9/10/2019

HUDUD DAN HAK-HAK ADAMI - Ibnu Taimiyah


HUDUD DAN HAK-HAK ADAMI
Oleh : Ibnu Taimiyah

Adapun hudud dan hak-hak yang berlaku untuk manusia maka, diantaranya adalah, mengenai jiwa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗاۖ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُم مِّنۡ إِمۡلَٰقٖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَإِيَّاهُمۡۖ وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَۖ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ١٥١ وَلَا تَقۡرَبُواْ مَالَ ٱلۡيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ أَشُدَّهُۥۚ وَأَوۡفُواْ ٱلۡكَيۡلَ وَٱلۡمِيزَانَ بِٱلۡقِسۡطِۖ لَا نُكَلِّفُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۖ وَإِذَا قُلۡتُمۡ فَٱعۡدِلُواْ وَلَوۡ كَانَ ذَا قُرۡبَىٰۖ وَبِعَهۡدِ ٱللَّهِ أَوۡفُواْۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ ١٥٢ وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٥٣

"Katakanlah, 'Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai kadar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa." (Al-An'am: 151-153).

Dia berfirman,

"Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena salah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena salah/ tidak sengaja (hendaklah) ia merdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah, jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allali. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan adzab yang besar baginya." (An-Nisa: 92-93).

Dia berfirman,

مِنۡ أَجۡلِ ذَٰلِكَ كَتَبۡنَا عَلَىٰ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعٗا وَمَنۡ أَحۡيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحۡيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعٗاۚ وَلَقَدۡ جَآءَتۡهُمۡ رُسُلُنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرٗا مِّنۡهُم بَعۡدَ ذَٰلِكَ فِي ٱلۡأَرۡضِ لَمُسۡرِفُونَ ٣٢

"Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya." (Al-Ma'idah: 32).

Dalam Shahihain dari Nabi shallallahu ‘alihi wasallam bahwa beliau bersabda,

أَوّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي الدِّمَاءِ

"Mula-mula yang diputuskan di antara manusia pada Hari Kiamat ialah mengenai darah." [Al-Bukhari dalam ad-Diyat, no. 6864; dan Muslim dalam al-Qasamah, 1678/ 28; keduanya berasal dari lbnu Mas'ud]

>> Pembunuhan itu ada tiga macam:

Pertama, murni dan disengaja. Yaitu pembunuh bersengaja menghabisi orang yang terpelihara darah dan jiwanya (dengan Islam) dengan alat yang pada galibnya akan membuatnya mati, baik ia membunuh dengan benda tajam, seperti pedang dan sejenisnya; dengan benda keras, seperti besi dan alat pencelup; atau selain itu, seperti membakar, menenggelamkan, menjatuhkan dari tempat yang tinggi, mencekik, memencet dua biji kemaluannya hingga mati, menutup wajahnya sampai mati, memberi minum racun dan perbuatan sejenisnya. Apabila ia melakukannya maka ia wajib menerima hukuman (qishas), yaitu para wali korban pembunuhan menetapkan sanksi buat si pembunuh. Jika mau, mereka boleh membunuhnya. Jika suka, mereka boleh memberi pengampunan. Jika mau, mereka boleh mengambil diyat (denda). Mereka tidak boleh membunuh selain pembunuhnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۗ وَمَن قُتِلَ مَظۡلُومٗا فَقَدۡ جَعَلۡنَا لِوَلِيِّهِۦ سُلۡطَٰنٗا فَلَا يُسۡرِف فِّي ٱلۡقَتۡلِۖ إِنَّهُۥ كَانَ مَنصُورٗا ٣٣

"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan." (Al-Isra': 33).

Dinyatakan dalam tafsir, "Tidak boleh membunuh selain pembunuhnya."

Diriwayatkan dari Abu Syuraih al-Khuza'i radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan, "Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,

مَنْ أُصِيْبَ بِدَمٍ أَوْ خَبْلٍ – وَالْخَبْلُ الْجُرْحُ – فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ إِحْدَى ثَلَاثٍ فَإِنْ أَرَادَ الرَّابِعَةَ فَخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَنْ يَقْتُلَ أَوْ يَعْفُو أَوْ يَأْخُذَ الدِّيَّةَ فَمَنْ فَعَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَعَادَ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيْهَا أَبَدًا

“Barangsiapa yang mendapat musibah pembunuhan atau luka, maka ia boleh memilih salah satu di antara tiga perkara ini. Kemudian jika menghendaki yang keempatnya, maka tangkaplah dia, yaitu: membunuh, memaafkan, atau mengambil diyat. Barangsiapa telah melakukan sesuatu dari hal itu, lalu ia melampaui batas, maka baginya Neraka Jahanam yang kekal di dalamnya selama-lamanya'.” (HR. Ahlus Sunan, dan at-Tirmidzi menilainya sebagai hadits hasan shahih).

Barangsiapa (di antara ahli waris korban) membunuh (menuntut qishasli) sesudah memberikan pengampunan atau mengambil diyat, maka itu adalah dosa yang lebih besar daripada orang yang pertama membunuh. Bahkan sebagian ulama mengatakan, "la wajib dibunuh sebagai hukumannya, dan urusannya bukan diserahkan kepada para wali korban." Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِصَاصُ فِي ٱلۡقَتۡلَىۖ ٱلۡحُرُّ بِٱلۡحُرِّ وَٱلۡعَبۡدُ بِٱلۡعَبۡدِ وَٱلۡأُنثَىٰ بِٱلۡأُنثَىٰۚ فَمَنۡ عُفِيَ لَهُۥ مِنۡ أَخِيهِ شَيۡءٞ فَٱتِّبَاعُۢ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيۡهِ بِإِحۡسَٰنٖۗ ذَٰلِكَ تَخۡفِيفٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَرَحۡمَةٞۗ فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٞ ١٧٨وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٧٩

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengari orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan toanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (Al-Baqarah: 178-179).

Para ulama berkata: Para wali korban pembunuhan hatinya bergolak dengan kemarahan sehingga mereka lebih mengutamakan membunuh si pembunuh dan para walinya. Adakalanya mereka juga membunuh banyak sahabatnya, seperti ketua suku dan pemuka masyarakatnya. Si pembunuhlah yang memulai perbuatan yang melampaui batas, sedangkan mereka melampaui batas pula dalam menuntut balas. Sebagaimana yang dilakukan masyarakat jahiliyah yang keluar dari syariat Islam pada masa-masa ini, baik dari kalangan masyarat nomaden, masyarakat yang telah menetap, maupun yang lainnya. Adakalanya mereka menganggap besar membunuh si pelaku pembunuhan karena ia pembesar yang lebih mulia ketimbang si korban pembunuhan. Akibatnya, para wali korban membunuh siapa saja yang dapat mereka lakukan dari para wali si pembunuh. Adakalanya mereka mengadakan perjanjian dengan suatu kaum dan meminta bantuan kepada mereka, dan mereka pun melakukan hal yang sama, sehingga hal itu membawa bencana dan permusuhan yang sangat besar. Penyebab semua itu adalah karena mereka keluar dari prinsip keadilan, yaitu hukum qishash dalam masalah korban pembunuhan. Yang mana qishash itu mengatur persamaan dan keadilan dalam hukum. Dan Dia mengabarkan bahwa dalam qisluish tersebut jaminan kelangsungan hidup; karena qishash melindungi darah selain pembunuh dari para wali kedua belah pihak.

Demikian juga, apabila orang yang hendak membunuh itu menyadari bahwa ia akan dibunuh juga (jika membunuh), maka ia tidak akan jadi membunuh. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiallahu ‘anhum dari Nabi shallallahu ‘alihi wasallam, bahwa beliau bersabda,

الْمُؤْمِنُوْنَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ، وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ، وَيَسْعَى بِذِوَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ. أَلَا لَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ، وَلَا ذُوْ عَهْدٍ بِعَهْدِهِ

"Orang yang beriman itu satu sama lain setara darah mereka. Mereka adalah tangan bagi selainnya, dan yang lebih sedikit perihalnya (kemampuannya) apabila memberikan jaminan kepada mereka (orang kafir) maka tidak boleh dibunuh. Ingatlah bahwa seorang muslim tidak dibunuh karena membunuh seorang kafir, dan tidak pula dibunuh orang yang berada dalam perjanjian damai." (HR. Ahmad, Abu Daud dan lainnya dari Ahlus Sunan).

Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam menetapkan bahwa umat Islam mempunyai kesamaan dalam darah. Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang Ajam (non Arab), tidak ada kelebihan bagi suku Quraisy atau Hasyimi atas umat Islam selainnya, tidak ada kelebihan orang merdeka asli atas mantan budak, dan tidak ada kelebihan orang yang alim atau pemimpin atas orang yang bodoh atau rakyat.

Ini disepakati oleh seluruh kaum muslimin, berbeda dengan yang dianut masyarakat jahiliah dan para pemimpin Yahudi. Di dekat Madinah kota Nabi shallallahu ‘alihi wasallam terdapat dua golongan Yahudi: Quraizhah dan Nadhir. Nadhir dilebihkan atas Quraizhah dalam hal darah. Karena itu mereka bertahkim kepada Nabi shallallahu ‘alihi wasallam mengenai hal itu dan mengenai sanksi zina. Sebab mereka telah merubah sanksi zina, dari rajam menjadi penghitaman wajah. Mereka mengatakan, "Jika beliau (Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam) memutuskan perkara di antara kalian dengan hukum demikian, maka itu hujjah bagi kalian. Jika tidak, berarti kalian telali meninggalkan hukum Taurat." Lalu Allah menurunkan firmanNya,


“Hari Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: "Jika diberikan ini (yang sudah di rubah-rubah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini maka hati-hatilah". Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang didalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman. Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Al-Ma'idah: 41-45).

Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala, menjelaskan bahwa Dia menyamakan di antara jiwa mereka dan tidak melebihkan sahi jiwa di atas yang lain, sebagaimana yang mereka lakukan, hingga firmanNya,

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin.” (Al-Ma'idah: 48-50).

Jadi Allah subhanahu wa ta’ala memutuskan mengenai darah umat Islam, bahwa seluruhnya sama, berbeda dengan yang dianut ahli penduduk jahiliyah.

Pada umumnya faktor hawa nafsu yang terjadi di antara manusia, baik dalam masyarakat nomaden maupun masyarakat yang telah menetap, ialah kezhaliman dan meninggalkan keadilan. Barangkali ada dua golongan yang satu sama lain melakukan tindakan semena-mena, baik menyangkut darah maupun harta, atau semena-mena terhadap mereka dengan kebatilan dan tidak bertindak dengan adil. Sementara yang lainnya tidak hanya sekedar menuntut haknya. Karena itu yang wajib menurut Kitabullah ialah memutuskan perkara manusia, baik menyangkut darah, harta, maupun lainnya, dengan keadilan yang diperintahkan Allah serta menghapuskan hukumjahiliyah yang dianut kebanyakan manusia. Jika seorang penengah mendamaikan di antara kedua belah pihak, maka hendaklah mendamaikannya dengan adil, sebagaimana firmanNya,

"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu." (Al-Hujrat: 9-10).

Dan seyogyanya dimintakan permaafan dari para wali korban pembunuhan; sebab itu lebih utama bagi mereka, sebagaimana firmanNya,

وَكَتَبۡنَا عَلَيۡهِمۡ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفۡسَ بِٱلنَّفۡسِ وَٱلۡعَيۡنَ بِٱلۡعَيۡنِ وَٱلۡأَنفَ بِٱلۡأَنفِ وَٱلۡأُذُنَ بِٱلۡأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلۡجُرُوحَ قِصَاصٞۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٞ لَّهُۥۚ وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٤٥

"Dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya." (Al-Ma'idah: 45).

Anas radhiallahu ‘anhu berkata, "Tidaklah diajukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam suatu perkara yang menyangkut qishash, melainkan beliau memerintahkan supaya memberikan permaafan mengenai hal itu." (HR. Daud dan lainnya).

Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia menuturkan, "Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بَعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ الله

"Sedekah tidak mengurangi harta, tidaklah seorang hamba -lantaran permaafan (yang diberikannya)- melainkan Allah pasti menambahkan dengan kemuliaan, dan tidaklah seseorang bertawadhu karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” [Muslim dalam al-Birr wa ash-Shilah, 2588/ 69]

Pembahasan yang kami sebutkan mengenai kesetaraan, ialah mengenai muslim yang merdeka dengan muslim yang merdeka pula. Adapun dzimmi (non muslim yang berada dalam perlindungan pemerintahan Islam), maka mayoritas ulama berpendapat bahwa ia tidak setara (kufu') dengan muslim. Sebagaimana halnya "orang yang meminta jaminan keamanan" yang datang dari negeri-negeri kafir sebagai utusan, pedagang dan sejenisnya adalah tidak setara dengannya, menurut kesepakatan. Tapi sebagian ulama ada yang berpendapat, "Bahkan ia setara dengannya." Demikian pula perselisihan mengenai seorang merdeka dalam membunuh, apakah di qishash karena membunuh hamba sahaya ataukah tidak.

Kedua, pembunuhan yang terjadi karena kesalahan yang menyerupai kesengajaan. Nabi SU bersabda,

أَلَا وَإِنَّ قَتِيْلَ الْخَطَأِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَانَ فِي السَّوْطِ وَ الْعَصَا مِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ، أَرْبَعُوْنَ خَلَفَةً فِي بُطُوْنِهَا أَوْ لَا دَهُمَا

“Ketahuilah bahwa membunuh secara keliru yang menyerupai kesengajaan yang dilakukan dengan cemeti dan tongkat, harus membayar denda sebanyak seratus ekor unta; empat puluh ekor di antaranya sedang bunting, di dalam perutnya terdapat anaknya.”

[Abu Daud dalam ad-Diyat, 4588; an-Nasa'i dalam al-Qasamah, no. 4791; keduanya dari Abdullah bin Amr]

Pembunuhan itu disebut "menyerupai kesengajaan" karena pelakunya sengaja melakukan tindakan permusuhan terhadap korban dengan pemukulan, tapi pukulan itu pada galibnya tidak mematikan. Jadi ia sengaja melakukan tindakan permusuhan, tapi ia tidak sengaja membunuh.

Ketiga, pembunuhan karena murni kekeliruan dan yang semisal dengannya. Misalnya, seseorang sedang memanah binatang buruan atau suatu sasaran, lalu panah itu mengenai orang lain tanpa sepengetahviannya dan tanpa disengaja. Pembunuhan semacam ini tidak ada sanksinya (ftfshash), hanya ia harus membayar denda dan kaffarat (tebusan). Di sini terdapat berbagai permasalahan- permasalahan yang cukup banyak yang sudah dikenal dalam kitab ulama dan di kalangan mereka.

Source:
KUMPULAN FATWA IBNU TAIMIYAH
[Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar & Kekuasaan, Siyasah Syar’iyah dan Jihad Fi Sabilillah]
Penerjemah: Ahmad Syaikhu, S.Ag
Muraja’ah: Tim Pustaka DH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...