9/07/2019

HUKUMAN BAGI PENCURI - Ibnu Taimiyah


HUKUMAN BAGI PENCURI
Oleh : Ibnu Taimiyah


Adapun pencuri maka ia harus dipotong tangan kanannya berdasarkan al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٣٨ فَمَن تَابَ مِنۢ بَعۡدِ ظُلۡمِهِۦ وَأَصۡلَحَ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَتُوبُ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ٣٩

"LAKI-LAKI YANG MENCURI DAN PEREMPUAN YANG MENCURI, POTONGLAH TANGAN KEDUANYA (SEBAGAI) PEMBALASAN BAGI APA YANG MEREKA KERJAKAN DAN SEBAGAI SIKSAAN DARI ALLAH.
Dan Allah Mahaperkasa lagi Maha bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dari memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Al-Ma'idah: 38-39).

Setelah adanya ketetapan hukum, baik dengan bukti ataupun pengakuannya, maka tidak boleh menunda-nunda pelaksanaan hukumannya, baik dengan penjara, uang tebusan maupun yang lainnya. Tetapi harus dipotong tangannya pada waktu-waktu yang diagungkan dan selainnya; sebab "melaksanakan hukuman" (iqamatul hadd) itu termasuk ibadah, seperti jihad di jalan Allah. Karena itu seyogyanya diketahui bahwa menegakkan hudud itu rahmat dari Allah terhadap hamba-hambanNya. Karena itu seorang pemimpin harus bersikap tegas dalam menjalankan hukuman, tidak boleh ada rasa kasihan dalam menegakkan agama Allah lantas ia meniadakan hukuman tersebut. Niatnya dalam menegakkan hukuman itu ialah menyayangi manusia dengan cara menghentikan mereka dari perbuatan mungkar, bukan untuk mengobati amarahnya dan hendak berlaku congkak atas manusia. Layaknya seorang ayah ketika menghukum anaknya. Sebab seandainya ia tidak menghukum anaknya -sebagaimana dikatakan ibu, karena rasa sayang dan belas kasih- niscaya anak tersebut akan rusak. Ia menghukumnya hanyalah karena kasih sayang kepadanya dan memperbaiki perilakunya. Meskipun ia sangat mencintainya dan lebih mengutamakan agar jangan sampai ia memberikan hukuman pada anaknya. Dan laksana seorang dokter yang memberi minum pasien dengan obat yang sangat pahit. Juga laksana mengamputasi anggota tubuh yang membusuk, memo-tong urat dengan mengirisnya dan sejenisnya. Bahkan seperti halnya seseorang minum obat yang sangat pahit dan apa saja yang ia masukkan ke dalam tubuhnya supaya segar kembali.

Demikianlah Hudud itu disyariatkan, dan demikianlah sepatutnya niatan pemimpin dalam menegakkannya. Sebab selama niatnya untuk kebaikan rakyat dan mencegah kemungkaran, dengan mendatangkan kemanfaatan kepada mereka dan menolak kemudharatan dari mereka, serta mencari keridhaan Allah dan menjalankan perintahNya, maka Allah akan melunakkan hati manusia untuknya, memudahkan baginya faktor-faktor kebajikan, mencukupkannya dari sanksi kemanusiaan, dan adakalanya orang yang mendapatkan hukuman itu hatinya ridha saat hukuman ditimpakan kepadanya.

Adapun jika niatannya untuk berlaku congkak terhadap mereka dan menegakkan kekuasaannya agar mereka mengagungkannya, atau mereka bersedia mengorbankan untuknya apa yang diinginkannya dari harta benda, maka tujuannya akan berakibat buruk padanya.

Diriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz rahimahullah sebelum menjadi khalifah adalah seorang gubernur yang ditugaskan Walid bin Abdul Malik di Madinah. Ia telah memimpin mereka dengan kepemimpinan yang baik. Suatu saat al-Hajjaj datang dari Irak - dan ia telah memperlakukan rakyat Irak dengan siksaan yang pedih- maka penduduk Madinah bertanya tentang Umar, "Bagaimana kewibawaannya di tengah-tengah kalian?" Mereka menjawab, "Kami tidak sanggup memandang wajahnya." Ia bertanya, "Bagaimana kecintaan kalian kepadanya?" Mereka menjawab, "Ia lebih kami cintai daripada keluarga kami." Ia bertanya, "Bagaimana ia memberi hukuman kepada kalian?" Mereka menjawab, "Antara tiga cambukan hingga sepuluh." Ia berkata, "Inilah kewibawaannya, inilah kecintaannya, dan inilah pendidikan hukum yang dilakukannya. Dan Ini adalah perintah dari langit."

Jika tangan pencuri telah dipotong, maka harus diolesi dengan minyak panas (agar darahnya tidak mengalir) dan dianjurkan supaya digantungkan di lehernya. Jika ia mencuri untuk kedua kalinya, maka kaki kirinya dipotong. Jika ia mencuri untuk ketiga dan keempat kalinya, maka mengenai ini ada dua pendapat di kalangan sahabat dan para ulama sesudahnya. Pertama, tangan dan kakinya yang masih tersisa dipotong untuk pencurian yang ketiga dan keempat kalinya. Ini pendapat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan madzhab asy-Syafi'i serta Ahmad dalam salah satu riwayat. Kedua, ia dipenjara. Ini pendapat Ali radhiallahu ‘anhu dan ulama Kufah serta Ahmad dalam riwayatnya yang lain.

Dan tangan pencuri tidak dipotong kecuali bila telah mencuri satu nisab, yaitu 1/4 dinar atau tiga dirham, menurut jumhur ulama dari ahli Hijaz, ahli hadits dan selainnya, seperti Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad. Sebagian mereka ada yang berpendapat satu dinar atau sepuluh dirham. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu disebutkan: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memotong (tangan pencuri) karena mencuri perisai seharga tiga dirham. Dalam redaksi Muslim disebutkan,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَطَعَ فِيْ مِجَنِّ ثَمَنُهُ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ

"Beliau memotong tangan pencuri karena mencuri perisai (baju besi) seharga tiga dirham.”

[Al-Bukhari dalam al-Hudud, no. 6796; dan Muslim dalam al-Hudud, 1686/6]

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تُقْطَعُ الْيَدُ فِيْ رُبُعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدٍ

"Tangan harus dipotong karena mencuri 1/4 dinar atau lebih."
[Al-Bukhari dalam al-Hudud, no. 6789].

Dalam riwayat Muslim,

لَا تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِيْ رُيْعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا

"Tangan pencuri tidak dipotong melainkan karena mencuri 1/4 dinar atau lebih." [Muslim dalam al-Hudud, 1684/ 2]

Dalam riwayat al-Bukhari disebutkan: Beliau bersabda,

اقْطَعُوا فِيْ رُبْعِ دِيْنَارٍ وَلَا تَقْطَعُوا فِيْمَا هُوَ أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ

"Potonglah karena mencuri 1/4 dinar, dan jangan potong karena mencuri kurang dari itu." [Al-Bukhari dalam al-Hudud. no. 6791]

Seperempat dinar pada saat itu adalah tiga dirham, dan satu dinar adalah 12 dirham.

Orang baru disebut sebagai pencuri apabila ia mengambil harta dari tempat simpanannya. Adapun harta yang hilang dari tangan pemiliknya, buah-buahan yang berada di pohon di tengah padang pasir yang tanpa dipagari, binatang ternak yang tiada pengembalanya dan sejenisnya, maka tidak berlaku hukum potong. Tetapi pengambilnya diberi sanksi ta'zir dan harus membayar dua kali lipat, sebagaimana disebutkan dalam hadits.

Para ahli ilmu berselisih mengenai pembayaran dua kali lipat ini. Di antara yang berpendapat demikian ialah Ahmad dan selainnya. Rafi' bin Khudaij menuturkan, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,

لَا قَطْعَ فِيْ ثَمَرٍ وَلَا كَثَرٍ

“Tidak ada hukum potong karena mengambil buah-buahan, begitu pula tandan kurma.” (HR. AhlusSunan).

[Abu Daud dalam al-Hudud, no. 4388; dan at-Tirmidzi dalam al-Hudud, no. 1449]

Dari Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya radhiallahu ‘anhu ia menuturkan,

سَمِعْتُ مِنْ مُزَيْنَةَ سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ جِئْتُ أَسْأَلُكَ عَنِ الضَّالَّةِ مِنَ الْإِبِلِ قَالَ مَعَهَا حِذَاؤُهَا وَسِقَاؤُهَا تَأْكُلُ الشَّجَرَ وَتَرِدُ الْمَاءَ فَدَعْهَا حَتَّى يَأْتِيَهَا بَاغِيْهَا قَالَ الضَّلَّةُ مِنَ الْغَنَمِ قَالَ لَكَ أَوْ لِأَخِيْكَ أَوْ لَلذَّئْبِ تَجْمَعُهَا حَتَّى يَأْتِيَهَا بَاغِيْهَا قَالَ الْحَرِيسَةُ الَّتِي تُوجَدُ فِي مَرَاتِعِهَا قَالَ فِيْهَا ثَمَنُهَا مَرَّتَيْنِ وَضَرْبُ نَكَالٍ وَمَا أُخِذَ مِنْ عَطْنَةٍ فَفِيْهِ الْقَطْعُ إِذَا بَلَغَ مَا يُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ ثَمَنَ الْمِجَنَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ فَالثَّمَارُ وَمَا أُخِذَ مِنْهَا فِي أَكْمَامِهَا قَالَ مَنْ أَخَذَ بِفَمِهِ وَلَمْ يَتَّخِذْ خُبْنَةً فَلَيْسَ عَلَيْهِ شَيْءٌ وَمَنِ احْتَمَلَ فَعَلَيْهِ ثَمَنُهُ مَرَّتَيْنِ وَضَرْبًا وَنَكَالًا وَمَا أُخِذَ مِنْ أَجْرَانِهِ فَفِيهِ الْقَطْعُ إِذَا بَلَغَ مَا يُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ ثَمَنَ الْمِجَنِّ وَ مَا لَمْ يَبْلُغْ ثَمَنَ الْمِجَنِّ فَفِيْهِ غَرَامَةُ مِثْلَيْهَا وَجَلَدَاتٌ نِكَالٌ

"Aku mendengar seorang dari Muzainah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Katanya, 'Wahai Rasulullah, aku datang untuk bertanya kepadamu tentang unta yang tersesat.' Beliau menjawab, 'Unta itu membawa sepatunya dan membawa tempat minumnya, ia memakan dedaunan dan meminum air. Biarkanlah ia (jangan diambil) sampai orang yang mencarinya mendapatkannya.' Ia bertanya, 'Bagaimana dengan kambing-kambing yang tersesat?' Beliau menjawab, 'Untukmu, untuk saudaramu, atau untuk serigala. Kumpulkan kambing-kambing itu sehingga orang yang mencarinya datang.' Ia bertanya, 'Lalu bagaimana dengan hewan yang diambil dari tempat gembalaannya?' Beliau menjawab, 'la harus membayarnya dua kali lipat dan dihukum cambuk. Sedangkan apa yang diambil dari tempat derum unta, maka ia harus dipotong, apabila yang diambil mencapai harga perisai (1/4 dinar).' Ia bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimana hukum buah-buahan dan apa yang diambil dari tangkainya?' Beliau menjawab, 'Barangsiapa yang mengambil darinya dengan mulutnya dan tidak mengantonginya, maka tidak ada hukuman atasnya dan barangsiapa yang membawanya, maka ia harus membayarnya dua kali dan dihukum cambuk. Apa yang diambil dari penjemurannya (tempat pengeringan biji kurma dan gandum), maka ia dipotong apabila yang diambil mencapai harga perisai. Bila tidak mencapai harga perisai, maka ia membayar denda dua kali lipat dan dihukum beberapa kali cambukan'."

(HR. Ahlus Sunan, tetapi ini redaksi Ahmad).
[Abu Daud dalam al-Hudud, no. 4390; dan an-Nasa'i dalam Qath'as -Sariq, no. 4959; dan Ahmad no. 6645]

Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ عَلَى الْمُنْتَهِبِ وَلَا عَلَى الْمُخْتَلِسِ وَلَا عَلَى الْخَائِنِ قَطْعٌ

"Tidak ada hukum potong terhadap perampas, pencopet dan penipu.”
[Abu Daud dalam al-Hudud, no. 4391-4392]

Perampas (Muntahib) adalah orang yang merampas sesuatu dan orang lain melihatnya. Pencopet (Mukhtalis) adalah orang yang mengambil sesuatu dan ia mengetahui barang itu sebelum mengambilnya. Adapun Tharrar (pencoleng) -yaitu orang yang merobek kantong, sapu tangan, tempat simpanan dan sejenisnya- maka ia harus dipotong tangannya menurut pendapat yang shahih.


Source:
KUMPULAN FATWA IBNU TAIMIYAH
[Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar & Kekuasaan,Siyasah Syar’iyah dan Jihad Fi Sabilillah]
Penerjemah: Ahmad Syaikhu, S.Ag
Muraja’ah: Tim Pustaka DH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...