SYARAT
Diterimanya
IBADAH
Oleh: Ibnu Taimiyah
Manifestasi dalam hal ini
adalah bahwa memerintahkan kebajikan dan mencegah kemungkaran adalah amal yang
paling diwajibkan, paling utama dan paling baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لِيْبْلُوَكُمْ
أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“SUPAYA DIA MENGUJI KAMU,
SIAPA DI ANTARA KAMU YANG LEBIH BAIK AMALNYA.”
(Al-Mulk: 2).
Yaitu, sebagaimana kata
Fudhail bin Iyadh rahimahullah, “Yang
paling ikhlas dan yang paling benar,” adalah apabila amalan sudah dilaksanakan
dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka amalan tersebut tidak diterima hingga
dilakukan secara ikhlas dan benar. Amal yang ikhlas itu harus karena Allah, dan
amal yang benar itu harus mengikuti Sunnah. Amal shalih itu harus diniatkan
karena Allah ta’ala, Allah tidak menerima amalan kecuali yang diniatkan karena-Nya
semata.
Sebagaimana
dalam ash-Shahih dari Nabí beliau
bersabda,
يَقُولُ اللهُ
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ فَمَنْ عَمِلَ لِيْ عَمَلًا أَشْرَكَ
فِيْهِ غَيْرِي فَأَنَا مِنْهُ بَرِيْءٌ وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ
“Allah berfirman, ‘Aku adalah
yang tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa melakukan suatu amalah untuk-Ku
dengan menyekutukan kepada salain-Ku, maka Aku berlepas darinya. Dan amalan
tersebut untuk disekutukannya’.”
[Muslim dalam az-Zuhd, 2985/
46, dan Ibnu Majah dalam az-Zuhd, no. 4202.]
Inilah tauhid yang merupakan
prinsip Islam. Inilah agama Allah yang dengannya Dia mengutus semua Rasul-Nya,
dan karenanya Dia menciptakan makhluk-Nya. Inilah hak Allah atas hamba-hamba-Nya,
yaitu mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun Dan itu
harus disertai dengan amal shalih, yakni segala yang diperintahkan Allah dan
Rasul-Nya, yaitu ketaatan. Segala ketaatan adalah amal shalih, dan segala amal
shalih adalah ketaatan, yaitu amal yang disyariatkan lagi disunnahkan. Sebab
apa yang disyariatkan lagi disunnahkan adalah sesuatu yang diperintahkan. baik
bersifat wajib maupun anjuran, yaitu amal shalih, kebajikan (al-hasan),
kebaktian (al-birr) dan kebaikan (al-khair). Sedangkan lawannya
adalah kemaksiatan, amal yang merusak, keburukan, kenistaan dan kezhaliman.
Karena
amal harus berisi dua hal : Niat dan Gerakan (usaha) sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
أَصْدَقُ
الْأَسْمَاءِ حَارِثٌ وَ هَمَامٌ
“Nama yang pailng jujur adalah:
Harits (peladang) dan Hammam (orang yang yang berkemauan tinggi)”
[Abu Daud dalam al-Adab, no.
4905; dan As-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shaghir, 207]
maka masing—masing “Harits”
dan “Hamam” memiliki amal dan niat. Tetapi niat terpuji yang diterima oleh
Allah dan diberi pahala oleh-Nya ialah amal tersebut diniatkan karena Allah. Sedangkan
amal yang terpuji: amal yang shalih, ialah yang diperintahkan.
Karena
itu, Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata dalam doanya,
أَللَّهُمَّ
اجْعَلْ عِمَلِيْ كُلُّهُ صَالِحًا، وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا وَ لَا
تَجْعَلْ لِأَحَدٍ فِيْهِ شَيْئًا
“Ya Allah, jadikanlah amalku seluruhnya
shalih dan jadikanlah amal tersebut ikhlas karena wajah-Mu, dan jangan Kau
jadikan dalam amal tersebut untuk seseorang sedikitpun.”
Source:
KUMPULAN FATWA IBNU TAIMIYAH
[Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar &
Kekuasaan,Siyasah Syar’iyah dan Jihad Fi Sabilillah]
Penerjemah: Ahmad Syaikhu, S.Ag
Muraja’ah: Tim Pustaka DH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar