9/08/2019

HUKUMAN UNTUK KEMAKSIATAN LAINNYA - Ibnu Taimiyah


HUKUMAN UNTUK KEMAKSIATAN LAINNYA
Oleh : Ibnu Taimiyah

Adapun kemaksiatan-kemaksiatan yang tidak dikenakan hukuman tertentu dan kaffarah (denda), seperti orang yang mencium anak-anak dan wanita yang bukan mahramnya, menikmati (wanita) tanpa persetubuhan, memakan makanan yang tidak halal seperti darah dan bangkai, menuduh orang lain dengan tuduhan selain zina, mencuri barang yang tidak disimpan meskipun sedikit, mengkhianati amanatnya (seperti orang-orang mengurusi harta Baitul Mal atau wakaf, harta anak yatim dan sejenisnya, apabila mereka mengkhianatinya, serta para wakil dan sekutu apabila mereka berkhianat), curang dalam bertransaksi seperti orang yang melakukan penipuan dalam makanan dan pakaian, mengurangi takaran dan timbangan, bersaksi palsu atau menyuruh bersaksi palsu, mengambil suap dalam memutuskan hukum, memutuskan perkara dengan selain hukum Allah, berbangga-bangga dengan kebanggaan jahiliah, memenuhi seruan jahiliah dan berbagai macam perbuatan haram lainnya; maka mereka harus diberi sanksi berupa ta'zir atau hukuman berdasarkan kebijaksanaan pemimpin, menurut banyak sedikitnya dosa yang dilakukannya. Jika kesalahannya banyak maka hukumannya lebih banyak, berbeda apabila kesalahan yang dilakukannya cuma sedikit. Juga tergantung keadaan pelaku dosa tersebut. Apabila ia termasuk orang yang sering melakukan perbuatan nista maka hukumannya lebih banyak, berbeda dengan orang yang jarang melakukannya. Juga tergantung besar kecilnya kesalahan yang dilakukan. Orang yang suka mengganggu kehormatan istri orang lain beserta anak-anaknya, dihukum lebih keras dibandingkan dengan orang yang tidak pernah mengganggu kehormatan kecuali kepada seorang wanita atau seorang anak.

Tidak ada ketentuan mengenai batas minimal sanksi ta'zir. Tetapi sanksi itu bisa dilakukan dengan berbagai cara yang dapat mencela seseorang berupa ucapan dan perbuatan, tidak berbicara dan tidak berbuat. Seseorang adakalanya diberi sanksi dengan cara menasihatinya, mencelanya dan mengerasinya. Adakalanya diberi sanksi dengan mengucilkannya dan tidak memberi salam kepadanya sampai dia bertaubat, jika itu ada kemaslahatannya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya mengucilkan "tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk". Adakalanya seseorang diberi sanksi dengan melengserkannya dari jabatannya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya memberi sanksi demikian. Adakalanya diberi sanksi dengan tidak mengikutserta-kannya dalam pasukan umat Islam, seperti terhadap prajurit yang lari dari medan pertempuran. Sebab melarikan diri dari medan pertempuran termasuk salah satu dosa besar. Tidak memberi gaji juga termasuk sanksi untuknya.

Demikian pula seorang amir (pimpinan) apabila melakukan kesalahan yang dianggap besar, maka ia dicopot dari jabatannya, itu juga merupakan sanksi buatnya. Demikian pula adakalanya seseorang diberi hukuman penjara, adakalanya dihukum dengan cemeti, dan adakalanya dihukum dengan menghitamkan wajahnya serta menaikkannya di atas kendaraan secara terbalik. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu bahwa beliau memerintahkan demikian terhadap orang yang bersaksi palsu. Sebab pendusta itu menghitamkan wajah (membikin malu), maka wajahnya dihitamkan, dan membolak-balikkan pembicaraan, maka ia dinaikkan dalam keadaan terbalik.

Adapun batas maksimal sanksi ta'zir maka -konon- tidak boleh melebihi sepuluh kali cambukan. Sementara kebanyakan ulama berpendapat bahwa sanksi tersebut tidak boleh melebihi had (sanksi hukum tertentu). Kemudian mereka berselisih lagi pada dua pendapat. Sebagian mereka berpendapat, tidak boleh mencapai had yang paling rendah. Orang merdeka tidak mencapai had yang paling rendah bagi orang merdeka, yaitu 40 atau 80 cambukan. Sedangkan hamba sahaya tidak boleh mencapai had terrendah yang berlaku bagi hamba sahaya, yaitu 20 atau 40. Konon, masing-masing dari keduanya tidak boleh mencapai had terendah yang berlaku bagi hamba sahaya. Sebagian mereka berpendapat, masing-masing kesalahan tidak boleh mencapai had jenisnya, meskipun melebihi had jenis lainnya. Maka pencuri yang mencuri bukan dari tempat penyimpanan tidak boleh dihukum potong tangan, meskipun boleh dicambuk melebihi had orang yang menuduh berzina. Orang yang melakukan perbuatan yang mendekati zina tidak dihukum dengan had zina, meskipun boleh melebihi had orang yang menuduh berzina. Sebagaimana diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu bahwa seorang laki-laki mengukir cincin yang diambilnya dari Baitul Mal, maka beliau memerintahkan supaya ia dicambuk seratus kali. Kemudian pada hari kedua beliau memukulnya sebanyak seratus kali. Kemudian para hari ketiga beliau memukulnya sebanyak seratus kali.

Diriwayatkan dari Khulafa'ur rasyidin mengenai laki-laki dan perempuan yang kepergok berada dalam satu selimut: keduanya didera seratus kali. Dan diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai orang yang menyetubuhi sahaya wanita milik istrinya,

إِنْ كَانَتْ أَحَلَّتْهَا لَهُ جُلِدَ مِائَةً وَ إِنْ لَمْ تَكُنْ أَحَلَّتْهَا لَهُ رُجِمَ

"Jika istrinya menghalalkan sahayanya untuknya, maka ia didera seratus kali dan jika ia tidak menghajatkannya untuknya, maka ia harus dirajam."

[Abu Daud dalam al-Hudud, no. 4459, at-Tirmidzi dalam al-Hudud, no. 1451; keduanya dari an-Nu'man bin Basyir; dan Ibnu Majah dalam al-Hudud. no. 2551 dari Hubaib bin Salim.]

Pendapat-pendapat ini terdapat dalam madzhab Ahmad dan selainnya. Sementara dua pendapat pertama terdapat dalam madzhab asy-Syafi'i dan selainnya.

Adapun Malik dan lainnya, diceritakan darinya, bahwa sebagian perbuatan dosa ada yang mencapai sanksi bunuh, dan ini disepakati oleh sebagian sahabat Ahmad. Misalnya, orang Islam menjadi mata-mata bagi musuh guna memerangi umat Islam. Tapi Ahmad tidak berkomentar mengenai kebolehan membunuhnya. Sedangkan Malik dan sebagian pengikut Ahmad -seperti Ibnu Aqil- membolehkan untuk membunuhnya. Sementara Abu Hanifah, asy-Syafi'i dan sebagian sahabat Ahmad -seperti Qadhi Abu Ya'la melarangnya.

Segolongan dari sahabat asy-Syafi'i, Ahmad dan lainnya membolehkan membunuh orang yang menyeru kepada bid'ah yang menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah. Demikian pula kebanyakan sahabat Malik. Mereka mengatakan, "Malik dan lainnya hanyalah membolehkan membunuh Qadariyah karena mereka membuat kerusakan di muka bumi, bukan karena murtad." Demikian pula pendapat mengenai membunuh tukang sihir. Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa ia harus dibunuh. Telah diriwayatkan dari Jundab 4fc secara mauquf dan marfu',

إِنَّ حَدَّ السَّاحِرِ ضَرْبُهُ بِالسَّيْفِ

"Sesungguhnya hukuman bagi tukang sihir ialah ia dipenggal dengan pedang."

(HR. at-Tirmidzi dalam al-Hudud, no. 1460).

Dari Umar, Utsman, Hafshah, Abdullah bin Umar dan para sahabat lainnya radhiallahu ‘anhum: bahwa tukang sihir harus dibunuh. Menurut sebagian ulama, ia dibunuh karena kekafirannya. Menurut sebagian yang lainnya, ia dibunuh karena membawa kerusakan di muka bumi. Tetapi jumhur ulama memandang bahwa membunuhnya merupakan sanksi yang sudah ditentukan. Demikian pula Abu Hanifah berpendapat bahwa harus diberi sanksi bunuh terhadap kejahatan yang berkali-kali dilakukan, apabila jenisnya mengharuskan hukuman mati, sebagaimana orang yang berkali-kali melakukan homoseksual atau menipu manusia guna mengambil harta dan sejenisnya harus dibunuh.

Mungkin bisa dijadikan dalil bahwa selama pelaku kerusakan itu tidak bisa dihentikan kejahatannya melainkan dengan dibunuh, maka ia harus dibunuh; adalah hadits yang diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya dari Arfajah al-Asyja'i radhiallahu ‘anhu. Ia mengatakan, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتِكُمْ فَاقْتُلُوهُ

“Barangsiapa yang mendatangi kalian sedangkan kalian bersatu untuk taat pada seorang pemimpin, ia berkeinginan memecah keutuhan kalian atau mencerai beratkan jamaah kalian, maka bunuhlah ia'." [Muslim dalam al-Imarah, 1852/60]

Dalam sebuah riwayat disebutkan,

سَتَكُوْنَ هَنَاتٍ، فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَهِيَ جَمِيْعٌ فَاضْرِبُوْهُ بِالسَّيْفِ، كَائِنًا مَنْ كَانَ

"Akan ada nantinya penyebar fitnah, yakni siapa saja yang hendak mencerai-beraikan urusan umat yang telah bersatu, maka tebaslah ia dengan pedang, siapa pun dia!" [Muslim dalam al-Imarah, 1852/60]

Demikian pula disebutkan dalam perintah beliau untuk membunuh peminum khamr untuk sanksi keempat kalinya; berdasarkan hadits riwayat Ahmad dalam al-Musnad dari Dailam al-Himyari radhiallahu ‘anhu. Ia menuturkan, "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, 'Wahai Rasulullah, kami berada di negeri untuk melakukan pekerjaan yang berat dan kami membuat minuman dari gandum supaya kami kuat untuk melakukan pekerjaan kami serta melindungi diri dari dinginnya udara negeri kami.' Beliau bertanya, 'Apakah ia memabukkan?' Aku menjawab, 'Ya.' Beliau bersabda, 'Jauhilah!' Aku berkata, 'Jika manusia tidak mau meninggalkannya?' Beliau bersabda, 'Jika mereka tidak mau meninggalkannya, maka perangilah mereka'." [Ahmad 4/232]

Ini mengingat karena pelaku kerusakan, seperti orang yang zhalim, jika tidak bisa dihentikan kecuali dibunuh, maka harus dibunuh.

Kesimpulan dari semua itu bahwa hukuman itu ada dua macam:

Pertama, Hukuman yang dijatuhkan karena dosa yang telah dilakukan, sebagai balasan dari Allah karena perbuatan yang dilakukannya. Seperti hukum cambuk bagi peminum dan penuduh zina serta hukum potong tangan bagi perampok dan pencuri.

Kedua, Hukuman yang dijatuhkan supaya menunaikan hak yang wajib ditunaikannya dan meninggalkan apa yang dilarang pada masa yang akan datang. Misalnya, orang yang murtad diminta bertaubat sehingga kembali kepada Islam. Jika bertaubat, dia diterima kembali dan jika tidak, maka dibunuh. Demikian pula orang yang meninggalkan shalat, zakat dan hak-hak manusia dihukum sampai ia mengerjakannya. Ta'zir dalam bagian ini lebih ditekankan daripada bagian yang pertama. Karena itu, boleh memukul berulangulang hingga dia mau menunaikan shalat yang diwajibkan atau melaksanakan kewajibannya. Sedangkan hadits yang terdapat dalam Shahihain dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

لَا يُجْلَدُ فَوْقَ عَشَرَةِ أَسْوَاطٍ إِلَّا فِيْ حَدٌّ مِنْ حُدُوْدِ اللهِ

"Tidak boleh dicambuk melebihi 10 kali cambukan, kecuali mengenai salah satu ketentuan Allah (hududullah)"

[Al-Bukhari dalam al-Hudud, no. 6850; dan Muslim dalam al-Hudud, 1708/ 40. Keduanya dari Abu Burdah al-Anshari.]

Maka segolongan ahli ilmu telah menafsirkannya, bahwa yang dimaksud dengan hududullah ialah apa yang diharamkan karena hak Allah. Sebab hudud dalam lafazh al-Kitab dan as-Sunnah dimaksudkan untuk membedakan antara halal dan haram. Sebagai contoh (yang terakhir halal dan yang pertama haram):

Disebutkan pada contoh yang pertama,

تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا

"Itulah ketentuan-ketentuan Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. " (al-Baqarah: 229).

Dan disebutkan pada contoh yang kedua,

تِلَكَ حُدُودُ اللهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا

"Itulah ketentuan-ketentuan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya." (Al-Baqarah: 187).

Adapun penamaan hukuman dengan had adalah istilah baru. Maksud hadits di atas: bahwa orang yang memukul karena hak dirinya, seperti seseorang memukul istrinya karena berbuat durhaka, tidak boleh melebihi sepuluh kali cambukan.

Cambukan yang disyariatkan ialah cambukan yang tengah tengah dengan menggunakan cambuk; sebab sebaik-baik perkara ialah pertengahannya. Ali radhiallahu ‘anhu mengatakan, "Pukulan di antara dua pukulan, dan cambukan di antara dua cambukan (tidak terlalu keras dan tidak terlalu lunak)." Tidak boleh memukul dengan tongkat dan tidak boleh pula dengan miqra 'ah (cemeti yang biasa untuk memukul hewan tunggangan), serta tidak cukup pula dengan dirrah (cambuk yang terlalu lentur), tapi dirrah ini dipergunakan dalam ta 'zir.

Adapun hudud (hukum-hukum yang telah ditentukan) maka harus mendera dengan menggunakan cambuk (sauth). Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu menghukum ta'zir dengan dirrah. Lalu apabila datang kasus mengenai hudud, maka ia meminta cambuk (sauth).

Pakaian orang yang dihukum tidak perlu ditanggalkan seluruhnya, tetapi cukup menanggalkan darinya pakaian yang dapat menghalangi pedihnya cambukan, seperti baju bertepi, pakaian berbulu dan sejenisnya. Ia tidak perlu diikat, apabila hal itu tidak diperlukan, dan wajahnya tidak boleh dipukul. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَتَّقِ الْوَجْهُ

"Jika salah seorang kalian memerangi saudaranya, maka hindarilah wajahnya.

[Muslim dalam al-Birr wa ash-Shilah, 2612/ 113; dan Abu Daud dalam al-Hudud, no. 4493; keduanya dari Abu Hurairah.]

Karena yang dimaksudkan ialah mendidiknya, bukan untuk membunuhnya. Masing-masing anggota badan diberi bagiannya dari cambukan tersebut, seperti punggung, pundak, kedua paha dan seterusnya.

Source:
KUMPULAN FATWA IBNU TAIMIYAH
[Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar & Kekuasaan, Siyasah Syar’iyah dan Jihad Fi Sabilillah]
Penerjemah: Ahmad Syaikhu, S.Ag
Muraja’ah: Tim Pustaka DH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...