HUKUMAN BAGI PENCURI
Oleh : Ibnu Taimiyah
Adapun pencuri maka ia harus
dipotong tangan kanannya berdasarkan al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma.
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman,
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ
فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ
عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٣٨ فَمَن تَابَ مِنۢ بَعۡدِ ظُلۡمِهِۦ وَأَصۡلَحَ فَإِنَّ ٱللَّهَ
يَتُوبُ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ٣٩
"LAKI-LAKI
YANG MENCURI DAN PEREMPUAN YANG MENCURI, POTONGLAH TANGAN KEDUANYA (SEBAGAI)
PEMBALASAN BAGI APA YANG MEREKA KERJAKAN DAN SEBAGAI SIKSAAN DARI ALLAH.
Dan Allah
Mahaperkasa lagi Maha bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara
pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dari memperbaiki diri,
maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang."
(Al-Ma'idah:
38-39).
Setelah adanya ketetapan
hukum, baik dengan bukti ataupun pengakuannya, maka tidak boleh menunda-nunda
pelaksanaan hukumannya, baik dengan penjara, uang tebusan maupun yang lainnya.
Tetapi harus dipotong tangannya pada waktu-waktu yang diagungkan dan selainnya;
sebab "melaksanakan hukuman" (iqamatul hadd) itu
termasuk ibadah, seperti jihad di jalan Allah. Karena itu seyogyanya diketahui
bahwa menegakkan hudud itu rahmat dari Allah terhadap hamba-hambanNya.
Karena itu seorang pemimpin harus bersikap tegas dalam menjalankan hukuman,
tidak boleh ada rasa kasihan dalam menegakkan agama Allah lantas ia meniadakan
hukuman tersebut. Niatnya dalam menegakkan hukuman itu ialah menyayangi manusia
dengan cara menghentikan mereka dari perbuatan mungkar, bukan untuk mengobati
amarahnya dan hendak berlaku congkak atas manusia. Layaknya seorang ayah ketika
menghukum anaknya. Sebab seandainya ia tidak menghukum anaknya -sebagaimana
dikatakan ibu, karena rasa sayang dan belas kasih- niscaya anak tersebut akan
rusak. Ia menghukumnya hanyalah karena kasih sayang kepadanya dan memperbaiki
perilakunya. Meskipun ia sangat mencintainya dan lebih mengutamakan agar jangan
sampai ia memberikan hukuman pada anaknya. Dan laksana seorang dokter yang
memberi minum pasien dengan obat yang sangat pahit. Juga laksana mengamputasi
anggota tubuh yang membusuk, memo-tong urat dengan mengirisnya dan sejenisnya.
Bahkan seperti halnya seseorang minum obat yang sangat pahit dan apa saja yang
ia masukkan ke dalam tubuhnya supaya segar kembali.
Demikianlah Hudud itu
disyariatkan, dan demikianlah sepatutnya niatan pemimpin dalam menegakkannya.
Sebab selama niatnya untuk kebaikan rakyat dan mencegah kemungkaran, dengan mendatangkan
kemanfaatan kepada mereka dan menolak kemudharatan dari mereka, serta mencari
keridhaan Allah dan menjalankan perintahNya, maka Allah akan melunakkan hati
manusia untuknya, memudahkan baginya faktor-faktor kebajikan, mencukupkannya dari
sanksi kemanusiaan, dan adakalanya orang yang mendapatkan hukuman itu hatinya
ridha saat hukuman ditimpakan kepadanya.
Adapun jika niatannya untuk
berlaku congkak terhadap mereka dan menegakkan kekuasaannya agar mereka
mengagungkannya, atau mereka bersedia mengorbankan untuknya apa yang diinginkannya
dari harta benda, maka tujuannya akan berakibat buruk padanya.
Diriwayatkan bahwa Umar bin
Abdul Aziz rahimahullah sebelum menjadi khalifah adalah seorang gubernur yang
ditugaskan Walid bin Abdul Malik di Madinah. Ia telah memimpin mereka dengan kepemimpinan
yang baik. Suatu saat al-Hajjaj datang dari Irak - dan ia telah memperlakukan
rakyat Irak dengan siksaan yang pedih- maka penduduk Madinah bertanya tentang
Umar, "Bagaimana kewibawaannya di tengah-tengah kalian?" Mereka
menjawab, "Kami tidak sanggup memandang wajahnya." Ia bertanya,
"Bagaimana kecintaan kalian kepadanya?" Mereka menjawab, "Ia
lebih kami cintai daripada keluarga kami." Ia bertanya, "Bagaimana ia
memberi hukuman kepada kalian?" Mereka menjawab, "Antara tiga
cambukan hingga sepuluh." Ia berkata, "Inilah kewibawaannya, inilah
kecintaannya, dan inilah pendidikan hukum yang dilakukannya. Dan Ini adalah
perintah dari langit."
Jika tangan pencuri telah
dipotong, maka harus diolesi dengan minyak panas (agar darahnya tidak mengalir)
dan dianjurkan supaya digantungkan di lehernya. Jika ia mencuri untuk kedua
kalinya, maka kaki kirinya dipotong. Jika ia mencuri untuk ketiga dan keempat
kalinya, maka mengenai ini ada dua pendapat di kalangan sahabat dan para ulama
sesudahnya. Pertama, tangan dan kakinya yang masih tersisa dipotong untuk pencurian
yang ketiga dan keempat kalinya. Ini pendapat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan
madzhab asy-Syafi'i serta Ahmad dalam salah satu riwayat. Kedua, ia dipenjara.
Ini pendapat Ali radhiallahu ‘anhu dan ulama Kufah serta Ahmad dalam riwayatnya
yang lain.
Dan tangan pencuri tidak
dipotong kecuali bila telah mencuri satu nisab, yaitu 1/4 dinar atau tiga
dirham, menurut jumhur ulama dari ahli Hijaz, ahli hadits dan selainnya,
seperti Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad. Sebagian mereka ada yang berpendapat satu
dinar atau sepuluh dirham. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu disebutkan: bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memotong (tangan pencuri) karena
mencuri perisai seharga tiga dirham. Dalam redaksi Muslim disebutkan,
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَطَعَ فِيْ مِجَنِّ ثَمَنُهُ ثَلَاثَةُ
دَرَاهِمَ
"Beliau memotong tangan
pencuri karena mencuri perisai (baju besi) seharga tiga dirham.”
[Al-Bukhari dalam al-Hudud, no. 6796; dan
Muslim dalam al-Hudud, 1686/6]
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha,
ia menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تُقْطَعُ
الْيَدُ فِيْ رُبُعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدٍ
"Tangan harus dipotong
karena mencuri 1/4 dinar atau lebih."
[Al-Bukhari dalam al-Hudud, no. 6789].
Dalam riwayat Muslim,
لَا
تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِيْ رُيْعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا
"Tangan pencuri tidak
dipotong melainkan karena mencuri 1/4 dinar atau lebih." [Muslim dalam al-Hudud, 1684/ 2]
Dalam riwayat al-Bukhari disebutkan:
Beliau bersabda,
اقْطَعُوا
فِيْ رُبْعِ دِيْنَارٍ وَلَا تَقْطَعُوا فِيْمَا هُوَ أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ
"Potonglah karena
mencuri 1/4 dinar, dan jangan potong karena mencuri kurang dari itu." [Al-Bukhari dalam al-Hudud. no. 6791]
Seperempat dinar pada saat
itu adalah tiga dirham, dan satu dinar adalah 12 dirham.
Orang baru disebut sebagai
pencuri apabila ia mengambil harta dari tempat simpanannya. Adapun harta yang
hilang dari tangan pemiliknya, buah-buahan yang berada di pohon di tengah
padang pasir yang tanpa dipagari, binatang ternak yang tiada pengembalanya dan
sejenisnya, maka tidak berlaku hukum potong. Tetapi pengambilnya diberi sanksi
ta'zir dan harus membayar dua kali lipat, sebagaimana disebutkan dalam hadits.
Para ahli ilmu berselisih
mengenai pembayaran dua kali lipat ini. Di antara yang berpendapat demikian
ialah Ahmad dan selainnya. Rafi' bin Khudaij menuturkan, "Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
لَا
قَطْعَ فِيْ ثَمَرٍ وَلَا كَثَرٍ
“Tidak ada hukum potong
karena mengambil buah-buahan, begitu pula tandan kurma.” (HR. AhlusSunan).
[Abu Daud dalam al-Hudud, no. 4388; dan
at-Tirmidzi dalam al-Hudud, no. 1449]
Dari Amr bin Syuaib dari ayahnya,
dari kakeknya radhiallahu ‘anhu ia menuturkan,
سَمِعْتُ
مِنْ مُزَيْنَةَ سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: يَا رَسُولَ
اللهِ جِئْتُ أَسْأَلُكَ عَنِ الضَّالَّةِ مِنَ الْإِبِلِ قَالَ مَعَهَا حِذَاؤُهَا
وَسِقَاؤُهَا تَأْكُلُ الشَّجَرَ وَتَرِدُ الْمَاءَ فَدَعْهَا حَتَّى يَأْتِيَهَا
بَاغِيْهَا قَالَ الضَّلَّةُ مِنَ الْغَنَمِ قَالَ لَكَ أَوْ لِأَخِيْكَ أَوْ
لَلذَّئْبِ تَجْمَعُهَا حَتَّى يَأْتِيَهَا بَاغِيْهَا قَالَ الْحَرِيسَةُ الَّتِي
تُوجَدُ فِي مَرَاتِعِهَا قَالَ فِيْهَا ثَمَنُهَا مَرَّتَيْنِ وَضَرْبُ نَكَالٍ
وَمَا أُخِذَ مِنْ عَطْنَةٍ فَفِيْهِ الْقَطْعُ إِذَا بَلَغَ مَا يُؤْخَذُ مِنْ
ذَلِكَ ثَمَنَ الْمِجَنَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ فَالثَّمَارُ وَمَا أُخِذَ
مِنْهَا فِي أَكْمَامِهَا قَالَ مَنْ أَخَذَ بِفَمِهِ وَلَمْ يَتَّخِذْ خُبْنَةً
فَلَيْسَ عَلَيْهِ شَيْءٌ وَمَنِ احْتَمَلَ فَعَلَيْهِ ثَمَنُهُ مَرَّتَيْنِ
وَضَرْبًا وَنَكَالًا وَمَا أُخِذَ مِنْ أَجْرَانِهِ فَفِيهِ الْقَطْعُ إِذَا
بَلَغَ مَا يُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ ثَمَنَ الْمِجَنِّ وَ مَا لَمْ يَبْلُغْ ثَمَنَ
الْمِجَنِّ فَفِيْهِ غَرَامَةُ مِثْلَيْهَا وَجَلَدَاتٌ نِكَالٌ
"Aku mendengar seorang
dari Muzainah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Katanya,
'Wahai Rasulullah, aku datang untuk bertanya kepadamu tentang unta yang
tersesat.' Beliau menjawab, 'Unta itu membawa sepatunya dan membawa tempat
minumnya, ia memakan dedaunan dan meminum air. Biarkanlah ia (jangan diambil)
sampai orang yang mencarinya mendapatkannya.' Ia bertanya, 'Bagaimana
dengan kambing-kambing yang tersesat?' Beliau menjawab, 'Untukmu, untuk
saudaramu, atau untuk serigala. Kumpulkan kambing-kambing itu sehingga orang
yang mencarinya datang.' Ia bertanya, 'Lalu bagaimana dengan hewan yang
diambil dari tempat gembalaannya?' Beliau menjawab, 'la harus membayarnya
dua kali lipat dan dihukum cambuk. Sedangkan apa yang diambil dari tempat derum
unta, maka ia harus dipotong, apabila yang diambil mencapai harga perisai (1/4
dinar).' Ia bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimana hukum buah-buahan dan
apa yang diambil dari tangkainya?' Beliau menjawab, 'Barangsiapa yang mengambil
darinya dengan mulutnya dan tidak mengantonginya, maka tidak ada hukuman
atasnya dan barangsiapa yang membawanya, maka ia harus membayarnya dua kali dan
dihukum cambuk. Apa yang diambil dari penjemurannya (tempat pengeringan biji
kurma dan gandum), maka ia dipotong apabila yang diambil mencapai harga perisai.
Bila tidak mencapai harga perisai, maka ia membayar denda dua kali lipat dan
dihukum beberapa kali cambukan'."
(HR. Ahlus Sunan, tetapi ini redaksi Ahmad).
[Abu
Daud dalam al-Hudud, no. 4390; dan an-Nasa'i dalam Qath'as -Sariq, no. 4959;
dan Ahmad no. 6645]
Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
لَيْسَ
عَلَى الْمُنْتَهِبِ وَلَا عَلَى الْمُخْتَلِسِ وَلَا عَلَى الْخَائِنِ قَطْعٌ
"Tidak ada hukum potong
terhadap perampas, pencopet dan penipu.”
[Abu Daud dalam al-Hudud, no.
4391-4392]
Perampas (Muntahib)
adalah orang yang merampas sesuatu dan orang lain melihatnya. Pencopet (Mukhtalis)
adalah orang yang mengambil sesuatu dan ia mengetahui barang itu sebelum mengambilnya.
Adapun Tharrar (pencoleng) -yaitu orang yang merobek kantong, sapu
tangan, tempat simpanan dan sejenisnya- maka ia harus dipotong tangannya
menurut pendapat yang shahih.
Source:
KUMPULAN FATWA IBNU TAIMIYAH
[Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar &
Kekuasaan,Siyasah Syar’iyah dan Jihad Fi Sabilillah]
Penerjemah: Ahmad Syaikhu, S.Ag
Muraja’ah: Tim Pustaka DH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar