9/03/2019

INILAH JALAN PARA ROSUL - Syaih Abu Mush'ab Az Zarqowi


INILAH JALAN PARA ROSUL
Oleh: SYAIKH ABU MUSH‘AB AL-ZARQOWI RAHIMAHULLOH


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنْ الرَّحِيْمِ

“Alif Lam Mim, Apakah manusia mengira akan dibiarkan begitu saja mengatakan: “Kami beriman,” sementara mereka tidak diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, dan Alloh akan benar-benar tahu siapakah orang-orang yang benar dan siapakah orang-orang yang dusta.”
(QS. Al-Ankabut: 1 – 2)


Segala puji bagi Alloh, yang memuliakan Islam dan pertolongan-Nya. Yang menghinakan kesyirikan dengan kekuatan-Nya. Mengatur semua urusan dengan perintah-Nya. Mengulur batas waktu bagi orang-orang kafir dengan makar-Nya. Yang mempergilirkan hari-hari bagi manusia dengan keadilan-Nya, dan menjadikan hasil akhir sebagai milik orang-orang bertakwa dengan keutamaan-Nya.

Sholawat dan salam terhatur selalu kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia yang dengan pedangnya Alloh subhanahu wa ta’ala tinggikan menara Islam.

Amma Ba‘du…

Inilah pelajaran baru yang kukirimkan kepada kalian melalui beberapa untai kata pilihan. Inilah desahan hati yang kuhempaskan dari lubuk hatiku dan rusuk lambungku yang paling dalam. Dari tentara yang berdiri tegak di atas beban-beban berat peperangan dan dentuman-dentuman dahsyat huru-hara Dari Abu Mush‘ab Al-Zarqawi, Untuk siapa saja yang masih memiliki waktu dan harga diri yang menyaksikannya…

Hari ini, luka-luka memprihatinkan yang diderita umat ini masih terus membuatku gundah. Orang-orang terluka dari umat ini terus meninggalkanku satu demi satu. Sebuah umat yang dulu memiliki kebesaran, kemuliaan, dan kehormatan. Tangan-tangan pengkhianat mencabik-cabik tubuhnya dengan berbagai bentuk kejahatan yang
menghinakan; umat ini dipaksa beralaskan selimut kerendahan dan kehinaan, dipaksa mereguk air dari sloki-sloki pemaksaan dan pengkhianatan. Sementara ia tak mampu berdiri untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, tidak mampu mewujudkan mimpi dan cita-citanya.

Penyakit itu sedikit demi sedikit menyebar ke sendi-sendi tubuh, setelah itu ia terkapar ke tanah dan tulang-tulangnya bertumpuk membangun sebuah pasak, serigala-serigala dan berbagai makhluk buas segera mengeroyoknya, sambungan-sambungan tulangnyapun tercacah-cacah, menyangkut pada paruh tajam dan taring-taring hewan-hewan itu.

Itulah gambaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud dari Tsauban radhiallahu ’anhu, ia berkata, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hampir tiba masanya bangsa-bangsa dari berbagai penjuru mengeroyok kalian seperti orang-orang yang makan mengeroyok nampannya.” Para shahabat bertanya, “Apakah karena jumlah kita sedikit waktu itu, wahai Rosululloh?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian banyak ketika itu. Akan tetapi kalian adalah buih seperti buih air. Rasa takut musuh terhadap kalian dicabut dari dada mereka, dan ditimbulkan penyakit wahn pada hati-hati kalian.” Para shahabat bertanya lagi, “Apakah wahn itu wahai Rosululloh?” Beliau bersabda, “Cinta hidup dan tidak menyukai kematian.”

Dalam riwayat Imam Ahmad: “Ketidak-sukaan kalian untuk berperang.”

Kepada semua umat Islam, sadarilah…bala ujian adalah sejarah dan kisah panjang sejak diturunkannya kalimat La ilaha illalloh ke muka bumi. Para nabi dan orang-orang yang jujur imannya silih berganti menerima bala ujian. Demikian juga dengan para pemimpin yang memegang tauhid.

Oleh karena itu, siapa saja yang meniatkan dirinya secara tulus untuk memikul kalimat La ilaha illalloh dan membela serta ingin menegakkannya di muka bumi, ia harus mau menebus status mulia ini dengan menanggung beban-beban berat, baik itu kelelahan, keletihan, dan bala.

Lihat, di manakah posisi Anda? Jalan ini adalah jalan yang Nabi Adam ‘alaihis salam harus menanggung kelelahan dalam menempuhnya. Karena jalan ini pula, Nabi Nuh ‘alaihis salam mengisi hidupnya penuh derai air mata. Disebabkan jalan ini Al-Kholil (kekasih Alloh) Ibrohim ‘alaihis salam dilempar ke dalam api. Nabi Ismail harus rela diterlentangkan untuk disembelih. Nabi Yusuf rela dijual sebagai budak dengan harga murah, dan mendekam di penjara bertahun-tahun. Nabi Zakariya digergaji tubuhnya. Nabi Yahya disembelih. Nabi Ayyub bergelut melawan penyakit. Nabi Dawud menangis melebihi kebiasaan manusia biasa. Nabi Isa dipaksa hidup dalam keterasingan. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri harus hidup akrab dengan kemiskinan dan berbagai intimidasi. Sementara engkau bersenang-senang dalam kelalaian dan senda gurau!!

Alloh subhanahu wa ta’ala menguji sebagian makhluk dengan makhluk yang lain, menguji orang beriman dengan orang kafir, sebagaimana menguji orang kafir dengan orang beriman. Ujian bala seperti ini adalah bagian yang menjadi jatah bersama bagi semua manusia; “Maha Suci Alloh Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk [67]: 1- 2)

Imam Muslim meriwayatkan dari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam hadits qudsi yang beliau riwayatkan dari robbnya subhanahu wa ta’ala, “Sesungguhnya Aku mengutusmu, wahai Muhammad, untuk menguji dirimu dan menguji manusia denganmu.”

Yang kita ketahui dari Al-Quran dan Sunnah, di antara para nabi itu ada yang dibunuh dan dicincang tubuhnya oleh musuh, seperti Nabi Yahya. Ada juga yang hampir dibunuh oleh musuhnya lalu pergi menyelamatkan diri seperti Nabi Ibrohim, beliau kemudian berhijrah ke negeri Syam. Demikian juga Nabi Isa, karena akan dibunuh maka beliau diangkat oleh Alloh ke langit.

Orang-orang beriman terdahulupun, kita saksikan ada yang disiksa dengan siksaan yang keji. Ada yang dilemparkan ke parit-parit api. Ada yang menemui kesyahidan. Ada yang hidup di bawah kesusahan, kekerasan, dan penindasan. Maka, jika kita hanya melihat sisi ini saja, seolah-olah di manakah janji Alloh bahwa Dia akan memenangkan mereka di dunia, padahal mereka ada yang diusir, dibunuh, dan disiksa?!!

Ditimpakannya bala adalah takdir Alloh untuk semua makhluk-Nya. Yang membedakan adalah, untuk orang-orang pilihan, ujian itu akan semakin keras dan berlipat-lipat dari orang biasa. Sebab mereka ini adalah orang-orang yang diperhatikan Alloh. Khususnya para mujahidin, wajib dan tidak bisa tidak, mereka harus mengenyam pendidikan di madrasah bala’. Mereka harus menerima pelajaran-pelajaran berupa penyaringan, pembersihan dan penggemblengan jiwa.

Dalam Shohih Bukhori Muslim diriwayatkan dari Sa‘ad bin Abi Waqqos radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Aku berkata, “Wahai Rosululloh, siapakah manusia yang paling dahsyat ujiannya?” Rosululloh bersabda, “Para nabi, setelah itu orang-orang sholeh, setelah itu yang berikutnya dan berikutnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya. Jika agamanya kuat, bala-nya pun bertambah. Jika kadar agamanya tipis, balanya diringankan. Dan orang beriman akan terus ditimpa bala sampai ia berjalan di muka bumi tanpa sedikitpun ada kesalahan pada dirinya.”

Baihaqi meriwayatkan dalam Syu‘abul Iman, Thobroni dalam Al-Mu‘jam Al-Kabir, dan Ibnu Sa‘d dalam At-Thobaqot, dari ‘Abdullôh bin Iyas bin Abi Fathimah dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: Aku duduk di samping Rosululloh, tiba-tiba Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang senang dirinya sehat dan tidak sakit?” Tentu saja kami katakan, “Kami ya Rosululloh,” Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan, “Mengapa demikian?” Dari raut mukanya, nampaknya beliau kurang setuju.
Beliau bersabda lagi, “Sukakah kalian seperti keledai yang kuat?” “Tentu tidak ya Rosululloh,” jawab kami. Beliau bersabda, “Tidak sukakah kalian menjadi orang-orang yang tertimpa bala tetapi dosa-dosanya dihapus?” Kami mengatakan, “Mau ya Rosululloh,” Maka Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, “Demi Alloh, sesungguhnya Alloh benar-benar menimpakan bala’ kepada orang mukmin, Alloh tidak menimpakan bala kepadanya selain untuk memuliakannya. Dan sungguh ia memiliki kedudukan yang tidak bisa ia gapai dengan amal apapun yang ia miliki, selain dengan ditimpakannya bala.”

Tirmizî meriwayatkan dari Jâbir radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh, orang-orang yang hidup sejahtera di dunia berangan-angan seandainya kulit mereka dipotong-potong dengan gunting, lantaran melihat besarnya pahala orang-orang yang di dunia ditimpa bala.”

Masih dalam hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Di hari kiamat nanti, didatangkan orang yang paling bahagia di dunia, lalu Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman: “Celupkan ia sekali celup ke dalam neraka!” Begitu selesai, Alloh berfirman: “Hai anak Adam, pernahkah engkau mengecap kenikmatan? Pernahkah engkau merasa senang? Pernahkah engkau merasa bahagia?” Ia menjawab, “Sama sekali belum, demi kemuliaan-Mu!” Lalu Alloh berfirman: “Masukkan kembali ia ke neraka.”
Kemudian didatangkan orang tersengsara ketika di dunia, Alloh Tabaroka wa Ta‘ala berfirman: “Celupkan ia sekali celup ke dalam surga,” Setelah itu ia dipanggil, Alloh berfirman kepadanya: “Hai anak Adam, pernahkan engkau melihat sesuatu yang tidak engkau sukai?” Ia menjawab, “Demi kemuliaan-Mu, hamba belum pernah melihat hal yang tidak hamba sukai.”

Syaqiq Al-Balkhi berkata, “SIAPA MENYAKSIKAN PAHALA KESUSAHAN, TIDAK AKAN INGIN KELUAR DARI KESUSAHAN.” Sesungguhnya Alloh subahanahu wa ta’ala mensyariatkan jihad dalam rangka melengkapkan syariat-syariat agama, dan mengangkat tingkatan jihad sedemikian tinggi sehingga ia merupakan puncak dari semua beban tugas dari Alloh.

Alloh menjadikan dalam jihad ada kesusahan dan bala yang tidak disenangi oleh jiwa, dan secara manusiawi menakutkan. Tetapi dibalik itu, Alloh menjadikan jiwa senang terhadap jihad, dan menjadikannya sebagai pendekat kepada indahnya permata iman dan mutiara tauhid yang masih terpendam. Sehingga, tidak ada yang mau menjalaninya selain orang yang jujur imannya dan kuat hidayahnya; “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Alloh, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurôt [49]: 15)

Jihad pada hakikatnya adalah membersihkan dan memurnikan jiwa hanya untuk robb dan pencipta jiwa tersebut, dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan menjemput janji-janji-Nya. Pembersihan dan pemurnian jiwa ini tidak akan tercapai kecuali kalau jalan yang ditempuh tersebut harus dipenuhi dengan berbagai kengerian dan ujian. Makanya, Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:

“…apabila Alloh menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. Dan orang-orang yang gugur pada jalan Alloh, Alloh tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Alloh akan memberi pimpinan kepada mereka dan memperbaiki keadaan mereka. dan memasukkan mereka ke dalam surga yang telah diperkenalkan-Nya kepada mereka.” (QS. Muhammad [47]:6)

“…seandainya Alloh menghendaki, tentu mereka tidak saling perang, akan tetapi Alloh melakukan apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 253)

Mengenai ayat ini, Ibnu Katsîr berkata, “Artinya, pasti akan ada yang namanya ujian, yang dengan itu nampaklah siapa wali Alloh. Dengan ujian itu pula musuh-Nya akan terhinakan. Akan diketahui mana yang mukmin dan bersabar, serta mana yang munafik dan jahat. Ayat ini ditujukan tentang peristiwa perang Uhud, ketika Alloh menguji kaum mukminin. Di sanalah tampak keimanan, kesabaran, dan kekokohan mereka, serta keteguhan untuk mentaati Alloh dan rosul-Nya. Dengan kejadian ini pula, tabir kaum munafik tersingkap, dan ketahuan bagaimana mereka sebenarnya menentang dan tidak suka berjihad, kelihatan sudah bagaimana pengkhianatan mereka kepada kepada Alloh dan rosul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Wahai hamba-hamba Alloh…
Renungkanlah firman Alloh subhanahu wa ta’ala:

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Alloh dengan berada di tepi; jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat…” (QS. Al-Hajj [22]:11)

Al-Baghowî meriwayatkan dalam tafsirnya, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, “Ada seorang lelaki badui yang beriman kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika setelah masuk Islam dia mendapatkan anak dan banyak keturunan serta harta, ia berkata: “Ini adalah agama yang bagus,” lantas ia pun beriman dan teguh beriman. Tetapi ketika ia tidak mendapatkan anak, kuda piaraan dan hartanya tidak berkembang, dan tertimpa paceklik, ia berkata: “Ini adalah agama yang jelek,” setelah itu ia keluar dari agama Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam dan berbalik kafir serta menentang Islam.”

Sayyid Quthb rahimahullah berkata, “Jiwa-jiwa kita pasti menerima penempaan berupa bala’. Sejauh mana tekad kita untuk berperang membela yang benar, pasti sejauh itu pula akan diuji dengan ketakutan-ketakutan, suasana-suasana mencekam, kelaparan, kurangnya harta dan nyawa serta buah-buahan. Ujian seperti ini harus dijalani, supaya orang-orang yang mengaku beriman kelak mampu melaksanakan tugas-tugas akidah, sehingga akidah itu benar-benar tertancap kuat dalam diri mereka sebanding dengan beban yang harus ia emban, yang dengan itu mereka tidak akan lagi bisa melepaskan akidah tersebut begitu berbentur dengan musibah pertama.
Jadi, beban-beban di sini adalah harga mahal yang harus dibayar untuk memperkuat akidah dalam diri pemiliknya sebelum ia sendiri menguatkan akidah tersebut dalam jiwa orang lain. Dan setiap kali mereka merasakan kepedihan di atas jalan tersebut, setiap kali mereka berkorban demi akidah tersebut, akan semakin kuat akidah tersebut menancap dalam diri mereka dan mereka menjadi manusia yang paling berhak menyandangnya. Lagipula, orang lain tidak akan faham sebesar apa nilai akidah tersebut, sebelum ia menyaksikan bagaimana para penyandangnya ditimpa bala’ kemudian mereka bersabar menanggungnya. Bala’ juga harus ada dalam rangka mempersolid dan memperkuat pegangan para pemilik akidah.
Jadi, memang peristiwa-peristiwa dahsyat datang, tetapi di dalamnya mengandung kekuatan dan energi, akan membuka jendela-jendela dan saluran-saluran dalam hati, yang semua itu tidak akan diketahui seorang mukmin selain dengan terjun dalam berbagai peristiwa mencekam.” Demikian perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.

Imam Syafi‘i rahimahullah pernah ditanya: “Mana yang lebih baik bagi orang beriman: diuji ataukah diberi kekuasaan (tamkin)?” Beliau menjawab, “Kamu ini bagaimana, engkau kira dia akan diberi kekuasaan sebelum diuji?”

Dan dari Sufwan bin ‘Amru ia berkata, Aku menjadi gubernur di Himsh, suatu ketika aku berjumpa dengan seorang kakek tua yang alisnya sudah berjuntai ke mata, ia adalah salah seorang penduduk Damaskus. Ketika sedang mengendarai hewan tunggangannya karena ingin berangkat perang, kukatakan kepadanya: “Wahai paman, Alloh telah memberimu udzur,” Maka kakek itu menyingkap kedua alisnya lalu berkata, “Wahai keponakanku, Alloh telah memerintahkan kita berperang, baik dalam keadaan ringan ataupun berat.”

Sungguh, orang yang dicintai Alloh, pasti Dia uji:

Sabarlah menghadapi kengerian berhari-hari, kelak akan tampak hasilnya,
Sabar hanya dimiliki orang-orang yang mulia
Sebentar lagi Alloh kan bukakan setelah kesabaran itu
Ketenangan-ketenangan setelah kelelahan untuk orang sabar sepertimu

Sayyid Quthb rahimahullah berkata, “Sesungguhnya iman bukan sekedar kata-kata yang diucapkan. Iman adalah kenyataan yang penuh beban berat, amanah yang melelahkan, jihad yang membutuhkan kesabaran, kesungguhan yang menuntut daya tahan menanggung beban. Tidak cukup orang mengatakan, “Kami beriman,” lantas mereka dibiarkan begitu saja melontarkan pengakuan ini; sebelum ia menghadapi ujian lalu ia teguh menghadapinya. Setelah itu, barulah ia keluar dalam keadaan steril unsur-unsur dalam jiwanya, dan bersih hatinya. Sama seperti api yang membakar emas untuk memisahkan unsur-unsur tak berguna yang terikut di sana. Dan inilah asal kata iman dari sisi bahasa. Lain lagi dengan makna, cakupan dan petunjuknya. Fitnah ujian juga diberikan kepada hati.

Ujian terhadap iman adalah perkara baku dan sunnah yang pasti berjalan di dalam timbangan Alloh subhanahu wa ta’ala,

“Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, dan kelak Alloh akan tahu siapakah orang-orang yang jujur dan orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut [29]: 3)

Iman juga merupakan amanah Alloh di muka bumi, tidak ada yang sanggup memikulnya selain orang yang memang layak memikulnya, dan kuat mengangkatnya, dalam hatinya ada keikhlasan untuk itu. Ia hanya sanggup dipikul oleh orang-orang yang lebih mengutamakannya daripada kehidupan serba santai, nyaman, aman, sejahtera, harta benda dunia dan kemewahan. Sungguh iman adalah amanah, amanah untuk menegakkan khilafah di muka bumi, membimbing manusia kepada jalan Alloh, serta merealisasikan kalimat-Nya dalam kehidupan nyata.

Maka, iman adalah amanah yang mulia sekaligus berat, ia berasal dari perintah Alloh yang dengannya manusia terlihat wujud aslinya. Oleh karenanya, amanah ini memerlukan tempat khusus, yang mampu bersabar ketika ada ujian.” Demikian perkataan beliau rahimahullah.

Maka, kelompok yang menempuh jalan jihad (dalam arti perang) di jalan Alloh, haruslah menyadari tabiat pertempuran dan tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi guna mencapai target-targetnya. Mereka mesti menyadari tabiat jalan yang harus ditempuhnya, yang konsekwensinya adalah tertumpahnya darah pengikut-pengikutnya yang sholeh. Kelompok ini harus menyadari bahwa jalan ini mengandung resiko hilangnya orang-orang yang dicintai dan teman dekat, harus meninggalkan para kekasih dan tanah air. Sama seperti ketika para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam -yang merupakan makhluk terbaik setelah para nabi- menanggung pahitnya berhijrah, kehilangan harta, keluarga, dan tempat tinggal. Semuanya adalah dijalani di atas jalan Alloh. Lantas di manakah posisi kita dari mereka?

Tidak ada pilihan bagi kelompok ini selain bersabar untuk terus melanjutkan perjalanan di atas jalan yang ia tempuh, dan berharap pahala di sisi Alloh yang barangkali ada ketika ia kehilangan sebagian komandan atau anggotanya. Kelompok ini harus tetap berjalan di atas jalannya, dan menyadari bahwa ini adalah sunnatulloh ta’ala, dan bahwa Alloh pasti memilih hamba-hamba-Nya yang sholeh dari umat ini. Ia tidak boleh tergesa-gesa memohon kemenangan, sebab bagaimanapun janji Alloh akan datang juga, pasti itu.

Seorang muslim harus mengerti, bahwa mengikuti kebenaran dan bersabar di atasnya adalah jalan tersingkat untuk meraih kemenangan, walaupun jalan tersebut panjang, banyak rintangannya, dan sedikit yang mau menempuhnya. Sebaliknya, melenceng dari kebenaran tidak akan mendatangkan apa pun selain kehinaan, walaupun nampaknya jalan itu mudah, dan para penempuhnya mengira kemenangan dekat. Sesungguhnya itu tak lain adalah fatamorgana.

Alloh subahanahu wa ta’ala berfirman:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوهُ وَ لَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

“Dan bahwasanya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan itu. Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain, sehingga kalian akan bercerai berai dari jalan-Nya. Yang demikian itu diwasiatkan kepada kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An‘âm [6]: 153)

Itulah jihad, buah dan hasilnya datang setelah kesabaran panjang, tinggal dalam waktu lama untuk menunggu datangnya musuh, dan bersabar menghadapi kejahatan-kejahatan mereka selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Jika engkau belum pernah merasakan kepedihan-kepedihan seperti ini, Alloh tidak akan pernah membukakan pintu kemenangan untukmu, sebab kemenangan itu bersama kesabaran.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kepemimpinan dalam dien hanya diraih dengan sabar dan yakin.”

Sesungguhnya, pemahaman-pemahaman tentang kebenaran, kejujuran akidah dan tauhid, hanya akan menjadi bahan mainan di kalangan manusia, tidak ada nilai ruhnya, kecuali jika ia dibawa oleh manusia-manusia jujur dan bersabar menanggung beban-beban berat serta berbagai rintangan di atas jalan tersebut; yang menganggap siksaan sebagai hal biasa, menganggap kepayahan sebagai sesuatu yang manis, dan tidak rela selain kematian demi menghidupkan pemahaman-pemahaman ini di dalam dunia nyata, secara praktek yang riil. Pemahaman akidah tidak seperti dibayangkan sebagian orang, yang mereka menghias-hiasnya dalam baris-baris teori falsafah dan khutbah-khutbah memukau, yang jauh dari ruh pengamalan, kejujuran, dan pelaksanaan nyata.

Dan sungguh, Islam hari ini sangat-sangat membutuhkan para “lelaki” yang jujur lagi memiliki kesabaran, yang selalu bersikap serius, menganggap kecapekan sebagai kelezatan, dan merasa nikmat dengan kepayahan. Kemudian mereka terjemahkan tuntutan-tuntutan setiap tahapan Islam dengan tidak banyak bicara… Para lelaki yang berjiwa jujur, memiliki semangat tinggi, serta tekad yang kuat, yang dalam menerima perintah tidak kenal kata lelah atau jenuh, dan tidak membuang cita-citanya hanya dalam perdebatan dan adu argument saja.

Dulu dikatakan kata-kata bijak:
Segeralah bangkit untuk bekerja keras dan bersabarlah
Menanghadapi rintangan-rintangan dan ketidak indahan di atas jalan

Dulu dikatakan kata-kata bijak:
Akan lemahlah orang yang tidak menyiapkan kesabaran dalam menghadapi setiap bala’
Atau tidak menyiapkan kesyukuran ketika mendapat kenikmatan
Dan tidak mengerti, bahwa dalam kesusahan ada kemudahan
Celakalah diriku, dan mengapa semangat kita tidak terpacu
Menyambut surga dan mendampingi orang-orang yang kembali kepada Alloh
Menyambut bidadari-bidadari montok dan bermata jeli
Di bawah naungan pohon Thuba teriring nyanyian merdu yang berhembus
Menuju lentera-lentera emas bercahaya yang digantungkan pada ‘Arsy robbku
Yang disediakan bagi mereka yang terbunuh di jalan-Nya

Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَا يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيْرَةً وَلَا كَبِيْرَةً وَلَا يَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللهُ أَحْسَنَ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan tidaklah mereka menafkahkan nafkah yang kecil maupun besar, dan tidak pula mereka memotong suatu lembah, kecuali ditulis pahala bagi mereka, agar Alloh memberikan balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. At-Taubah [9]: 121)

Thobari meriwayatkan dari Qotadah, ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata:  “Tidaklah suatu kaum semakin jauh dari keluarganya karena menempuh jalan Alloh, melainkan akan menambah kedekatannya kepada Alloh.”

Maka hanya milik Alloh lah segala urusan, sebelum dan sesudahnya. Kita ini tak lebih sekedar sebagai hamba-Nya, kita hanya berusaha bagaimana merealisasikan ‘ubudiyyah (ibadah) kepada-Nya. Dan di antara bentuk kesempurnaan ubudiyyah adalah: ketika kita tahu dan meyakini dengan seyakin-yakinnya, bahwa janji Alloh pasti datang dan tidak mungkin tidak. Akan tetapi, kita tidak mengetahui kapan janji ini datang, karena ada hikmah yang diketahui Alloh. Bisa saja kemenangan tertunda, sebagai sebuah bentuk ujian dan cobaan. Mahabenar Alloh, yang telah berfirman:

وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Dan adalah menjadi kewajiban Kami menolong orang-orang beriman.” (QS. Ar-Rum: 47)

Alloh subhanahu wa ta’ala telah menjanjikan akan memberikan kekuasaan (tamkîn) bagi orang-orang yang bersabar. Alloh telah kabarkan juga, bahwa kemenangan, kekuatan, dan kekuasaan yang dicapai oleh umat-umat terdahulu di muka bumi, semuanya karena seluruh kesabaran dan tawakkal mereka kepada-Nya. Sebagaimana firman Alloh subhanahu wa ta’ala:

“Dan Kami wariskan kepada kaum yang telah tertindas itu, negeri-negeri bagian timur bumi dan bagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Robbmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir'aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.” (QS. Al-A‘rôf [7]:137)

Dulu, Alloh subhanahu wa ta’ala memberikan kekuasaan dan kemuliaan di muka bumi kepada Nabi Yusuf, setelah beliau mengenyam pahitnya masa pengasingan. Dan semua yang beliau raih di istana Al-‘Aziz, tak lain disebabkan karena kesabaran dan ketakwaan beliau;

“Sesungguhnya, siapa yang bertakwa dan bersabar, sesungguhnya Alloh tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yûsuf [12]: 90)

Alloh subhanahu wa ta’ala menyebutkan pula, bahwa hasil akhir yang baik, adalah diperuntukkan bagi orang-orang yang mampu bersabar dan bertakwa:

فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِيْنَ

“Maka bersabarlah, sesungguhnya hasil akhir itu adalah milik orang-orang bertakwa.” (QS. Hud [11]: 49)

Kita tahu secara yakin, bahwa janji Alloh tidak akan pernah meleset. Yang menjadi masalah; kita hanya membatasi pandangan kita kepada satu jenis kemenangan saja, yaitu kemenangan lahiriyah (yang nampak secara kasat mata). Padahal, tidak selalunya kemenangan seperti ini yang Alloh janjikan kepada para rosul dan hamba-hamba-Nya yang beriman.

Kemenangan itu bisa nampak dalam bentuk lain, di mana jiwa yang kalah dan lemah, tidak akan bisa melihatnya.

Di antara bentuk kemenangan lain itu adalah:

- Dulu, kabilah-kabilah Quraisy pernah melakukan kesepakatan untuk memboikot kaum mukminin dan mengurung mereka di Syi‘ib (lembah) Abu Tholib, di antara mereka terdapat orang-orang Bani Hasyim. Selama tiga tahun mereka tidak pernah mengadakan transaksi jual beli. Sampai-sampai, kaum mukminin tidak mendapatkan sesuatu yang bisa dimakan, selain serangga-serangga bumi yang mereka tangkap. Bahkan, hampir saja kaum mukminin binasa kalau bukan karena limpahan rahmat dari Alloh menghampiri mereka.

- Kemudian kisah Ashabul Ukhdud. Dalam ceritanya, mereka dilemparkan ke dalam parit-parit api, dan tidak sudi memberikan tawar menawar dalam urusan agama yang mereka yakini. Mereka lebih memilih mati di jalan Alloh, walaupun setelah itu thoghut mengubur mereka di parit-parit api yang ia buat, lalu ia perintahkan penjaga-penjaga dan pasukannya untuk melemparkan orang-orang beriman itu ke dalam api. Muncul lah sebuah pemandangan yang sungguh sangat mengerikan, inilah yang menjadi hukuman bagi yang melemah atau coba melarikan diri. Akan tetapi, tidak tercatat satu riwayat pun yang menyebutkan ada satu saja di antara mereka yang mundur ke belakang, takut, atau melarikan diri. Bahkan, yang kita temukan adalah maju terus dan keberanian, mereka malah menceburkan diri ke dalam api. Seolah nyawa mereka telah mereka persiapkan untuk menjadi tebusan bagi agama mereka. Maka, pada dasarnya mereka lah orang-orang yang memperoleh kemenangan. Bahkan, Alloh subhanahu wa ta’ala menyebut tindakan mereka sebagai kemenangan besar:

إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَعَمِلُ الصَّلِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيْرُ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, mereka mendapatkan surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Itulah kesuksesan yang besar.” (QS. Al-Burûj [85]: 11)

- Dan dari Anas bin Malik a ia berkata, “Pamanku, Anas bin Nadhr, tidak ikut dalam perang Badar. Ia berkata, “Wahai Rosululloh, aku tidak ikut dalam perang pertama kali engkau memerangi orang-orang musyrik, seandainya aku nanti mengikuti perang melawan orang-orang musyrik, tentu Alloh akan melihat apa yang bakal kulakukan.”

Maka tatkala pecah perang Uhud dan kaum muslimin kocar-kacir, ia berkata, “Ya Alloh, aku memohonkan uzur kepada-Mu atas yang diperbuat shahabat-shahabatku, dan aku berlepas diri dari apa yang diperbuat orang-orang musyrik itu.” Setelah itu, ia maju ke depan dan sempat bertemu dengan Sa‘ad bin Mu‘adz, ia berkata, “Wahai Sa‘ad bin Mu‘adz, surga… demi Robb Nadhr, surga… demi Robb Nadhr, aku mencium baunya di bawah bukit Uhud.” Sa‘ad mengatakan, “Wahai Rosululloh, aku tidak mampu melakukan seperti yang ia lakukan.”

Anas melanjutkan kisahnya, “Usai peperangan, kami temukan pada tubuhnya ada 80 luka lebih, mulai tebasan pedang, tikaman tombak, atau tusukan panah, kami menemukannya telah terbunuh dan dicincang-cincang tubuhnya oleh kaum musyrikin. Dalam kondisi seperti itu, tidak ada seorangpun mampu mengenalinya lagi selain saudarinya, ia mengenali lewat jari telunjuknya.” Kemudian Anas mengatakan, “Kami mengira bahwa ayat ini turun mengenai orang-orang seperti dia atau yang semisal:

مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيْلًا

“Di antara orang-orang beriman ada para lelaki yang berlaku jujur terhadap janji mereka kepada Alloh; maka di antara mereka ada yang terbunuh, dan ada yang menunggu-nunggu, dan mereka sama sekali tidak berubah.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 23)

- Makna kemenangan yang hampir serupa dengan ini, dapat kita temukan dalam hadits Khobbab bin Al-Arts, ketika ia datang kepada Rosululloh dan mengatakan, “Tidakkah tuan memintakan pertolongan untuk kami? Tidakkah tuan memanjatkan doa untuk kami?”
Mendengar keluhan ini, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ada seorang lelaki dari umat sebelum kalian yang ditanam di dalam bumi, setelah itu dibawakan gergaji, lalu ia digergaji sejak dari kepalanya sampai akhirnya terbelah dua, tetapi itu tidak memalingkan dirinya dari agamanya. Ada juga yang disisir dengan sisir besi, sampai terlihat tulang-tulang di balik kulitnya, tetapi itu tidak memalingkannya dari agamanya.”

- Di antara bentuk kemenangan tersembunyi, yang tidak bisa dilihat oleh selain orang-orang beriman adalah: walau sebengis dan sekelewat batas apapun siksaan musuh, ia akan merasakan berbagai tekanan jiwa dan tersiksanya batin sebelum akan menyiksa lawannya. Bahkan, setelah ia melakukan perbuatannya itu, ia tidak bisa beristirahat dengan tenang, dan tidak bisa merasakan kebahagiaan. Makanya dulu, Hajjaj bin Yusuf, begitu usai membunuh Sa‘id bin Jubair, ia merasakan beraneka ragam siksaan batin. Sampai-sampai ia tidak bisa tidur dengan tenang dan suka terbangun dari tempat tidurnya sambil ketakutan, lalu mengatakan: “Apakah yang kulakukan kepada Said?”. Sebelum akhirnya ia mati membawa kegundahan dan kesedihannya itu.

Inilah yang kita yakini dalam perang yang kami lancarkan terhadap para pembawa bendera salib, thoghut Amerika yang sombong. Walau sombong dan angkuhnya Amerika dengan perlengkapan dan persenjataannya, tetapi ia mendapatkan kehinaan batin dan keruntuhan moral, yang seandainya itu disiramkan ke atas gunung tentu ia akan meleleh.

Di dalam Al-Quran juga disebutkan hakikat ini, sebagaimana tercantum pada surat Ali Imron, Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:

“…dan apabila mereka berlalu, mereka mendongkol hatinya kepada kalian. Katakanlah (Hai Muhammad), matilah kalian dengan kedongkolan kalian, sesungguhnya Alloh Mahatahu apa yang tersimpat dalam dada-dada. Jika kalian ditimpa kebaikan, mereka merasa sedih; dan jika kalian ditimpa keburukan, mereka merasa senang dengan itu. Tetapi jika kalian bersabar dan bertakwa, makar mereka tidak akan membahayakan kalian sama sekali. Sesungguhnya Alloh Mahameliputi apa yang mereka lakukan.” (QS. Âli ‘Imrôn [3]: 119)

Alloh subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

“Dan Alloh kembalikan orang-orang kafir dengan kemarahan mereka, mereka tidak memperoleh kebaikan apapun. Dan Alloh telah cukupkan orang-orang beriman dengan peperangan. Dan Alloh itu Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 25)

- Bentuk kemenangan lain yang tidak bisa dilihat oleh orang-orang yang dibutakan pandangannya adalah: Kemenangan karena kita menunggu-nunggu kehidupan yang sempurna, yang Alloh sediakan bagi wali-wali dan orang-orang pilihan-Nya. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ

“Dan janganlah kalian sekali-kali mengira bahwa orang yang terbunuh di jalan Alloh itu mati, bahkan mereka hidup dan mendapat rizki di sisi robbnya.” (QS. Âli ‘Imrôn [3]: 169)

Seorang penyair berkata:
Siapa tidak mati dengan pedang, akan mati dengan cara lain
Bermacam-macam sebab, tapi kematian itu satu 

Dari keterangan ini, jelaslah bagi kita mengenai apakah makna yang utuh dari sebuah arti kemenangan, berarti pula kita tidak bisa hanya membatasi kemenangan sesuai yang kita inginkan.

Kemudian, motivasi lain yang menjadikan mujahidin tetap teguh dan menunjukkan sikap kepahlawanan – seperti yang kami lihat sendiri di kota Fallujah— adalah: Berita Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengkabarkan kepada kita bahwa di antara tanda kemenangan agama Islam adalah, kekuatan apapun di muka bumi ini tidak akan mampu membinasakan seluruh kaum mukminin seperti kita khawatirkan akan terjadinya kembali peristiwa kaum nabi Nuh dan di awal-awal risalah.

Sebab, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan, bahwa jihad ini akan terus tegak dan dilaksanakan di muka bumi. Sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits shohih:

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِّنْ أُمَّتِيْ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللهِ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ

“Akan terus ada satu kelompok dari umatku yang melaksanakan perintah Alloh, tidak akan terpengaruh oleh orang yang membiarkan dan menyelisihi mereka, sampai tiba ketentuan Alloh dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu.”

Sesungguhnya kemenangan dan masa depan agama ini hanya di tangan Alloh ta’ala. Alloh telah menjaminnya dan menjanjikan kemenangan itu. Maka, kalau Dia berkehendak, akan dimenangkan dan diunggulkan. Dan jika berkehendak, kemenangan itu ditunda dan diakhirkan. Alloh Mahabijak dan Mahatahu mengenai urusan-urusan-Nya. Jika kemenangan lambat datang, maka itu karena sebuah hikmah yang telah Dia takdirkan ada kebaikan di sana terhadap keimanan dan orang-orang beriman. Dan, tidak ada yang lebih cemburu dalam urusan kebenaran melebihi Alloh, “Pada hari itu, kaum mukminin bergembira dengan pertolongan Alloh, Alloh menolong siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dia Mahaperkasa lagi Mahapengasih. Itulah janji Alloh, Alloh tidak menyelisihi janji-Nya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rûm [30]: 4 – 5)

Jangan kalian sangka, kemuliaan hanyalah butir kurma yang kau makan Engkau tak akan mencapai kemuliaan, sebelum engkau kunyah kesabaran Sesungguhnya Alloh, Dzat Yang Mahabesar kekuasaan-Nya dan Mahaperkasa keagungan-Nya, memberikan nikmat kepada orang-orang beriman berupa kemenangan sekali waktu, dan menimpakan bala kepada mereka sekali waktu. Alloh menghalangi mereka meraih kenikmatan berupa kemenangan ini dan justru menimpakan kepada mereka pedihnya bala’ disebabkan adanya hikmah-hikmah yang Dia tentukan dan ketahui. Terkadang, Alloh memberikan nikmat dalam bala’, sebesar apapun bala itu… Dan kadang Alloh menimpakan bala kepada suatu kaum dengan berbagai kenikmatan…

Ibnu al-Qoyyim rahimahullah membahas hikmah-hikmah ditundanya kemenangan ini dalam kitab beliau, Zâdul Ma‘ad, beliau berkata:
“Di antara hikmah mengapa kemenangan tertunda adalah: Karena itu termasuk ciri jalan yang ditempuh para rosul.
Heraklius pernah berkata kepada Abu Sufyan, “Apakah kalian memerangi Nabi itu?” –maksudnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam — “Ya,” jawab Abu Sufyan. “Bagaimana peperangan yang terjadi antara kalian dan dia?” tanya Heraklius. Abu Sufyan mengatakan, “Saling bergiliran, kadang kami kalah dan kadang kami berhasil mengalahkannya.”
Heraklius berkata, “Demikianlah para rosul, mereka diuji dan kemudian hasil akhir menjadi milik mereka.”

Hikmah lain adalah: terpilahnya antara orang beriman yang jujur, dan munafik yang pendusta. Sesungguhnya ketika Alloh menangkan kaum muslimin dalam perang Badar, orang yang dalam batinnya tidak Islam ikut masuk Islam secara lahiriyah. Maka, hikmah Alloh k menentukan untuk menimpakah ujian, yang dengan itu akan kelihatan siapa yang muslim sebenarnya dan siapa yang munafik. Maka ketika terjadi ujian seperti ini, kepala-kepala orang munafikpun terlihat, mereka mengatakan apa yang dulu mereka sembunyikan, rahasia mereka terungkap, ketidak jelasan mereka dulu kini berubah menjadi sangat terang. Manusia akhirnya terbagi kepada yang kafir, mukmin, dan munafik, dengan pembagian yang sangat nyata. Lalu, kaum mukminin baru tahu kalau ternyata mereka punya musuh dalam satu tugas, musuh itu selalu bersama mereka. Hal ini dimaksudkan agar di masa mendatang kaum mukminin waspada dan berjaga-jaga terhadap orang-orang munafik.

Di antara hikmah lain: Seandainya Alloh subhanahu wa ta’ala selalu memberi kemenangan kepada orang-orang beriman atas musuhnya, dan selalu memberikan kekuasaan serta keperkasaan atas musuh-musuh mereka, tentu jiwa akan melampaui batas, sombong dan angkuh. Kalau Alloh mudahkan kemenangan bagi mereka, tentu kondisinya sama dengan ketika mereka dimudahkan rezekinya. Maka hamba tidak akan baik, kecuali dengan diberi kebahagiaan sekali waktu, dan kesedihan di waktu yang lain, diberi kegoncangan dan kelonggaran, kesempitan dan kemudahan. Alloh sajalah yang Maha Mengatur urusan hamba-hamba-Nya sesuai hikmah-Nya, sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui dan Maha Melihat terhadap mereka.

Di antara hikmah lainnya adalah: Menampakkan ‘ubudiyah (sikap penghambaan) wali-wali dan pasukan-Nya, baik di kala senang maupun susah, di kala mereka suka maupun tidak suka, di kala menang maupun dikalahkan musuh. Jika mereka tetap teguh di atas ketaatan ibadah ketika dalam kondisi suka atau tidak suka, berarti mereka benar-benar hamba Alloh, bukan seperti orang yang beribadah kepada Alloh di satu sisi saja, yaitu ketika senang, atau hanya ketika mendapatkan kenikmatan dan kesejahteraan.

Hikmah yang lain: Jika Alloh memberi ujian mereka dengan kekalahan, mereka akan merendahkan diri, merasa hancur dan rendah jiwanya. Ini memancing munculnya tekad untuk meraih harga diri dan kemenangan. Sebab, turunnya kemenangan itu tiba bersama dengan dominasi rasa hina dan patah semangat dalam diri. Alloh subahanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan Alloh telah menolong kalian di Badr ketika kalian saat itu lemah (hina)...” (QS. Âli ‘Imrôn [3]: 123)

“…dan (juga menolong kalian) pada waktu perang Hunain, ketika kalian merasa takjub dengan jumlah kalian yang banyak, tetapi kemudian itu tidak bermanfaat buat kalian…” (QS. At-Taubah [9]: 25)

Jadi, kalau Alloh hendak memuliakan, menguatkan, dan memenangkan hamba-Nya, terlebih dahulu Dia patahkan semangatnya, sehingga kekuatan dan kemenangan itu sesuai dengan kadar merasa hina dan patah semangat dia.

Di antara hikmah yang lain: Alloh subahanahu wa ta’ala telah sediakan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman derajat-derajat di negeri kemuliaan-Nya (akhirat). Derajat ini tidak akan mampu dicapai oleh amalan-amalan mereka, mereka tidak bisa mencapainya selain dengan bala dan ujian. Maka, Alloh mendatangkan sebab yang dengan itu akan mengantarkan mereka untuk sampai ke sana, dengan bala dan ujian yang ia terima itu. Sebagaimana ketika Alloh memudahkan mereka untuk beramal sholeh, yang juga termasuk sebab untuk menghantarkan kepada derajat tersebut.

Hikmah yang lain: Suasana aman sejahtera yang terus menerus, atau kemenangan, atau kekayaan, menjadikan diri kita berpotensi untuk melampaui batas dan cenderung menyukai kehidupan dunia. Dan ini adalah penyakit yang menghalangi seseorang untuk bersungguh-sungguh dalam menempuh perjalanan menuju Alloh dan negeri akhirat. Maka jika Alloh sebagai robb jiwa tersebut, sebagai pemilik dan yang mengasihinya hendak memuliakannya, Dia akan timpakan bala dan ujian kepadanya, yang itu berfungsi sebagai obat dari penyakit yang menghalanginya melangkah di atas jalan tadi.

Sehingga, bala dan ujian itu kedudukannya seperti seorang dokter yang memberikan obat pahit kepada orang sakit, atau memotong urat-uratnya yang sakit untuk mengeluarkan penyakit dari tubuhnya. Seandainya dokter membiarkannya saja, penyakit akan menggerogotinya dan lambat laun ia justru akan binasa.

Hikmah lainnya: Mati syahid adalah derajat tertinggi di sisi Alloh bagi wali-wali-Nya. Orang-orang yang mati syahid adalah manusia yang diistimewakan Alloh sekaligus menjadi hamba-hamba-Nya yang didekatkan. Dan tidak ada derajat setelah siddiqin (orang yang jujur imannya) selain derajat kesyahidan. Sedangkan Alloh subahanahu wa ta’ala suka mengambil di antara hamba-hamba-Nya sebagai syuhada, yang darahnya tertumpah dalam rangka meraih kecintaan dan keridhoan-Nya, yang mereka lebih memilih keridhoan dan kecintaan-Nya daripada nyawa mereka sendiri. Tidak ada jalan untuk bisa meraih derajat ini selain dengan menempuh sebab-sebab yang bisa menghantarkan ke sana, yaitu dengan dikuasakannya musuh.” Hingga di sini perkataan Ibnu `l-Qoyyim rahimahullah.

Alloh subahanahu wa ta’ala berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Alloh mengetahu, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 216)

Di dalam Kitab Al-Fawa’id, Imam Ibnu `l-Qoyyim berkata, “Dalam ayat ini terdapat beberapa hikmah, rahasia, dan mashlahat bagi para hamba. Yaitu, jika seorang hamba menyadari bahwa perkara yang tidak disukainya berpeluang mendatangkan perkara yang disukai, dan perkara yang disukaipun berpeluang mendatangkan perkara yang tidak disukai, maka ia tidak akan pernah merasa aman untuk tertimpa bahaya ketika dalam kondisi senang; sebaliknya, ia tidak akan putus asa mendapatkan kebahagiaan ketika tengah menghadapi situasi genting. Semua ini karena ketidak tahuan dia terhadap akhir segala urusan. Maka sesungguhnya Alloh sajalah yang tahu apa yang ia tidak tahu. Selanjutnya, ini akan membawanya kepada beberapa hal, yaitu:

- Bahwasanya tidak ada yang lebih bermanfaat daripada melaksanakan perintah Alloh, walaupun di awal mulanya terasa berat. Sebab, akhir dari melaksanakan perintah, semuanya adalah kebaikan, kebahagiaan, kelezatan, dan kesenangan. Walaupun nafsu tidak menyukainya, tapi itu lebih baik dan bermanfaat baginya. Pun sebaliknya, tidak ada yang lebih berbahaya daripada melakukan perkara yang dilarang Alloh, walaupun nafsunya suka dan cenderung kepadanya. Sebab hasil akhir dari melakukan hal yang dilarang, semuanya adalah kepedihan, kesedihan, keburukan, dan berbagai mushibah. Maka cara berfikir yang hebat adalah, rela menanggung kepedihan sementara demi menggapai kelezatan besar dan kebaikan banyak setelahnya; dan rela meninggalkan kelezatan yang hanya sementara demi menghindari kepedihan besar serta keburukan panjang yang adanya.

- Rahasia lain dalam ayat ini: Akan menjadikan seorang hamba untuk pasrah kepada Alloh, Dzat yang mengetahui akhir segala urusan, ridho dengan apa yang Dia pilihkan untuknya, dan melaksanakannya, karena ia tahu dengan melaksanakannya ada harapan untuk mendapat akhir yang baik.

- Seorang hamba tidak akan protes, tidak mengajukan pilihannya sendiri, dan tidak meminta sesuatu yang tidak ia ketahui ilmunya kepada robbnya. Karena siapa tahu, madhorot dan kebinasaannya justru dalam pilihan yang ia inginkan tersebut tetapi ia tidak sadar. Dengan demikian, seorang hamba tidak akan pernah menolak apa yang Alloh pilihkan untuk dirinya, bahkan ia memohon diberi ikhtiyar (pilihan) yang baik untuk menempuhnya, kemudian Alloh meridhoinya dengan apa yang telah Dia pilihkan untuknya. Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi hamba selain sikap seperti ini.

- Jika hamba menyerahkan urusannya kepada Alloh dan ridho terhadap apa yang Dia pilihkan untuknya, Alloh akan memberinya pertolongan berupa kekuatan untuk menempuh pilihan tersebut dengan tekad kuat dan kesabaran, akan dipalingkan dari berbagai musibah yang itu akan muncul ketika ia justru mengikuti pilihannya sendiri. Alloh juga akan menampakkan kepadanya akhir yang baik dari pilihan-Nya untuk si hamba, yang mana itu tidak akan ia capai –walau hanya sebagian-ketika ia turuti pilihannya yang ia sukai.

- Sikap ini membuat hamba tidak perlu susah payah memeras pikiran dalam menentukan bermacam-macam pilihan yang ia hadapi, hatinya tidak perlu bersusah payah untuk memperkirakan dan mengatur, yang itu justru akan menghantarkannya dari satu rintangan ke rintangan lain, padahal ia tetap tidak bisa menghindari dari apa yang telah ditakdirkan untuknya. Maka, kalau ia ridho dengan pilihan yang Alloh tentukan, ia akan terkena takdir dalam keadaan terpuji, diberi kesyukuran, dan dikasihi di dalam menjalaninya. Tetapi kalau tidak ridho, takdir tetap berlaku atasnya, sementara ia dalam keadaan tercela dan tidak dikasihi dalam menjalaninya. Mengapa tercela? Karena ia masih menginginkan apa yang sebenarnya ia pilih. Jadi, setiap kali hamba pasrah dan ridho dengan pilihan Alloh, ia menjalani takdir dengan diberi belas kasihan dan kelembutan-Nya. Sehingga ia selalu berada antara belas kasihan dan kelembutan Alloh. Belas kasihan Alloh akan melindunginya dari apa yang ia takuti, sedangkan kelembutan-Nya akan menjadikannya menganggap ringan apa saja ditakdirkan atas dirinya. Ketika sebuah takdir berjalan pada diri seorang hamba, penyebab terbesar ia tertekan adalah usaha dia untuk menolak takdir tersebut.

Maka, tidak ada yang lebih bermanfaat baginya selain pasrah kepada takdir dan menghadapinya dengan seikhlas-ikhlasnya, seperti terlentangnya onggokan bangkai. Sesungguhnya, binatang buas tidak akan pernah mau memakan bangkai.” Sampai di sini perkataan beliau rahimahullah.

Sebuah tuntunan mengingatkanku malam ini Air mata menetes karenanya, tidak terhindarkan lagi Wahai putriku, kitab Alloh memerintahkanku keluar berperang Dalam keadaan aku tidak suka, tetapi Akankah kutolak perintah Alloh?

Jika aku kembali, barangkali hanya makhluk yang menyebabkanku kembali Jika aku harus berjumpa robbku, aku akan dapat ganti Aku tidak pincang dan buta sehingga bisa beralasan Aku juga bukan orang lemah yang tidak bisa berbuat apapun…

Thobari meriwayatkan dalam Kitab Tarikh-nya, dari Ibnu Ishaq, bahwasanya ada seorang shahabat Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Aku dan saudaraku ikut serta dalam perang Uhud bersama Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam. Selesai perang, kami pulang dengan kondisi terluka. Lalu, tatkala penyeru Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam mengumumkan untuk berangkat lagi mengejar musuh, aku berkata kepada saudaraku –dalam riwayat lain, saudaraku mengatakan kepadaku—, “Apakah kamu akan membiarkanku tidak ikut dalam perang bersama Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam?” Padahal, demi Alloh saat itu kami tidak lagi memiliki kendaraan, dan kami semua sudah pada terluka parah. Akhirnya kami keluar bersama Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara aku sendiri bagian kiri tubuhku terluka. Maka, jika saudaraku itu tidak kuat aku menggotongnya, dan itu terus memaksa berjalan tertatih-tatih. Sampai akhirnya kami berhasil menyertai kaum muslimin hingga tempat tujuan.”

Abu’d-Darda’ berkata, “PUNCAK TERTINGGI KEIMANAN ADALAH: BERSABAR TERHADAP KETENTUAN ALLOH, DAN RIDHO DENGAN TAKDIR-NYA.”

Dengan obat ini, kita akan bisa sembuh dari luka-luka kita yang menganga di sana sini.

Setelah kita memahami hakikat-hakikat ini, barulah kita dapat menilai pertempuran yang belum lama ini terjadi di Fallujah dengan selayaknya, dan tahulah kita mengapa perang itu bisa terus bertahan dan terur berkecamuk melibatkan seluruh komponen kekuatannya. Sebab, hari ini, inilah satu-satunya pertempuran yang terjadi di garis perbatasan Islam terdepan. Keteguhan dan ribath di garis-garis pertempuran di sini, berarti menjaga perbatasan terdepan kita untuk bisa menyerang kekufuran dan kezaliman.

Ketika kita menyaksikan musuh berhasil masuk begitu jauh ke dalam kota, berpatroli di jalan-jalannya, serta berhasil membangun markas di beberapa distrik kota, bukan berarti mereka telah berhasil meraih kemenangan. Sebab peperangan kita adalah perang jalanan dan perang kota. Taktik dan tekhnik melancarkan perlawanan dan serangan mempunyai bermacam-macam model. Sementara, perang yang berlangsung sengit ini, tidak bisa dipastikan hasilnya hanya dengan hitungan hari atau pekan, namun hasilnya ditentukan oleh fihak mana yang mengumumkannya.

Terlepas dari hasil pertempuran ini, kita sudah cukup bahagia menyaksikan anak-anak Islam teguh bak gunung menjulang di atas garis-garis pertempuran Fallujah yang penuh berkah. Mereka telah memberi pelajaran-pelajaran baru kepada umat ini, yaitu bagaimana kita harus kuat, sabar, dan yakin.

Barangkali, ada baiknya kita tengok beberapa pelajaran tersebut, dan hasil-hasil besar yang dicapai dalam pertempuran di Fallujah, ketika musuh menyerang dengan secara arogan. Saya katakan:

Pertama: Pertempuran ini telah menghidupkan kembali makna-makna izzah (harga diri), kemuliaan, dan keteguhan. Sekaligus meyakinkan kepada umat, bahwa di sana masih ada satu kelompok (meskipun kecil) dari pemeluk-pemeluknya yang mampu menghadapi marabahaya-marabahaya yang sengit ini dengan penuh keberanian, keteguhan, dan semangat. Kelompok ini meyakinkan umatnya bahwa mereka jujur dalam menjalankan program dan proyek-proyeknya, inilah yang akan mendorong umat untuk siap bangkit kembali dan rela mengorbankan banyak darah para pemeluk dan pemimpinnya.

Kedua: Umat Islam mendapatkan pelajaran –walaupun sekarang tengah tertimpa kehinaan dan keputusasaan—bahwa ternyata ia mampu menghadapi, melawan, dan berperang menghadapi kekuatan-kekuatan besar dunia dan penguasa bengisnya, cukup dengan sedikit anggota-anggotanya, dan dengan persenjataan-persenjataan ringan. Dengan itu, mereka mampu menimpakan kerugian besar dan menyakitkan terhadap fihak musuh, sekaligus memaksanya menelan kekalahan pahit.

Ketiga: Fallujah telah membuka medan perang bagi mereka yang ingin berperang. Perang ini telah membakar semangat anak-anak Islam dari dalam dan luar Irak. Banyak sekali anak-anak Islam yang menumpahkan darahnya yang suci di atas bumi Fallujah ini, dalam rangka bangkit melaksanakan tugas-tugas jihad dan berperang menghadapi persekongkolan tentara salib internasional. Maka tersulutlah api-api peperangan dan huru-hara di berbagai daerah Irak, mereka membentuk pasukan-pasukan dan kelompok-kelompok, dan mujahidinpun terus maju untuk menyerang kamp-kamp militer musuh, menyerang pemukiman-pemukiman dan basis-basisnya. Dengan anugerah Alloh, kami telah menyaksikan kerugian-kerugian dalam jumlah besar yang diderita musuh di tanah Irak secara menyeluruh.

Di antara kebanggaan kita terhadap kemenangan ini adalah, semakin menguatnya mental para pelaku jihad, dan runtuhlah sudah dongeng-dongeng tentang alat-alat perang yang canggih itu. Semangat mereka hari ini telah terbebas dari sifat lemah dan takut, dan kini mulai beranjak menuju medan-medan kerja keras dan perjuangan.

Keempat: Pertempuran Fallujah melahirkan sebuah kemenangan berupa taktik militer yang cukup menguntungkan. Semua orang tahu, Amerika lebih unggul dalam sisi persenjataan militer, kemajuan pasukan serta taktik perang yang mereka miliki.
Dengan semua fasilitas itu, mereka bermaksud membidik sasaran cukup dari kejauhan, tanpa harus melakukan pertempuran langsung atau aksi baku tembak. Dengan ini, pasukan Amerika ingin mengamankan keselamatan tentaranya, supaya tidak ada satupun dari mereka yang hilang nyawanya dalam pertempuran-pertempuran langsung. Akan tetapi, secara berangsur-angsur, Fallujah berhasil memancing alat-alat canggih mereka –dengan taktik terencana tentunya—untuk masuk ke dalam perang di jalan-jalan yang cukup sengit dan tidak beraturan, mereka dipaksa untuk mengerahkan semua kekuatan, kemampuan, dan persenjataannya. Alhasil, tentara Amerika harus berhadapan dengan kematian kapan saja, dari arah yang tidak mereka sangka. Amerika terpancing untuk turun ke sudut-sudut kota, ke jalan-jalan, dan masuk ke rumah serta bangunan-bangunan.
Maka, merekapun dihadapkan dengan peluru dan ranjau-ranjau mujahidin. Mereka begitu kaget, karena kemampuan tempur mereka dipaksa untuk dipakai terjun dalam perlawanan langsung, sesekali harus maju dan sesekali harus mundur. Mau tak mau merekapun harus melakukan pertempuran dari jarak dekat yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya. Dari sanalah, mereka menderita kerugian-kerugian besar, baik kerugian moril dan kerugian hancurnya lebih dari puluhan –bahkan ratusan—kendaraan-kendaraan militer.

Kelima: Departemen Pertahanan Amerika harus menelan kekalahan mental yang cukup besar. Bagi yang memantau dan mengikuti jalannya pertempuran kali ini, akan tahu dengan jelas bahwa mujahidin tidak pernah bisa dihentikan oleh gertakan model apapun, walaupun dengan melancarkan pengeboman massal yang bertujuan memusnahkan mereka semua. Sekarang ini, kecerdikan-kecerdikan strategi dalam urusan jihad telah menjadi senjata andalan untuk menghadapi langkah-langkah perang yang dipakai Amerika dan pasukan multinasional. Rasa bangga dan keteguhan yang terjadi di Fallujah, membuat mental para komandan musuh down, mereka mulai terjangkiti ketidak sukaan, kebosanan, dan kejatuhan mental. Apa yang terjadi di masa mendatang, akan lebih mengerikan dan pahit, dengan pertolongan Alloh ‘azza wa jalla.

Keenam: Pertempuran Fallujah turut andil dengan keteguhan dan ketahanan mentalnya, dalam menyingkap topeng wajah-wajah murtad, munafik, dan antek musuh. Pertempuran Fallujah berhasil menanggalkan pakaian kesombongan yang dikenakan oleh pemerintahan murtad pimpinan ‘Iyadh Allawi, berhasil menyingkap kepalsuan yang ia gembar-gemborkan bahwa dirinya menginginkan kebaikan bagi rakyat Irak, menjaga darah mereka, dan menghindarkan mereka dari perang serta krisis berkepanjangan, tetapi ia tidak berhasil mengambil simpati rakyat. Ditambah lagi, semua orang menyaksikan ternyata dia begitu antusias menjalankan keputusan untuk menyerang Fallujah, dan tangannya berkecimpung dalam darah-darah suci penduduk kota ini. Ia bunuh ribuan orang dari mereka, ia usir puluhan ribu, dan ia lakukan aksi-aksi penghancuran dan peluluh lantakan bangunan, ia perkosa kehormatan, ia rampok harta, dengan alasan memerangi terorisme dan demi menjaga kemaslahatan negara.

Ketujuh: Pertempuran di Fallujah berhasil menjatuhkan topeng semu yang menutupi keburukan-keburukan wajah kaum Rafhidhah (syi‘ah) keparat itu. Dengan kedengkiannya, mereka ikut terjun dalam penyerangan ini. Dengan kejahatan yang nampak jelas, mereka ikut serta dalam pasukan militer untuk menyerang Fallujah, dengan restu dari pemimpin kekufuran dan kezindiqan; Ali As-Sistani. Mereka memiliki andil besar dalam aksi pembunuhan, perampokan, penghancuran rumah, menghilangkan nyawa anak kecil, wanita, dan orang tua. Bahkan, nafsu kebencian mereka menyeret mereka untuk berbuat kejahatan besar; mereka nekat masuk ke masjid-masjid Alloh yang tadinya aman, kemudian menajisinya. Setelah itu, mereka memasang fhoto-fhoto si syetan mereka, As-Sistani, pada tembok-tembok, lalu di bawahnya menulis kalimat dengan penuh kedengkian: “Hari ini tanah kalian, besok kehormatan kalian.”

Dan perlu dicatat; 90 % pasukan keamanan pemerintahan “berhala” sekarang ini terdiri dari kaum Rafidhah, sementara 10 % sisanya berasal dari suku Kurdi Basymarqah.

Benarlah yang dikatakan oleh seorang ulama mengenai siapa Rafidhoh: “Mereka adalah bibit orang nasrani, yang menanam yahudi, ditanam di lahan kaum majusi.”

Kedelapan: Dalam pertempuran kali ini, program-program terselubung dari musuh-musuh jihad mulai terungkap. Karena dalam pasukan militer mereka, ada beberapa barisan di belakang yang turut menyerang. Jelas di sana keikut sertaan 800 orang tentara Israel, mereka didampingi 18 rabi yahudi yang menjadi pemutus perkara bagi kebanyakan mereka. Ini seperti yang diberitakan sendiri oleh koran harian dan berbagai media informasi yang mereka miliki. Di sana juga terlihat, keikut sertaan militer Yordania yang terdiri dari beberapa orang jendral lapangan, mereka ikut menyusun strategi dan menggempur kota. Ini menunjukkan kepada semua orang, bahwa Fallujah memang benar-benar basis gerakan jihad, yang siang malam menjadikan musuh-musuh Islam (baik kaum kafir asli maupun murtaddin) tidak bisa tidur tenang.

Kesembilan: Di antara buah pertempuran sengit di Fallujah adalah, kembali segarnya darah-darah mujahidin dalam urat-urat mereka, dan semakin bersemangatnya mereka untuk meningkatkan operasi jihad terhadap target-target yang telah ditentukan. Pertempuran ini telah melahirkan satu generasi yang siap menjadi pemimpin, melahirkan kekuatan dan pengalaman yang terlihat langsung dari peristiwa tersebut. Mereka menjadi berangan-angan untuk terus mencoba, membiasakan diri, berusaha, dan bertekad kuat untuk melanjutkan jalan yang telah mereka pilih. Kedahsyatan-kedahsyatan perang kali ini telah menjernihkan jiwa mereka, sekaligus mengubahnya menjadi kuat dan kokoh.

Sayyid Quthb rahimahullah berkata dalam Fî Dzilali `l-Qur’an: “Menghadapi kenyataan-kenyataan pahit dan kesiapan mendapat kematian kapan saja dalam jihad fi sabilillah, akan membiasakan jiwa untuk menganggap ringan kengerian-kengerian ini, di mana pada umumnya, jiwa, akhlak, timbangan berfikir dan penilaian manusia, selalunya ingin menghindari-nya. Kengerian ini adalah ringan, betul-betul ringan, bagi orang yang sudah terbiasa menghadapinya, baik ia selamat atau kemudian berbenturan dengan kengerian itu. Menghadapi kengerian seperti itu sembari menyerahkan diri kepada Alloh setiap saat, akan menjadikan jiwa terdidik, sama seperti ketika aliran listrik menyengat tubuh; aliran itu seolah menjadi tenaga baru dalam memulihkan hati dan jiwa kembali jernih dan baik. Di samping itu, pembiasaan seperti inilah yang akan menjadi faktor-faktor lahiriyah untuk memperbaiki seluruh komponen masyarakat umat manusia… yaitu dengan mengarahkan mereka melalui tangan-tangan mujahidin yang hati mereka sama sekali bersih dari tujuan-tujuan dunia dan kegemerlapannya, merekalah yang tidak menganggap mahal kehidupan seraya terjun ke pertempuran di jalan Alloh menghadapi kematian, dan hati mereka sama sekali tak terpalingkan dari Alloh dan dari usaha mencari keridhoan-Nya.

Ketika kepemimpinan dipegang oleh tangan orang-orang seperti ini, seluruh bumi akan menjadi baik, para hamba juga menjadi baik, mereka akan menjadi mulia dengan perantaraan tangan-tangan seperti ini dan tidak sudi lagi menyerahkan bendera kepemimpinan ke tangan-tangan kekafiran, kesesatan, dan kerusakan, sementara ia sudah bersusah payah menebusnya dengan darah dan nyawa. Semua yang berharga dan mahal telah ia korbankan sedemikian murah demi mendapatkan bendera kepemimpinan ini, bukan untuk dirinya, tetapi untuk Alloh.

Setelah semua ini terwujud, sarana apa saja akan dimudahkan bagi mereka yang Alloh kehendaki baik, sehingga mereka mudah mendapatkan keridhoan dan pahala tak terbatas dari-Nya. Sebaliknya, sarana apa saja akan dibuka bagi mereka yang Alloh kehendaki keburukan pada dirinya, sehingga ia dengan mudah bisa berbuat apa saja yang menyebabkan Alloh murka kepadanya, sesuai pengetahuan Alloh terhadap hati dan isi batinnya.” Sampai di sini perkataan Sayyid Quthb.

Kesepuluh: Adanya orang-orang yang dipilih gugur sebagai syahid. Orang-orang beriman di sini, telah diberi kemuliaan, yaitu jalan yang mereka lalui mesti terbentuk dengan darah para penempuhnya yang gugur sebagai syuhada. Demikian pula, para pemimpin dan kader-kadernya menjadi para penghuni garis pertempuran terdepan. Ini menunjukkan, betapa para pelaku jihad ini memiliki kejujuran, kejujuran untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan tauhid dan akidah dengan rela dan penuh keikhlasan.

Di sisi lain, mereka seperti mendapat kabar gembira, yaitu Alloh telah memilih orang-orang terbaik dari mereka untuk berjumpa dengan-Nya. Sehingga Alloh takdirkan orang-orang ini untuk menemui kesyahidan, dan menggapai kemenangan berupa keridhoan dari-Nya terhadap apa yang selama ini mereka harap dan cari. Maka, Alloh telah memenuhi janji-Nya kepada mereka, serta menepati apa yang mereka pinta.

Sebenarnya, seperti ini jugalah kondisi para pendahulu mereka yang sholeh (kaum salafus sholeh). Mereka sangat bersemangat berburu kematian, sama semangatnya dengan orang-orang sepeninggal mereka dalam mencari kehidupan. Sungguh, mati syahid adalah cita-cita terbesar mereka, mereka bergegas menuju medan pertempuran karena senang jika terbunuh di jalan Alloh. Jika dikalkulasi, prosentase shahabat yang gugur sebagai syuhada dalam semua pertempuran di zaman mereka, berjumlah 80 %.

Syuhada dari kaum muhajirin dan Anshor adalah terbanyak dari jumlah semua yang gugur sebagai syuhada dalam perang Yamamah. Dari penduduk Madinah, yang syahid ketika itu ada 360 orang, dari kaum muhajirin yang juga penduduk Madinah ada  300 orang. Untuk tabi’in, ada 300 orang yang syahid. Jadi, jumlah yang syahid dari kaum muhajirin, Anshor, dan tabi’in ketika itu adalah 80 % dari seluruh jumlah yang mati syahid. Karena, dari semua syuhada yang berjumlah 1200 orang, jumlah syuhada muhajirin, Anshor, dan tabi‘in berarti berjumlah 960 orang. Dan, kita mesti catat, yang syahid dari kalangan ahli Al-Quran (Qurro’), para penghafal Al-Quran, dan ulama kaum muslimin, dalam perang Yamamah berjumlah 300 orang. Dalam lain riwayat disebutkan 500 orang. Artinya, dalam satu perang saja jumlah orang-orang istimewa tersebut yang syahid ada 25 % jika mengacu riwayat yang menyebutkan ada 300 orang, atau 45 % jika mengacu riwayat yang menyebutkan 500 orang. Ini adalah jumlah yang tergolong sangat besar.

Bagi mereka yang tekun mengkaji buku-buku induk tentang para shahabat, akan menemukan bahwa setiap lima orang hanya ada satu saja yang meninggal di atas kasurnya, sementara empat sisanya mati syahid di medan-medan pertempuran. Sehingga tidak heran, kalau ketika itu penaklukan-penaklukan begitu cepat, begitu kokoh dan tahan lama. Ini ketika abad-abad pertama hijriyah.

Dalam kesempatan kali ini, ada baiknya kita puji keteguhan para pahlawan mujahid kita. Kami akan sedikit bercerita tengan nikmat-nikmat Alloh subhanahu wa ta’ala yang Dia berikan kepada mereka, berupa karomah-karomah dan kelembutan-kelembutan robbani yang melingkupi mereka ketika tengah bertempur melawan pasukan Amerika dan sekutunya di kota Fallujah. Semua itu terjadi agar para mujahidin semakin teguh dan terhibur menghadapi kondisi yang sekarang tengah mereka alami.

Inilah kisah tersebut:

Pada hari ketiga pertempuran di Fallujah, setelah kota ini dibombardir dari udara dengan begitu gencar, para mujahidin terbangun dari tidurnya malam itu. Mereka melihat kendaraan-kendaraan humvee dan tank-tank pasukan Amerika sudah bercokol di jalan-jalan dan gang-gang kota. Melihat pemandangan seperti ini, para perwira Islam keluar menyambut pertempuran sengit, dibawah komando Akh Abu ‘Azzam, ‘Umar Hadid, Abu Nashir Al-Libbiy, Abu l-Harits, Muhammad Jasim Al-‘Isawiy, dan para pahlawan lain. Mereka berhasil memaksa musuh mundur ke pojok-pojok kota, padahal mujahidin hanya bersenjatakan senapan jenis PK dan Kalashinkof.

Dalam kejadian ini, korban tewas dari fihak Amerika sangat banyak, sampai-sampai banyak di antara mereka yang lari dari perang lalu bersembunyi di rumah-rumah kaum muslimin. Semula, para mujahidin keberatan untuk menerobos masuk ke rumah-rumah tersebut, khawatir akan menganggu kaum muslimin. Tetapi setelah berhasil memastikan bahwa di sana memang terdapat pasukan Amerika, mujahidinpun masuk ke sana, dan benar saja…mereka menemukan tentara Amerika tengah bersembunyi. Tanpa pikir panjang, mereka bunuh orang-orang Amerika itu, seperti membunuh serangga dan lalat saja. Walillâhi`l-Hamdu wa`l-Minnah, Segala puji dan anugerah hanya milik Alloh.

Beberapa hari setelah peperangan berlanjut, salah seorang komandan mujahidin menawarkan kepada Akh ‘Umar Hadid dan Abu `l-Harits Jasim Al-‘Isyawiy untuk mencukur jenggotnya dan keluar dari Fallujah, setelah melihat ada jalur aman untuk menyelamatkan diri. Komandan itu menyarankan untuk melancarkan serangan dari luar kota saja. Tetapi kedua pahlawan kita ini menolak, mereka berkata, “Demi Alloh, kami tidak akan keluar selagi di dalam kota masih ada seorang muhajir saja yang tetap teguh bertahan di sana.” Akhirnya, keduanya terus berperang sampai menemui kesyahidan. Semoga Alloh Ta’ala merahmati mereka berdua, serta menerimanya menjadi hamba-hamba-Nya yang berstatus syuhada.

Kisah selanjutnya, pernah beberapa ikhwah mengalami kelaparan selama berhari-hari. Setelah mereka hanya bisa berharap dan berbaik sangka serta yakin kepada Alloh subhanahu wa ta’ala, tiba-tiba saja mereka menemukan buah semangka yang sangat besar. Ketika mereka buka, warnanya sungguh sangat merah, warna merah terbaik yang pernah mereka lihat. Lalu mereka memakannya untuk beberapa hari, merekapun kenyang, lalu bertahmid serta tak hentinya merasa keheranan. Mereka berkesimpulan, kelezatan buah semangka ini belum pernah mereka rasakan di dunia sebelumnya. Dan sudah dimaklumi bersama, bahwa saat itu bukan musim semangka, lagi pula biasanya bukan di situ lahan pertanian semangka.

Kisah lain, sering sekali ikhwan-ikhwan menghadapi masalah kesulitan mendapat makanan dan minuman. Sampai suatu ketika, pernah mereka kehabisan air, padahal mereka sangat haus sekali. Saking hausnya, mulut mereka sampai mengeluarkan busa. Ketika mereka hendak mencari beberapa tetes air, untuk sekedar membasahi kerongkongan mereka, mereka masuk ke sebuah bangunan rumah. Di sana, mereka menemukan tiga geriba air yang pada sebagian sisinya ada hiasan yang aneh. Mereka takjub ketika melihatnya, sebab baik di Fallujah atau kota Irak lainnya, tidak ada tempat air seindah geriba ini. Ketika mereka meminum airnya, tahulah mereka bahwa ini bukan sekedar air dunia. Merekapun minum sampai puas. Setelah itu, mereka bersumpah bahwa mereka belum pernah minum air selezat ini selama hidup di dunia.

Kisah lain, ada seorang ikhwan dari Jazirah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam (Arab) tertembak kepalanya oleh sniper. Peluru menembus dari jidat hingga ke belakang kepalanya. Otaknyapun berhamburan pada pundak kanannya. Melihat itu, ikhwan-ikhwan yang lain segera menolongnya dan mengumpulkan ceceran daging kepalanya, lalu mereka tempelkan lagi pada tempat yang tertembus peluru. Setelah itu, mereka membalut tempat terlukanya dan kemudian membiarkannya. Lewat beberapa hari, akhi kita ini sembuh, dan sekarang orangnya masih hidup tanpa kurang apapun, hanya ia agak gagap dalam berbicara. Semoga Alloh menerima amalannya dan amalan ikhwan-ikhwan yang lain.

Mengenai kisah aroma misik, ini sudah menjadi cerita yang sangat masyhur di kalangan para mujahidin. Banyak sekali ikhwan-ikhwan kita yang bercerita mengenai bau harum yang keluar dari mereka yang gugur sebagai syuhada dan terluka. Semoga Alloh menerima amalan mereka semua.

Di antaranya adalah kisah Akhi kita, sang pahlawan, Abu Tholhah Al-Bihaniy. Beliau mengalami luka sangat parah. Tiba-tiba saja aroma wangi menyebar di mana-mana, sampai tercium hingga ke jalan-jalan dan banyak sekali ikhwah yang turut mencium baunya. Setelah itu, beliau menemui kesyahidan –nahsabuhu wallohu hasiibuh wa laa nuzakkii ‘ala `l-Lohi Ahada—, sekedar anggapan kami, dan hanya Alloh-lah yang tahu tentang beliau, dan kami tidak menganggap suci seorangpun di hadapan Alloh.

Di antara faktor yang menjadikan para mujahidin semakin teguh dan tenang, adalah kisah yang diceritakan oleh banyak sekali dari mereka yang ikut dalam pertempuran di sini. Yaitu, mereka mendengar suara kuda dan dentingan pedang saling beradu ketika perang tengah memuncak dan berkecamuk hebat. Berkali-kali para ikhwah keheranan dengan kejadian itu. Begitu pulang, mereka bertanya kepada ikhwan-ikhwan Anshor, siapa tahu saja di sana memang ada kuda-kuda yang letaknya berdekatan dengan Fallujah. Tetapi, ikhwan-ikhwan Anshor meyakinkan bahwa tidak ada kuda di sini.

Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Alloh, baik di awal atau di akhir.

Di dalam Al-Musnad, Imam Ahmad meriwayatkan, demikian juga Hakim dalam Al-Mustadrok, dari Abu Burdah bin Qois, beliau adalah saudara shahabat Abu Musa, ia berkata, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa, “Ya Alloh, jadikanlah kematian umatku adalah terbunuh di jalan-Mu, baik tertikam atau terkena penyakit tho‘un.”

Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قَتِلُوا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ * فَرِحِيْنَ بِمَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِيْنَ لَمْ يَلْحَقُوْا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Alloh itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Robbnya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Alloh yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka; bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. ‘Âli ‘Imrôn [3]: 169-170)

Hiduplah sebagai raja, atau kalau mati matilah sebagai orang mulia Dalam keadaan menghunus pedang, dengan pedang mulia kamu diberi udzur

Inilah sekelumit kisah tentang bagaimana keteguhan para mujahidin di tanah Fallujah yang penuh berkah, serta kemenangan-kemenangan yang banyak faedahnya dan besar akibat berikutnya. Ini hanya akan difahami oleh orang yang adil dalam memahami kejadian dan peristiwa-peristiwa di atas.

Wahai umat islam…

Luka dan tikaman-tikaman mengenai diri kalian secara bertubi-tubi, penyakit kalian sudah sangat melumpuhkan, tidak akan bisa terobati selain dengan tauhid yang dipancangkan di atas bendera jihad. Lantas, kapankah kalian akan mengambil keputusan tegas untuk berperang dan keluar dari kebekuan?

Peperangan-peperangan sekarang ini tidak akan pernah mereda atau berhenti. Bukankah Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sendiri tidak suka untuk tidak ikut dalam sariyah yang dikirim untuk berperang di jalan Alloh? Bahkan, di antara aktifitas rutin beliau adalah menjalankan perang dan jihad setiap waktu.

Aku ingatkan kalian dengan sebuah hadits ketika malaikat Jibril menegur Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam setelah perang Ahzab. Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhori, ia menuturkan: “Ketika Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam pulang ke Madinah, beliaupun meletakkan senjata beliau. Maka datanglah malaikat Jibril, ia berkata, “Apakah senjata telah diletakkan? Demi Alloh, para malaikat belum meletakkan senjata sama sekali. Bangkitlah bersama pasukanmu untuk menyerang Bani Quroidhoh. Sesungguhnya aku akan berjalan di depanmu, aku akan mengguncangkan benteng mereka dan kutakutkan hati mereka.” Maka Jibrilpun berjalan di depan pasukan malaikat, sementara barisan berikutnya adalah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam di depan para pasukan beliau, yaitu kaum muhajirin dan Anshor.”

Wahai kaum muslimin… bagaimana kalian menganggap ringan melihat saudara-saudara seagama kalian tertimpa berbagai macam siksaan, pembunuhan, dan penghancuran, sementara kalian aman-aman saja di rumah kalian, selamat sentosa di tengah keluarga dan harta benda kalian?

Bagaimana itu bisa terjadi?



JUDUL ASLI:
WA KADZALIKA’R RUSUL, TUBTALÂ TSUMMA TAKÛNU LAHUMUL ‘ÂQIBAH
OLEH: ASY-SYAHID SYAIKH ABU MUSH‘AB AL-ZARQOWI RAHIMAHULLOH
JUDUL TERJEMAHAN: INILAH JALAN PARA ROSUL
ALIH BAHASA: AHMAD ILHAM AL-KANDARI
AL-QAEDOON GROUP
Jama’ah Simpatisan & Pendukung Mujahidin

Semoga Alloh Jalla wa ‘Alaa membalas kebaikan orang yang menyebar buku ini tanpa merubah isinya dan tidak mempergunakannya untuk kepentingan komersil kecuali seijin Publisher, pergunakanlah untuk kepentingan kaum Muslimin !

“…Maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...