9/16/2019

DEFINISI IMAN - Dr. Abdul Aziz Bin Muhammad


DEFINISI IMAN
Oleh: Dr. Abdul Aziz Bin Muhammad

Termasuk perkara penting, di permulaan adalah, menyebutkan definisi Iman dan apa yang menjadi lawannya dan menjelaskan -meskipun secara singkat- sebagian masalah-masalah penting dalam tema Iman dan lawannya (kekufuran) yang erat kaitannya dengan pembahasan kita.

Penjelasan kami tentang definisi Iman adalah melalui langkah-langkah berikut:

1) Pertama: Makna Iman dalam al-Qur'an dan as-Sunnah

Kata Iman di dalam al-Qur'an dan as-sunnah terulang dalam jumlah banyak yang lebih banyak daripada kata-kata yang lain. Iman adalah dasar Agama. Dengan Iman manusia dapat keluar dari kegelapan kepada cahaya, membedakan antara orang-orang yang berbahagia dengan orimg-orang yang sengsara, kawan dengan lawan.

Sebagaimana Ibnu Taimiyahh berkata, "Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan maksud dari kata Iman dan lawannya dengan penjelasan di mana berdalil atas itu dengan asal-usul dan pecahan (makna) kata, pemakaian orang-orang Arab, dan yang sepertinya, tidak lagi diperlukan di hadapan penjelasan ini. Oleh karena itu, dalam pemakaian nama-nama ini wajib merujuk kepada penjelasan Allah dan Rasul-Nya, karena ia sudah cukup dan lengkap. Bahkan makna-makna dari nama-nama ini sudah dimaklumi secara umum oleh orang-orang awam maupun terpelajar. Lebih dari itu, siapa yang memperhatikan apa yang dikatakan oleh Khawarij, Murji'ah, tentang makna Iman, niscaya dia mengetahui secara pasti bahwa itu menyelisihi Rasul ...

Khawarij adalah golongan pertama yang menyempal dalam tubuh umat mereka mengkafirkan pelaku dosa besar, anti (bara') terhadap sebagian sahabat, membolehkan memberontak kepada pemimpin. Mereka terdiri dari aliran-aliran, di antaranya: al-Muhakkimah, al-Azariqah dan al-Ibadhiyah.

Al-Murji'ah adalah golongan yang hanya mengambil dalil janji-janji pahala dan harapan, mengenyampingkan amal perbuatan dari hakikat Iman. Mereka terdiri dari banyak aliran.

Iman termasuk hukum yang diambil dari Allah dan Rasul-Nya. Ia bukan sesuatu yang dapat ditetapkan hukumnya oleh manusia berdasarkan dugaan dan hawa nafsu mereka.
Ahlus Sunnah wal jama'ah mendefinisikan Iman bahwa ia adalah ucapan dan perbuatan: ucapan hati dan ucapan lisan, perbuatan hati dan anggota badan. Banyak ulama yang menukil ijma' dalam masalah ini seperti Ibnul Bar dalam at-Tamhid. Ahlus Sunnah wal jama'ah menerima dan mengambil definisi ini sebagai bukti ketundukan mereka kepada nash-nash al-Qur'an dan hadits-hadits yang shahih, yang menetapkan bahwa Iman adalah membenarkan dengan hati, mengakui dengan lisan, dan beramal dengan anggota badan.

Di antara dalil-dalil yang menetapkan bahwa
IMAN adalah MEMBENARKAN DENGAN HATI adalah:

(1). Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَلَمَّا يَدۡخُلِ ٱلۡإِيمَٰنُ فِي قُلُوبِكُمۡۖ

" ...karena Iman itu belum masuk ke dalam hatimu'" (Al-Hujurat: 14)

(2). Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ ٱلۡإِيمَٰنَ

“Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka" (Al-Mujadilah: 22).

(3). Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ لَا يَحۡزُنكَ ٱلَّذِينَ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡكُفۡرِ مِنَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ ءَامَنَّا بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَلَمۡ تُؤۡمِن قُلُوبُهُمۡۛ

“'Hai Rasul, hendaknya janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka, 'Kami telah beriman,' padahal hati mereka belum beriman."
(Al-Ma' idah: 41).

Di antara dalil-dalil yang menetapkan bahwa Iman adalah pengakuan dengan lisan adalah:

(1). Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

قُولُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَمَآ أُنزِلَ إِلَيۡنَا

"Katakanlah (hai orang-orang Mukmin), 'Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami'." (Al-Baqarah: 136).

(2). Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱلَّذِيٓ أُنزِلَ إِلَيۡنَا وَأُنزِلَ إِلَيۡكُمۡ

"Dan katakanlah, 'Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu." (Al-Ankabut: 46)


Di antara dalil-dalil yang menetapkan bahwa
IMAN adalah AMAL PERBUATAN ANGGOTA BADAN adalah:

(1). Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

اَلْإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِ

“lman terdiri dari enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan La ilaha illallah' yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu adalah salah satu cabang lman”
[Diriwayatkan oleh al Bukhari, Kitab al-Iman, Bab umur al-Iman, l/51, no. 9; dan Muslim Kitab al-lman, 1/63, no' 35']

(2). Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada delegasi Bani Abdul Qais,

آمَرَكُمْ بِالْإِيْمَانِ بِاللهِ وَحْدَهُ، أَتَدْرُوْنَ مَا الْإِيْمَانُ بِاللهِ وَحْدَهُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامُ الصَّلَاةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَ أَنْ تُؤَدُّوا الْخُمُسَ مِنَ الْمَغْنَمِ

“Aku memerintahkan kalian agar beriman kepada Allah semata. Tahukah kalian apa itu beriman kepada Allah semata?" Mereka menjawab, "Allah dan RasulNya lebih mengetahui.' Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Syahadat bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan Shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan dan hendaknya kalian menunaikan (membayar) seperlima dari harta rampasan perang.”
[Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Iman, Bab Ada' al-Khumus min al-Iman 1/29, no. 53; Muslim, Kitab al-Iman, Bab al-Amru bi al-Iman Billah, | / 46, no. 17.]

Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain.

Al-Hafizh Ibnu Mandah rahimahullah menyebutkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya dia merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya lman.”
[Muslim: Kitab al-lman, Bab Kaun an-Nahyi an al-Munkar min al-Iman, l/ 69,no. 49; dan Ahmad, 3/10.]

Dan ini beliau sebutkan dalam konteks menetapkan dalil bahwa Iman adalah: ucapan lisan, keyakinan hati, dan perbuatan dengan anggota badan, serta bahwasanya Iman itu (dapat) bertambah dan berkurang.

Ucapan-ucapan as-Salaf ash-Shalih dalam masalah ini sepakat bahwa Iman adalah: ucapan dan perbuatan. Kami paparkan sebagian ucapan-ucapan mereka sebagai berikut:

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, "Iman adalah ucapan dan perbuatan; (dapat) bertambah dan berkurang."

Imam al-Ajurri menulis sebuah bab di dalam kitabnya asy-Syari'ah, ‘Bab pendapat bahwa Iman adalah membenarkan dengan hati, mengakui dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan, dan seseorang tidak menjadi seorang Mukmin, kecuali jika padanya terkumpul tiga perkara tersebut'.

Imam Ibnu Baththah rahimahullah berkata mendefinisikan Iman,
"Maknanya adalah membenarkan apa yang Dia firmankan, Dia perintahkan, Dia wajibkan dan Dia larang dari seluruh apa yang dibawa oleh para Rasul dari sisiNya dan yang ditetapkan oleh kitab-kitab dan dengan itu Dia mengutus para Rasulullah, maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (Al-Anbiya:25).

Dan membenarkan hal tersebut adalah mengatakan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengamalkan dengan anggota badan."

AlQadhi Abu Ya'lail rahimahullah mendefinisikan Iman dengan mengatakan,
“Adapun definisi Iman dalam Syariat adalah, seluruh ketaatan lahir dan batin. Yang batin adalah amal-amal hati, yaitu membenarkan dengan hati, dan yang zahir (tampak) adalah perbuatan-perbuatan badan yang wajib dan yang mandub (sunnah)”

Penegak as-Sunnah, Isma'il al-Ashbahani rahimahullah berkata, "Iman secara syar'i adalah seluruh ketaatan lahir dan batin."

Yang jelas, ucapan-ucapan salaf dalam masalah ini sangat banyak, sulit untuk disebutkan satu demi satu.


) Kedua: Pernyataan Ulama Salaf Tentang Definisi lman

Ungkapan as-Salaf ash-Shalih tentang definisi Iman adalah beragam, terkadang mereka berkata, ia adalah "ucapan dan perbuatan", terkadang mereka berkata, "ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati dan perbuatan dengan anggota badan". Terkadang pula mereka berkata, ia adalah ucapan, "perbuatan dan niat" dan terkadang mereka berkata, "ucapan, perbuatan, niat dan mengikuti as-Sunnah".

Semua itu adalah shahih, ungkapan-ungkapan di atas tidak mengandung perbedaan dari segi makna, sebagaimana hal tersebut dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau berkata, "Kalau mereka berkata, Iman adalah ucapan dan perbuatan, maka termasuk ke dalam ucapan adalah ucapan hati dan lisan sekaligus. Inilah yalng dipahami dari lafazh al-Qaul (ucapan) dan al-kalam (pembicaraan). Tidak berbeda dengannya jika disebutkan secara mutlak, karena ucapan yang mutlak dan perbuatan yang mutlak menurut salaf mencakup ucapan hati dan lisan serta perbuatan hati dan anggota badan. Ucapan lisan tanpa keyakinan hati adalah ucapan orang-orang munafik, ini tidak disebut qaul (ucapan) kecuali dengan batasan seperti Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

يَقُوْلُوْنَ بِأَلْسِنَتِهِمْ مَّا لَيْسَ فِي قُلُوْبِهِمْ

"Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya."
(Al-Fath: 11).

Begitu pula perbuatan anggota badan tanpa perbuatan hati, ia termasuk perbuatan orang-orang munafik yang ditolak oleh Allah. ]adi ucapan salaf mencakup ucaptln dan perbuatan,lahir dan batin. Barangsiapa menginginkan "keyakinan", dia melihat bahwa kata "ucapan" hanya dipahami darinya ucapan lahir, atau dia mengkhawatirkan itu, maka dia menambah "keyakinan dengan hati".

Barangsiapa berkata, "ucapan, perbuatan dan niat", dia berkata, ucapan mencakup keyakinan dan ucapan lisan. Adapun amal perbuatan maka bisa jadi niat dipahami darinya, maka dia menambahkan itu. Barangsiapa menambah mengikuti sunnah" maka karena semua itu tidak dicintai Allah kecuali dengan mengikuti sunnah. Dan yang mereka maksud bukan segala ucapan dan perbuatan, akan tetapi maksud mereka adalah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang disyariatkan, maksud mereka adalah membantah Murji'ah yang menjadikannya ucapan saja. Maka mereka berkata, akan tetapi ia adalah 'ucapan dan perbuatan". Dan ulama-ulama yang menjadikan Iman empat bagian, maka mereka menjelaskan apa yang mereka maksud, sebagaimana Sahal bin Abdullah at-Tustari pernah ditanya tentang apa itu Iman? Dia menjawab, "Ucapan, perbuatan, niat dan sunnah", karena jika Iman adalah ucapan tanpa perbuatan, maka ia kekufuran. Jika ia ucapan dan perbuatan tanpa niat, maka ia kemunafikan dan jika ia ucapan, perbuatan dan niat tanpa (mengikuti) as-Sunnah, maka ia adalah bid'ah. [Majmu' al-Fatawa Ibnu Taimiyah]


)) Ketiga : Penjelasan Tentang Definisi Iman
dan Kesalahan Golongan-golongan yang Menyelisihi Ahlus Sunnah

Dalam masalah ini kami akan menurunkan ucapan sebagian as-Salaf ash-Shalih tentang penjelasan definisi Iman menurut mereka dan penjelasan tentang kesalahan orang-orang yang menyelisihi dalam masalah ini. Penjelasan ringkas ini kami jelaskan sebagai berikut:

1. Definisi Iman mencakup ucapan dan perbuatan hati

Ucapan hati adalah keyakinan dan pembenaran, membenarkan para rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dalam apa yang mereka beritakan merupakan suatu ke-harusan. Jika pembenaran hati lenyap, maka bagian-bagian yang lain tidak berguna, karena membenarkan dengan hati merupakan syarat dalam meyakininya dan bahwa ia berguna.

Iman juga mencakup perbuatan hati, seperti ikhlas, cinta, takut, harapan, ta’zhim (mengagungkan), tunduk, tawakal dan perbuatan-perbuatan hati lainnya.

Jika amal hati lenyap dan keyakinan pembenaran (at-Tashdiq) ada, maka Ahlus Sunnah bersepakat bahwa Iman menjadi lenyap, dan bahwa pembenaran tidak berguna dengan lenyapnya amal-amal hati.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "sesungguhnya dasar Iman adalah Iman yang ada di dalam hati, dan harus ada padanya dua perkara: membenarkan dengan hati, pengakuan dan ma'rifatnya. Untuk ini disebut, ucapan hati. Al-Junaid bin Muhammad berkata, "Tauhid adalah ucapan hati, tawakal adalah perbuatan hati, harus ada padanya ucapan hati dan perbuatannya, kemudian ucapan badan dan perbuatannya, harus ada padanya perbuatan hati seperti cinta kepada Allah dan RasulNya, takut kepada Allah, cinta kepada apa yang dicintai Allah dan RasulNya, benci kepada apa yang dibenci Allah dan RasulNya, ikhlas beramal hanya karena Allah semata, tawakal hati hanya kepada Allah semata dan perbuatan-perbuatan hati lainnya yang diwajibkan Allah dan RasulNya dan Dia menjadikannya termasuk Iman."

Ibnu Taimiyah juga mengatakan, "Mengetahui sesuatu yang dicintai menuntut (kita) mencintainya, mengetahui yang diagungkan menuntut (kita) mengagungkannya mengetahui yang ditakuti menuntut (kita) takut kepadanya. Berilmu (mengetahui) dan membenarkan Allah itu sendiri dengan Asma'ul Husna dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, menuntut kecintaan hati kepadaNya, mengagungkan dan takut kepadaNya dan hal itu mengharuskan kecintaan hati kepadaNya, pengagungan dan ketakutannya kepadaNya, dan itu menuntut keinginan menaatiNya dan benci untuk mendurhakaiNya. Dan keinginan kuat ditambah kemampuan mewujudkan menuntut adanya yang diinginkan dan apa yang mungkin diwujudkan darinya." [Majmu' al-Fatawa, 7 /525]

Di tempat ketiga Ibnu Taimiyah rahimahullah, menekankan pentingnya perbuatan hati, beliau menyebutkan, "Bahwa ia termasuk dasar-dasar lman dan pondasi-pondasi Agama seperti cinta kepada Allah dan RasulNya, tawakal kepada Allah, mengikhlaskan Agama kepadaNya, bersyukur kepadaNya, bersabar atas hukumNya, takut kepadaNya, berharap kepadaNya.... Seluruh perbuatan-perbuatan ini adalah wajib atas seluruh makhluk dengan kesepakatan para imam Agama." [Majmu' al-Fatawa, 10 /5]

Masih kata Ibnu Taimiyah rahimahullah "Kesimpulannya adalah, Iman yang ada di dalam hati harus ada padanya: pembenaran terhadap Allah dan RasuNya, serta cinta kepada Allah dan RasulNya, karena jika tidak, maka sekedar pembenaran tetapi disertai kebencian kepada Allah dan RasuNya, permusuhan kepada Allah dan RasulNya, bukanlah Iman sebagaimana kesepakatan kaum Muslimin." [Majmu' al-Fatawa, 7 / 537]

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan pentingnya perbuatan hati, beliau berkata, "Perbuatan hati merupakan dasar yang diinginkan dan dimaksud, sedangkan perbuatan anggota badan adalah Pengikut, pelengkap dan Penyempurna, dan bahwasanya niat seperti ruh, sementara perbuatan seperti anggota badan, yang jika ia berpisah dengan ruh, maka ia mati. Begitu pula perbuatan, jika ia tidak diiringi niat maka ia adalah gerakan orang iseng. Maka mengetahui hukum perbuatan hati lebih penting daripada mengetahui hukum perbuatan anggota badan, karena ia adalah dasarnya, sedangkan hukum-hukum anggota badan hanya cabang darinya.” [Bada'i' al-Fawa'id, 3/2V1]

Ibnul Qayyim juga mengatakan, "Barangsiapa memperhatikan sumber-sumber dan dasar-dasar syariat niscaya dia mengetahui keterkaitan perbuatan anggota badan dengan perbuatan hati, yaitu bahwa perbuatan badan tidak berguna tanpa perbuatan hati, bahwa perbuatan hati lebih wajib atas seorang hamba daripada perbuatan anggota badan. Ubudiyah hati lebih a'gung daripada Ubudiyah anggota badan, lebih banyak dan lebih kontinu; Ubudiyah hati wajib di setiap waktu." [lbid,3/230]

Ibnu Taimiyah rahimahullah menetapkan bahwa Iman tidak sekedar membenarkan semata, akan tetapi harus ada perkara lain yaitu perbuatan hati yang mengandung cinta, tunduk dan penerimaan ...
Ibnu Taimiyah berkata, "Meskipun Iman mencakup pembenaran, akan tetapi ia bukan sekedar pembenaran, sesungguhnya Iman adalah pengakuan dan perasaan tenang. Hal itu karena membenarkan hanya berlaku untuk berita saja. Adapun perintah, maka ia tidak terkait dengan membenarkan dari sisi ia sebagai perintah, padahal Kalam Allah ada yang berupa berita dan perintah. Berita menuntut kepercayaan kepada orang yang memberitakan, dan perintah menuntut ketundukan dan kepasrahan kepadanya, dan ia adalah perbuatan hati, porosnya adalah ketundukan dan kepatuhan kepada perintah meskipun tidak melaksanakan apa yang diperintahkan. Jika berita direspon dengan membenarkannya dan perintah direspon dengan ketundukan kepadanya, maka dasar Iman di dalam hati telah terwujudyaitu, ketenangan dan pengakuan, karena Iman diambil dari اَلْأَمْنُ yang berarti ketenangan dan ketentraman, dan hal tersebut hanya terwujud jika pembenaran dan ketundukan telah bersemayam dengan mantap di dalam hati." [Ash-Sharim al Maslul,hal. 519]

Kita tutup nukilan-nukilan ini dengan perkataan yang berharga dari Ibnul Qayyim rahimahullah di mana beliau berkata, "Semua masalah ilmiah (pasti) diikuti oleh Iman hati, pembenaran dan cinta kepadanya, dan itulah perbuatan bahkan ia merupakan dasar perbuatan. Masalah ini termasuk masalah yang dilalaikan oleh banyak orang yang berbicara dalam masalah-masalah Iman, di mana mereka mengira bahwa ia sekedar pembenaran tanpa amal perbuatan. Ini termasuk kesalahan terburuk dan terparah, karena tidak sedikit dari orang-orang kafir meyakini kebenaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak meragukannya, hanya saja pembenaran itu tidak diikuti oleh perbuatan hati dalam bentuk mencintai apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bawa, menerima dan menginginkannya, Wala' (loyal) terhadapnya dan bara' (anti) karenanya. Maka janganlah melalaikan masalah ini, karena ia penting sekali, yang dengannya Anda dapat mengetahui hakikat Iman." [Zad al- Ma'ad,3/68.]

Dari nash-nash yang dicantumkan di atas, kita mengetahui perkara-perkara berikut:

1) Agung (dan besarnya) masalah amal-amal hati, bahwa ia adalah ruh ubudiyah dan otaknya. Dari sini, maka ia wajib atas seluruh mukallaf di setiap waktu.

2) Iman yang ada di dalam hati berdiri di atas dua dasar: membenarkan dan meyakini kebenaran, mencintai dan menginginkan kebenaran ini. Yang pertama adalah dasar ucapan dan yang kedua adalah dasar perbuatan.

3) Membenarkan itu sendiri -secara tersendiri- bukan merupakan Iman yang syar'i, akan tetapi harus disertai ketundukan dan kepasrahan kepada syariat Allah, karena jika tidak, maka telah diketahui secara mendasar dalam Agama Islam bahwa tidak sedikit ahli kitab dan orang-orang musyrik, dulu dan sekarang, mengetahui bahwa Muhammad adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa dia benar, tapi meskipun begitu mereka adalah orang-orang kafir karena mereka tidak melakukan tuntutan dari pembenaran ini dalam bentuk mencintai, mengagungkan dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

4) Bahwasanya golongan Murji'ah al-Karramiyah telah keliru ketika mereka mengira bahwa Iman hanyalah pengakuan dengan lisan saia. Karena orang-orang munafik adalah orang kafir dengan ijma' walaupun mereka menampakkan dua kalimat syahadat. Firman Allah,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُوْلُ ءَامَنَّا بِاللهِ وَبِالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِيْنَ

"Di antara manusia ada yang mengatakan, 'Kami beriman kepada Allah dan Hai Kemudian,' padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman."
(Al-Baqarah: 8).

Ucapan lahir pada diri orang-orang munafik telah terwujud akan tetapi Iman pada mereka tidak terwuiud karena ketiadaan pembenaran dan tuntutan-tuntutannya dalam hati-

5) Golongan Murji'ah al-Jahmiyah keliru ketika mereka mengira bahwa Iman tetap sempurna tanpa amal yang ada di dalam hati, sebagaimana yang terjadi pada golongan Jahmiyah, sebagaimana halnya seluruh Murji’ah keliru ketika mereka mengira bahwa Iman yang ada di dalam hati tetap sempurna tanpa perbuatan lahir.

Golongan Jahmiyah adalah pengikut al-Jahm bin Shafwan as Samarqandi yang dibunuh tahun 128 H. Golongan Jahmiyah adalah mu'aththilah dalam sifat Allah, Jabariyah dalam masalah qadar, Murji'ah murni dalam masalah Iman. Mereka berkata, surga dan neraka adalah fana.


2. Iman juga mencakup Ucapan Lisan dan Perbuatan Anggota Badan

Ucapan lisan adalah mengucapkan syahadatain dan pengakuan terhadap konsekuensi-konsekuensinya. Adapun perbuatan anggota badan, maka ia adalah perbuatan yang tidak terlaksana kecuali dengannya, seperti Shalat, Haji, Jihad, amal ma'ruf dan nahi mungkar.

Adapun ucapan lisan, maka ia merupakan perkara yang harus, ia adalah dasar bagi keberadaan sifat Iman -secara lahir- dan ulama Salaf telah menegaskan masalah ini. Berikut ini Abu Tsaur menetapkan pentingnya pengakuan lisan, dia berkata, "Tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang seorang laki-laki seandainya dia berkata, 'Aku bersaksi bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah Esa bahwa apa yang dibawa para rasul adalah benar' dan laki-laki ini mengakui seluruh syariat, kemudian dia berkata, 'Hatiku tidak meyakini dan tidak  membenarkan apa pun darinya', bahwa dia bukan Muslim. Seandainya dia berkata, 'Al-Masih adalah Allah' dan dia mengingkari Islam, dan dia berkata, 'Hatiku tidak meyakini sesuatu apa pun darinya' bahwa dia adalah kafir berdasarkan apa yang ditampakkannya tersebut dan bukan Mukmin. Dengan pengakuan tanpa diiringi pembenaran, dia tidak menjadi Mukmin, dan (sebaliknya) dengan pembenaran tanpa diiringl pengakuan iuga dia tidak menjadi Mukmin, sehingga dia membenarkan dengan hatinya dan mengakui dengan lisannya."

Ibnu Hazm menegaskan pentingnya ucapan lisan ini, dia berkata, "Barangsiapa meyakini Iman dengan hatinya dan dia tidak mengucapkannya dengan lisannya tanpa taqiyah, maka dia kafir di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan di kalangan kaum Muslimin." [Al-Muhalla, 1/50, lihat Kitabnya ad-Durah, hal. 326.]

Ibnu Taimiyah berkata, "BARANGSIAPA TIDAK MEMBENARKAN DENGAN LISANNYA PADAHAL DIA MAMPU, MAKA DALAM KAMUS ORANG-ORANG MUKMIN DIA BUKAN MUKMIN, SEBAGAIMANA HAL TERSEBUT DISEPAKATI OLEH SALAF UMAT DARI KATANGAN SAHABAT DAN TABI'IN." [Majmu' al-Fatawa, 7 / 337]

Masih kata Ibnu Taimiyah, "BARANGSIAPA MEMBENARKAN DENGAN HATINYA DAN TIDAK MENGUCAPKAN DENGAN LISANNYA, MAKA TIDAK SEDIKIT PUN HUKUM-HUKUM IMAN DISANDANGKAN KEPADANYA, TIDAK DI DUNIA DAN TIDAK DI AKHIRAT." [Majmu' al-Fatawa, 7/ 140]

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutan perkiraan yang tidak mungkin, dia berkata, "Begitu pula jika dikatakan, seorang laki-laki bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah, lahir dan batin dan hal itu telah diminta darinya tanpa ada rasa takut dan harapan yang menghalangi karenanya, tetapi dia menolak sehingga dia terbunuh, maka tidak mungkin dia secara batin bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Oleh karena itu ucapan lahir termasuk Iman, di mana tidak ada keselamatan bagi seorang hamba kecuali dengannya menurut mayoritas Salaf dan Khalaf dari kalangan orang-orang terdahulu dan yang hadir berikutnya, kecuali Jahmiyah." [Majmu' al-Fatawa,7 /219. lihat,7 /9]

Yang dimaksud dengan ucapan lisan yang merupakan Iman secara batin dan hakiki, adalah yang mengiringi keyakinan hati dan pembenarannya, karena jika tidak, maka sekedar ucapan tanpa keyakinan, Iman bukan merupakan Iman berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. [Majmu' al-Fatawa,7 /550]

IMAN adalah perbuatan anggota badan, sebagaimana makhluk wajib membenarkan para rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dalam apa yang mereka beritakan. Mereka juga harus menaati mereka dalam apa yang mereka perintahkan, Iman kepada rasul tidak terwuiud dengan mendurhakainya sama sekali. Firman Allah,

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ

"Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah."
(An-Nisa': 64).

Perbuatan-perbuatan anggota badan menginduk kepada perbuatan-perbuatan hati dan tuntutannya. Jika hati berisi ma'rifat dan iradat (keinginan), maka hal tersebut mengalir ke badan secara otomatis, tidak mungkin badan menolak apa yang diinginkan oleh hati. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits shahih,

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ، صَلَحَ لَهَا سَائِرُ الْجَسَدِ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ لَهَا سَائِرُ الْجَسَدِ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, bahwa di dalam jasad terdapat seonggok daging, jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh, jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad, ketahuilah, bahwa ia adalah HATI.”
[al-Bukhari dalam Kitab al-lman 1/126,no.52;]

Jika hati shahih dengan Iman yang ada padanya ilmu dan perbuatan hati, maka secara otomatis ia mengakibatkan kebaikan  fasad, dengan ucapan lahir dan mengamalkan Iman yang mutlak, sebagaimana yang dikatakan oleh para imam hadits, "ucapan dan perbuatan”, “ucapan batin dan zahir”, "perbuatan batin dan zahir". Yang lahir mengikuti yang batin dan merupakan konsekuensi darinya, jika batinnya baik, baik pula lahir, jika rusak, maka ia menjadi rusak. [Majmu' al-Fatawa, 7 / 187]

Di samping itu, tidak adanya perbuatan-perbuatan lahir akan menafikan Iman batin, oleh karena itu Allah menafikan Iman dari orang-orang di mana tuntutan Iman tidak terwujud pada mereka, karena tidak adanya tuntutan menunjukkan tidak adanya yang menuntut seperti Firman Allah,

وَلَوْ كَانُوْا يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالنَّبِيِّ وَمَآ أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوْهُمْ أَوْلِيَآءَ

"Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan menjadikan orang-orang musyikin itu sebagai penolong-penolong."
(Al-Ma'idah:81).

Firman Allah,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمَ الْأَخِرِ يُوَآدُّوْنَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ

"Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan Hari Akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya."
(Al-Mujadilah: 22),
Dan ayat-ayat yang senada.

Maka zahir dan batin saling berkait, yang zahir tidak menjadi lurus kecuali dengan lurusnya batin, jika batin lurus maka zahir pasti lurus. [Majmu' al-Fatawa, 18/282]

Penjelasannya: jika Iman batin yang ada di dalam hati terwujud, niscaya secara otomatis ia berpengaruh pada yang zahir, tidak mungkin salah satunya terpisah dari yang lain, keinginan yang kuat untuk berbuat ditambah kemampuan yang sempurna membawa kepada terwujudnya apa yang mungkin terwujud. Jika cinta kepada Allah dan RasulNya terpatri di dalam hati, maka ia menuntut sikap loyal (wala') kepada wali-waliNya dan anti (bara') terhadap musuh-musuhNya. [Majmu' al-Fatawa, 7/645.]

Dari sini, tidak mungkin seseorang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mengakui kewajiban-kewajiban, tetapi pada saat yang sama dia meninggalkan ketaatan-ketaatan tersebut dan menolak melaksanakannya.

Ibnu Taimiyah berkata, "Tidak mungkin seseorang beriman dengan Iman yang kokoh di dalam hatinya bahwa Allah mewajibkan Shalat, Zakat, Puasa, Haji lalu dia hidup sepanjang hayat tanpa pernah bersujud sekalipun kepada Allah, tidak berpuasa Ramadhan, tidak menunaikan Zakat karena Allah dan tidak berhaji ke Ka'bah-Nya. Ini tidak mungkin, ini tidak akan terjadi kecuali karena kemunafikan dan kezindikan di dalam hati, tidak bersama dengan Iman yang shahih. Oleh karena itu Allah mencap orang-orang kafir karena penolakan bersujud, dengan FirmanNya,

يَوۡمَ يُكۡشَفُ عَن سَاقٖ وَيُدۡعَوۡنَ إِلَى ٱلسُّجُودِ فَلَا يَسۡتَطِيعُونَ ٤٢ خَٰشِعَةً أَبۡصَٰرُهُمۡ تَرۡهَقُهُمۡ ذِلَّةٞۖ وَقَدۡ كَانُواْ يُدۡعَوۡنَ إِلَى ٱلسُّجُودِ وَهُمۡ سَٰلِمُونَ ٤٣

“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera."
(Al-Qalam: 42-43).


Keempat: IMAN Lahir dan Batin


IMAN memiliki dua sisi, yang pertama adalah batin dan hakikatnya, yaitu yang berkaitan dengan hati dari segi ucapan dan perbuatan, sedangkan sisi kedua adalah yang zahir. yaitu yang berkaitan dengan anggota badan, dan hendaknya memperhatikan perbedaan antara hukum atas yang zahir dan yang batin. Dari sini kemudian memperhatikan perbedaan di antara hukum di hadapan manusia di satu sisi dan hukum di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala di sisi yang lain, atau perbedaan antara hukum-hukum dunia dengan hukum akhirat.

Ibnu Taimiyah berkata, "Iman yang zahir yang menjadi sandaran hukum-hukum dunia, tidak mengotomatiskan Iman dalam batin, yang menjadikan pemiliknya termasuk orang-orang yang berbahagia di akhirat. Karena orang-orang munafik yang berkata,
“KAMI BERIMAN KEPADA ALLAH DAN HARI KEMUDIAN,' PADAHAL MEREKA ITU SESUNGGUHNYA BUKAN ORANG-ORANG YANG BERIMAN,”
(Al-Baqarah: 8),

secara zahir mereka adalah orang-orang beriman: mereka shalat bersama kaum Muslimin, berpuasa, berhaji, berperang, dan kaum Muslimin saling menikahi dengan mereka dan saling mewarisi dengan mereka sebagaimana halnya orang-orang munafik pada zaman Rasulullah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memvonis orang-orang munafik dengan hukum orang-orang kafir yang menampakkan kekufuran." [Majmu' al-Fatawa,7 / 210].

Kemudian Ibnu Taimiyah berkata, "Wajib membedakan antara hukum-hukum zahir terhadap orang-orang Mukmin yang menjadi sandaran hukum manusia di dunia dengan hukum terhadap mereka di akhirat berupa pahala dan siksa." [Majmu' al-Fatawa, 7/215]

Di tempat lain Ibnu Taimiyah menetapkan bahwa perbedaan antara lahir dan batin dalam masalah Iman ditetapkan oleh dalil-dalil yang mutawatir dan ijma' yang diketahui, bahkan ia diketahui secara mendasar (dharuri) dari agama Islam.

Oleh sebab itu, Salaf umat ini mengetahui perbedaan di antara kedua masalah ini, Sufyan ats-Tsauri dan Ibnu al-Mubarak berkata, "Manusia menurut kami adalah orang-orang Mukmin dalam masalah warisan dan hukum, tapi kami tidak mengetahui bagaimana mereka di sisi Allah subhanahu wa ta’ala."

Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata, "Allah mengabarkan kekufuran orang-orang munafik, dan Allah menetapkan pada mereka dengan ilmu-Nya dari rahasia-rahasia ciptaan-Nya yang tidak diketahui oleh selain-Nya bahwa mereka (nanti) berada di kerak neraka Paling bawah, dan bahwa mereka berdusta dalam sumpah-sumpah mereka.

Allah Yang Maha agung menetapkan mereka di dunia dengan Iman yang mereka tampakkan -meskipun mereka berdusta padanya-, bahwa mereka meraih perlindungan dari pembunuhan. Mereka adalah orang-orang yang menyembunyikan kekufuran dan yang menampakkan keimanan... Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan –di mana Allah subhanahu wa ta’ala melindungi darah orang yang menampakkan Iman setelah kekufuran- bahwa mereka berhak mendapat perlakuan sebagaimana hukum kaum Muslimin lainnya dalam pernikahan dan saling mewarisi. Maka masalah ini telah ielas dalam hukum Allah subhanahu wa ta’ala tentang orang-orang munafik. Kemudian RasulNya menetapkan bahwa tidak seorang pun berhak memvonis orang lain menyelisihi apa yang dia tampakkan dari dirinya dan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menyerahkan hukum kepada hamba-hamba-Nya berdasarkan apa yang nampak, karena tidak seorang pun mengetahui yang ghaib kecuali apa yang Allah ajarkan. [Al-Umm ,6/157]

Source:
Disertasi dengan judul:
KEYAKINAN, UCAPAN & PERBUATAN
PEMBATAL KEISLAMAN
Oleh: Dr. Abdul Aziz Bin Muhammad Bin Ali Al-Abdul Lathif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...