menjawab, "Ya."
Maka beliau bersabda,
كُلُّ
مُسْكِرٍ حَرَامٌ، إِنَّ عَلَى اللهِ عَهْدًا لِمَنْ شَرِبَ الْمُسْكِرَ أَنْ
يَسْقِيَهُ مِنْ طِيْنَةِ الْخَبَالِ
"Setiap yang memabukkan
adalah haram. Sesungguhnya Allah berjanji, untuk orang yang minum sesuatu yang
memabukkan, akan memberinya minum dari Thinatul Khabal."
Mereka (para sahabat
bertanya), "Apakah Thinatul Khabal itu, wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab,
عَرَقَ
أَهْلِ النَّارِ أَوْ عُصَارَةُ أَهْلِ النَّارِ
"Peluh ahli neraka, atau
cairan ahli neraka." (HR. Muslim dalam al-Asyribah,
2002/ 72]
Dan dari Ibnu Abbas radhiallahu
’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
كُلُّ
مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَ كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
"Setiap yang memabukkan
adalah khamr, dan setiap yang memabukkan adalah haram." (HR. Abu Daud).
Hadits-hadits mengenai
masalah ini sangat banyak sekali, yang dirangkum oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dari wahyu yang diberikan kepadanya: yaitu semua yang dapat menutupi
akal dan memabukkan (adalah haram). Beliau tidak membedakan antara satu jenis
dengan jenis lainnya. Tidak ada pengaruhnya, apakah ia berupa makanan atau minuman.
Sebab khamr adakalanya dipadatkan, sedang hasyisyah (ganja) adakalanya
dicairkan dalam air dan diminum. Jadi segala khamr -baik diminum maupun
dimakan- dan hasyisyah -baik yang dimakan maupun diminum- semua itu
adalah haram. Para ulama mutaqaddimin tidak membicarakan mengenai hal ini
secara khusus, karena ia dikonsumsi pada masa belakangan belum lama ini, yaitu kurang
lebih pada akhir abad ke enam. Sebagaimana halnya telah dibuat berbagai minuman
me-mabukkan sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan semuanya masuk
dalam kata-kata ringkas dari al-Kitab dan as-Sunnah (yakni setiap yang
memabukkan adalah khamr dan setiap yang memabukkan adalah haram).
SANKSI KARENA MENUDUH BERZINA
Di antara hukuman yang ditentukan dalam al-Qur'an dan
as-Sunnah serta disepakati oleh umat Islam ialah Had al-Qadzaf (sanksi hukum
karena membuat tuduhan zina). Jika seseorang menuduh seorang Muhshan melakukan
zina atau Ihvath (homoseksual/ lesbian), maka ia wajib mendapatkan hukuman 80
kali dera. Yang dimaksud Muhshan di sini ialah orang merdeka (bukan sahaya)
lagi menjaga kesucian diri. Sedangkan dalam bab zina, yang dimaksud Muhshan ialah
orang yang telah bersetubuh secara sempurna dalam pernikahan yang sempurna.
Source:
KUMPULAN FATWA IBNU TAIMIYAH
[Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar & Kekuasaan, Siyasah Syar’iyah
dan Jihad Fi Sabilillah]
Penerjemah: Ahmad Syaikhu, S.Ag
Muraja’ah: Tim Pustaka DH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar