HUKUMAN UNTUK KEMAKSIATAN LAINNYA
Oleh : Ibnu Taimiyah
Adapun
kemaksiatan-kemaksiatan yang tidak dikenakan hukuman tertentu dan kaffarah (denda),
seperti orang yang mencium anak-anak dan wanita yang bukan mahramnya, menikmati
(wanita) tanpa persetubuhan, memakan makanan yang tidak halal seperti darah dan
bangkai, menuduh orang lain dengan tuduhan selain zina, mencuri barang yang
tidak disimpan meskipun sedikit, mengkhianati amanatnya (seperti orang-orang
mengurusi harta Baitul Mal atau wakaf, harta anak yatim dan sejenisnya, apabila
mereka mengkhianatinya, serta para wakil dan sekutu apabila mereka berkhianat),
curang dalam bertransaksi seperti orang yang melakukan penipuan dalam makanan
dan pakaian, mengurangi takaran dan timbangan, bersaksi palsu atau menyuruh
bersaksi palsu, mengambil suap dalam memutuskan hukum, memutuskan perkara
dengan selain hukum Allah, berbangga-bangga dengan kebanggaan jahiliah,
memenuhi seruan jahiliah dan berbagai macam perbuatan haram lainnya; maka
mereka harus diberi sanksi berupa ta'zir atau hukuman berdasarkan kebijaksanaan
pemimpin, menurut banyak sedikitnya dosa yang dilakukannya. Jika kesalahannya
banyak maka hukumannya lebih banyak, berbeda apabila kesalahan yang dilakukannya
cuma sedikit. Juga tergantung keadaan pelaku dosa tersebut. Apabila ia termasuk
orang yang sering melakukan perbuatan nista maka hukumannya lebih banyak,
berbeda dengan orang yang jarang melakukannya. Juga tergantung besar kecilnya kesalahan
yang dilakukan. Orang yang suka mengganggu kehormatan istri orang lain beserta
anak-anaknya, dihukum lebih keras dibandingkan dengan orang yang tidak pernah
mengganggu kehormatan kecuali kepada seorang wanita atau seorang anak.
Tidak ada ketentuan mengenai
batas minimal sanksi ta'zir. Tetapi sanksi itu bisa dilakukan dengan
berbagai cara yang dapat mencela seseorang berupa ucapan dan perbuatan, tidak
berbicara dan tidak berbuat. Seseorang adakalanya diberi sanksi dengan cara menasihatinya,
mencelanya dan mengerasinya. Adakalanya diberi sanksi dengan mengucilkannya dan
tidak memberi salam kepadanya sampai dia bertaubat, jika itu ada
kemaslahatannya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para
sahabatnya mengucilkan "tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang
Tabuk". Adakalanya seseorang diberi sanksi dengan melengserkannya dari
jabatannya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya
memberi sanksi demikian. Adakalanya diberi sanksi dengan tidak
mengikutserta-kannya dalam pasukan umat Islam, seperti terhadap prajurit yang
lari dari medan pertempuran. Sebab melarikan diri dari medan pertempuran
termasuk salah satu dosa besar. Tidak memberi gaji juga termasuk sanksi
untuknya.
Demikian pula seorang amir (pimpinan)
apabila melakukan kesalahan yang dianggap besar, maka ia dicopot dari
jabatannya, itu juga merupakan sanksi buatnya. Demikian pula adakalanya seseorang
diberi hukuman penjara, adakalanya dihukum dengan cemeti, dan adakalanya
dihukum dengan menghitamkan wajahnya serta menaikkannya di atas kendaraan
secara terbalik. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab radhiallahu
‘anhu bahwa beliau memerintahkan demikian terhadap orang yang bersaksi palsu.
Sebab pendusta itu menghitamkan wajah (membikin malu), maka wajahnya dihitamkan,
dan membolak-balikkan pembicaraan, maka ia dinaikkan dalam keadaan terbalik.
Adapun batas maksimal sanksi
ta'zir maka -konon- tidak boleh melebihi sepuluh kali cambukan. Sementara
kebanyakan ulama berpendapat bahwa sanksi tersebut tidak boleh melebihi had
(sanksi hukum tertentu). Kemudian mereka berselisih lagi pada dua pendapat.
Sebagian mereka berpendapat, tidak boleh mencapai had yang paling rendah. Orang
merdeka tidak mencapai had yang paling rendah bagi orang merdeka, yaitu 40 atau
80 cambukan. Sedangkan hamba sahaya tidak boleh mencapai had terrendah yang
berlaku bagi hamba sahaya, yaitu 20 atau 40. Konon, masing-masing dari keduanya
tidak boleh mencapai had terendah yang berlaku bagi hamba sahaya. Sebagian
mereka berpendapat, masing-masing kesalahan tidak boleh mencapai had jenisnya,
meskipun melebihi had jenis lainnya. Maka pencuri yang mencuri bukan dari
tempat penyimpanan tidak boleh dihukum potong tangan, meskipun boleh dicambuk melebihi
had orang yang menuduh berzina. Orang yang melakukan perbuatan yang mendekati
zina tidak dihukum dengan had zina, meskipun boleh melebihi had orang yang
menuduh berzina. Sebagaimana diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab radhiallahu
‘anhu bahwa seorang laki-laki mengukir cincin yang diambilnya dari Baitul Mal, maka
beliau memerintahkan supaya ia dicambuk seratus kali. Kemudian pada hari kedua
beliau memukulnya sebanyak seratus kali. Kemudian para hari ketiga beliau
memukulnya sebanyak seratus kali.
Diriwayatkan dari Khulafa'ur
rasyidin mengenai laki-laki dan perempuan yang kepergok berada dalam satu
selimut: keduanya didera seratus kali. Dan diriwayatkan dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam mengenai orang yang menyetubuhi sahaya wanita milik istrinya,
إِنْ
كَانَتْ أَحَلَّتْهَا لَهُ جُلِدَ مِائَةً وَ إِنْ لَمْ تَكُنْ أَحَلَّتْهَا لَهُ
رُجِمَ
"Jika istrinya
menghalalkan sahayanya untuknya, maka ia didera seratus kali dan jika ia tidak
menghajatkannya untuknya, maka ia harus dirajam."
[Abu Daud dalam al-Hudud, no. 4459,
at-Tirmidzi dalam al-Hudud, no. 1451; keduanya dari an-Nu'man bin Basyir; dan
Ibnu Majah dalam al-Hudud. no. 2551 dari Hubaib bin Salim.]
Pendapat-pendapat ini
terdapat dalam madzhab Ahmad dan selainnya. Sementara dua pendapat pertama
terdapat dalam madzhab asy-Syafi'i dan selainnya.
Adapun Malik dan lainnya, diceritakan
darinya, bahwa sebagian perbuatan dosa ada yang mencapai sanksi bunuh, dan ini
disepakati oleh sebagian sahabat Ahmad. Misalnya, orang Islam menjadi mata-mata
bagi musuh guna memerangi umat Islam. Tapi Ahmad tidak berkomentar mengenai
kebolehan membunuhnya. Sedangkan Malik dan sebagian pengikut Ahmad -seperti
Ibnu Aqil- membolehkan untuk membunuhnya. Sementara Abu Hanifah, asy-Syafi'i
dan sebagian sahabat Ahmad -seperti Qadhi Abu Ya'la melarangnya.
Segolongan dari sahabat
asy-Syafi'i, Ahmad dan lainnya membolehkan membunuh orang yang menyeru kepada
bid'ah yang menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah. Demikian pula kebanyakan sahabat
Malik. Mereka mengatakan, "Malik dan lainnya hanyalah membolehkan membunuh
Qadariyah karena mereka membuat kerusakan di muka bumi, bukan karena
murtad." Demikian pula pendapat mengenai membunuh tukang sihir. Kebanyakan
para ulama berpendapat bahwa ia harus dibunuh. Telah diriwayatkan dari Jundab
4fc secara mauquf dan marfu',
إِنَّ
حَدَّ السَّاحِرِ ضَرْبُهُ بِالسَّيْفِ
"Sesungguhnya hukuman
bagi tukang sihir ialah ia dipenggal dengan pedang."
(HR. at-Tirmidzi dalam al-Hudud,
no. 1460).
Dari Umar, Utsman, Hafshah,
Abdullah bin Umar dan para sahabat lainnya radhiallahu ‘anhum: bahwa tukang
sihir harus dibunuh. Menurut sebagian ulama, ia dibunuh karena kekafirannya.
Menurut sebagian yang lainnya, ia dibunuh karena membawa kerusakan di muka bumi.
Tetapi jumhur ulama memandang bahwa membunuhnya merupakan sanksi yang sudah
ditentukan. Demikian pula Abu Hanifah berpendapat bahwa harus diberi sanksi
bunuh terhadap kejahatan yang berkali-kali dilakukan, apabila jenisnya
mengharuskan hukuman mati, sebagaimana orang yang berkali-kali melakukan homoseksual
atau menipu manusia guna mengambil harta dan sejenisnya harus dibunuh.
Mungkin bisa dijadikan dalil
bahwa selama pelaku kerusakan itu tidak bisa dihentikan kejahatannya melainkan
dengan dibunuh, maka ia harus dibunuh; adalah hadits yang diriwayatkan Muslim dalam
Shahihnya dari Arfajah al-Asyja'i radhiallahu ‘anhu. Ia mengatakan, "Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يَشُقَّ
عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتِكُمْ فَاقْتُلُوهُ
“Barangsiapa yang mendatangi
kalian sedangkan kalian bersatu untuk taat pada seorang pemimpin, ia
berkeinginan memecah keutuhan kalian atau mencerai beratkan jamaah kalian, maka
bunuhlah ia'."
[Muslim dalam al-Imarah, 1852/60]
Dalam sebuah riwayat
disebutkan,
سَتَكُوْنَ
هَنَاتٍ، فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَهِيَ جَمِيْعٌ
فَاضْرِبُوْهُ بِالسَّيْفِ، كَائِنًا مَنْ كَانَ
"Akan
ada nantinya penyebar fitnah, yakni siapa saja yang hendak mencerai-beraikan
urusan umat yang telah bersatu, maka tebaslah ia dengan pedang, siapa pun
dia!" [Muslim dalam al-Imarah, 1852/60]
Demikian pula disebutkan dalam
perintah beliau untuk membunuh peminum khamr untuk sanksi keempat kalinya;
berdasarkan hadits riwayat Ahmad dalam al-Musnad dari Dailam al-Himyari radhiallahu
‘anhu. Ia menuturkan, "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, 'Wahai Rasulullah, kami berada di negeri untuk melakukan
pekerjaan yang berat dan kami membuat minuman dari gandum supaya kami kuat untuk
melakukan pekerjaan kami serta melindungi diri dari dinginnya udara negeri
kami.' Beliau bertanya, 'Apakah ia memabukkan?' Aku menjawab, 'Ya.'
Beliau bersabda, 'Jauhilah!' Aku berkata, 'Jika manusia tidak mau
meninggalkannya?' Beliau bersabda, 'Jika mereka tidak mau meninggalkannya,
maka perangilah mereka'." [Ahmad 4/232]
Ini mengingat karena pelaku
kerusakan, seperti orang yang zhalim, jika tidak bisa dihentikan kecuali
dibunuh, maka harus dibunuh.
Kesimpulan dari semua itu bahwa hukuman itu ada dua
macam:
Pertama, Hukuman yang dijatuhkan
karena dosa yang telah dilakukan, sebagai balasan dari Allah karena perbuatan
yang dilakukannya. Seperti hukum cambuk bagi peminum dan penuduh zina serta
hukum potong tangan bagi perampok dan pencuri.
Kedua, Hukuman yang dijatuhkan
supaya menunaikan hak yang wajib ditunaikannya dan meninggalkan apa yang
dilarang pada masa yang akan datang. Misalnya, orang yang murtad diminta bertaubat
sehingga kembali kepada Islam. Jika bertaubat, dia diterima kembali dan jika
tidak, maka dibunuh. Demikian pula orang yang meninggalkan shalat, zakat dan
hak-hak manusia dihukum sampai ia mengerjakannya. Ta'zir dalam bagian
ini lebih ditekankan daripada bagian yang pertama. Karena itu, boleh memukul
berulangulang hingga dia mau menunaikan shalat yang diwajibkan atau melaksanakan
kewajibannya. Sedangkan hadits yang terdapat dalam Shahihain dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,
لَا
يُجْلَدُ فَوْقَ عَشَرَةِ أَسْوَاطٍ إِلَّا فِيْ حَدٌّ مِنْ حُدُوْدِ اللهِ
"Tidak
boleh dicambuk melebihi 10 kali cambukan, kecuali mengenai salah satu ketentuan
Allah (hududullah)"
[Al-Bukhari dalam al-Hudud, no. 6850; dan
Muslim dalam al-Hudud, 1708/ 40. Keduanya dari Abu Burdah al-Anshari.]
Maka segolongan ahli ilmu
telah menafsirkannya, bahwa yang dimaksud dengan hududullah ialah apa yang diharamkan
karena hak Allah. Sebab hudud dalam lafazh al-Kitab dan as-Sunnah dimaksudkan
untuk membedakan antara halal dan haram. Sebagai contoh (yang terakhir halal
dan yang pertama haram):
Disebutkan pada contoh yang
pertama,
تِلْكَ
حُدُودُ اللهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا
"Itulah ketentuan-ketentuan
Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. " (al-Baqarah: 229).
Dan disebutkan pada contoh
yang kedua,
تِلَكَ
حُدُودُ اللهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا
"Itulah
ketentuan-ketentuan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya." (Al-Baqarah: 187).
Adapun penamaan hukuman
dengan had adalah istilah baru. Maksud hadits di atas: bahwa
orang yang memukul karena hak dirinya, seperti seseorang memukul istrinya
karena berbuat durhaka, tidak boleh melebihi sepuluh kali cambukan.
Cambukan yang disyariatkan
ialah cambukan yang tengah tengah dengan menggunakan cambuk; sebab sebaik-baik
perkara ialah pertengahannya. Ali radhiallahu ‘anhu mengatakan, "Pukulan
di antara dua pukulan, dan cambukan di antara dua cambukan (tidak terlalu keras
dan tidak terlalu lunak)." Tidak boleh memukul dengan tongkat dan tidak
boleh pula dengan miqra 'ah (cemeti yang biasa untuk memukul hewan tunggangan),
serta tidak cukup pula dengan dirrah (cambuk yang terlalu lentur), tapi
dirrah ini dipergunakan dalam ta 'zir.
Adapun hudud (hukum-hukum
yang telah ditentukan) maka harus mendera dengan menggunakan cambuk (sauth).
Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu menghukum ta'zir dengan dirrah.
Lalu apabila datang kasus mengenai hudud, maka ia meminta cambuk (sauth).
Pakaian orang yang dihukum
tidak perlu ditanggalkan seluruhnya, tetapi cukup menanggalkan darinya pakaian
yang dapat menghalangi pedihnya cambukan, seperti baju bertepi, pakaian berbulu
dan sejenisnya. Ia tidak perlu diikat, apabila hal itu tidak diperlukan, dan
wajahnya tidak boleh dipukul. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا
قَاتَلَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَتَّقِ الْوَجْهُ
"Jika salah seorang
kalian memerangi saudaranya, maka hindarilah wajahnya.
[Muslim dalam al-Birr wa ash-Shilah, 2612/
113; dan Abu Daud dalam al-Hudud, no. 4493; keduanya dari Abu Hurairah.]
Karena yang dimaksudkan ialah
mendidiknya, bukan untuk membunuhnya. Masing-masing anggota badan diberi
bagiannya dari cambukan tersebut, seperti punggung, pundak, kedua paha dan
seterusnya.
Source:
KUMPULAN FATWA IBNU TAIMIYAH
[Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar & Kekuasaan, Siyasah Syar’iyah
dan Jihad Fi Sabilillah]
Penerjemah: Ahmad Syaikhu, S.Ag
Muraja’ah: Tim Pustaka DH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar