DAN DIJADIKAN RIZKIKU
DI BAWAH BAYANGAN TOMBAKKU
Oleh: Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali
(Pembahasan berikut
adalah penjelasan tentang hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
"Dan rizkiku dijadikan
di bawah naungan tombakku".
Hadits ini
dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan lain-lain dari riwayat Ibnu 'Umar dengan sanad
shahih. Penjelasan berikut dinukil dari karya Ibnu Rajab al-Hanbali yang
berjudul "Al-Hikam al-Jadirah bil Idha'ah").
Hadits
ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah mengutus Rasul-Nya
untuk bekerja mencari dunia, tidak untuk mengumpulkannya tidak juga untuk
menyimpannya, tidak untuk berjuang dalam mencari sebab-sebabnya, namun beliau
diutus tidak lain untuk menyeru kepada tauhid-Nya saja dengan pedang, dan ini
mengharuskannya untuk membunuh musuh-musuh yang menolak menerima tauhid,
menumpahkan darah mereka, merampas harta mereka, menawan wanita dan anak-anak
mereka, sehingga rizkinya berasal dari harta rampasan perang yang Allah berikan
dari harta-harta musuhnya, karena sesungguhnya harta dijadikan Allah untuk Bani
Adam tidak lain adalah untuk sarana ketaatan dan beribadah kepada-Nya, siapa
yang mempergunakannya untuk kekufuran kepada Allah dan kesyirikan kepada-Nya
maka Allah akan menguasakan atasnya Rasul-Nya dan pengikutnya untuk merebutnya
dari para musuh dan mengembalikannya kepada yang berhak dari para hamba Allah
yang bertauhid dan taat kepadanya.
Karena itulah harta
ini disebut fa’i (yang kembali) karena bermakna kembali ke tempat yang paling
berhak dan untuknya diciptakan. Dan di antara bunyi ayat yang telah mansukh
(dihapus) dari Al-Quran adalah: "Dan sesungguhnya kami turunkan harta
tidak lain adalah untuk mendirikan shalat dan membayar zakat".
Maka ahli tauhid dan
ta’at kepada Allah lebih berhak kepada harta dari ahli kufur dan syirik
kepada-Nya, sehingga mereka merampas harta itu, dan dijadikan rizki Rasulullah
dari harta itu karena dia harta paling halal sebagaimana yang Allah firmankan :
"Maka makanlah dari
sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu sebagai makanan yang halal
lagi baik."
(Al-Anfal:
69)
Dan ini merupakan
kekhususan dari Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan
umatnya, dan kepada mereka ghanimah ini dihalalkan. Ada juga yang berpendapat
bahwa yang dikhususkan kehalalannya adalah ghanimah yang didapat dari
peperangan dan bukan fa’i, adapun fa’i yang didapatkan tanpa peperangan maka
itu halal dan boleh bagi umat-umat sebelumnya dan dari inilah rizki Rasul-Nya
dijadikan.
Ghanimah menjadi harta
paling halal karena beberapa alasan:
Dia adalah harta
yang dirampas dari orang-orang yang tidak berhak agar tidak digunakan untuk
bermaksiat dan syirik kepada Allah, jika dia direbut dari orang yang
mempergunakannya bukan untuk mentauhidkan Allah dan taat kepada-Nya, menyeru
kepada ibadah kepada-Nya, maka dia menjadi harta yang paling Allah cintai dan
paling baik dari sisi cara memperolehnya. Dan juga, sesungguhnya nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam berjihad tidak lain untuk meninggikan kalimat
Allah dan agama-Nya, bukan demi ghanimah, beliau memperolehnya tidak lain
sekedar hasil yang menyertai dari jihadnya di jalan Allah, beliau sama sekali
tidak pernah mengkhususkan satu waktunya sedikit pun untuk murni mencari rizki,
namun semua waktunya adalah ibadah kepada Allah saja dan memurnikannya, sehingga
Allah menjadikan rizkinya mudah selama beliau dalam ketaatan tanpa harus
menjadikannya tujuan dan bekerja keras meraihnya. Sebagaimana yang diriwayatkan
secara mursal* bahwa Rasulullah bersabda: "Aku adalah rasul rahmah
(kasih sayang), dan aku adalah rasul malhamah (perang berdarah), sesungguhnya
Allah mengutusku dengan jihad dan bukan dengan bercocok tanam".
(Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat)
*Mursal yaitu hadits
yang diriwayatkan tanpa menyebutkan nama sahabat di dalam sanadnya, edt
Al-Baghawi
meriwayatkan di dalam Mu’jamnya secara mursal: "Sesungguhnya aku diutus
dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, dan Dia tidak menjadikanku petani
atau pedagang, atau berniaga di pasar, dan Dia menjadikan rizkiku di bawah
naungan tombakku".
Disebutkan tombak
dan bukan pedang supaya tidak dikatakan bahwa nabi mencari rizki dari harta
ghanimah, tetapi supaya dikatakan bahwa Rasulullah diberi rizki dari harta yang
Allah jadikan fa’i atasnya seperti dari Khaibar dan Fadak.
Dan harta fa’i
adalah harta yang ditinggalkan oleh pemiliknya karena melarikan diri karena
ketakutan, berbeda dengan ghanimah yang diperoleh dengan perang dan pedang, dan
disebutkan tombak karena dia lebih dekat kepada makna fa’i, karena musuh akan
melihat tombak dari kejauhan sehingga mereka lari ketakutan, sehingga larinya
musuh karena bayang-bayang tombak, dan harta yang diambil darinya itulah harta
fa’i yang darinya rizki nabi diperoleh, berbeda dengan ghanimah, karena dia
diperoleh tidak lain dengan perang dan pedang. Wallahu a’lam.
Umar bin Abdul Aziz
rahimahullah mengatakan; "Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengutus
Muhammad sebagai Hadiy (pemberi petunjuk) dan bukan sebagai Jabi (pengumpul
uang)". Karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disibukkan
waktunya dengan ketaatan kepada Allah dan dakwah kepada tauhid, maka apa yang
beliau peroleh dari harta, baik itu fa’i atau ghanimah, itu hanyalah sampingan
dan bukan tujuan utama. Karena itulah beliau mencela orang yang meninggalkan
jihad dan menyibukkan diri dengan mengais harta, sehingga Allah menurunkan
firman-Nya "Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam
kebinasaan dengan tanganmu sendiri" (Al-Baqarah: 195),
ketika orang-orang Anshar berniat meninggalkan jihad dan menyibukkan diri
dengan memperbanyak harta dan mengolah tanah.
Dan di dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda; "Jika kalian telah berjual beli dengan system ‘inah dan
mengikuti ekor-ekor sapi, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan kuasakan
kepada kalian kehinaan yang tidak akan Allah cabut dari leher-leher kalian
hingga kalian kembali ke agama kalian". (Shahih; diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dan Abu Dawud).
Karena itulah para
shahabat memakruhkan untuk masuk ke tanah kharaj (pajak tanah) untuk bercocok
tanam karena itu akan melalaikan dari jihad.
Makhul mengatakan;
"Sesungguhnya kaum muslimin ketika baru tiba di Syam mereka tertarik
dengan pertanian di Al-Hulah, kemudian mereka bercocok tanam hingga hal itu
terdengar oleh Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau lalu mengutus seseorang
ke kebun mereka dan membakarnya dengan api, lalu beliau menulis surat kepada
mereka; "Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizki umat ini di mata
tombak mereka, jika mereka kemudian bercocok tanam maka dia seperti manusia
lainnya". (Diriwayatkan oleh Asad bin Musa)
Diriwayatkan oleh
Al-Baidhawi dengan sanad darinya, dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau
menulis; "Barang siapa yang menanam suatu tanaman dan mengikuti
ekor-ekor sapi dan rela dengan itu dan menyenanginya maka aku tetapkan atasnya
jizyah". Salah seseorang ada yang bertanya padanya; "Mengapa kau
tidak bercocok tanam untuk keluargamu?" Maka dia menjawab; "Demi
Allah kita tidak datang untuk bercocok tanam, tapi kita datang untuk membunuh
orang-orang yang bercocok tanam dan memakan tanaman mereka".*
*Ini dan riwayat
sebelumnya merupakan bentuk tarhib (peringatan akan dosa, tidak cinta materi
dan beramal sia-sia), dan bukan berarti diamalkan begitu saja, karena bercocok
tanam hukumnya adalah mubah (diperbolehkan). Namun maksud dari ini semua adalah
hendaknya orang yang beriman hidup dengan ditopang jihad sehingga dengan
demikian dia merebut pertanian musuh kafir mereka, tidak mendedikasikan
hidupnya seluruhnya untuk bercocok tanam seperti musuhnya.
Maka kondisi terbaik
seorang mukmin adalah ketika kesibukannya untuk ketaatan kepada Allah dan jihad
di jalan-Nya, berdakwah kepada ketaatan kepada-Nya dan tidak mengharapkan dunia
dengan ini semua, lalu mengambil harta fa’i dengan kadar secukupnya,
sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang
menyiapkan untuk keluarganya bahan makanan untuk jatah selama satu tahun dari
harta fa’i kemudian membagikan sisanya, namun beliau terkadang melihat
seseorang yang membutuhkan hingga kemudian beliau memberikan jatah keluarganya
itu hingga tidak tersisa sedikit pun.
Begitu juga orang
yang sibuk dengan ilmu, karena itu adalah salah satu dari dua jenis jihad,
sehingga kesibukannya dengan ilmu sama seperti jihad fi sabilillah dan dakwah
kepada-Nya, maka hendaklah dia mengambil dari harta fa’i atau wakaf sesuai
dengan kebutuhannya untuk memperkuat dirinya dalam jihadnya, sehingga tidak
pantas baginya untuk mengambil lebih dari kebutuhan itu.
Imam Ahmad secara
khusus menyebutkan bahwa seseorang tidak boleh mengambil lebih dari
kebutuhannya dari kas Baitul Mal seperti kharaj (pajak tanah). Sedangkan uang
dari wakaf bahkan lebih ketat.
Dan siapa pun yang
sibuk dengan tugasnya kepada Allah, maka Allah akan menjamin rizki-Nya atasnya,
seperti disebutkan dalam hadits riwayat Zaid Ibn Tsabit bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
"BARANGSIAPA MENJADIKAN DUNIA SEBAGAI TUJUANNYA, ALLAH
AKAN MENJADIKAN KEFAKIRAN (KEMISKINAN) DI DEPAN MATANYA, MENCERAI-BERAIKAN
DUNIANYA, DAN DUNIA TIDAK DATANG KEPADANYA KECUALI APA YANG TELAH DITETAPKAN
BAGINYA.
DAN BARANGSIAPA YANG
MENJADIKAN AKHIRAT SEBAGAI TUJUANNYA, ALLAH AKAN MENJADIKAN
KEKAYAAN DI HATINYA. DAN ALLAH AKAN MENGUMPULKAN DUNIANYA, DAN DUNIA DATANG
KEPADANYA DENGAN TUNDUK."
(Diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad shahih)
At-Tirmidzi
meriwayatkan secara marfu’ bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda; "Allah berfirman; Wahai anak Adam! Beribadahlah sepenuhnya kepadaKu,
niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dada dengan kekayaan dan Aku
penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, niscaya Aku penuhi tanganmu
dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu." (Shahih. Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan lain-lain dari Abu Hurairah)
Ibnu Majah
meriwayatkan hadits marfu' dari Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa menjadikan tujuannya hanya untuk
akhiratnya maka Allah akan mencukupkan kebutuhannya terhadap dunianya. Dan
barangsiapa yang hatinya terbagi oleh banyak kekhawatiran akan hal dunia, maka
Allah tidak akan peduli di lembah mana dia binasa." (Hasan: diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dari Ibnu 'Umar dan Ibnu Mas'ud)
Juga diriwayatkan
dalam beberapa riwayat Israiliyat bahwa Allah berfirman, "Wahai dunia,
layanilah siapa pun melayani-Ku, dan lelahkanlah siapa pun yang
melayanimu."
Source : Dabiq Magazine 4,
Al-Hayat Media Centre, Ad Daulatul
Islamiyah Dhulhijjah 1435 H,
Hal : 10 – 13,
Penerjemah : Al Hayat Media
Centre
Editor : AKM Pustaka,
Desain Sampul : Abu
Sistemologi
Tata Letak : Abu Sistemologi
Terbitan I : 11 September
2018 / 1 Muharrom 1440 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar