HUDUD
DAN HAK-HAK ADAMI
Oleh : Ibnu Taimiyah
Adapun hudud dan hak-hak yang
berlaku untuk manusia maka, diantaranya adalah, mengenai jiwa. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman,
قُلۡ
تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ
شَيۡٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗاۖ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُم مِّنۡ
إِمۡلَٰقٖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَإِيَّاهُمۡۖ وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا
ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَۖ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ
إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ١٥١ وَلَا
تَقۡرَبُواْ مَالَ ٱلۡيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ
أَشُدَّهُۥۚ وَأَوۡفُواْ ٱلۡكَيۡلَ وَٱلۡمِيزَانَ بِٱلۡقِسۡطِۖ لَا نُكَلِّفُ
نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۖ وَإِذَا قُلۡتُمۡ فَٱعۡدِلُواْ وَلَوۡ كَانَ ذَا
قُرۡبَىٰۖ وَبِعَهۡدِ ٱللَّهِ أَوۡفُواْۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ
تَذَكَّرُونَ ١٥٢ وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا
تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم
بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٥٣
"Katakanlah, 'Marilah
kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu
bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan
memberi rizki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang
diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). Dan janganlah
kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga
sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai kadar kesanggupannya.
Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia
adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan
Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah
jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan
(yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa." (Al-An'am: 151-153).
Dia berfirman,
"Dan tidak layak bagi
seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena salah (tidak
sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena salah/ tidak sengaja
(hendaklah) ia merdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah, jika ia (si terbunuh) dari kaum yang
memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan
hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada
perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya,
maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara
taubat kepada Allali. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan
barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah
Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta
menyediakan adzab yang besar baginya." (An-Nisa: 92-93).
Dia berfirman,
مِنۡ
أَجۡلِ ذَٰلِكَ كَتَبۡنَا عَلَىٰ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ
نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ
جَمِيعٗا وَمَنۡ أَحۡيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحۡيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعٗاۚ وَلَقَدۡ
جَآءَتۡهُمۡ رُسُلُنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرٗا مِّنۡهُم بَعۡدَ
ذَٰلِكَ فِي ٱلۡأَرۡضِ لَمُسۡرِفُونَ ٣٢
"Oleh karena itu Kami
tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya." (Al-Ma'idah: 32).
Dalam Shahihain dari Nabi shallallahu ‘alihi
wasallam bahwa beliau bersabda,
أَوّلُ
مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي الدِّمَاءِ
"Mula-mula yang
diputuskan di antara manusia pada Hari Kiamat ialah mengenai darah." [Al-Bukhari dalam ad-Diyat,
no. 6864; dan Muslim dalam al-Qasamah, 1678/ 28; keduanya berasal dari lbnu
Mas'ud]
>> Pembunuhan itu ada tiga macam:
Pertama, murni dan disengaja. Yaitu
pembunuh bersengaja menghabisi orang yang terpelihara darah dan jiwanya (dengan
Islam) dengan alat yang pada galibnya akan membuatnya mati, baik ia membunuh
dengan benda tajam, seperti pedang dan sejenisnya; dengan benda keras, seperti
besi dan alat pencelup; atau selain itu, seperti membakar, menenggelamkan,
menjatuhkan dari tempat yang tinggi, mencekik, memencet dua biji kemaluannya
hingga mati, menutup wajahnya sampai mati, memberi minum racun dan perbuatan
sejenisnya. Apabila ia melakukannya maka ia wajib menerima hukuman (qishas),
yaitu para wali korban pembunuhan menetapkan sanksi buat si pembunuh. Jika mau,
mereka boleh membunuhnya. Jika suka, mereka boleh memberi pengampunan. Jika
mau, mereka boleh mengambil diyat (denda). Mereka tidak boleh membunuh selain
pembunuhnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا
تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۗ وَمَن قُتِلَ
مَظۡلُومٗا فَقَدۡ جَعَلۡنَا لِوَلِيِّهِۦ سُلۡطَٰنٗا فَلَا يُسۡرِف فِّي ٱلۡقَتۡلِۖ
إِنَّهُۥ كَانَ مَنصُورٗا ٣٣
"Dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya
Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris
itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan."
(Al-Isra': 33).
Dinyatakan dalam tafsir,
"Tidak boleh membunuh selain pembunuhnya."
Diriwayatkan dari Abu Syuraih
al-Khuza'i radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan, "Rasulullah shallallahu
‘alihi wasallam bersabda,
مَنْ
أُصِيْبَ بِدَمٍ أَوْ خَبْلٍ – وَالْخَبْلُ الْجُرْحُ – فَهُوَ بِالْخِيَارِ
بَيْنَ إِحْدَى ثَلَاثٍ فَإِنْ أَرَادَ الرَّابِعَةَ فَخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَنْ
يَقْتُلَ أَوْ يَعْفُو أَوْ يَأْخُذَ الدِّيَّةَ فَمَنْ فَعَلَ شَيْئًا مِنْ
ذَلِكَ فَعَادَ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيْهَا أَبَدًا
“Barangsiapa yang mendapat
musibah pembunuhan atau luka, maka ia boleh memilih salah satu di antara tiga
perkara ini. Kemudian jika menghendaki yang keempatnya, maka tangkaplah dia,
yaitu: membunuh, memaafkan, atau mengambil diyat. Barangsiapa telah melakukan
sesuatu dari hal itu, lalu ia melampaui batas, maka baginya Neraka Jahanam yang
kekal di dalamnya selama-lamanya'.” (HR.
Ahlus Sunan, dan at-Tirmidzi menilainya sebagai hadits hasan shahih).
Barangsiapa (di antara ahli
waris korban) membunuh (menuntut qishasli) sesudah memberikan pengampunan atau
mengambil diyat, maka itu adalah dosa yang lebih besar daripada orang yang
pertama membunuh. Bahkan sebagian ulama mengatakan, "la wajib dibunuh
sebagai hukumannya, dan urusannya bukan diserahkan kepada para wali
korban." Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِصَاصُ فِي ٱلۡقَتۡلَىۖ ٱلۡحُرُّ بِٱلۡحُرِّ
وَٱلۡعَبۡدُ بِٱلۡعَبۡدِ وَٱلۡأُنثَىٰ بِٱلۡأُنثَىٰۚ فَمَنۡ عُفِيَ لَهُۥ مِنۡ
أَخِيهِ شَيۡءٞ فَٱتِّبَاعُۢ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيۡهِ بِإِحۡسَٰنٖۗ
ذَٰلِكَ تَخۡفِيفٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَرَحۡمَةٞۗ فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ بَعۡدَ ذَٰلِكَ
فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٞ ١٧٨وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ
لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٧٩
"Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengari orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan toanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang
diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik
(pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat
pedih. Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (Al-Baqarah: 178-179).
Para ulama berkata: Para wali
korban pembunuhan hatinya bergolak dengan kemarahan sehingga mereka lebih
mengutamakan membunuh si pembunuh dan para walinya. Adakalanya mereka juga
membunuh banyak sahabatnya, seperti ketua suku dan pemuka masyarakatnya. Si
pembunuhlah yang memulai perbuatan yang melampaui batas, sedangkan mereka melampaui
batas pula dalam menuntut balas. Sebagaimana yang dilakukan masyarakat
jahiliyah yang keluar dari syariat Islam pada masa-masa ini, baik dari kalangan
masyarat nomaden, masyarakat yang telah menetap, maupun yang lainnya.
Adakalanya mereka menganggap besar membunuh si pelaku pembunuhan karena ia
pembesar yang lebih mulia ketimbang si korban pembunuhan. Akibatnya, para wali
korban membunuh siapa saja yang dapat mereka lakukan dari para wali si
pembunuh. Adakalanya mereka mengadakan perjanjian dengan suatu kaum dan meminta
bantuan kepada mereka, dan mereka pun melakukan hal yang sama, sehingga hal itu
membawa bencana dan permusuhan yang sangat besar. Penyebab semua itu adalah
karena mereka keluar dari prinsip keadilan, yaitu hukum qishash dalam masalah
korban pembunuhan. Yang mana qishash itu mengatur persamaan dan keadilan dalam
hukum. Dan Dia mengabarkan bahwa dalam qisluish tersebut jaminan kelangsungan
hidup; karena qishash melindungi darah selain pembunuh dari para wali kedua
belah pihak.
Demikian juga, apabila orang
yang hendak membunuh itu menyadari bahwa ia akan dibunuh juga (jika membunuh),
maka ia tidak akan jadi membunuh. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiallahu ‘anhum dari
Nabi shallallahu ‘alihi wasallam, bahwa beliau bersabda,
الْمُؤْمِنُوْنَ
تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ، وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ، وَيَسْعَى
بِذِوَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ. أَلَا لَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ، وَلَا ذُوْ
عَهْدٍ بِعَهْدِهِ
"Orang yang beriman itu
satu sama lain setara darah mereka. Mereka adalah tangan bagi selainnya, dan
yang lebih sedikit perihalnya (kemampuannya) apabila memberikan jaminan kepada
mereka (orang kafir) maka tidak boleh dibunuh. Ingatlah bahwa seorang muslim
tidak dibunuh karena membunuh seorang kafir, dan tidak pula dibunuh orang yang
berada dalam perjanjian damai." (HR. Ahmad, Abu Daud dan lainnya dari Ahlus Sunan).
Rasulullah shallallahu
‘alihi wasallam menetapkan bahwa umat Islam mempunyai kesamaan dalam darah.
Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang Ajam (non Arab), tidak ada
kelebihan bagi suku Quraisy atau Hasyimi atas umat Islam selainnya, tidak ada
kelebihan orang merdeka asli atas mantan budak, dan tidak ada kelebihan orang
yang alim atau pemimpin atas orang yang bodoh atau rakyat.
Ini disepakati oleh seluruh
kaum muslimin, berbeda dengan yang dianut masyarakat jahiliah dan para pemimpin
Yahudi. Di dekat Madinah kota Nabi shallallahu ‘alihi wasallam terdapat
dua golongan Yahudi: Quraizhah dan Nadhir. Nadhir dilebihkan atas Quraizhah
dalam hal darah. Karena itu mereka bertahkim kepada Nabi shallallahu ‘alihi
wasallam mengenai hal itu dan mengenai sanksi zina. Sebab mereka telah
merubah sanksi zina, dari rajam menjadi penghitaman wajah. Mereka mengatakan,
"Jika beliau (Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam) memutuskan
perkara di antara kalian dengan hukum demikian, maka itu hujjah bagi kalian.
Jika tidak, berarti kalian telali meninggalkan hukum Taurat." Lalu Allah
menurunkan firmanNya,
“Hari Rasul, janganlah
hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan)
kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka:
"Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di
antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar
(berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain
yang belum pernah datang kepadamu; mereka merubah perkataan-perkataan (Taurat)
dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: "Jika diberikan ini (yang sudah
di rubah-rubah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi
yang bukan ini maka hati-hatilah". Barangsiapa yang Allah menghendaki
kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang
datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak
mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar
berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang
kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara
mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka
mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu
memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka
dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. Dan
bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai
Taurat yang didalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu
(dari putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman.
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan
cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang
Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim
mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara
kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah
kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu
menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir. Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At
Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak
itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
zalim.” (Al-Ma'idah:
41-45).
Kemudian Allah subhanahu wa
ta’ala, menjelaskan bahwa Dia menyamakan di antara jiwa mereka dan tidak
melebihkan sahi jiwa di atas yang lain, sebagaimana yang mereka lakukan, hingga
firmanNya,
“Dan Kami telah turunkan
kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu
kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab
yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah
kamu perselisihkan itu, dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika
mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka
disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia
adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki,
dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang
yang yakin.”
(Al-Ma'idah: 48-50).
Jadi Allah subhanahu wa
ta’ala memutuskan mengenai darah umat Islam, bahwa seluruhnya sama, berbeda
dengan yang dianut ahli penduduk jahiliyah.
Pada umumnya faktor hawa nafsu
yang terjadi di antara manusia, baik dalam masyarakat nomaden maupun masyarakat
yang telah menetap, ialah kezhaliman dan meninggalkan keadilan. Barangkali ada
dua golongan yang satu sama lain melakukan tindakan semena-mena, baik
menyangkut darah maupun harta, atau semena-mena terhadap mereka dengan
kebatilan dan tidak bertindak dengan adil. Sementara yang lainnya tidak hanya
sekedar menuntut haknya. Karena itu yang wajib menurut Kitabullah ialah
memutuskan perkara manusia, baik menyangkut darah, harta, maupun lainnya, dengan
keadilan yang diperintahkan Allah serta menghapuskan hukumjahiliyah yang dianut
kebanyakan manusia. Jika seorang penengah mendamaikan di antara kedua belah
pihak, maka hendaklah mendamaikannya dengan adil, sebagaimana firmanNya,
"Dan jika ada dua golongan
dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah
satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah),
maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin
adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu." (Al-Hujrat: 9-10).
Dan seyogyanya dimintakan
permaafan dari para wali korban pembunuhan; sebab itu lebih utama bagi mereka,
sebagaimana firmanNya,
وَكَتَبۡنَا
عَلَيۡهِمۡ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفۡسَ بِٱلنَّفۡسِ وَٱلۡعَيۡنَ بِٱلۡعَيۡنِ وَٱلۡأَنفَ
بِٱلۡأَنفِ وَٱلۡأُذُنَ بِٱلۡأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلۡجُرُوحَ قِصَاصٞۚ
فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٞ لَّهُۥۚ وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ
أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٤٥
"Dan luka-luka (pun) ada
qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya, maka melepaskan hak
itu (menjadi) penebus dosa baginya." (Al-Ma'idah: 45).
Anas radhiallahu ‘anhu
berkata, "Tidaklah diajukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alihi
wasallam suatu perkara yang menyangkut qishash, melainkan beliau
memerintahkan supaya memberikan permaafan mengenai hal itu." (HR. Daud dan
lainnya).
Muslim meriwayatkan dalam
Shahihnya dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia menuturkan, "Rasulullah shallallahu
‘alihi wasallam bersabda,
مَا
نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بَعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا،
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ الله
"Sedekah tidak
mengurangi harta, tidaklah seorang hamba -lantaran permaafan (yang diberikannya)-
melainkan Allah pasti menambahkan dengan kemuliaan, dan tidaklah seseorang
bertawadhu karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” [Muslim dalam al-Birr wa
ash-Shilah, 2588/ 69]
Pembahasan yang kami sebutkan
mengenai kesetaraan, ialah mengenai muslim yang merdeka dengan muslim yang
merdeka pula. Adapun dzimmi (non muslim yang berada dalam perlindungan
pemerintahan Islam), maka mayoritas ulama berpendapat bahwa ia tidak setara
(kufu') dengan muslim. Sebagaimana halnya "orang yang meminta jaminan
keamanan" yang datang dari negeri-negeri kafir sebagai utusan, pedagang
dan sejenisnya adalah tidak setara dengannya, menurut kesepakatan. Tapi
sebagian ulama ada yang berpendapat, "Bahkan ia setara dengannya."
Demikian pula perselisihan mengenai seorang merdeka dalam membunuh, apakah di qishash
karena membunuh hamba sahaya ataukah tidak.
Kedua, pembunuhan yang terjadi
karena kesalahan yang menyerupai kesengajaan. Nabi SU bersabda,
أَلَا
وَإِنَّ قَتِيْلَ الْخَطَأِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَانَ فِي السَّوْطِ وَ الْعَصَا
مِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ، أَرْبَعُوْنَ خَلَفَةً فِي بُطُوْنِهَا أَوْ لَا دَهُمَا
“Ketahuilah bahwa membunuh
secara keliru yang menyerupai kesengajaan yang dilakukan dengan cemeti dan
tongkat, harus membayar denda sebanyak seratus ekor unta; empat puluh ekor di
antaranya sedang bunting, di dalam perutnya terdapat anaknya.”
[Abu Daud dalam ad-Diyat,
4588; an-Nasa'i dalam al-Qasamah, no. 4791; keduanya dari Abdullah bin Amr]
Pembunuhan itu disebut
"menyerupai kesengajaan" karena pelakunya sengaja melakukan tindakan
permusuhan terhadap korban dengan pemukulan, tapi pukulan itu pada galibnya
tidak mematikan. Jadi ia sengaja melakukan tindakan permusuhan, tapi ia tidak
sengaja membunuh.
Ketiga, pembunuhan karena murni
kekeliruan dan yang semisal dengannya. Misalnya, seseorang sedang memanah
binatang buruan atau suatu sasaran, lalu panah itu mengenai orang lain tanpa
sepengetahviannya dan tanpa disengaja. Pembunuhan semacam ini tidak ada
sanksinya (ftfshash), hanya ia harus membayar denda dan kaffarat (tebusan). Di
sini terdapat berbagai permasalahan- permasalahan yang cukup banyak yang sudah
dikenal dalam kitab ulama dan di kalangan mereka.
Source:
KUMPULAN FATWA IBNU TAIMIYAH
[Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar & Kekuasaan, Siyasah Syar’iyah
dan Jihad Fi Sabilillah]
Penerjemah: Ahmad Syaikhu, S.Ag
Muraja’ah: Tim Pustaka DH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar