DEFINISI IMAN
Oleh: Dr.
Abdul Aziz Bin Muhammad
Termasuk
perkara penting, di permulaan adalah, menyebutkan definisi Iman dan apa yang menjadi
lawannya dan menjelaskan -meskipun secara singkat- sebagian masalah-masalah penting
dalam tema Iman dan lawannya (kekufuran) yang erat kaitannya dengan pembahasan
kita.
Penjelasan
kami tentang definisi Iman adalah melalui langkah-langkah berikut:
1)
Pertama: Makna Iman dalam al-Qur'an dan as-Sunnah
Kata
Iman di dalam al-Qur'an dan as-sunnah terulang dalam jumlah banyak yang lebih
banyak daripada kata-kata yang lain. Iman adalah dasar Agama. Dengan Iman
manusia dapat keluar dari kegelapan kepada cahaya, membedakan antara
orang-orang yang berbahagia dengan orimg-orang yang sengsara, kawan dengan lawan.
Sebagaimana
Ibnu Taimiyahh berkata, "Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah
menjelaskan maksud dari kata Iman dan lawannya dengan penjelasan di mana
berdalil atas itu dengan asal-usul dan pecahan (makna) kata, pemakaian orang-orang
Arab, dan yang sepertinya, tidak lagi diperlukan di hadapan penjelasan ini.
Oleh karena itu, dalam pemakaian nama-nama ini wajib merujuk kepada penjelasan
Allah dan Rasul-Nya, karena ia sudah cukup dan lengkap. Bahkan makna-makna dari
nama-nama ini sudah dimaklumi secara umum oleh orang-orang awam maupun
terpelajar. Lebih dari itu, siapa yang memperhatikan apa yang dikatakan oleh Khawarij,
Murji'ah, tentang makna Iman, niscaya dia mengetahui secara pasti bahwa itu
menyelisihi Rasul ...
Khawarij adalah golongan pertama yang
menyempal dalam tubuh umat mereka mengkafirkan pelaku dosa besar, anti (bara')
terhadap sebagian sahabat, membolehkan memberontak kepada pemimpin. Mereka
terdiri dari aliran-aliran, di antaranya: al-Muhakkimah, al-Azariqah dan al-Ibadhiyah.
Al-Murji'ah adalah golongan yang hanya mengambil
dalil janji-janji pahala dan harapan, mengenyampingkan amal perbuatan dari
hakikat Iman. Mereka terdiri dari banyak aliran.
Iman
termasuk hukum yang diambil dari Allah dan Rasul-Nya. Ia bukan sesuatu yang
dapat ditetapkan hukumnya oleh manusia berdasarkan dugaan dan hawa nafsu
mereka.
Ahlus
Sunnah wal jama'ah mendefinisikan Iman bahwa ia adalah ucapan dan perbuatan:
ucapan hati dan ucapan lisan, perbuatan hati dan anggota badan. Banyak ulama
yang menukil ijma' dalam masalah ini seperti Ibnul Bar dalam at-Tamhid.
Ahlus Sunnah wal jama'ah menerima dan mengambil definisi ini sebagai bukti ketundukan
mereka kepada nash-nash al-Qur'an dan hadits-hadits yang shahih, yang
menetapkan bahwa Iman adalah membenarkan dengan hati, mengakui dengan lisan,
dan beramal dengan anggota badan.
Di antara dalil-dalil yang menetapkan bahwa
IMAN adalah MEMBENARKAN DENGAN HATI adalah:
(1). Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَمَّا يَدۡخُلِ ٱلۡإِيمَٰنُ
فِي قُلُوبِكُمۡۖ
"
...karena Iman itu belum masuk ke dalam hatimu'" (Al-Hujurat: 14)
(2). Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ ٱلۡإِيمَٰنَ
“Mereka
itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka"
(Al-Mujadilah:
22).
(3). Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ
لَا يَحۡزُنكَ ٱلَّذِينَ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡكُفۡرِ مِنَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ
ءَامَنَّا بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَلَمۡ تُؤۡمِن قُلُوبُهُمۡۛ
“'Hai
Rasul, hendaknya janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera
(memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan
mulut mereka, 'Kami telah beriman,' padahal hati mereka belum beriman."
(Al-Ma' idah: 41).
Di antara
dalil-dalil yang menetapkan bahwa Iman adalah pengakuan dengan lisan adalah:
(1). Firman Allah subhanahu
wa ta’ala,
قُولُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ
وَمَآ أُنزِلَ إِلَيۡنَا
"Katakanlah
(hai orang-orang Mukmin), 'Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan
kepada kami'."
(Al-Baqarah: 136).
(2). Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱلَّذِيٓ
أُنزِلَ إِلَيۡنَا وَأُنزِلَ إِلَيۡكُمۡ
"Dan
katakanlah, 'Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada
kami dan yang diturunkan kepadamu." (Al-Ankabut: 46)
Di antara dalil-dalil yang menetapkan bahwa
IMAN adalah AMAL PERBUATAN ANGGOTA BADAN adalah:
(1). Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam,
اَلْإِيْمَانُ
بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا
إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِ
“lman terdiri dari
enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan La ilaha illallah'
yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu adalah
salah satu cabang lman”
[Diriwayatkan oleh al Bukhari, Kitab
al-Iman, Bab umur al-Iman, l/51, no. 9; dan Muslim Kitab al-lman,
1/63, no' 35']
(2). Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam kepada delegasi Bani Abdul Qais,
آمَرَكُمْ
بِالْإِيْمَانِ بِاللهِ وَحْدَهُ، أَتَدْرُوْنَ مَا الْإِيْمَانُ بِاللهِ
وَحْدَهُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: شَهَادَةُ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامُ الصَّلَاةِ
وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَ أَنْ تُؤَدُّوا الْخُمُسَ مِنَ
الْمَغْنَمِ
“Aku memerintahkan
kalian agar beriman kepada Allah semata. Tahukah kalian apa itu beriman kepada
Allah semata?" Mereka menjawab, "Allah dan RasulNya lebih
mengetahui.' Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Syahadat bahwa
tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah
Rasulullah, mendirikan Shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan dan
hendaknya kalian menunaikan (membayar) seperlima dari harta rampasan perang.”
[Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab
al-Iman, Bab Ada' al-Khumus min al-Iman 1/29, no. 53; Muslim, Kitab al-Iman,
Bab al-Amru bi al-Iman Billah, | / 46, no. 17.]
Dan masih banyak lagi
dalil-dalil yang lain.
Al-Hafizh Ibnu Mandah
rahimahullah menyebutkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الْإِيْمَانِ
“Barangsiapa di
antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya dia merubahnya dengan
tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan
hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya lman.”
[Muslim: Kitab al-lman, Bab Kaun
an-Nahyi an al-Munkar min al-Iman, l/ 69,no. 49; dan Ahmad, 3/10.]
Dan
ini beliau sebutkan dalam konteks menetapkan dalil bahwa Iman adalah: ucapan
lisan, keyakinan hati, dan perbuatan dengan anggota badan, serta bahwasanya
Iman itu (dapat) bertambah dan berkurang.
Ucapan-ucapan
as-Salaf ash-Shalih dalam masalah ini sepakat bahwa Iman adalah: ucapan dan
perbuatan. Kami paparkan sebagian ucapan-ucapan mereka sebagai berikut:
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
berkata, "Iman adalah ucapan dan perbuatan; (dapat) bertambah dan
berkurang."
Imam al-Ajurri menulis sebuah bab
di dalam kitabnya asy-Syari'ah, ‘Bab pendapat bahwa Iman adalah membenarkan
dengan hati, mengakui dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan, dan
seseorang tidak menjadi seorang Mukmin, kecuali jika padanya terkumpul tiga
perkara tersebut'.
Imam Ibnu Baththah rahimahullah berkata
mendefinisikan Iman,
"Maknanya adalah membenarkan apa yang
Dia firmankan, Dia perintahkan, Dia wajibkan dan Dia larang dari seluruh apa
yang dibawa oleh para Rasul dari sisiNya dan yang ditetapkan oleh kitab-kitab dan
dengan itu Dia mengutus para Rasulullah, maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum
kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah
melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (Al-Anbiya:25).
Dan membenarkan hal tersebut adalah
mengatakan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengamalkan dengan anggota
badan."
AlQadhi Abu Ya'lail rahimahullah
mendefinisikan Iman dengan mengatakan,
“Adapun definisi Iman dalam Syariat adalah,
seluruh ketaatan lahir dan batin. Yang batin adalah amal-amal hati, yaitu membenarkan
dengan hati, dan yang zahir (tampak) adalah perbuatan-perbuatan badan yang
wajib dan yang mandub (sunnah)”
Penegak as-Sunnah, Isma'il al-Ashbahani
rahimahullah berkata, "Iman secara syar'i adalah seluruh ketaatan lahir
dan batin."
Yang
jelas, ucapan-ucapan salaf dalam masalah ini sangat banyak, sulit untuk
disebutkan satu demi satu.
) Kedua:
Pernyataan Ulama Salaf Tentang Definisi lman
Ungkapan
as-Salaf ash-Shalih tentang definisi Iman adalah beragam, terkadang mereka
berkata, ia adalah "ucapan dan perbuatan", terkadang mereka berkata,
"ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati dan perbuatan dengan anggota
badan". Terkadang pula mereka berkata, ia adalah ucapan, "perbuatan
dan niat" dan terkadang mereka berkata, "ucapan, perbuatan, niat dan
mengikuti as-Sunnah".
Semua
itu adalah shahih, ungkapan-ungkapan di atas tidak mengandung perbedaan dari
segi makna, sebagaimana hal tersebut dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, beliau berkata, "Kalau mereka berkata, Iman adalah ucapan dan
perbuatan, maka termasuk ke dalam ucapan adalah ucapan hati dan lisan
sekaligus. Inilah yalng dipahami dari lafazh al-Qaul (ucapan) dan al-kalam
(pembicaraan). Tidak berbeda dengannya jika disebutkan secara mutlak,
karena ucapan yang mutlak dan perbuatan yang mutlak menurut salaf mencakup
ucapan hati dan lisan serta perbuatan hati dan anggota badan. Ucapan lisan tanpa keyakinan hati adalah ucapan orang-orang munafik, ini tidak disebut
qaul (ucapan) kecuali dengan batasan seperti Firman Allah subhanahu wa
ta’ala,
يَقُوْلُوْنَ
بِأَلْسِنَتِهِمْ مَّا لَيْسَ فِي قُلُوْبِهِمْ
"Mereka
mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya."
(Al-Fath:
11).
Begitu
pula perbuatan anggota badan tanpa perbuatan hati, ia termasuk perbuatan
orang-orang munafik yang ditolak oleh Allah. ]adi ucapan salaf mencakup ucaptln
dan perbuatan,lahir dan batin. Barangsiapa menginginkan "keyakinan",
dia melihat bahwa kata "ucapan" hanya dipahami darinya ucapan lahir,
atau dia mengkhawatirkan itu, maka dia menambah "keyakinan dengan
hati".
Barangsiapa
berkata, "ucapan, perbuatan dan niat", dia berkata, ucapan mencakup keyakinan
dan ucapan lisan. Adapun amal perbuatan maka bisa jadi niat dipahami darinya,
maka dia menambahkan itu. Barangsiapa menambah mengikuti sunnah" maka
karena semua itu tidak dicintai Allah kecuali dengan mengikuti sunnah. Dan yang
mereka maksud bukan segala ucapan dan perbuatan, akan tetapi maksud mereka
adalah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang disyariatkan, maksud mereka
adalah membantah Murji'ah yang menjadikannya ucapan saja. Maka mereka
berkata, akan tetapi ia adalah 'ucapan dan perbuatan". Dan ulama-ulama yang
menjadikan Iman empat bagian, maka mereka menjelaskan apa yang mereka maksud,
sebagaimana Sahal bin Abdullah at-Tustari pernah ditanya tentang apa itu Iman?
Dia menjawab, "Ucapan, perbuatan, niat dan sunnah", karena jika Iman
adalah ucapan tanpa perbuatan, maka ia kekufuran. Jika ia ucapan dan perbuatan
tanpa niat, maka ia kemunafikan dan jika ia ucapan, perbuatan dan niat tanpa
(mengikuti) as-Sunnah, maka ia adalah bid'ah. [Majmu' al-Fatawa Ibnu Taimiyah]
))
Ketiga : Penjelasan Tentang Definisi Iman
dan Kesalahan
Golongan-golongan yang Menyelisihi Ahlus Sunnah
Dalam
masalah ini kami akan menurunkan ucapan sebagian as-Salaf ash-Shalih tentang
penjelasan definisi Iman menurut mereka dan penjelasan tentang kesalahan orang-orang
yang menyelisihi dalam masalah ini. Penjelasan ringkas ini kami jelaskan
sebagai berikut:
1.
Definisi Iman mencakup ucapan dan perbuatan hati
Ucapan
hati adalah keyakinan dan pembenaran, membenarkan para rasul shallallahu
‘alaihi wasallam dalam apa yang mereka beritakan merupakan suatu ke-harusan. Jika
pembenaran hati lenyap, maka bagian-bagian yang lain tidak berguna, karena
membenarkan dengan hati merupakan syarat dalam meyakininya dan bahwa ia berguna.
Iman
juga mencakup perbuatan hati, seperti ikhlas, cinta, takut, harapan, ta’zhim
(mengagungkan), tunduk, tawakal dan perbuatan-perbuatan hati lainnya.
Jika
amal hati lenyap dan keyakinan pembenaran (at-Tashdiq) ada, maka Ahlus
Sunnah bersepakat bahwa Iman menjadi lenyap, dan bahwa pembenaran tidak berguna
dengan lenyapnya amal-amal hati.
Ibnu
Taimiyah
rahimahullah berkata, "sesungguhnya dasar Iman adalah Iman yang ada di
dalam hati, dan harus ada padanya dua perkara: membenarkan dengan hati,
pengakuan dan ma'rifatnya. Untuk ini disebut, ucapan hati. Al-Junaid bin
Muhammad berkata, "Tauhid adalah ucapan hati, tawakal adalah perbuatan
hati, harus ada padanya ucapan hati dan perbuatannya, kemudian ucapan badan dan
perbuatannya, harus ada padanya perbuatan hati seperti cinta kepada Allah dan
RasulNya, takut kepada Allah, cinta kepada apa yang dicintai Allah dan
RasulNya, benci kepada apa yang dibenci Allah dan RasulNya, ikhlas beramal
hanya karena Allah semata, tawakal hati hanya kepada Allah semata dan
perbuatan-perbuatan hati lainnya yang diwajibkan Allah dan RasulNya dan Dia
menjadikannya termasuk Iman."
Ibnu
Taimiyah
juga mengatakan, "Mengetahui sesuatu yang dicintai menuntut (kita)
mencintainya, mengetahui yang diagungkan menuntut (kita) mengagungkannya
mengetahui yang ditakuti menuntut (kita) takut kepadanya. Berilmu (mengetahui)
dan membenarkan Allah itu sendiri dengan Asma'ul Husna dan
sifat-sifat-Nya yang tinggi, menuntut kecintaan hati kepadaNya, mengagungkan dan
takut kepadaNya dan hal itu mengharuskan kecintaan hati kepadaNya, pengagungan
dan ketakutannya kepadaNya, dan itu menuntut keinginan menaatiNya dan benci
untuk mendurhakaiNya. Dan keinginan kuat ditambah kemampuan mewujudkan menuntut
adanya yang diinginkan dan apa yang mungkin diwujudkan darinya." [Majmu'
al-Fatawa, 7 /525]
Di
tempat ketiga Ibnu Taimiyah rahimahullah, menekankan pentingnya perbuatan hati,
beliau menyebutkan, "Bahwa ia termasuk dasar-dasar lman dan
pondasi-pondasi Agama seperti cinta kepada Allah dan RasulNya, tawakal kepada
Allah, mengikhlaskan Agama kepadaNya, bersyukur kepadaNya, bersabar atas
hukumNya, takut kepadaNya, berharap kepadaNya.... Seluruh perbuatan-perbuatan ini
adalah wajib atas seluruh makhluk dengan kesepakatan para imam Agama." [Majmu'
al-Fatawa, 10 /5]
Masih
kata Ibnu Taimiyah rahimahullah "Kesimpulannya adalah, Iman yang ada di
dalam hati harus ada padanya: pembenaran terhadap Allah dan RasuNya, serta
cinta kepada Allah dan RasulNya, karena jika tidak, maka sekedar pembenaran
tetapi disertai kebencian kepada Allah dan RasuNya, permusuhan kepada Allah dan
RasulNya, bukanlah Iman sebagaimana kesepakatan kaum Muslimin." [Majmu'
al-Fatawa, 7 / 537]
Ibnul
Qayyim
rahimahullah menjelaskan pentingnya perbuatan hati, beliau berkata,
"Perbuatan hati merupakan dasar yang diinginkan dan dimaksud, sedangkan
perbuatan anggota badan adalah Pengikut, pelengkap dan Penyempurna, dan
bahwasanya niat seperti ruh, sementara perbuatan seperti anggota badan, yang jika
ia berpisah dengan ruh, maka ia mati. Begitu pula perbuatan, jika ia tidak diiringi
niat maka ia adalah gerakan orang iseng. Maka mengetahui hukum perbuatan hati
lebih penting daripada mengetahui hukum perbuatan anggota badan, karena ia
adalah dasarnya, sedangkan hukum-hukum anggota badan hanya cabang darinya.” [Bada'i'
al-Fawa'id, 3/2V1]
Ibnul
Qayyim juga mengatakan, "Barangsiapa memperhatikan sumber-sumber dan
dasar-dasar syariat niscaya dia mengetahui keterkaitan perbuatan anggota badan
dengan perbuatan hati, yaitu bahwa perbuatan badan tidak berguna tanpa
perbuatan hati, bahwa perbuatan hati lebih wajib atas seorang hamba daripada
perbuatan anggota badan. Ubudiyah hati lebih a'gung daripada Ubudiyah anggota badan,
lebih banyak dan lebih kontinu; Ubudiyah hati wajib di setiap waktu." [lbid,3/230]
Ibnu
Taimiyah rahimahullah menetapkan bahwa Iman tidak sekedar membenarkan semata,
akan tetapi harus ada perkara lain yaitu perbuatan hati yang mengandung cinta,
tunduk dan penerimaan ...
Ibnu Taimiyah
berkata, "Meskipun Iman mencakup pembenaran, akan tetapi ia bukan sekedar
pembenaran, sesungguhnya Iman adalah pengakuan dan perasaan tenang. Hal itu
karena membenarkan hanya berlaku untuk berita saja. Adapun perintah, maka ia tidak
terkait dengan membenarkan dari sisi ia sebagai perintah, padahal Kalam Allah
ada yang berupa berita dan perintah. Berita menuntut kepercayaan kepada orang yang
memberitakan, dan perintah menuntut ketundukan dan kepasrahan kepadanya, dan ia
adalah perbuatan hati, porosnya adalah ketundukan dan kepatuhan kepada perintah
meskipun tidak melaksanakan apa yang diperintahkan. Jika berita direspon dengan
membenarkannya dan perintah direspon dengan ketundukan kepadanya, maka dasar Iman
di dalam hati telah terwujudyaitu, ketenangan dan pengakuan, karena Iman diambil
dari اَلْأَمْنُ yang berarti
ketenangan dan ketentraman, dan hal tersebut hanya terwujud jika pembenaran dan
ketundukan telah bersemayam dengan mantap di dalam hati." [Ash-Sharim al
Maslul,hal. 519]
Kita
tutup nukilan-nukilan ini dengan perkataan yang berharga dari Ibnul Qayyim
rahimahullah di mana beliau berkata, "Semua masalah ilmiah (pasti) diikuti
oleh Iman hati, pembenaran dan cinta kepadanya, dan itulah perbuatan bahkan ia
merupakan dasar perbuatan. Masalah ini termasuk masalah yang dilalaikan oleh
banyak orang yang berbicara dalam masalah-masalah Iman, di mana mereka mengira
bahwa ia sekedar pembenaran tanpa amal perbuatan. Ini termasuk kesalahan
terburuk dan terparah, karena tidak sedikit dari orang-orang kafir meyakini
kebenaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak meragukannya, hanya
saja pembenaran itu tidak diikuti oleh perbuatan hati dalam bentuk mencintai apa
yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bawa, menerima dan
menginginkannya, Wala' (loyal) terhadapnya dan bara' (anti) karenanya.
Maka janganlah melalaikan masalah ini, karena ia penting sekali, yang dengannya
Anda dapat mengetahui hakikat Iman." [Zad al- Ma'ad,3/68.]
Dari
nash-nash yang dicantumkan di atas, kita mengetahui perkara-perkara berikut:
1) Agung (dan besarnya)
masalah amal-amal hati, bahwa ia adalah ruh ubudiyah dan otaknya. Dari sini,
maka ia wajib atas seluruh mukallaf di setiap waktu.
2) Iman yang ada di
dalam hati berdiri di atas dua dasar: membenarkan dan meyakini kebenaran,
mencintai dan menginginkan kebenaran ini. Yang pertama adalah dasar ucapan dan yang
kedua adalah dasar perbuatan.
3) Membenarkan itu
sendiri -secara tersendiri- bukan merupakan Iman yang syar'i, akan tetapi harus
disertai ketundukan dan kepasrahan kepada syariat Allah, karena jika tidak,
maka telah diketahui secara mendasar dalam Agama Islam bahwa tidak sedikit ahli
kitab dan orang-orang musyrik, dulu dan sekarang, mengetahui bahwa Muhammad
adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa dia benar, tapi
meskipun begitu mereka adalah orang-orang kafir karena mereka tidak melakukan
tuntutan dari pembenaran ini dalam bentuk mencintai, mengagungkan dan mengikuti
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
4) Bahwasanya
golongan Murji'ah al-Karramiyah telah keliru ketika mereka mengira bahwa
Iman hanyalah pengakuan dengan lisan saia. Karena orang-orang munafik adalah
orang kafir dengan ijma' walaupun mereka menampakkan dua kalimat syahadat.
Firman Allah,
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَقُوْلُ ءَامَنَّا بِاللهِ وَبِالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِيْنَ
"Di antara
manusia ada yang mengatakan, 'Kami beriman kepada Allah dan Hai Kemudian,'
padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman."
(Al-Baqarah: 8).
Ucapan lahir pada diri orang-orang munafik
telah terwujud akan tetapi Iman pada mereka tidak terwuiud karena ketiadaan pembenaran
dan tuntutan-tuntutannya dalam hati-
5) Golongan Murji'ah
al-Jahmiyah keliru ketika mereka mengira bahwa Iman tetap sempurna tanpa
amal yang ada di dalam hati, sebagaimana yang terjadi pada golongan Jahmiyah,
sebagaimana halnya seluruh Murji’ah keliru ketika mereka mengira bahwa Iman
yang ada di dalam hati tetap sempurna tanpa perbuatan lahir.
Golongan
Jahmiyah adalah
pengikut al-Jahm bin Shafwan as Samarqandi yang dibunuh tahun 128 H.
Golongan Jahmiyah adalah mu'aththilah dalam sifat Allah, Jabariyah dalam
masalah qadar, Murji'ah murni dalam masalah Iman. Mereka berkata, surga dan
neraka adalah fana.
2.
Iman juga mencakup Ucapan Lisan dan Perbuatan Anggota Badan
Ucapan
lisan adalah mengucapkan syahadatain dan pengakuan terhadap
konsekuensi-konsekuensinya. Adapun perbuatan anggota badan, maka ia adalah
perbuatan yang tidak terlaksana kecuali dengannya, seperti Shalat, Haji, Jihad,
amal ma'ruf dan nahi mungkar.
Adapun
ucapan lisan, maka ia merupakan perkara yang harus, ia adalah dasar bagi
keberadaan sifat Iman -secara lahir- dan ulama Salaf telah menegaskan masalah
ini. Berikut ini Abu Tsaur menetapkan pentingnya pengakuan lisan, dia berkata,
"Tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang seorang laki-laki
seandainya dia berkata, 'Aku bersaksi bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah
Esa bahwa apa yang dibawa para rasul adalah benar' dan laki-laki ini mengakui
seluruh syariat, kemudian dia berkata, 'Hatiku tidak meyakini dan tidak membenarkan apa pun darinya', bahwa dia bukan
Muslim. Seandainya dia berkata, 'Al-Masih adalah Allah' dan dia mengingkari
Islam, dan dia berkata, 'Hatiku tidak meyakini sesuatu apa pun darinya' bahwa
dia adalah kafir berdasarkan apa yang ditampakkannya tersebut dan bukan Mukmin.
Dengan pengakuan tanpa diiringi pembenaran, dia tidak menjadi Mukmin, dan
(sebaliknya) dengan pembenaran tanpa diiringl pengakuan iuga dia tidak menjadi
Mukmin, sehingga dia membenarkan dengan hatinya dan mengakui dengan
lisannya."
Ibnu
Hazm menegaskan pentingnya ucapan lisan ini, dia berkata, "Barangsiapa
meyakini Iman dengan hatinya dan dia tidak mengucapkannya dengan lisannya tanpa
taqiyah, maka dia kafir di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan di
kalangan kaum Muslimin." [Al-Muhalla, 1/50, lihat Kitabnya ad-Durah,
hal. 326.]
Ibnu
Taimiyah berkata, "BARANGSIAPA TIDAK MEMBENARKAN DENGAN LISANNYA PADAHAL
DIA MAMPU, MAKA DALAM KAMUS ORANG-ORANG MUKMIN DIA BUKAN MUKMIN, SEBAGAIMANA
HAL TERSEBUT DISEPAKATI OLEH SALAF UMAT DARI KATANGAN SAHABAT DAN
TABI'IN." [Majmu' al-Fatawa, 7 / 337]
Masih
kata Ibnu Taimiyah, "BARANGSIAPA MEMBENARKAN DENGAN HATINYA DAN TIDAK
MENGUCAPKAN DENGAN LISANNYA, MAKA TIDAK SEDIKIT PUN HUKUM-HUKUM IMAN
DISANDANGKAN KEPADANYA, TIDAK DI DUNIA DAN TIDAK DI AKHIRAT." [Majmu'
al-Fatawa, 7/ 140]
Ibnu
Taimiyah rahimahullah menyebutan perkiraan yang tidak mungkin, dia berkata,
"Begitu pula jika dikatakan, seorang laki-laki bersaksi bahwa Muhammad
adalah Rasulullah, lahir dan batin dan hal itu telah diminta darinya tanpa ada
rasa takut dan harapan yang menghalangi karenanya, tetapi dia menolak sehingga
dia terbunuh, maka tidak mungkin dia secara batin bersaksi bahwa Muhammad adalah
Rasulullah. Oleh karena itu ucapan lahir termasuk Iman, di mana tidak ada keselamatan
bagi seorang hamba kecuali dengannya menurut mayoritas Salaf dan Khalaf dari
kalangan orang-orang terdahulu dan yang hadir berikutnya, kecuali Jahmiyah."
[Majmu' al-Fatawa,7 /219. lihat,7 /9]
Yang
dimaksud dengan ucapan lisan yang merupakan Iman secara batin dan hakiki,
adalah yang mengiringi keyakinan hati dan pembenarannya, karena jika tidak,
maka sekedar ucapan tanpa keyakinan, Iman bukan merupakan Iman berdasarkan
kesepakatan kaum Muslimin. [Majmu' al-Fatawa,7 /550]
IMAN adalah
perbuatan anggota badan, sebagaimana makhluk wajib membenarkan para rasul shallallahu
‘alaihi wasallam dalam apa yang mereka beritakan. Mereka juga harus menaati
mereka dalam apa yang mereka perintahkan, Iman kepada rasul tidak terwuiud
dengan mendurhakainya sama sekali. Firman Allah,
وَمَآ
أَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ
"Dan Kami tidak
mengutus seorang Rasul pun melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah."
(An-Nisa':
64).
Perbuatan-perbuatan
anggota badan menginduk kepada perbuatan-perbuatan hati dan tuntutannya. Jika
hati berisi ma'rifat dan iradat (keinginan), maka hal tersebut
mengalir ke badan secara otomatis, tidak mungkin badan menolak apa yang
diinginkan oleh hati. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda dalam hadits shahih,
أَلَا
وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ، صَلَحَ لَهَا سَائِرُ الْجَسَدِ،
وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ لَهَا سَائِرُ الْجَسَدِ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah, bahwa di
dalam jasad terdapat seonggok daging, jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh,
jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad, ketahuilah, bahwa ia adalah HATI.”
[al-Bukhari
dalam Kitab al-lman 1/126,no.52;]
Jika
hati shahih dengan Iman yang ada padanya ilmu dan perbuatan hati, maka secara
otomatis ia mengakibatkan kebaikan fasad,
dengan ucapan lahir dan mengamalkan Iman yang mutlak, sebagaimana yang
dikatakan oleh para imam hadits, "ucapan dan perbuatan”, “ucapan batin dan
zahir”, "perbuatan batin dan zahir". Yang lahir mengikuti yang batin
dan merupakan konsekuensi darinya, jika batinnya baik, baik pula lahir, jika
rusak, maka ia menjadi rusak. [Majmu' al-Fatawa, 7 / 187]
Di
samping itu, tidak adanya perbuatan-perbuatan lahir akan menafikan Iman batin,
oleh karena itu Allah menafikan Iman dari orang-orang di mana tuntutan Iman
tidak terwujud pada mereka, karena tidak adanya tuntutan menunjukkan tidak
adanya yang menuntut seperti Firman Allah,
وَلَوْ
كَانُوْا يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالنَّبِيِّ وَمَآ أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا
اتَّخَذُوْهُمْ أَوْلِيَآءَ
"Sekiranya
mereka beriman kepada Allah, kepada nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan
kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan menjadikan orang-orang musyikin itu
sebagai penolong-penolong."
(Al-Ma'idah:81).
Firman Allah,
لَا
تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمَ الْأَخِرِ يُوَآدُّوْنَ مَنْ
حَآدَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ
"Kamu
tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan Hari Akhirat, saling
berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya."
(Al-Mujadilah:
22),
Dan ayat-ayat yang senada.
Maka zahir dan batin
saling berkait, yang zahir tidak menjadi lurus kecuali dengan lurusnya batin,
jika batin lurus maka zahir pasti lurus. [Majmu' al-Fatawa, 18/282]
Penjelasannya:
jika Iman batin yang ada di dalam hati terwujud, niscaya secara otomatis ia
berpengaruh pada yang zahir, tidak mungkin salah satunya terpisah dari yang
lain, keinginan yang kuat untuk berbuat ditambah kemampuan yang sempurna
membawa kepada terwujudnya apa yang mungkin terwujud. Jika cinta kepada Allah
dan RasulNya terpatri di dalam hati, maka ia menuntut sikap loyal (wala')
kepada wali-waliNya dan anti (bara') terhadap musuh-musuhNya. [Majmu'
al-Fatawa, 7/645.]
Dari
sini, tidak mungkin seseorang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mengakui
kewajiban-kewajiban, tetapi pada saat yang sama dia meninggalkan ketaatan-ketaatan
tersebut dan menolak melaksanakannya.
Ibnu
Taimiyah berkata, "Tidak mungkin seseorang beriman dengan Iman yang kokoh
di dalam hatinya bahwa Allah mewajibkan Shalat, Zakat, Puasa, Haji lalu dia
hidup sepanjang hayat tanpa pernah bersujud sekalipun kepada Allah, tidak
berpuasa Ramadhan, tidak menunaikan Zakat karena Allah dan tidak berhaji ke
Ka'bah-Nya. Ini tidak mungkin, ini tidak akan terjadi kecuali karena kemunafikan
dan kezindikan di dalam hati, tidak bersama dengan Iman yang shahih. Oleh
karena itu Allah mencap orang-orang kafir karena penolakan bersujud, dengan
FirmanNya,
يَوۡمَ يُكۡشَفُ عَن سَاقٖ
وَيُدۡعَوۡنَ إِلَى ٱلسُّجُودِ فَلَا يَسۡتَطِيعُونَ ٤٢ خَٰشِعَةً أَبۡصَٰرُهُمۡ
تَرۡهَقُهُمۡ ذِلَّةٞۖ وَقَدۡ كَانُواْ يُدۡعَوۡنَ إِلَى ٱلسُّجُودِ وَهُمۡ
سَٰلِمُونَ ٤٣
“Pada hari betis
disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa,
(dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi diliputi kehinaan. Dan
sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam
keadaan sejahtera."
(Al-Qalam: 42-43).
Keempat: IMAN Lahir dan Batin
IMAN
memiliki
dua sisi, yang pertama adalah batin dan hakikatnya, yaitu yang berkaitan dengan
hati dari segi ucapan dan perbuatan, sedangkan sisi kedua adalah yang zahir.
yaitu yang berkaitan dengan anggota badan, dan hendaknya memperhatikan
perbedaan antara hukum atas yang zahir dan yang batin. Dari sini kemudian
memperhatikan perbedaan di antara hukum di hadapan manusia di satu sisi dan hukum
di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala di sisi yang lain, atau perbedaan antara hukum-hukum
dunia dengan hukum akhirat.
Ibnu
Taimiyah berkata, "Iman yang zahir yang menjadi sandaran hukum-hukum
dunia, tidak mengotomatiskan Iman dalam batin, yang menjadikan pemiliknya
termasuk orang-orang yang berbahagia di akhirat. Karena orang-orang munafik yang
berkata,
“KAMI
BERIMAN KEPADA ALLAH DAN HARI KEMUDIAN,' PADAHAL MEREKA ITU SESUNGGUHNYA BUKAN
ORANG-ORANG YANG BERIMAN,”
(Al-Baqarah:
8),
secara zahir mereka
adalah orang-orang beriman: mereka shalat bersama kaum Muslimin, berpuasa,
berhaji, berperang, dan kaum Muslimin saling menikahi dengan mereka dan saling
mewarisi dengan mereka sebagaimana halnya orang-orang munafik pada zaman
Rasulullah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memvonis orang-orang
munafik dengan hukum orang-orang kafir yang menampakkan kekufuran." [Majmu'
al-Fatawa,7 / 210].
Kemudian
Ibnu Taimiyah berkata, "Wajib membedakan antara hukum-hukum zahir
terhadap orang-orang Mukmin yang menjadi sandaran hukum manusia di dunia dengan
hukum terhadap mereka di akhirat berupa pahala dan siksa." [Majmu'
al-Fatawa, 7/215]
Di
tempat lain Ibnu Taimiyah menetapkan bahwa perbedaan antara lahir dan batin
dalam masalah Iman ditetapkan oleh dalil-dalil yang mutawatir dan ijma' yang
diketahui, bahkan ia diketahui secara mendasar (dharuri) dari agama
Islam.
Oleh
sebab itu, Salaf umat ini mengetahui perbedaan di antara kedua masalah ini,
Sufyan ats-Tsauri dan Ibnu al-Mubarak berkata, "Manusia menurut kami
adalah orang-orang Mukmin dalam masalah warisan dan hukum, tapi kami tidak
mengetahui bagaimana mereka di sisi Allah subhanahu wa ta’ala."
Imam
asy-Syafi'i
rahimahullah berkata, "Allah mengabarkan kekufuran orang-orang
munafik, dan Allah menetapkan pada mereka dengan ilmu-Nya dari rahasia-rahasia
ciptaan-Nya yang tidak diketahui oleh selain-Nya bahwa mereka (nanti) berada di
kerak neraka Paling bawah, dan bahwa mereka berdusta dalam sumpah-sumpah mereka.”
Allah
Yang Maha agung menetapkan mereka di dunia dengan Iman yang mereka tampakkan
-meskipun mereka berdusta padanya-, bahwa mereka meraih perlindungan dari
pembunuhan. Mereka adalah orang-orang yang menyembunyikan kekufuran dan yang menampakkan
keimanan... Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan –di mana
Allah subhanahu wa ta’ala melindungi darah orang yang menampakkan Iman setelah
kekufuran- bahwa mereka berhak mendapat perlakuan sebagaimana hukum kaum
Muslimin lainnya dalam pernikahan dan saling mewarisi. Maka masalah ini telah
ielas dalam hukum Allah subhanahu wa ta’ala tentang orang-orang munafik.
Kemudian RasulNya menetapkan bahwa tidak seorang pun berhak memvonis orang lain
menyelisihi apa yang dia tampakkan dari dirinya dan bahwa Allah subhanahu wa
ta’ala menyerahkan hukum kepada hamba-hamba-Nya berdasarkan apa yang nampak,
karena tidak seorang pun mengetahui yang ghaib kecuali apa yang Allah ajarkan.
[Al-Umm ,6/157]
Source:
Disertasi dengan
judul:
KEYAKINAN, UCAPAN
& PERBUATAN
PEMBATAL KEISLAMAN
Oleh: Dr. Abdul Aziz
Bin Muhammad Bin Ali Al-Abdul Lathif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar