INILAH JALAN PARA
ROSUL
Oleh: SYAIKH ABU MUSH‘AB
AL-ZARQOWI RAHIMAHULLOH
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنْ الرَّحِيْمِ
“Alif Lam Mim,
Apakah manusia mengira akan dibiarkan begitu saja mengatakan: “Kami beriman,”
sementara mereka tidak diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang
sebelum mereka, dan Alloh akan benar-benar tahu siapakah orang-orang yang benar
dan siapakah orang-orang yang dusta.”
(QS. Al-Ankabut: 1 –
2)
Segala puji bagi
Alloh, yang memuliakan Islam dan pertolongan-Nya. Yang menghinakan kesyirikan dengan
kekuatan-Nya. Mengatur semua urusan dengan perintah-Nya. Mengulur batas waktu
bagi orang-orang kafir dengan makar-Nya. Yang mempergilirkan hari-hari bagi
manusia dengan keadilan-Nya, dan menjadikan hasil akhir sebagai milik
orang-orang bertakwa dengan keutamaan-Nya.
Sholawat dan salam
terhatur selalu kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia yang
dengan pedangnya Alloh subhanahu wa ta’ala tinggikan menara Islam.
Amma
Ba‘du…
Inilah pelajaran
baru yang kukirimkan kepada kalian melalui beberapa untai kata pilihan. Inilah
desahan hati yang kuhempaskan dari lubuk hatiku dan rusuk lambungku yang paling
dalam. Dari tentara yang berdiri tegak di atas beban-beban berat peperangan dan
dentuman-dentuman dahsyat huru-hara Dari Abu Mush‘ab Al-Zarqawi, Untuk siapa
saja yang masih memiliki waktu dan harga diri yang menyaksikannya…
Hari ini, luka-luka
memprihatinkan yang diderita umat ini masih terus membuatku gundah. Orang-orang
terluka dari umat ini terus meninggalkanku satu demi satu. Sebuah umat yang
dulu memiliki kebesaran, kemuliaan, dan kehormatan. Tangan-tangan pengkhianat
mencabik-cabik tubuhnya dengan berbagai bentuk kejahatan yang
menghinakan; umat ini dipaksa beralaskan
selimut kerendahan dan kehinaan, dipaksa mereguk air dari sloki-sloki pemaksaan
dan pengkhianatan. Sementara ia tak mampu berdiri untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya,
tidak mampu mewujudkan mimpi dan cita-citanya.
Penyakit itu sedikit
demi sedikit menyebar ke sendi-sendi tubuh, setelah itu ia terkapar ke tanah dan
tulang-tulangnya bertumpuk membangun sebuah pasak, serigala-serigala dan
berbagai makhluk buas segera mengeroyoknya, sambungan-sambungan tulangnyapun
tercacah-cacah, menyangkut pada paruh tajam dan taring-taring hewan-hewan itu.
Itulah gambaran
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad
dan Abu Dawud dari Tsauban radhiallahu ’anhu, ia berkata, Rosululloh shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Hampir tiba masanya bangsa-bangsa dari berbagai
penjuru mengeroyok kalian seperti orang-orang yang makan mengeroyok nampannya.”
Para shahabat bertanya, “Apakah karena jumlah kita sedikit waktu itu, wahai
Rosululloh?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian banyak ketika itu. Akan tetapi
kalian adalah buih seperti buih air. Rasa takut musuh terhadap kalian dicabut
dari dada mereka, dan ditimbulkan penyakit wahn pada hati-hati kalian.” Para
shahabat bertanya lagi, “Apakah wahn itu wahai Rosululloh?” Beliau
bersabda, “Cinta hidup dan
tidak menyukai kematian.”
Dalam riwayat Imam
Ahmad: “Ketidak-sukaan kalian untuk berperang.”
Kepada semua umat
Islam, sadarilah…bala ujian adalah sejarah dan kisah panjang sejak diturunkannya
kalimat La ilaha illalloh ke muka bumi. Para nabi dan orang-orang yang jujur
imannya silih berganti menerima bala ujian. Demikian juga dengan para pemimpin
yang memegang tauhid.
Oleh karena itu,
siapa saja yang meniatkan dirinya secara tulus untuk memikul kalimat La ilaha
illalloh dan membela serta ingin menegakkannya di muka bumi, ia harus mau
menebus status mulia ini dengan menanggung beban-beban berat, baik itu
kelelahan, keletihan, dan bala.
Lihat, di manakah
posisi Anda? Jalan ini adalah jalan yang Nabi Adam ‘alaihis salam harus
menanggung kelelahan dalam menempuhnya. Karena jalan ini pula, Nabi Nuh
‘alaihis salam mengisi hidupnya penuh derai air mata. Disebabkan jalan ini
Al-Kholil (kekasih Alloh) Ibrohim ‘alaihis salam dilempar ke dalam api. Nabi
Ismail harus rela diterlentangkan untuk disembelih. Nabi Yusuf rela dijual
sebagai budak dengan harga murah, dan mendekam di penjara bertahun-tahun. Nabi
Zakariya digergaji tubuhnya. Nabi Yahya disembelih. Nabi Ayyub bergelut melawan
penyakit. Nabi Dawud menangis melebihi kebiasaan manusia biasa. Nabi Isa dipaksa
hidup dalam keterasingan. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri
harus hidup akrab dengan kemiskinan dan berbagai intimidasi. Sementara engkau
bersenang-senang dalam kelalaian dan senda gurau!!
Alloh subhanahu wa
ta’ala menguji sebagian makhluk dengan makhluk yang lain, menguji orang beriman
dengan orang kafir, sebagaimana menguji orang kafir dengan orang beriman. Ujian
bala seperti ini adalah bagian yang menjadi jatah bersama bagi semua manusia; “Maha
Suci Alloh Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa
diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (QS. Al-Mulk [67]: 1- 2)
Imam Muslim
meriwayatkan dari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam hadits qudsi
yang beliau riwayatkan dari robbnya subhanahu wa ta’ala, “Sesungguhnya Aku
mengutusmu, wahai Muhammad, untuk menguji dirimu dan menguji manusia denganmu.”
Yang kita ketahui
dari Al-Quran dan Sunnah, di antara para nabi itu ada yang dibunuh dan
dicincang tubuhnya oleh musuh, seperti Nabi Yahya. Ada juga yang hampir dibunuh
oleh musuhnya lalu pergi menyelamatkan diri seperti Nabi Ibrohim, beliau kemudian
berhijrah ke negeri Syam. Demikian juga Nabi Isa, karena akan dibunuh maka
beliau diangkat oleh Alloh ke langit.
Orang-orang beriman
terdahulupun, kita saksikan ada yang disiksa dengan siksaan yang keji. Ada yang
dilemparkan ke parit-parit api. Ada yang menemui kesyahidan. Ada yang hidup di
bawah kesusahan, kekerasan, dan penindasan. Maka, jika kita hanya melihat sisi
ini saja, seolah-olah di manakah janji Alloh bahwa Dia akan memenangkan mereka
di dunia, padahal mereka ada yang diusir, dibunuh, dan disiksa?!!
Ditimpakannya bala
adalah takdir Alloh untuk semua makhluk-Nya. Yang membedakan adalah, untuk orang-orang
pilihan, ujian itu akan semakin keras dan berlipat-lipat dari orang biasa.
Sebab mereka ini adalah orang-orang yang diperhatikan Alloh. Khususnya para
mujahidin, wajib dan tidak bisa tidak, mereka harus mengenyam pendidikan di
madrasah bala’. Mereka harus menerima pelajaran-pelajaran berupa penyaringan,
pembersihan dan penggemblengan jiwa.
Dalam Shohih Bukhori
Muslim diriwayatkan dari Sa‘ad bin Abi Waqqos radhiallahu ‘anhu ia berkata,
“Aku berkata, “Wahai Rosululloh, siapakah manusia yang paling dahsyat ujiannya?”
Rosululloh bersabda, “Para nabi, setelah itu orang-orang sholeh, setelah itu
yang berikutnya dan berikutnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya. Jika
agamanya kuat, bala-nya pun bertambah. Jika kadar agamanya tipis, balanya
diringankan. Dan orang beriman akan terus ditimpa bala sampai ia berjalan di
muka bumi tanpa sedikitpun ada kesalahan pada dirinya.”
Baihaqi meriwayatkan
dalam Syu‘abul Iman, Thobroni dalam Al-Mu‘jam Al-Kabir, dan Ibnu Sa‘d dalam
At-Thobaqot, dari ‘Abdullôh bin Iyas bin Abi Fathimah dari ayahnya dari
kakeknya ia berkata: Aku duduk di samping Rosululloh, tiba-tiba Rosululloh shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang senang dirinya sehat dan tidak sakit?” Tentu
saja kami katakan, “Kami ya Rosululloh,” Rosululloh shallallahu ‘alaihi
wasallam melanjutkan, “Mengapa demikian?” Dari raut mukanya, nampaknya beliau
kurang setuju.
Beliau bersabda
lagi, “Sukakah kalian seperti keledai yang kuat?” “Tentu tidak ya Rosululloh,”
jawab kami. Beliau bersabda, “Tidak sukakah kalian menjadi orang-orang yang
tertimpa bala tetapi dosa-dosanya dihapus?” Kami mengatakan, “Mau ya
Rosululloh,” Maka Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, “Demi
Alloh, sesungguhnya Alloh benar-benar menimpakan bala’ kepada orang mukmin,
Alloh tidak menimpakan bala kepadanya selain untuk memuliakannya. Dan sungguh
ia memiliki kedudukan yang tidak bisa ia gapai dengan amal apapun yang ia
miliki, selain dengan ditimpakannya bala.”
Tirmizî meriwayatkan
dari Jâbir radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Sungguh, orang-orang yang hidup sejahtera di dunia berangan-angan
seandainya kulit mereka dipotong-potong dengan gunting, lantaran melihat
besarnya pahala orang-orang yang di dunia ditimpa bala.”
Masih dalam hadits Rosululloh
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Di hari kiamat nanti,
didatangkan orang yang paling bahagia di dunia, lalu Alloh subhanahu wa ta’ala
berfirman: “Celupkan ia sekali celup ke dalam neraka!” Begitu selesai, Alloh
berfirman: “Hai anak Adam, pernahkah engkau mengecap kenikmatan? Pernahkah engkau
merasa senang? Pernahkah engkau merasa bahagia?” Ia menjawab, “Sama sekali
belum, demi kemuliaan-Mu!” Lalu Alloh berfirman: “Masukkan kembali ia ke
neraka.”
Kemudian didatangkan
orang tersengsara ketika di dunia, Alloh Tabaroka wa Ta‘ala berfirman:
“Celupkan ia sekali celup ke dalam surga,” Setelah itu ia dipanggil, Alloh
berfirman kepadanya: “Hai anak Adam, pernahkan engkau melihat sesuatu yang
tidak engkau sukai?” Ia menjawab, “Demi kemuliaan-Mu, hamba belum pernah
melihat hal yang tidak hamba sukai.”
Syaqiq Al-Balkhi berkata, “SIAPA
MENYAKSIKAN PAHALA KESUSAHAN, TIDAK AKAN INGIN KELUAR DARI KESUSAHAN.” Sesungguhnya Alloh subahanahu
wa ta’ala mensyariatkan jihad dalam rangka melengkapkan syariat-syariat agama,
dan mengangkat tingkatan jihad sedemikian tinggi sehingga ia merupakan puncak
dari semua beban tugas dari Alloh.
Alloh menjadikan
dalam jihad ada kesusahan dan bala yang tidak disenangi oleh jiwa, dan secara
manusiawi menakutkan. Tetapi dibalik itu, Alloh menjadikan jiwa senang terhadap
jihad, dan menjadikannya sebagai pendekat kepada indahnya permata iman dan
mutiara tauhid yang masih terpendam. Sehingga, tidak ada yang mau menjalaninya
selain orang yang jujur imannya dan kuat hidayahnya; “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Alloh dan
Rosul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Alloh, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS.
Al-Hujurôt [49]: 15)
Jihad pada
hakikatnya adalah membersihkan dan memurnikan jiwa hanya untuk robb dan
pencipta jiwa tersebut, dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan
menjemput janji-janji-Nya. Pembersihan dan pemurnian jiwa ini tidak akan
tercapai kecuali kalau jalan yang ditempuh tersebut harus dipenuhi dengan
berbagai kengerian dan ujian. Makanya, Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:
“…apabila Alloh
menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebagian
kamu dengan sebagian yang lain. Dan orang-orang yang gugur pada jalan Alloh,
Alloh tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Alloh akan memberi pimpinan kepada
mereka dan memperbaiki keadaan mereka. dan memasukkan mereka ke dalam surga
yang telah diperkenalkan-Nya kepada mereka.” (QS. Muhammad [47]:6)
“…seandainya Alloh
menghendaki, tentu mereka tidak saling perang, akan tetapi Alloh melakukan apa
yang Dia kehendaki.”
(QS. Al-Baqoroh [2]: 253)
Mengenai ayat ini,
Ibnu Katsîr berkata, “Artinya, pasti akan ada yang namanya ujian, yang dengan
itu nampaklah siapa wali Alloh. Dengan ujian itu pula musuh-Nya akan
terhinakan. Akan diketahui mana yang mukmin dan bersabar, serta mana yang
munafik dan jahat. Ayat ini ditujukan tentang peristiwa perang Uhud, ketika
Alloh menguji kaum mukminin. Di sanalah tampak keimanan, kesabaran, dan
kekokohan mereka, serta keteguhan untuk mentaati Alloh dan rosul-Nya. Dengan
kejadian ini pula, tabir kaum munafik tersingkap, dan ketahuan bagaimana mereka
sebenarnya menentang dan tidak suka berjihad, kelihatan sudah bagaimana
pengkhianatan mereka kepada kepada Alloh dan rosul-Nya shallallahu ‘alaihi
wasallam.”
Wahai hamba-hamba
Alloh…
Renungkanlah firman Alloh subhanahu wa
ta’ala:
“Dan di antara
manusia ada orang yang menyembah Alloh dengan berada di tepi; jika memperoleh kebajikan,
tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana,
berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat…” (QS. Al-Hajj
[22]:11)
Al-Baghowî meriwayatkan dalam
tafsirnya, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, “Ada seorang lelaki badui yang
beriman kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika setelah masuk
Islam dia mendapatkan anak dan banyak keturunan serta harta, ia berkata: “Ini
adalah agama yang bagus,” lantas ia pun beriman dan teguh beriman. Tetapi
ketika ia tidak mendapatkan anak, kuda piaraan dan hartanya tidak berkembang,
dan tertimpa paceklik, ia berkata: “Ini adalah agama yang jelek,” setelah itu
ia keluar dari agama Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam dan berbalik kafir
serta menentang Islam.”
Sayyid Quthb rahimahullah
berkata, “Jiwa-jiwa kita pasti menerima penempaan berupa bala’. Sejauh mana tekad
kita untuk berperang membela yang benar, pasti sejauh itu pula akan diuji
dengan ketakutan-ketakutan, suasana-suasana mencekam, kelaparan, kurangnya
harta dan nyawa serta buah-buahan. Ujian seperti ini harus dijalani, supaya
orang-orang yang mengaku beriman kelak mampu melaksanakan tugas-tugas akidah,
sehingga akidah itu benar-benar tertancap kuat dalam diri mereka sebanding
dengan beban yang harus ia emban, yang dengan itu mereka tidak akan lagi bisa
melepaskan akidah tersebut begitu berbentur dengan musibah pertama.
Jadi, beban-beban di
sini adalah harga mahal yang harus dibayar untuk memperkuat akidah dalam diri pemiliknya
sebelum ia sendiri menguatkan akidah tersebut dalam jiwa orang lain. Dan setiap
kali mereka merasakan kepedihan di atas jalan tersebut, setiap kali mereka
berkorban demi akidah tersebut, akan semakin kuat akidah tersebut menancap
dalam diri mereka dan mereka menjadi manusia yang paling berhak menyandangnya.
Lagipula, orang lain tidak akan faham sebesar apa nilai akidah tersebut, sebelum
ia menyaksikan bagaimana para penyandangnya ditimpa bala’ kemudian mereka bersabar
menanggungnya. Bala’ juga harus ada dalam rangka mempersolid dan memperkuat
pegangan para pemilik akidah.
Jadi, memang
peristiwa-peristiwa dahsyat datang, tetapi di dalamnya mengandung kekuatan dan
energi, akan membuka jendela-jendela dan saluran-saluran dalam hati, yang semua
itu tidak akan diketahui seorang mukmin selain dengan terjun dalam berbagai
peristiwa mencekam.” Demikian perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Imam Syafi‘i rahimahullah pernah
ditanya: “Mana yang lebih baik bagi orang beriman: diuji ataukah diberi
kekuasaan (tamkin)?” Beliau menjawab, “Kamu ini bagaimana, engkau kira dia akan
diberi kekuasaan sebelum diuji?”
Dan dari Sufwan bin
‘Amru ia berkata, Aku menjadi gubernur di Himsh, suatu ketika aku berjumpa dengan
seorang kakek tua yang alisnya sudah berjuntai ke mata, ia adalah salah seorang
penduduk Damaskus. Ketika sedang mengendarai hewan tunggangannya karena ingin
berangkat perang, kukatakan kepadanya: “Wahai paman, Alloh telah memberimu
udzur,” Maka kakek itu menyingkap kedua alisnya lalu berkata, “Wahai
keponakanku, Alloh telah memerintahkan kita berperang, baik dalam keadaan
ringan ataupun berat.”
Sungguh, orang yang
dicintai Alloh, pasti Dia uji:
Sabarlah menghadapi
kengerian berhari-hari, kelak akan tampak hasilnya,
Sabar hanya dimiliki
orang-orang yang mulia
Sebentar lagi Alloh
kan bukakan setelah kesabaran itu
Ketenangan-ketenangan
setelah kelelahan untuk orang sabar sepertimu
Sayyid Quthb rahimahullah
berkata, “Sesungguhnya iman bukan sekedar kata-kata yang diucapkan. Iman adalah
kenyataan yang penuh beban berat, amanah yang melelahkan, jihad yang
membutuhkan kesabaran, kesungguhan yang menuntut daya tahan menanggung beban.
Tidak cukup orang mengatakan, “Kami beriman,” lantas mereka dibiarkan begitu
saja melontarkan pengakuan ini; sebelum ia menghadapi ujian lalu ia teguh
menghadapinya. Setelah itu, barulah ia keluar dalam keadaan steril unsur-unsur
dalam jiwanya, dan bersih hatinya. Sama seperti api yang membakar emas untuk
memisahkan unsur-unsur tak berguna yang terikut di sana. Dan inilah asal kata
iman dari sisi bahasa. Lain lagi dengan makna, cakupan dan petunjuknya. Fitnah
ujian juga diberikan kepada hati.
Ujian terhadap iman
adalah perkara baku dan sunnah yang pasti berjalan di dalam timbangan Alloh subhanahu
wa ta’ala,
“Dan sungguh Kami
telah menguji orang-orang sebelum mereka, dan kelak Alloh akan tahu siapakah orang-orang
yang jujur dan orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut [29]: 3)
Iman juga merupakan
amanah Alloh di muka bumi, tidak ada yang sanggup memikulnya selain orang yang
memang layak memikulnya, dan kuat mengangkatnya, dalam hatinya ada keikhlasan
untuk itu. Ia hanya sanggup dipikul oleh orang-orang yang lebih mengutamakannya
daripada kehidupan serba santai, nyaman, aman, sejahtera, harta benda dunia dan
kemewahan. Sungguh iman adalah amanah, amanah untuk menegakkan khilafah di muka
bumi, membimbing manusia kepada jalan Alloh, serta merealisasikan kalimat-Nya
dalam kehidupan nyata.
Maka, iman adalah
amanah yang mulia sekaligus berat, ia berasal dari perintah Alloh yang
dengannya manusia terlihat wujud aslinya. Oleh karenanya, amanah ini memerlukan
tempat khusus, yang mampu bersabar ketika ada ujian.” Demikian perkataan beliau
rahimahullah.
Maka, kelompok yang
menempuh jalan jihad (dalam arti perang) di jalan Alloh, haruslah menyadari
tabiat pertempuran dan tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi guna mencapai
target-targetnya. Mereka mesti menyadari tabiat jalan yang harus ditempuhnya,
yang konsekwensinya adalah tertumpahnya darah pengikut-pengikutnya yang sholeh.
Kelompok ini harus menyadari bahwa jalan ini mengandung resiko hilangnya
orang-orang yang dicintai dan teman dekat, harus meninggalkan para kekasih dan
tanah air. Sama seperti ketika para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam -yang
merupakan makhluk terbaik setelah para nabi- menanggung pahitnya berhijrah, kehilangan
harta, keluarga, dan tempat tinggal. Semuanya adalah dijalani di atas jalan
Alloh. Lantas di manakah posisi kita dari mereka?
Tidak ada pilihan
bagi kelompok ini selain bersabar untuk terus melanjutkan perjalanan di atas
jalan yang ia tempuh, dan berharap pahala di sisi Alloh yang barangkali ada
ketika ia kehilangan sebagian komandan atau anggotanya. Kelompok ini harus
tetap berjalan di atas jalannya, dan menyadari bahwa ini adalah sunnatulloh ta’ala,
dan bahwa Alloh pasti memilih hamba-hamba-Nya yang sholeh dari umat ini. Ia
tidak boleh tergesa-gesa memohon kemenangan, sebab bagaimanapun janji Alloh
akan datang juga, pasti itu.
Seorang muslim harus
mengerti, bahwa mengikuti kebenaran dan bersabar di atasnya adalah jalan tersingkat
untuk meraih kemenangan, walaupun jalan tersebut panjang, banyak rintangannya,
dan sedikit yang mau menempuhnya. Sebaliknya, melenceng dari kebenaran tidak
akan mendatangkan apa pun selain kehinaan, walaupun nampaknya jalan itu mudah,
dan para penempuhnya mengira kemenangan dekat. Sesungguhnya itu tak lain adalah
fatamorgana.
Alloh subahanahu wa
ta’ala berfirman:
وَأَنَّ
هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوهُ وَ لَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ
فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُوْنَ
“Dan bahwasanya
inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan itu. Dan janganlah kalian
mengikuti jalan-jalan lain, sehingga kalian akan bercerai berai dari jalan-Nya.
Yang demikian itu diwasiatkan kepada kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An‘âm [6]:
153)
Itulah jihad, buah
dan hasilnya datang setelah kesabaran panjang, tinggal dalam waktu lama untuk menunggu
datangnya musuh, dan bersabar menghadapi kejahatan-kejahatan mereka selama berbulan-bulan,
bahkan bertahun-tahun. Jika engkau belum pernah merasakan kepedihan-kepedihan seperti
ini, Alloh tidak akan pernah membukakan pintu kemenangan untukmu, sebab
kemenangan itu bersama kesabaran.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, “Kepemimpinan dalam dien hanya diraih dengan sabar dan
yakin.”
Sesungguhnya,
pemahaman-pemahaman tentang kebenaran, kejujuran akidah dan tauhid, hanya akan menjadi
bahan mainan di kalangan manusia, tidak ada nilai ruhnya, kecuali jika ia
dibawa oleh manusia-manusia jujur dan bersabar menanggung beban-beban berat
serta berbagai rintangan di atas jalan tersebut; yang menganggap siksaan
sebagai hal biasa, menganggap kepayahan sebagai sesuatu yang manis, dan tidak
rela selain kematian demi menghidupkan pemahaman-pemahaman ini di dalam dunia
nyata, secara praktek yang riil. Pemahaman akidah tidak seperti dibayangkan
sebagian orang, yang mereka menghias-hiasnya dalam baris-baris teori falsafah
dan khutbah-khutbah memukau, yang jauh dari ruh pengamalan, kejujuran, dan pelaksanaan
nyata.
Dan sungguh, Islam
hari ini sangat-sangat membutuhkan para “lelaki” yang jujur lagi memiliki kesabaran,
yang selalu bersikap serius, menganggap kecapekan sebagai kelezatan, dan merasa
nikmat dengan kepayahan. Kemudian mereka terjemahkan tuntutan-tuntutan setiap
tahapan Islam dengan tidak banyak bicara… Para lelaki yang berjiwa jujur, memiliki
semangat tinggi, serta tekad yang kuat, yang dalam menerima perintah tidak
kenal kata lelah atau jenuh, dan tidak membuang cita-citanya hanya dalam
perdebatan dan adu argument saja.
Dulu dikatakan kata-kata bijak:
Segeralah bangkit
untuk bekerja keras dan bersabarlah
Menanghadapi
rintangan-rintangan dan ketidak indahan di atas jalan
Dulu dikatakan kata-kata bijak:
Akan
lemahlah orang yang tidak menyiapkan kesabaran dalam menghadapi setiap bala’
Atau
tidak menyiapkan kesyukuran ketika mendapat kenikmatan
Dan
tidak mengerti, bahwa dalam kesusahan ada kemudahan
Celakalah
diriku, dan mengapa semangat kita tidak terpacu
Menyambut
surga dan mendampingi orang-orang yang kembali kepada Alloh
Menyambut
bidadari-bidadari montok dan bermata jeli
Di
bawah naungan pohon Thuba teriring nyanyian merdu yang berhembus
Menuju
lentera-lentera emas bercahaya yang digantungkan pada ‘Arsy robbku
Yang
disediakan bagi mereka yang terbunuh di jalan-Nya
Alloh subhanahu wa
ta’ala berfirman:
وَلَا
يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيْرَةً وَلَا كَبِيْرَةً وَلَا يَقْطَعُونَ وَادِيًا
إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللهُ أَحْسَنَ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan tidaklah mereka
menafkahkan nafkah yang kecil maupun besar, dan tidak pula mereka memotong suatu
lembah, kecuali ditulis pahala bagi mereka, agar Alloh memberikan balasan yang
lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. At-Taubah [9]: 121)
Thobari meriwayatkan dari
Qotadah, ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata: “Tidaklah suatu kaum semakin jauh dari
keluarganya karena menempuh jalan Alloh, melainkan akan menambah kedekatannya
kepada Alloh.”
Maka hanya milik
Alloh lah segala urusan, sebelum dan sesudahnya. Kita ini tak lebih sekedar
sebagai hamba-Nya, kita hanya berusaha bagaimana merealisasikan ‘ubudiyyah
(ibadah) kepada-Nya. Dan di antara bentuk kesempurnaan ubudiyyah adalah: ketika
kita tahu dan meyakini dengan seyakin-yakinnya, bahwa janji Alloh pasti datang
dan tidak mungkin tidak. Akan tetapi, kita tidak mengetahui kapan janji ini
datang, karena ada hikmah yang diketahui Alloh. Bisa saja kemenangan tertunda, sebagai
sebuah bentuk ujian dan cobaan. Mahabenar Alloh, yang telah berfirman:
وَكَانَ
حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Dan adalah menjadi
kewajiban Kami menolong orang-orang beriman.” (QS. Ar-Rum: 47)
Alloh subhanahu wa
ta’ala telah menjanjikan akan memberikan kekuasaan (tamkîn) bagi orang-orang
yang bersabar. Alloh telah kabarkan juga, bahwa kemenangan, kekuatan, dan
kekuasaan yang dicapai oleh umat-umat terdahulu di muka bumi, semuanya karena seluruh
kesabaran dan tawakkal mereka kepada-Nya. Sebagaimana firman Alloh subhanahu wa
ta’ala:
“Dan Kami wariskan
kepada kaum yang telah tertindas itu, negeri-negeri bagian timur bumi dan bagian
baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan
Robbmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka.
Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir'aun dan kaumnya dan apa yang telah
dibangun mereka.”
(QS. Al-A‘rôf [7]:137)
Dulu, Alloh subhanahu
wa ta’ala memberikan kekuasaan dan kemuliaan di muka bumi kepada Nabi Yusuf,
setelah beliau mengenyam pahitnya masa pengasingan. Dan semua yang beliau raih
di istana Al-‘Aziz, tak lain disebabkan karena kesabaran dan ketakwaan beliau;
“Sesungguhnya, siapa
yang bertakwa dan bersabar, sesungguhnya Alloh tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang
yang berbuat baik.”
(QS. Yûsuf [12]: 90)
Alloh subhanahu wa
ta’ala menyebutkan pula, bahwa hasil akhir yang baik, adalah diperuntukkan bagi
orang-orang yang mampu bersabar dan bertakwa:
فَاصْبِرْ
إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِيْنَ
“Maka bersabarlah,
sesungguhnya hasil akhir itu adalah milik orang-orang bertakwa.” (QS. Hud [11]: 49)
Kita tahu secara
yakin, bahwa janji Alloh tidak akan pernah meleset. Yang menjadi masalah; kita
hanya membatasi pandangan kita kepada satu jenis kemenangan saja, yaitu
kemenangan lahiriyah (yang nampak secara kasat mata). Padahal, tidak selalunya kemenangan
seperti ini yang Alloh janjikan kepada para rosul dan hamba-hamba-Nya yang
beriman.
Kemenangan itu bisa
nampak dalam bentuk lain, di mana jiwa yang kalah dan lemah, tidak akan bisa melihatnya.
Di antara bentuk
kemenangan lain itu adalah:
-
Dulu, kabilah-kabilah Quraisy pernah melakukan kesepakatan untuk memboikot kaum
mukminin dan mengurung mereka di Syi‘ib (lembah) Abu Tholib, di antara mereka
terdapat orang-orang Bani Hasyim. Selama tiga tahun mereka tidak pernah
mengadakan transaksi jual beli. Sampai-sampai, kaum mukminin tidak mendapatkan sesuatu
yang bisa dimakan, selain serangga-serangga bumi yang mereka tangkap. Bahkan, hampir
saja kaum mukminin binasa kalau bukan karena limpahan rahmat dari Alloh
menghampiri mereka.
-
Kemudian kisah Ashabul Ukhdud. Dalam ceritanya, mereka dilemparkan ke
dalam parit-parit api, dan tidak sudi memberikan tawar menawar dalam urusan
agama yang mereka yakini. Mereka lebih memilih mati di jalan Alloh, walaupun setelah
itu thoghut mengubur mereka di parit-parit api yang ia buat, lalu ia
perintahkan penjaga-penjaga dan pasukannya untuk melemparkan orang-orang
beriman itu ke dalam api. Muncul lah sebuah pemandangan yang sungguh sangat
mengerikan, inilah yang menjadi hukuman bagi yang melemah atau coba melarikan diri.
Akan tetapi, tidak tercatat satu riwayat pun yang menyebutkan ada satu saja di
antara mereka yang mundur ke belakang, takut, atau melarikan diri. Bahkan, yang
kita temukan adalah maju terus dan keberanian, mereka malah menceburkan diri ke
dalam api. Seolah nyawa mereka telah mereka persiapkan untuk menjadi tebusan
bagi agama mereka. Maka, pada dasarnya mereka lah orang-orang yang memperoleh
kemenangan. Bahkan, Alloh subhanahu wa ta’ala menyebut tindakan mereka sebagai kemenangan
besar:
إِنَّ
الَّذِيْنَ آمَنُوا وَعَمِلُ الصَّلِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِيْ مِنْ
تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيْرُ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, mereka mendapatkan surga-surga yang
di bawahnya mengalir sungai-sungai. Itulah kesuksesan yang besar.” (QS. Al-Burûj [85]:
11)
- Dan
dari Anas bin Malik a ia berkata, “Pamanku, Anas bin Nadhr, tidak ikut dalam
perang Badar. Ia berkata, “Wahai Rosululloh, aku tidak ikut dalam perang
pertama kali engkau memerangi orang-orang musyrik, seandainya aku nanti
mengikuti perang melawan orang-orang musyrik, tentu Alloh akan melihat apa yang
bakal kulakukan.”
Maka tatkala pecah
perang Uhud dan kaum muslimin kocar-kacir, ia berkata, “Ya Alloh, aku memohonkan
uzur kepada-Mu atas yang diperbuat shahabat-shahabatku, dan aku berlepas diri
dari apa yang diperbuat orang-orang musyrik itu.” Setelah itu, ia maju ke depan
dan sempat bertemu dengan Sa‘ad bin Mu‘adz, ia berkata, “Wahai Sa‘ad bin
Mu‘adz, surga… demi Robb Nadhr, surga… demi Robb Nadhr, aku mencium baunya di
bawah bukit Uhud.” Sa‘ad mengatakan, “Wahai Rosululloh, aku tidak mampu
melakukan seperti yang ia lakukan.”
Anas melanjutkan
kisahnya, “Usai peperangan, kami temukan pada tubuhnya ada 80 luka lebih, mulai
tebasan pedang, tikaman tombak, atau tusukan panah, kami menemukannya telah terbunuh
dan dicincang-cincang tubuhnya oleh kaum musyrikin. Dalam kondisi seperti itu,
tidak ada seorangpun mampu mengenalinya lagi selain saudarinya, ia mengenali
lewat jari telunjuknya.” Kemudian Anas mengatakan, “Kami mengira bahwa ayat ini
turun mengenai orang-orang seperti dia atau yang semisal:
مِنَ
الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ
قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيْلًا
“Di antara
orang-orang beriman ada para lelaki yang berlaku jujur terhadap janji mereka
kepada Alloh; maka di antara mereka ada yang terbunuh, dan ada yang
menunggu-nunggu, dan mereka sama sekali tidak berubah.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 23)
-
Makna kemenangan yang hampir serupa dengan ini, dapat kita temukan dalam hadits
Khobbab bin Al-Arts, ketika ia datang kepada Rosululloh dan mengatakan,
“Tidakkah tuan memintakan pertolongan untuk kami? Tidakkah tuan memanjatkan doa
untuk kami?”
Mendengar keluhan ini,
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ada seorang lelaki dari
umat sebelum kalian yang ditanam di dalam bumi, setelah itu dibawakan gergaji,
lalu ia digergaji sejak dari kepalanya sampai akhirnya terbelah dua, tetapi itu
tidak memalingkan dirinya dari agamanya. Ada juga yang disisir dengan sisir besi,
sampai terlihat tulang-tulang di balik kulitnya, tetapi itu tidak
memalingkannya dari agamanya.”
- Di
antara bentuk kemenangan tersembunyi, yang tidak bisa dilihat oleh selain
orang-orang beriman adalah: walau sebengis dan sekelewat batas apapun siksaan
musuh, ia akan merasakan berbagai tekanan jiwa dan tersiksanya batin sebelum
akan menyiksa lawannya. Bahkan, setelah ia melakukan perbuatannya itu, ia tidak
bisa beristirahat dengan tenang, dan tidak bisa merasakan kebahagiaan. Makanya
dulu, Hajjaj bin Yusuf, begitu usai membunuh Sa‘id bin Jubair, ia merasakan
beraneka ragam siksaan batin. Sampai-sampai ia tidak bisa tidur dengan tenang dan
suka terbangun dari tempat tidurnya sambil ketakutan, lalu mengatakan: “Apakah
yang kulakukan kepada Said?”. Sebelum akhirnya ia mati membawa kegundahan dan
kesedihannya itu.
Inilah yang kita
yakini dalam perang yang kami lancarkan terhadap para pembawa bendera salib, thoghut
Amerika yang sombong. Walau sombong dan angkuhnya Amerika dengan perlengkapan dan
persenjataannya, tetapi ia mendapatkan kehinaan batin dan keruntuhan moral,
yang seandainya itu disiramkan ke atas gunung tentu ia akan meleleh.
Di dalam Al-Quran
juga disebutkan hakikat ini, sebagaimana tercantum pada surat Ali Imron, Alloh subhanahu
wa ta’ala berfirman:
“…dan apabila mereka
berlalu, mereka mendongkol hatinya kepada kalian. Katakanlah (Hai Muhammad),
matilah kalian dengan kedongkolan kalian, sesungguhnya Alloh Mahatahu apa yang
tersimpat dalam dada-dada. Jika kalian ditimpa kebaikan, mereka merasa sedih;
dan jika kalian ditimpa keburukan, mereka merasa senang dengan itu. Tetapi jika
kalian bersabar dan bertakwa, makar mereka tidak akan membahayakan kalian sama
sekali. Sesungguhnya Alloh Mahameliputi apa yang mereka lakukan.” (QS. Âli ‘Imrôn
[3]: 119)
Alloh subhanahu wa
ta’ala juga berfirman:
“Dan Alloh kembalikan orang-orang kafir
dengan kemarahan mereka, mereka tidak memperoleh kebaikan apapun. Dan Alloh
telah cukupkan orang-orang beriman dengan peperangan. Dan Alloh itu Mahakuat
lagi Mahaperkasa.”
(QS. Al-Ahzâb [33]: 25)
- Bentuk kemenangan
lain yang tidak bisa dilihat oleh orang-orang yang dibutakan pandangannya adalah:
Kemenangan karena kita menunggu-nunggu kehidupan yang sempurna, yang Alloh sediakan
bagi wali-wali dan orang-orang pilihan-Nya. Alloh subhanahu wa ta’ala
berfirman:
وَلَا
تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ
عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ
“Dan janganlah kalian sekali-kali mengira
bahwa orang yang terbunuh di jalan Alloh itu mati, bahkan mereka hidup dan
mendapat rizki di sisi robbnya.” (QS. Âli ‘Imrôn [3]: 169)
Seorang penyair berkata:
Siapa tidak mati
dengan pedang, akan mati dengan cara lain
Bermacam-macam
sebab, tapi kematian itu satu
Dari keterangan ini,
jelaslah bagi kita mengenai apakah makna yang utuh dari sebuah arti kemenangan,
berarti pula kita tidak bisa hanya membatasi kemenangan sesuai yang kita
inginkan.
Kemudian, motivasi
lain yang menjadikan mujahidin tetap teguh dan menunjukkan sikap kepahlawanan –
seperti yang kami lihat sendiri di kota Fallujah— adalah: Berita Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang mengkabarkan kepada kita bahwa di antara tanda
kemenangan agama Islam adalah, kekuatan apapun di muka bumi ini tidak akan mampu
membinasakan seluruh kaum mukminin seperti kita khawatirkan akan terjadinya
kembali peristiwa kaum nabi Nuh dan di awal-awal risalah.
Sebab, Rosululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam menerangkan, bahwa jihad ini akan terus tegak dan
dilaksanakan di muka bumi. Sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits shohih:
لَا
تَزَالُ طَائِفَةٌ مِّنْ أُمَّتِيْ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللهِ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ
خَذَلَهُمْ أَوْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ
“Akan terus ada satu kelompok dari umatku
yang melaksanakan perintah Alloh, tidak akan terpengaruh oleh orang yang
membiarkan dan menyelisihi mereka, sampai tiba ketentuan Alloh dan mereka tetap
dalam keadaan seperti itu.”
Sesungguhnya
kemenangan dan masa depan agama ini hanya di tangan Alloh ta’ala. Alloh telah
menjaminnya dan menjanjikan kemenangan itu. Maka, kalau Dia berkehendak, akan
dimenangkan dan diunggulkan. Dan jika berkehendak, kemenangan itu ditunda dan diakhirkan.
Alloh Mahabijak dan Mahatahu mengenai urusan-urusan-Nya. Jika kemenangan lambat
datang, maka itu karena sebuah hikmah yang telah Dia takdirkan ada kebaikan di
sana terhadap keimanan dan orang-orang beriman. Dan, tidak ada yang lebih cemburu
dalam urusan kebenaran melebihi Alloh, “Pada hari itu, kaum mukminin
bergembira dengan pertolongan Alloh, Alloh menolong siapa saja yang Dia
kehendaki, dan Dia Mahaperkasa lagi Mahapengasih. Itulah janji Alloh, Alloh
tidak menyelisihi janji-Nya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
(QS. Ar-Rûm [30]: 4 – 5)
Jangan kalian sangka,
kemuliaan hanyalah butir kurma yang kau makan Engkau tak akan mencapai
kemuliaan, sebelum engkau kunyah kesabaran Sesungguhnya Alloh, Dzat Yang
Mahabesar kekuasaan-Nya dan Mahaperkasa keagungan-Nya, memberikan nikmat kepada
orang-orang beriman berupa kemenangan sekali waktu, dan menimpakan bala kepada
mereka sekali waktu. Alloh menghalangi mereka meraih kenikmatan berupa
kemenangan ini dan justru menimpakan kepada mereka pedihnya bala’ disebabkan
adanya hikmah-hikmah yang Dia tentukan dan ketahui. Terkadang, Alloh memberikan
nikmat dalam bala’, sebesar apapun bala itu… Dan kadang Alloh menimpakan bala
kepada suatu kaum dengan berbagai kenikmatan…
Ibnu al-Qoyyim rahimahullah
membahas hikmah-hikmah ditundanya kemenangan ini dalam kitab beliau, Zâdul Ma‘ad,
beliau berkata:
“Di antara hikmah mengapa kemenangan
tertunda adalah: Karena itu termasuk ciri jalan yang ditempuh para rosul.
Heraklius pernah berkata kepada Abu Sufyan,
“Apakah kalian memerangi Nabi itu?” –maksudnya Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam — “Ya,” jawab Abu Sufyan. “Bagaimana peperangan yang terjadi
antara kalian dan dia?” tanya Heraklius. Abu Sufyan mengatakan, “Saling
bergiliran, kadang kami kalah dan kadang kami berhasil mengalahkannya.”
Heraklius berkata, “Demikianlah para rosul,
mereka diuji dan kemudian hasil akhir menjadi milik mereka.”
Hikmah
lain
adalah: terpilahnya antara orang beriman yang jujur, dan munafik yang pendusta.
Sesungguhnya ketika Alloh menangkan kaum muslimin dalam perang Badar, orang
yang dalam batinnya tidak Islam ikut masuk Islam secara lahiriyah. Maka, hikmah
Alloh k menentukan untuk menimpakah ujian, yang dengan itu akan kelihatan siapa
yang muslim sebenarnya dan siapa yang munafik. Maka ketika terjadi ujian
seperti ini, kepala-kepala orang munafikpun terlihat, mereka mengatakan apa
yang dulu mereka sembunyikan, rahasia mereka terungkap, ketidak jelasan mereka dulu
kini berubah menjadi sangat terang. Manusia akhirnya terbagi kepada yang kafir,
mukmin, dan munafik, dengan pembagian yang sangat nyata. Lalu, kaum mukminin
baru tahu kalau ternyata mereka punya musuh dalam satu tugas, musuh itu selalu bersama
mereka. Hal ini dimaksudkan agar di masa mendatang kaum mukminin waspada dan
berjaga-jaga terhadap orang-orang munafik.
Di
antara hikmah lain:
Seandainya Alloh subhanahu wa ta’ala selalu memberi kemenangan kepada
orang-orang beriman atas musuhnya, dan selalu memberikan kekuasaan serta
keperkasaan atas musuh-musuh mereka, tentu jiwa akan melampaui batas, sombong
dan angkuh. Kalau Alloh mudahkan kemenangan bagi mereka, tentu kondisinya sama
dengan ketika mereka dimudahkan rezekinya. Maka hamba tidak akan baik, kecuali
dengan diberi kebahagiaan sekali waktu, dan kesedihan di waktu yang lain,
diberi kegoncangan dan kelonggaran, kesempitan dan kemudahan. Alloh sajalah
yang Maha Mengatur urusan hamba-hamba-Nya sesuai hikmah-Nya, sesungguhnya Alloh
Maha Mengetahui dan Maha Melihat terhadap mereka.
Di
antara hikmah lainnya
adalah: Menampakkan ‘ubudiyah (sikap penghambaan) wali-wali dan pasukan-Nya,
baik di kala senang maupun susah, di kala mereka suka maupun tidak suka, di
kala menang maupun dikalahkan musuh. Jika mereka tetap teguh di atas ketaatan
ibadah ketika dalam kondisi suka atau tidak suka, berarti mereka benar-benar
hamba Alloh, bukan seperti orang yang beribadah kepada Alloh di satu sisi saja,
yaitu ketika senang, atau hanya ketika mendapatkan kenikmatan dan
kesejahteraan.
Hikmah
yang lain:
Jika Alloh memberi ujian mereka dengan kekalahan, mereka akan merendahkan diri,
merasa hancur dan rendah jiwanya. Ini memancing munculnya tekad untuk meraih
harga diri dan kemenangan. Sebab, turunnya kemenangan itu tiba bersama dengan
dominasi rasa hina dan patah semangat dalam diri. Alloh subahanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Alloh telah
menolong kalian di Badr ketika kalian saat itu lemah (hina)...” (QS. Âli ‘Imrôn
[3]: 123)
“…dan (juga menolong kalian) pada waktu
perang Hunain, ketika kalian merasa takjub dengan jumlah kalian yang banyak,
tetapi kemudian itu tidak bermanfaat buat kalian…” (QS. At-Taubah [9]:
25)
Jadi, kalau Alloh
hendak memuliakan, menguatkan, dan memenangkan hamba-Nya, terlebih dahulu Dia patahkan
semangatnya, sehingga kekuatan dan kemenangan itu sesuai dengan kadar merasa
hina dan patah semangat dia.
Di
antara hikmah yang lain: Alloh subahanahu wa ta’ala telah sediakan bagi
hamba-hamba-Nya yang beriman derajat-derajat di negeri kemuliaan-Nya (akhirat).
Derajat ini tidak akan mampu dicapai oleh amalan-amalan mereka, mereka tidak
bisa mencapainya selain dengan bala dan ujian. Maka, Alloh mendatangkan sebab
yang dengan itu akan mengantarkan mereka untuk sampai ke sana, dengan bala dan
ujian yang ia terima itu. Sebagaimana ketika Alloh memudahkan mereka untuk
beramal sholeh, yang juga termasuk sebab untuk menghantarkan kepada derajat
tersebut.
Hikmah
yang lain:
Suasana aman sejahtera yang terus menerus, atau kemenangan, atau kekayaan, menjadikan
diri kita berpotensi untuk melampaui batas dan cenderung menyukai kehidupan
dunia. Dan ini adalah penyakit yang menghalangi seseorang untuk
bersungguh-sungguh dalam menempuh perjalanan menuju Alloh dan negeri akhirat.
Maka jika Alloh sebagai robb jiwa tersebut, sebagai pemilik dan yang
mengasihinya hendak memuliakannya, Dia akan timpakan bala dan ujian kepadanya,
yang itu berfungsi sebagai obat dari penyakit yang menghalanginya melangkah di
atas jalan tadi.
Sehingga, bala dan
ujian itu kedudukannya seperti seorang dokter yang memberikan obat pahit kepada
orang sakit, atau memotong urat-uratnya yang sakit untuk mengeluarkan penyakit
dari tubuhnya. Seandainya dokter membiarkannya saja, penyakit akan
menggerogotinya dan lambat laun ia justru akan binasa.
Hikmah
lainnya:
Mati syahid adalah derajat tertinggi di sisi Alloh bagi wali-wali-Nya.
Orang-orang yang mati syahid adalah manusia yang diistimewakan Alloh sekaligus
menjadi hamba-hamba-Nya yang didekatkan. Dan tidak ada derajat setelah siddiqin
(orang yang jujur imannya) selain derajat kesyahidan. Sedangkan Alloh subahanahu
wa ta’ala suka mengambil di antara hamba-hamba-Nya sebagai syuhada, yang
darahnya tertumpah dalam rangka meraih kecintaan dan keridhoan-Nya, yang mereka
lebih memilih keridhoan dan kecintaan-Nya daripada nyawa mereka sendiri. Tidak
ada jalan untuk bisa meraih derajat ini selain dengan menempuh sebab-sebab yang
bisa menghantarkan ke sana, yaitu dengan dikuasakannya musuh.” Hingga di sini
perkataan Ibnu `l-Qoyyim rahimahullah.
Alloh subahanahu wa ta’ala berfirman:
كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا
وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ
يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Alloh mengetahu,
sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 216)
Di dalam Kitab
Al-Fawa’id, Imam Ibnu `l-Qoyyim berkata, “Dalam ayat ini terdapat beberapa hikmah,
rahasia, dan mashlahat bagi para hamba. Yaitu, jika seorang hamba menyadari
bahwa perkara yang tidak disukainya berpeluang mendatangkan perkara yang disukai,
dan perkara yang disukaipun berpeluang mendatangkan perkara yang tidak disukai,
maka ia tidak akan pernah merasa aman untuk tertimpa bahaya ketika dalam
kondisi senang; sebaliknya, ia tidak akan putus asa mendapatkan kebahagiaan ketika
tengah menghadapi situasi genting. Semua ini karena ketidak tahuan dia terhadap
akhir segala urusan. Maka sesungguhnya Alloh sajalah yang tahu apa yang ia
tidak tahu. Selanjutnya, ini akan membawanya kepada beberapa hal, yaitu:
-
Bahwasanya tidak ada yang lebih bermanfaat daripada melaksanakan perintah
Alloh, walaupun di awal mulanya terasa berat. Sebab, akhir dari melaksanakan
perintah, semuanya adalah kebaikan, kebahagiaan, kelezatan, dan kesenangan.
Walaupun nafsu tidak menyukainya, tapi itu lebih baik dan bermanfaat baginya.
Pun sebaliknya, tidak ada yang lebih berbahaya daripada melakukan perkara yang
dilarang Alloh, walaupun nafsunya suka dan cenderung kepadanya. Sebab hasil
akhir dari melakukan hal yang dilarang, semuanya adalah kepedihan, kesedihan,
keburukan, dan berbagai mushibah. Maka cara berfikir yang hebat adalah, rela menanggung
kepedihan sementara demi menggapai kelezatan besar dan kebaikan banyak setelahnya;
dan rela meninggalkan kelezatan yang hanya sementara demi menghindari kepedihan
besar serta keburukan panjang yang adanya.
-
Rahasia lain dalam ayat ini: Akan menjadikan seorang hamba untuk pasrah kepada
Alloh, Dzat yang mengetahui akhir segala urusan, ridho dengan apa yang Dia
pilihkan untuknya, dan melaksanakannya, karena ia tahu dengan melaksanakannya
ada harapan untuk mendapat akhir yang baik.
-
Seorang hamba tidak akan protes, tidak mengajukan pilihannya sendiri, dan tidak
meminta sesuatu yang tidak ia ketahui ilmunya kepada robbnya. Karena siapa
tahu, madhorot dan kebinasaannya justru dalam pilihan yang ia inginkan tersebut
tetapi ia tidak sadar. Dengan demikian, seorang hamba tidak akan pernah menolak
apa yang Alloh pilihkan untuk dirinya, bahkan ia memohon diberi ikhtiyar
(pilihan) yang baik untuk menempuhnya, kemudian Alloh meridhoinya dengan apa
yang telah Dia pilihkan untuknya. Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi hamba
selain sikap seperti ini.
-
Jika hamba menyerahkan urusannya kepada Alloh dan ridho terhadap apa yang Dia
pilihkan untuknya, Alloh akan memberinya pertolongan berupa kekuatan untuk
menempuh pilihan tersebut dengan tekad kuat dan kesabaran, akan dipalingkan
dari berbagai musibah yang itu akan muncul ketika ia justru mengikuti
pilihannya sendiri. Alloh juga akan menampakkan kepadanya akhir yang baik dari
pilihan-Nya untuk si hamba, yang mana itu tidak akan ia capai –walau hanya sebagian-ketika
ia turuti pilihannya yang ia sukai.
-
Sikap ini membuat hamba tidak perlu susah payah memeras pikiran dalam
menentukan bermacam-macam pilihan yang ia hadapi, hatinya tidak perlu bersusah
payah untuk memperkirakan dan mengatur, yang itu justru akan menghantarkannya
dari satu rintangan ke rintangan lain, padahal ia tetap tidak bisa menghindari
dari apa yang telah ditakdirkan untuknya. Maka, kalau ia ridho dengan pilihan yang
Alloh tentukan, ia akan terkena takdir dalam keadaan terpuji, diberi
kesyukuran, dan dikasihi di dalam menjalaninya. Tetapi kalau tidak ridho, takdir
tetap berlaku atasnya, sementara ia dalam keadaan tercela dan tidak dikasihi
dalam menjalaninya. Mengapa tercela? Karena ia masih menginginkan apa yang
sebenarnya ia pilih. Jadi, setiap kali hamba pasrah dan ridho dengan pilihan
Alloh, ia menjalani takdir dengan diberi belas kasihan dan kelembutan-Nya.
Sehingga ia selalu berada antara belas kasihan dan kelembutan Alloh. Belas
kasihan Alloh akan melindunginya dari apa yang ia takuti, sedangkan kelembutan-Nya
akan menjadikannya menganggap ringan apa saja ditakdirkan atas dirinya. Ketika
sebuah takdir berjalan pada diri seorang hamba, penyebab terbesar ia tertekan adalah
usaha dia untuk menolak takdir tersebut.
Maka, tidak ada yang
lebih bermanfaat baginya selain pasrah kepada takdir dan menghadapinya dengan
seikhlas-ikhlasnya, seperti terlentangnya onggokan bangkai. Sesungguhnya,
binatang buas tidak akan pernah mau memakan bangkai.” Sampai di sini perkataan
beliau rahimahullah.
Sebuah tuntunan
mengingatkanku malam ini Air mata menetes karenanya, tidak terhindarkan lagi Wahai
putriku, kitab Alloh memerintahkanku keluar berperang Dalam keadaan aku tidak
suka, tetapi Akankah kutolak perintah Alloh?
Jika aku kembali,
barangkali hanya makhluk yang menyebabkanku kembali Jika aku harus berjumpa
robbku, aku akan dapat ganti Aku tidak pincang dan buta sehingga bisa beralasan
Aku juga bukan orang lemah yang tidak bisa berbuat apapun…
Thobari meriwayatkan dalam
Kitab Tarikh-nya, dari Ibnu Ishaq, bahwasanya ada seorang shahabat Rosululloh shallallahu
‘alaihi wasallam berkata, “Aku dan saudaraku ikut serta dalam perang Uhud
bersama Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam. Selesai perang, kami pulang
dengan kondisi terluka. Lalu, tatkala penyeru Rosululloh shallallahu ‘alaihi
wasallam mengumumkan untuk berangkat lagi mengejar musuh, aku berkata kepada saudaraku
–dalam riwayat lain, saudaraku mengatakan kepadaku—, “Apakah kamu akan membiarkanku
tidak ikut dalam perang bersama Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam?”
Padahal, demi Alloh saat itu kami tidak lagi memiliki kendaraan, dan kami semua
sudah pada terluka parah. Akhirnya kami keluar bersama Rosululloh shallallahu
‘alaihi wasallam, sementara aku sendiri bagian kiri tubuhku terluka. Maka, jika
saudaraku itu tidak kuat aku menggotongnya, dan itu terus memaksa berjalan tertatih-tatih.
Sampai akhirnya kami berhasil menyertai kaum muslimin hingga tempat tujuan.”
Abu’d-Darda’
berkata, “PUNCAK TERTINGGI KEIMANAN ADALAH: BERSABAR TERHADAP KETENTUAN
ALLOH, DAN RIDHO DENGAN TAKDIR-NYA.”
Dengan obat ini,
kita akan bisa sembuh dari luka-luka kita yang menganga di sana sini.
Setelah kita
memahami hakikat-hakikat ini, barulah kita dapat menilai pertempuran yang belum
lama ini terjadi di Fallujah dengan selayaknya, dan tahulah kita mengapa perang
itu bisa terus bertahan dan terur berkecamuk melibatkan seluruh komponen kekuatannya.
Sebab, hari ini, inilah satu-satunya pertempuran yang terjadi di garis
perbatasan Islam terdepan. Keteguhan dan ribath di garis-garis pertempuran di
sini, berarti menjaga perbatasan terdepan kita untuk bisa menyerang kekufuran
dan kezaliman.
Ketika kita
menyaksikan musuh berhasil masuk begitu jauh ke dalam kota, berpatroli di jalan-jalannya,
serta berhasil membangun markas di beberapa distrik kota, bukan berarti mereka
telah berhasil meraih kemenangan. Sebab peperangan kita adalah perang jalanan
dan perang kota. Taktik dan tekhnik melancarkan perlawanan dan serangan mempunyai
bermacam-macam model. Sementara, perang yang berlangsung sengit ini, tidak bisa
dipastikan hasilnya hanya dengan hitungan hari atau pekan, namun hasilnya
ditentukan oleh fihak mana yang mengumumkannya.
Terlepas dari hasil
pertempuran ini, kita sudah cukup bahagia menyaksikan anak-anak Islam teguh bak
gunung menjulang di atas garis-garis pertempuran Fallujah yang penuh berkah.
Mereka telah memberi pelajaran-pelajaran baru kepada umat ini, yaitu bagaimana
kita harus kuat, sabar, dan yakin.
Barangkali, ada
baiknya kita tengok beberapa pelajaran tersebut, dan hasil-hasil besar yang
dicapai dalam pertempuran di Fallujah, ketika musuh menyerang dengan secara
arogan. Saya katakan:
Pertama: Pertempuran ini
telah menghidupkan kembali makna-makna izzah (harga diri), kemuliaan, dan
keteguhan. Sekaligus meyakinkan kepada umat, bahwa di sana masih ada satu kelompok
(meskipun kecil) dari pemeluk-pemeluknya yang mampu menghadapi
marabahaya-marabahaya yang sengit ini dengan penuh keberanian, keteguhan, dan
semangat. Kelompok ini meyakinkan umatnya bahwa mereka jujur dalam menjalankan
program dan proyek-proyeknya, inilah yang akan mendorong umat untuk siap
bangkit kembali dan rela mengorbankan banyak darah para pemeluk dan
pemimpinnya.
Kedua: Umat Islam
mendapatkan pelajaran –walaupun sekarang tengah tertimpa kehinaan dan
keputusasaan—bahwa ternyata ia mampu menghadapi, melawan, dan berperang
menghadapi kekuatan-kekuatan besar dunia dan penguasa bengisnya, cukup dengan
sedikit anggota-anggotanya, dan dengan persenjataan-persenjataan ringan. Dengan
itu, mereka mampu menimpakan kerugian besar dan menyakitkan terhadap fihak
musuh, sekaligus memaksanya menelan kekalahan pahit.
Ketiga: Fallujah telah
membuka medan perang bagi mereka yang ingin berperang. Perang ini telah membakar
semangat anak-anak Islam dari dalam dan luar Irak. Banyak sekali anak-anak
Islam yang menumpahkan darahnya yang suci di atas bumi Fallujah ini, dalam
rangka bangkit melaksanakan tugas-tugas jihad dan berperang menghadapi persekongkolan
tentara salib internasional. Maka tersulutlah api-api peperangan dan huru-hara
di berbagai daerah Irak, mereka membentuk pasukan-pasukan dan
kelompok-kelompok, dan mujahidinpun terus maju untuk menyerang kamp-kamp
militer musuh, menyerang pemukiman-pemukiman dan basis-basisnya. Dengan
anugerah Alloh, kami telah menyaksikan kerugian-kerugian dalam jumlah besar yang
diderita musuh di tanah Irak secara menyeluruh.
Di antara kebanggaan
kita terhadap kemenangan ini adalah, semakin menguatnya mental para pelaku jihad,
dan runtuhlah sudah dongeng-dongeng tentang alat-alat perang yang canggih itu.
Semangat mereka hari ini telah terbebas dari sifat lemah dan takut, dan kini
mulai beranjak menuju medan-medan kerja keras dan perjuangan.
Keempat: Pertempuran
Fallujah melahirkan sebuah kemenangan berupa taktik militer yang cukup menguntungkan.
Semua orang tahu, Amerika lebih unggul dalam sisi persenjataan militer,
kemajuan pasukan serta taktik perang yang mereka miliki.
Dengan semua
fasilitas itu, mereka bermaksud membidik sasaran cukup dari kejauhan, tanpa
harus melakukan pertempuran langsung atau aksi baku tembak. Dengan ini, pasukan
Amerika ingin mengamankan keselamatan tentaranya, supaya tidak ada satupun dari
mereka yang hilang nyawanya dalam pertempuran-pertempuran langsung. Akan
tetapi, secara berangsur-angsur, Fallujah berhasil memancing alat-alat canggih
mereka –dengan taktik terencana tentunya—untuk masuk ke dalam perang di jalan-jalan
yang cukup sengit dan tidak beraturan, mereka dipaksa untuk mengerahkan semua
kekuatan, kemampuan, dan persenjataannya. Alhasil, tentara Amerika harus
berhadapan dengan kematian kapan saja, dari arah yang tidak mereka sangka.
Amerika terpancing untuk turun ke sudut-sudut kota, ke jalan-jalan, dan masuk
ke rumah serta bangunan-bangunan.
Maka, merekapun
dihadapkan dengan peluru dan ranjau-ranjau mujahidin. Mereka begitu kaget,
karena kemampuan tempur mereka dipaksa untuk dipakai terjun dalam perlawanan
langsung, sesekali harus maju dan sesekali harus mundur. Mau tak mau merekapun
harus melakukan pertempuran dari jarak dekat yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya.
Dari sanalah, mereka menderita kerugian-kerugian besar, baik kerugian moril dan
kerugian hancurnya lebih dari puluhan –bahkan ratusan—kendaraan-kendaraan
militer.
Kelima: Departemen
Pertahanan Amerika harus menelan kekalahan mental yang cukup besar. Bagi yang
memantau dan mengikuti jalannya pertempuran kali ini, akan tahu dengan jelas
bahwa mujahidin tidak pernah bisa dihentikan oleh gertakan model apapun,
walaupun dengan melancarkan pengeboman massal yang bertujuan memusnahkan mereka
semua. Sekarang ini, kecerdikan-kecerdikan strategi dalam urusan jihad telah
menjadi senjata andalan untuk menghadapi langkah-langkah perang yang dipakai Amerika
dan pasukan multinasional. Rasa bangga dan keteguhan yang terjadi di Fallujah,
membuat mental para komandan musuh down, mereka mulai terjangkiti ketidak
sukaan, kebosanan, dan kejatuhan mental. Apa yang terjadi di masa mendatang,
akan lebih mengerikan dan pahit, dengan pertolongan Alloh ‘azza wa jalla.
Keenam: Pertempuran
Fallujah turut andil dengan keteguhan dan ketahanan mentalnya, dalam menyingkap
topeng wajah-wajah murtad, munafik, dan antek musuh. Pertempuran Fallujah
berhasil menanggalkan pakaian kesombongan yang dikenakan oleh pemerintahan
murtad pimpinan ‘Iyadh Allawi, berhasil menyingkap kepalsuan yang ia gembar-gemborkan
bahwa dirinya menginginkan kebaikan bagi rakyat Irak, menjaga darah mereka, dan
menghindarkan mereka dari perang serta krisis berkepanjangan, tetapi ia tidak
berhasil mengambil simpati rakyat. Ditambah lagi, semua orang menyaksikan
ternyata dia begitu antusias menjalankan keputusan untuk menyerang Fallujah, dan
tangannya berkecimpung dalam darah-darah suci penduduk kota ini. Ia bunuh
ribuan orang dari mereka, ia usir puluhan ribu, dan ia lakukan aksi-aksi penghancuran
dan peluluh lantakan bangunan, ia perkosa kehormatan, ia rampok harta, dengan
alasan memerangi terorisme dan demi menjaga kemaslahatan negara.
Ketujuh: Pertempuran di
Fallujah berhasil menjatuhkan topeng semu yang menutupi keburukan-keburukan
wajah kaum Rafhidhah (syi‘ah) keparat itu. Dengan kedengkiannya, mereka ikut terjun
dalam penyerangan ini. Dengan kejahatan yang nampak jelas, mereka ikut serta
dalam pasukan militer untuk menyerang Fallujah, dengan restu dari pemimpin
kekufuran dan kezindiqan; Ali As-Sistani. Mereka memiliki andil besar dalam
aksi pembunuhan, perampokan, penghancuran rumah, menghilangkan nyawa anak
kecil, wanita, dan orang tua. Bahkan, nafsu kebencian mereka menyeret mereka
untuk berbuat kejahatan besar; mereka nekat masuk ke masjid-masjid Alloh yang
tadinya aman, kemudian menajisinya. Setelah itu, mereka memasang fhoto-fhoto si
syetan mereka, As-Sistani, pada tembok-tembok, lalu di bawahnya menulis kalimat
dengan penuh kedengkian: “Hari ini tanah kalian, besok kehormatan kalian.”
Dan perlu dicatat;
90 % pasukan keamanan pemerintahan “berhala” sekarang ini terdiri dari kaum Rafidhah,
sementara 10 % sisanya berasal dari suku Kurdi Basymarqah.
Benarlah yang
dikatakan oleh seorang ulama mengenai siapa Rafidhoh: “Mereka adalah bibit
orang nasrani, yang menanam yahudi, ditanam di lahan kaum majusi.”
Kedelapan: Dalam pertempuran
kali ini, program-program terselubung dari musuh-musuh jihad mulai terungkap.
Karena dalam pasukan militer mereka, ada beberapa barisan di belakang yang
turut menyerang. Jelas di sana keikut sertaan 800 orang tentara Israel, mereka
didampingi 18 rabi yahudi yang menjadi pemutus perkara bagi kebanyakan mereka.
Ini seperti yang diberitakan sendiri oleh koran harian dan berbagai media
informasi yang mereka miliki. Di sana juga terlihat, keikut sertaan militer
Yordania yang terdiri dari beberapa orang jendral lapangan, mereka ikut
menyusun strategi dan menggempur kota. Ini menunjukkan kepada semua orang,
bahwa Fallujah memang benar-benar basis gerakan jihad, yang siang malam
menjadikan musuh-musuh Islam (baik kaum kafir asli maupun murtaddin) tidak bisa
tidur tenang.
Kesembilan: Di antara buah
pertempuran sengit di Fallujah adalah, kembali segarnya darah-darah mujahidin
dalam urat-urat mereka, dan semakin bersemangatnya mereka untuk meningkatkan
operasi jihad terhadap target-target yang telah ditentukan. Pertempuran ini
telah melahirkan satu generasi yang siap menjadi pemimpin, melahirkan kekuatan
dan pengalaman yang terlihat langsung dari peristiwa tersebut. Mereka menjadi
berangan-angan untuk terus mencoba, membiasakan diri, berusaha, dan bertekad
kuat untuk melanjutkan jalan yang telah mereka pilih. Kedahsyatan-kedahsyatan
perang kali ini telah menjernihkan jiwa mereka, sekaligus mengubahnya menjadi
kuat dan kokoh.
Sayyid Quthb rahimahullah berkata
dalam Fî Dzilali `l-Qur’an: “Menghadapi kenyataan-kenyataan pahit dan kesiapan
mendapat kematian kapan saja dalam jihad fi sabilillah, akan membiasakan jiwa
untuk menganggap ringan kengerian-kengerian ini, di mana pada umumnya, jiwa,
akhlak, timbangan berfikir dan penilaian manusia, selalunya ingin
menghindari-nya. Kengerian ini adalah ringan, betul-betul ringan, bagi orang
yang sudah terbiasa menghadapinya, baik ia selamat atau kemudian berbenturan
dengan kengerian itu. Menghadapi kengerian seperti itu sembari menyerahkan diri
kepada Alloh setiap saat, akan menjadikan jiwa terdidik, sama seperti ketika aliran
listrik menyengat tubuh; aliran itu seolah menjadi tenaga baru dalam memulihkan
hati dan jiwa kembali jernih dan baik. Di samping itu, pembiasaan seperti
inilah yang akan menjadi faktor-faktor lahiriyah untuk memperbaiki seluruh
komponen masyarakat umat manusia… yaitu dengan mengarahkan mereka melalui
tangan-tangan mujahidin yang hati mereka sama sekali bersih dari tujuan-tujuan
dunia dan kegemerlapannya, merekalah yang tidak menganggap mahal kehidupan seraya
terjun ke pertempuran di jalan Alloh menghadapi kematian, dan hati mereka sama
sekali tak terpalingkan dari Alloh dan dari usaha mencari keridhoan-Nya.
Ketika kepemimpinan
dipegang oleh tangan orang-orang seperti ini, seluruh bumi akan menjadi baik, para
hamba juga menjadi baik, mereka akan menjadi mulia dengan perantaraan
tangan-tangan seperti ini dan tidak sudi lagi menyerahkan bendera kepemimpinan
ke tangan-tangan kekafiran, kesesatan, dan kerusakan, sementara ia sudah bersusah
payah menebusnya dengan darah dan nyawa. Semua yang berharga dan mahal telah ia
korbankan sedemikian murah demi mendapatkan bendera kepemimpinan ini, bukan
untuk dirinya, tetapi untuk Alloh.
Setelah semua ini
terwujud, sarana apa saja akan dimudahkan bagi mereka yang Alloh kehendaki
baik, sehingga mereka mudah mendapatkan keridhoan dan pahala tak terbatas
dari-Nya. Sebaliknya, sarana apa saja akan dibuka bagi mereka yang Alloh
kehendaki keburukan pada dirinya, sehingga ia dengan mudah bisa berbuat apa
saja yang menyebabkan Alloh murka kepadanya, sesuai pengetahuan Alloh terhadap
hati dan isi batinnya.” Sampai di sini perkataan Sayyid Quthb.
Kesepuluh: Adanya orang-orang
yang dipilih gugur sebagai syahid. Orang-orang beriman di sini, telah diberi
kemuliaan, yaitu jalan yang mereka lalui mesti terbentuk dengan darah para
penempuhnya yang gugur sebagai syuhada. Demikian pula, para pemimpin dan
kader-kadernya menjadi para penghuni garis pertempuran terdepan. Ini menunjukkan,
betapa para pelaku jihad ini memiliki kejujuran, kejujuran untuk melaksanakan
tuntutan-tuntutan tauhid dan akidah dengan rela dan penuh keikhlasan.
Di sisi lain, mereka
seperti mendapat kabar gembira, yaitu Alloh telah memilih orang-orang terbaik
dari mereka untuk berjumpa dengan-Nya. Sehingga Alloh takdirkan orang-orang ini
untuk menemui kesyahidan, dan menggapai kemenangan berupa keridhoan dari-Nya
terhadap apa yang selama ini mereka harap dan cari. Maka, Alloh telah memenuhi
janji-Nya kepada mereka, serta menepati apa yang mereka pinta.
Sebenarnya, seperti
ini jugalah kondisi para pendahulu mereka yang sholeh (kaum salafus sholeh).
Mereka sangat bersemangat berburu kematian, sama semangatnya dengan orang-orang
sepeninggal mereka dalam mencari kehidupan. Sungguh, mati syahid adalah
cita-cita terbesar mereka, mereka bergegas menuju medan pertempuran karena
senang jika terbunuh di jalan Alloh. Jika dikalkulasi, prosentase shahabat yang
gugur sebagai syuhada dalam semua pertempuran di zaman mereka, berjumlah 80 %.
Syuhada dari kaum
muhajirin dan Anshor adalah terbanyak dari jumlah semua yang gugur sebagai syuhada
dalam perang Yamamah. Dari penduduk Madinah, yang syahid ketika itu ada 360
orang, dari kaum muhajirin yang juga penduduk Madinah ada 300 orang. Untuk tabi’in, ada 300 orang yang
syahid. Jadi, jumlah yang syahid dari kaum muhajirin, Anshor, dan tabi’in
ketika itu adalah 80 % dari seluruh jumlah yang mati syahid. Karena, dari semua
syuhada yang berjumlah 1200 orang, jumlah syuhada muhajirin, Anshor, dan
tabi‘in berarti berjumlah 960 orang. Dan, kita mesti catat, yang syahid dari kalangan
ahli Al-Quran (Qurro’), para penghafal Al-Quran, dan ulama kaum muslimin, dalam
perang Yamamah berjumlah 300 orang. Dalam lain riwayat disebutkan 500 orang.
Artinya, dalam satu perang saja jumlah orang-orang istimewa tersebut yang syahid
ada 25 % jika mengacu riwayat yang menyebutkan ada 300 orang, atau 45 % jika
mengacu riwayat yang menyebutkan 500 orang. Ini adalah jumlah yang tergolong
sangat besar.
Bagi mereka yang
tekun mengkaji buku-buku induk tentang para shahabat, akan menemukan bahwa setiap
lima orang hanya ada satu saja yang meninggal di atas kasurnya, sementara empat
sisanya mati syahid di medan-medan pertempuran. Sehingga tidak heran, kalau
ketika itu penaklukan-penaklukan begitu cepat, begitu kokoh dan tahan lama. Ini
ketika abad-abad pertama hijriyah.
Dalam kesempatan
kali ini, ada baiknya kita puji keteguhan para pahlawan mujahid kita. Kami akan
sedikit bercerita tengan nikmat-nikmat Alloh subhanahu wa ta’ala yang Dia
berikan kepada mereka, berupa karomah-karomah dan kelembutan-kelembutan robbani
yang melingkupi mereka ketika tengah bertempur melawan pasukan Amerika dan
sekutunya di kota Fallujah. Semua itu terjadi agar para mujahidin semakin teguh
dan terhibur menghadapi kondisi yang sekarang tengah mereka alami.
Inilah kisah
tersebut:
Pada hari ketiga
pertempuran di Fallujah, setelah kota ini dibombardir dari udara dengan begitu
gencar, para mujahidin terbangun dari tidurnya malam itu. Mereka melihat
kendaraan-kendaraan humvee dan tank-tank pasukan Amerika sudah bercokol di
jalan-jalan dan gang-gang kota. Melihat pemandangan seperti ini, para perwira
Islam keluar menyambut pertempuran sengit, dibawah komando Akh Abu ‘Azzam,
‘Umar Hadid, Abu Nashir Al-Libbiy, Abu l-Harits, Muhammad Jasim Al-‘Isawiy, dan
para pahlawan lain. Mereka berhasil memaksa musuh mundur ke pojok-pojok kota,
padahal mujahidin hanya bersenjatakan senapan jenis PK dan Kalashinkof.
Dalam kejadian ini,
korban tewas dari fihak Amerika sangat banyak, sampai-sampai banyak di antara mereka
yang lari dari perang lalu bersembunyi di rumah-rumah kaum muslimin. Semula,
para mujahidin keberatan untuk menerobos masuk ke rumah-rumah tersebut,
khawatir akan menganggu kaum muslimin. Tetapi setelah berhasil memastikan bahwa
di sana memang terdapat pasukan Amerika, mujahidinpun masuk ke sana, dan benar saja…mereka
menemukan tentara Amerika tengah bersembunyi. Tanpa pikir panjang, mereka bunuh
orang-orang Amerika itu, seperti membunuh serangga dan lalat saja. Walillâhi`l-Hamdu
wa`l-Minnah, Segala puji dan anugerah hanya milik Alloh.
Beberapa hari
setelah peperangan berlanjut, salah seorang komandan mujahidin menawarkan
kepada Akh ‘Umar Hadid dan Abu `l-Harits Jasim Al-‘Isyawiy untuk mencukur
jenggotnya dan keluar dari Fallujah, setelah melihat ada jalur aman untuk
menyelamatkan diri. Komandan itu menyarankan untuk melancarkan serangan dari luar
kota saja. Tetapi kedua pahlawan kita ini menolak, mereka berkata, “Demi Alloh,
kami tidak akan keluar selagi di dalam kota masih ada seorang muhajir saja yang
tetap teguh bertahan di sana.” Akhirnya, keduanya terus berperang sampai menemui
kesyahidan. Semoga Alloh Ta’ala merahmati mereka berdua, serta menerimanya
menjadi hamba-hamba-Nya yang berstatus syuhada.
Kisah selanjutnya,
pernah beberapa ikhwah mengalami kelaparan selama berhari-hari. Setelah mereka
hanya bisa berharap dan berbaik sangka serta yakin kepada Alloh subhanahu wa ta’ala,
tiba-tiba saja mereka menemukan buah semangka yang sangat besar. Ketika mereka
buka, warnanya sungguh sangat merah, warna merah terbaik yang pernah mereka lihat.
Lalu mereka memakannya untuk beberapa hari, merekapun kenyang, lalu bertahmid
serta tak hentinya merasa keheranan. Mereka berkesimpulan, kelezatan buah
semangka ini belum pernah mereka rasakan di dunia sebelumnya. Dan sudah
dimaklumi bersama, bahwa saat itu bukan musim semangka, lagi pula biasanya
bukan di situ lahan pertanian semangka.
Kisah lain, sering
sekali ikhwan-ikhwan menghadapi masalah kesulitan mendapat makanan dan minuman.
Sampai suatu ketika, pernah mereka kehabisan air, padahal mereka sangat haus
sekali. Saking hausnya, mulut mereka sampai mengeluarkan busa. Ketika mereka
hendak mencari beberapa tetes air, untuk sekedar membasahi kerongkongan mereka,
mereka masuk ke sebuah bangunan rumah. Di sana, mereka menemukan tiga geriba
air yang pada sebagian sisinya ada hiasan yang aneh. Mereka takjub ketika melihatnya,
sebab baik di Fallujah atau kota Irak lainnya, tidak ada tempat air seindah
geriba ini. Ketika mereka meminum airnya, tahulah mereka bahwa ini bukan
sekedar air dunia. Merekapun minum sampai puas. Setelah itu, mereka bersumpah bahwa
mereka belum pernah minum air selezat ini selama hidup di dunia.
Kisah lain, ada
seorang ikhwan dari Jazirah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam (Arab)
tertembak kepalanya oleh sniper. Peluru menembus dari jidat hingga ke belakang
kepalanya. Otaknyapun berhamburan pada pundak kanannya. Melihat itu,
ikhwan-ikhwan yang lain segera menolongnya dan mengumpulkan ceceran daging
kepalanya, lalu mereka tempelkan lagi pada tempat yang tertembus peluru.
Setelah itu, mereka membalut tempat terlukanya dan kemudian membiarkannya.
Lewat beberapa hari, akhi kita ini sembuh, dan sekarang orangnya masih hidup
tanpa kurang apapun, hanya ia agak gagap dalam berbicara. Semoga Alloh menerima
amalannya dan amalan ikhwan-ikhwan yang lain.
Mengenai kisah aroma
misik, ini sudah menjadi cerita yang sangat masyhur di kalangan para mujahidin.
Banyak sekali ikhwan-ikhwan kita yang bercerita mengenai bau harum yang keluar
dari mereka yang gugur sebagai syuhada dan terluka. Semoga Alloh menerima
amalan mereka semua.
Di antaranya adalah
kisah Akhi kita, sang pahlawan, Abu Tholhah Al-Bihaniy. Beliau mengalami luka sangat
parah. Tiba-tiba saja aroma wangi menyebar di mana-mana, sampai tercium hingga
ke jalan-jalan dan banyak sekali ikhwah yang turut mencium baunya. Setelah itu,
beliau menemui kesyahidan –nahsabuhu wallohu hasiibuh wa laa nuzakkii ‘ala `l-Lohi
Ahada—, sekedar anggapan kami, dan hanya Alloh-lah yang tahu tentang beliau,
dan kami tidak menganggap suci seorangpun di hadapan Alloh.
Di antara faktor yang
menjadikan para mujahidin semakin teguh dan tenang, adalah kisah yang diceritakan
oleh banyak sekali dari mereka yang ikut dalam pertempuran di sini. Yaitu,
mereka mendengar suara kuda dan dentingan pedang saling beradu ketika perang
tengah memuncak dan berkecamuk hebat. Berkali-kali para ikhwah keheranan dengan
kejadian itu. Begitu pulang, mereka bertanya kepada ikhwan-ikhwan Anshor, siapa
tahu saja di sana memang ada kuda-kuda yang letaknya berdekatan dengan
Fallujah. Tetapi, ikhwan-ikhwan Anshor meyakinkan bahwa tidak ada kuda di sini.
Alhamdulillah,
segala puji hanya bagi Alloh, baik di awal atau di akhir.
Di dalam Al-Musnad,
Imam Ahmad meriwayatkan, demikian juga Hakim dalam Al-Mustadrok, dari Abu Burdah
bin Qois, beliau adalah saudara shahabat Abu Musa, ia berkata, Rosululloh shallallahu
‘alaihi wasallam pernah berdoa, “Ya Alloh, jadikanlah kematian umatku adalah terbunuh
di jalan-Mu, baik tertikam atau terkena penyakit tho‘un.”
Alloh subhanahu wa
ta’ala berfirman:
وَلَا
تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قَتِلُوا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ
عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ * فَرِحِيْنَ بِمَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ
وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِيْنَ لَمْ يَلْحَقُوْا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Janganlah kamu
mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Alloh itu mati; bahkan mereka itu
hidup di sisi Robbnya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira
disebabkan karunia Alloh yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang
hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul
mereka; bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.”
(QS. ‘Âli ‘Imrôn [3]: 169-170)
Hiduplah sebagai
raja, atau kalau mati matilah sebagai orang mulia Dalam keadaan menghunus
pedang, dengan pedang mulia kamu diberi udzur
Inilah sekelumit
kisah tentang bagaimana keteguhan para mujahidin di tanah Fallujah yang penuh
berkah, serta kemenangan-kemenangan yang banyak faedahnya dan besar akibat
berikutnya. Ini hanya akan difahami oleh orang yang adil dalam memahami kejadian
dan peristiwa-peristiwa di atas.
Wahai umat islam…
Luka dan
tikaman-tikaman mengenai diri kalian secara bertubi-tubi, penyakit kalian sudah
sangat melumpuhkan, tidak akan bisa terobati selain dengan tauhid yang
dipancangkan di atas bendera jihad. Lantas, kapankah kalian akan mengambil
keputusan tegas untuk berperang dan keluar dari kebekuan?
Peperangan-peperangan
sekarang ini tidak akan pernah mereda atau berhenti. Bukankah Nabi kita, Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam, sendiri tidak suka untuk tidak ikut dalam sariyah
yang dikirim untuk berperang di jalan Alloh? Bahkan, di antara aktifitas rutin
beliau adalah menjalankan perang dan jihad setiap waktu.
Aku ingatkan kalian
dengan sebuah hadits ketika malaikat Jibril menegur Rosululloh shallallahu ‘alaihi
wasallam setelah perang Ahzab. Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhori, ia menuturkan:
“Ketika Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam pulang ke Madinah, beliaupun
meletakkan senjata beliau. Maka datanglah malaikat Jibril, ia berkata, “Apakah
senjata telah diletakkan? Demi Alloh, para malaikat belum meletakkan senjata
sama sekali. Bangkitlah bersama pasukanmu untuk menyerang Bani Quroidhoh. Sesungguhnya
aku akan berjalan di depanmu, aku akan mengguncangkan benteng mereka dan kutakutkan
hati mereka.” Maka Jibrilpun berjalan di depan pasukan malaikat, sementara
barisan berikutnya adalah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam di depan para
pasukan beliau, yaitu kaum muhajirin dan Anshor.”
Wahai kaum muslimin…
bagaimana kalian menganggap ringan melihat saudara-saudara seagama kalian
tertimpa berbagai macam siksaan, pembunuhan, dan penghancuran, sementara kalian
aman-aman saja di rumah kalian, selamat sentosa di tengah keluarga dan harta
benda kalian?
Bagaimana itu bisa
terjadi?
JUDUL ASLI:
WA KADZALIKA’R
RUSUL, TUBTALÂ TSUMMA TAKÛNU LAHUMUL ‘ÂQIBAH
OLEH: ASY-SYAHID SYAIKH ABU
MUSH‘AB AL-ZARQOWI RAHIMAHULLOH
JUDUL TERJEMAHAN: INILAH JALAN
PARA ROSUL
ALIH BAHASA: AHMAD ILHAM
AL-KANDARI
AL-QAEDOON GROUP
Jama’ah Simpatisan &
Pendukung Mujahidin
Semoga
Alloh Jalla wa ‘Alaa membalas kebaikan orang yang menyebar buku ini tanpa
merubah isinya dan tidak mempergunakannya untuk kepentingan komersil kecuali seijin
Publisher, pergunakanlah untuk kepentingan kaum Muslimin !
“…Maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai
mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat
pengintaian…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar