9/16/2019

Ikatan Aqidah & Ukhuwah Lebih Kuat Daripada Ikatan Darah


Ikatan Aqidah & Ukhuwah Lebih Kuat Daripada Ikatan Darah

Oleh: Abu Muhajir

”Sebuas-buasnya harimau tak akan makan anak sendiri”. Mungkin kita sudah tidak asing dengan pepatah di atas. Sang raja hutan yang terkenal buas yakni harimau tidak akan memakan anaknya sendiri, bahkan dia akan rela mati-matian untuk melindungi anaknya sendiri. Hal ini seolah menunjukan betapa kuatnya ikatan biologis dari harimau dan anaknya tersebut.

Pun demikian halnya dengan manusia. Kedua orang tua tentu akan melindungi dan mendidik buah hati mereka agar menjadi manusia yang berguna bagi manusia sekitarnya, terlebih bagi agamanya. Hal ini karena adanya ikatan yang mengikat diantara mereka, yakni ikatan darah, atau ikatan biologis.

Namun, ikatan tersebut bukanlah ikatan yang kuat, dan bukanlah ikatan yang sempurna. Bagaimana kita bisa melihat fakta di masyarakat banyaknya anak yang tidak lagi menurut kepada keyakinan orang tuanya ketika dia berpindah keyakinan.

Dalam sirah nabawiyah pun kita bisa melihat bagaimana para sahabat yang lebih memilih Islam sebagai aqidah yang mengikat diri mereka, daripada keluarga, meskipun keluarga mereka sendiri bersumpah akan memutuskan silaturahim tali keluarga dengan mereka.

Lihatlah bagaimana sosok Mush’ab bin Umar radhiyallahu ‘anhu sang muqarri’ Madinah, yang lebih memilih Islam daripada keluarganya. Ia rela hijrah ke Madinah, dan menjadi duta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan risalah Islam di kota tersebut.

Mush’ab bin Umair bukan sembarang lelaki. Ketika di masa jahiliyyah, ia dikenal sebagai pemuda dambaan kaum wanita. Ia adalah seorang pemuda ganteng yang dikenal sangat perlente (kaya raya dan rupawan). Bila ia menghadiri sebuah perkumpulan ia segera menjadi magnet pemikat semua orang terutama kaum wanita. Gemerlap pakaiannya dan keluwesannya bergaul sungguh mempesona. Namun sesudah memeluk Islam, ia berubah sama sekali.

Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa kaum Muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Demi memandang Mush’ab, mereka sama menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal–tambal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka – pakaiannya sebelum masuk Islam – tak obahnya bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi. Adapun Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia seraya bersabda : “Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya”.

Atau kita bisa melihat bagaimana kuatnya ikatan yang mengikat antar masing-masing sahabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Lihatlah bagaimana meleburnya sahabat Abu Bakar Ash-Shidiq yang Arab dengan Salman Al-Farisi yang berasal dari Persia dengan Bilal bin Rabbah yang orang Ethiopia dengan Shuhaib yang berasal dari bangsa Romawi. Mereka menjalin al-Ukhuwah wal-Mahabbah (persaudaraan dan kasih sayang) yang menembus batas-batas suku, bangsa, warna kulit, asal tanah-air dan bahasa. Itulah ukhuwah Islamiyyah yang terpancar dari ikatan aqidah.

Jagalah Ukhuwah Wahai Para Ikhwah

Namun memang, ada hal yang bisa merusak dan memperlemah ikatan aqidah itu sendiri yakni hilangnya rasa ukhuwah diantara para ikhwah. Hal ini bisa karena faktor urusan personal, kepentingan duniawi ataupun hal teknis lainnya. Namun sejatinya, ketika seseorang memahami makna dari sebuah ikatan aqidah itu sendiri, maka sejatinya ia faham bahwa ukhuwah merupakan satu diantara pilar-pilar yang memperkokoh ikatan aqidah itu sendiri. Terkadang kita menyaksikan para ikhwah yang saling caci ataupun cerca ketika berdiskusi, yang tadinya ingin mencari kebenaran maka beralih untuk mencari pembenaran akan pendapat masing-masing. Na’udzubillah min dzalik…

Dalam diskusi tentang dakwah, atau berdiskusi dengan harokah dakwah lain, apakah kita telah berdiskusi secara ahsan (baik)? Apakah kita telah berdiskusi dalam rangka mencari kebenaran, bukan mencari pembenaran? Apakah diskusi yang kita lakukan tidak dalam membuka aib lawan diskusi kita karena telah kalah hujjah? Sebagaimana kata seorang ikhwah : “Ketidakmilikan hujjah seseorang dalam berdiskusi, maka orang tersebut akan akan menyerang dari sisi selain hujjah lawan diskusinya (yakni membunuh karakter lawan diskusinya secara personal dengan berbagai macam fitnah dan isu negatif)”.

Atau tatkala kita membuka aib saudara kita sesama Muslim hanya karena faktor ketidaksukaan kita kepadanya. Na’udzubillah min dzalik tsumma na’udzubillah…

Ingatlah sabda Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam : “Siapa yang merasa pernah berbuat aniaya kepada saudaranya, baik berupa kehormatan badan atau harta atau lain-lainnya, hendaknya segera meminta halal (maaf) nya sekarang juga, sebelum datang suatu hari yang tiada harta dan dinar atau dirham. Jika ia punya amal shalih, maka akan diambil menurut penganiayannya, dan jika tidak mempunyai hasanat (kebaikan), maka diambilkan dari kejahatan orang yang dia aniaya untuk ditanggungkan kepadanya”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Hadits diatas menggambarkan kepada kita, bahwa tatkala kita tidak meminta maaf kepada orang yang kita rasa pernah kita sakiti, baik secara fisik maupun non fisik (kata-kata), maka wajiblah kita untuk meminta maaf. Jika tidak, maka kelak semua amal shalih kita akan diambil untuk menghilangkan dosa dari menganiaya tersebut sesuai kadarnya. Dan jika kita tidak punya sama sekali amal shalih atau kebaikan, maka kita akan mendapatkan tambahan kejahatan dari orang yang kita aniaya tersebut, sehingga semakin membertakan timbangan dosa kita di yaumul mizan kelak, yakni hari dimana dilakukan pertimbangan amal baik dan buruk.

Semua orang tentu mempunyai aib. Dan tentu pula ia tidak mau orang lain tahu akan aib yang dimiliki. Bisa dibayangkan jika orang tersebut aibnya dibuka oleh orang lain, diceritakan dibelakang dia, atau semisal ditayangkan di televisi sebagaimana hiburan infotainment di TV. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh kita untuk menutupi aib saudara kita sendiri.

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa melepaskan seorang Mukmin dari kesusahan hidup di dunia, niscaya Allah akan melepaskan darinya kesusahan di hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan (Mukmin) yang sulit, niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup aib seorang Muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan menolong seorang hamba, selama hamba itu senantiasa menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya bersama-sama, melainkan akan turun kepada mereka ketenteraman, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, dan Allah memuji mereka di hadapan (para malaikat) yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa amalnya lambat, maka tidak akan disempurnakan oleh kemuliaan nasabnya”. (HR. Muslim)

Untuk itu yaa ikhwah, berfikirlah sebelum berkata, berfikirlah sebelum berbuat. Bayangkan bahwa dia adalah kita. Posisikan kita sebagai dia. Posisikan kita yang aibnya di buka ataupun perasaannya di sakiti tatkala kita melontarkan perkataan atau kalimat yang itu membuat hati menjadi tersakiti.

Bagi para hamilud-dakwah, berdakwahlah dengan cara yang ma’ruf namun dengan tetap menyampaikan al-haq sesuai Al-Qur’an dan Sunnah, dan bukan semata-mata agar disukai oleh jamaahnya. Berfikirlah sebelum berkata, dan berfikirlah sebelum berbuat.

Dalam sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Imam Tirmidzi dijelaskan bahwa kunci untuk meraih keluhuran jiwa adalah menjaga lisan. Mu’adz radhiyallahu ‘anhu berkata, Saya bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah beritahukan kepada saya amal perbuatan yang dapat memasukkan saya ke dalam surga dan menjauhkan dari neraka?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kamu benar-benar menanyakan sesuatu yang sangat besar. Sesungguhnya hal itu sangat mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah, yaitu: Hendaklah kamu menyembah kepada Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mendirikan sholat, membayar zakat, puasa di bulan Ramadlan, dan berhaji ke Baitullah bila kamu mampu menempuh perjalanannya”.

Selanjutnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah engkau aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa itu adalah perisai, shadaqah dapat menghilangkan dosa seperti halnya air memadamkan api, dan sholat seseorang pada tengah malam”. Beliau lantas membaca ayat yang artinya, “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, serta mereka menafkahkan sebagian rizki yang telah Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu bermacam-macam nikmat yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”.

Lalu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kembali, “Maukah engkau aku tunjukkan pokok dan tiang dari segala sesuatu dan puncak keluhuran?” Saya (Mu’adz) berkata, “Baiklah ya Rasulullah”.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “POKOK SEGALA SESUATU ADALAH ISLAM, TIANGNYA ADALAH SHOLAT, DAN PUNCAK KELUHURANNYA ADALAH BERJUANG DI JALAN ALLAH”. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kamu aku tunjukkan tentang kunci dari kesemuanya itu?” Saya menjawab, “Tentu yaa Rasulullah”.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memegang lidahnya seraya berkata, “Peliharalah ini”. Saya berkata, “Ya Rasulullah, apakah kami akan dituntut atas apa yang kami katakan?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Celaka kamu, bukankah wajah manusia tersungkur ke dalam neraka, tidak lain karena akibat lidah (perkataan) mereka?”. (HR. Tirmidzi)

Mengambil Ibrah (Pelajaran) Dari Sahabat Rasulullah

Dahulu, dua sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertengkar keras. Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu pun sampai kelepasan menyebut Bilal radhiyallahu ‘anhu sebagai anak si hitam. Ketika Rasulullah menegurnya dengan keras, barulah Abu Dzar menyesal bukan kepalang, hingga ia taruh pipinya di atas tanah dan minta Bilal menginjak wajahnya asalkan ia bisa memaafkannya. Pada akhirnya Bilal tak pernah menginjak wajah saudaranya, dan cerita itu berakhir dengan bahagia.

Hal-hal yang kita anggap konyol, tidak perlu, tidak etis, tidak profesional dan tidak pantas dilakukan oleh para aktivis dakwah pun pernah terjadi pada generasi sahabat Rasulullah. Ingatkah bagaimana Nabi Musa ‘alaihissalam dikuasai oleh amarah kepada kaumnya hingga ia menarik rambut Nabi Harun ‘alaihissalam? Demikianlah amarah sesaat bisa membuat segala bangunan ukhuwah yang sudah dibangun lama menjadi rusak. Efeknya bahkan bisa menjadi permanen bila tidak segera ditanggulangi.

Sudahkah Anda mendengar kisah pertengkaran 2 orang sahabat paling mulia, yaitu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu? Suatu hari Abu Bakar datang kepada Rasulullah dan langsung duduk merapat dengannya. Ia bercerita bahwa antara dirinya dan ‘Umar baru saja terjadi pertengkaran. Ia terlanjur marah dan kemudian menyesal. Permintaan maafnya ditolak oleh ‘Umar, maka Abu Bakar pun mengadu kepada Rasulullah. Beliau menenangkan Abu Bakar dengan mengatakan bahwa Allah telah mengampuninya.

Setelah Abu Bakar pergi, datanglah ‘Umar menemui Rasulullah yang saat itu sedang menyimpan amarah sehingga nampak jelas pada wajahnya. Beginilah ucapan Rasulullah saat itu: “Sesungguhnya Allah mengutus aku kepada kalian, dan kalian mengatakan ‘Kamu pendusta’, sedangkan Abu Bakar mengatakan ‘Dia orang yang jujur’, dan dia mengorbankan diri dan hartanya!”. Sadarlah ‘Umar akan kesalahannya karena telah memperpanjang perselisihan dengan sahabat yang paling dicintai Rasulullah. Setelah itu, Abu Bakar tak pernah disakiti lagi.

Bersaudara tak mesti sedarah…
Bersaudara tak harus serumah…
Bersaudara bukan soal daerah…
Karena persaudaraan yang benar adalah atas dasar ukhuwah Islamiyyah dalam ikatan aqidah…
Kita dipersaudarakan oleh Allah yang kita sembah…
Kita bersaudara karena Rasulullah yang menyampaikan hidayah…
Adakah persaudaraan yang lebih indah dari persaudaraan karena Allah?

Allah Ta’ala berfirman,  
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu adalah bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah diantara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”.  
(QS. Al Hujurat 49 : 10). 

Wallahu a’lam bish-showab…
[Edt: Abd] >> artikel Mata-Media.com


VS



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...