Ikatan Aqidah & Ukhuwah Lebih Kuat Daripada Ikatan
Darah
Oleh: Abu Muhajir
”Sebuas-buasnya harimau tak
akan makan anak sendiri”. Mungkin kita sudah tidak asing dengan pepatah di
atas. Sang raja hutan yang terkenal buas yakni harimau tidak akan memakan
anaknya sendiri, bahkan dia akan rela mati-matian untuk melindungi anaknya
sendiri. Hal ini seolah menunjukan betapa kuatnya ikatan biologis dari harimau
dan anaknya tersebut.
Pun demikian halnya dengan
manusia. Kedua orang tua tentu akan melindungi dan mendidik buah hati mereka
agar menjadi manusia yang berguna bagi manusia sekitarnya, terlebih bagi
agamanya. Hal ini karena adanya ikatan yang mengikat diantara mereka, yakni
ikatan darah, atau ikatan biologis.
Namun, ikatan tersebut bukanlah
ikatan yang kuat, dan bukanlah ikatan yang sempurna. Bagaimana kita bisa
melihat fakta di masyarakat banyaknya anak yang tidak lagi menurut kepada
keyakinan orang tuanya ketika dia berpindah keyakinan.
Dalam sirah nabawiyah pun kita
bisa melihat bagaimana para sahabat yang lebih memilih Islam sebagai aqidah
yang mengikat diri mereka, daripada keluarga, meskipun keluarga mereka sendiri
bersumpah akan memutuskan silaturahim tali keluarga dengan mereka.
Lihatlah bagaimana sosok
Mush’ab bin Umar radhiyallahu ‘anhu sang muqarri’ Madinah, yang lebih
memilih Islam daripada keluarganya. Ia rela hijrah ke Madinah, dan menjadi duta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan risalah
Islam di kota tersebut.
Mush’ab bin Umair bukan
sembarang lelaki. Ketika di masa jahiliyyah, ia dikenal sebagai pemuda dambaan
kaum wanita. Ia adalah seorang pemuda ganteng yang dikenal sangat perlente
(kaya raya dan rupawan). Bila ia menghadiri sebuah perkumpulan ia segera
menjadi magnet pemikat semua orang terutama kaum wanita. Gemerlap pakaiannya
dan keluwesannya bergaul sungguh mempesona. Namun sesudah memeluk Islam, ia
berubah sama sekali.
Pada suatu hari ia tampil
di hadapan beberapa kaum Muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam. Demi memandang Mush’ab, mereka sama menundukkan
kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka.
Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal–tambal, padahal belum
lagi hilang dari ingatan mereka – pakaiannya sebelum masuk Islam – tak obahnya
bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi.
Adapun Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menatapnya dengan pandangan
penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bibirnya
tersungging senyuman mulia seraya bersabda : “Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak
ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian
ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Atau kita bisa melihat
bagaimana kuatnya ikatan yang mengikat antar masing-masing sahabat Nabi
Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Lihatlah bagaimana meleburnya
sahabat Abu Bakar Ash-Shidiq yang Arab dengan Salman Al-Farisi yang berasal
dari Persia dengan Bilal bin Rabbah yang orang Ethiopia dengan Shuhaib yang
berasal dari bangsa Romawi. Mereka menjalin al-Ukhuwah wal-Mahabbah
(persaudaraan dan kasih sayang) yang menembus batas-batas suku, bangsa, warna
kulit, asal tanah-air dan bahasa. Itulah ukhuwah Islamiyyah yang terpancar dari
ikatan aqidah.
Namun memang, ada hal yang bisa
merusak dan memperlemah ikatan aqidah itu sendiri yakni hilangnya rasa ukhuwah
diantara para ikhwah. Hal ini bisa karena faktor urusan personal, kepentingan
duniawi ataupun hal teknis lainnya. Namun sejatinya, ketika seseorang memahami
makna dari sebuah ikatan aqidah itu sendiri, maka sejatinya ia faham bahwa
ukhuwah merupakan satu diantara pilar-pilar yang memperkokoh ikatan aqidah itu
sendiri. Terkadang kita menyaksikan para ikhwah yang saling caci ataupun cerca
ketika berdiskusi, yang tadinya ingin mencari kebenaran maka beralih untuk
mencari pembenaran akan pendapat masing-masing. Na’udzubillah min dzalik…
Dalam diskusi tentang dakwah,
atau berdiskusi dengan harokah dakwah lain, apakah kita telah berdiskusi secara
ahsan (baik)? Apakah kita telah berdiskusi dalam rangka mencari kebenaran,
bukan mencari pembenaran? Apakah diskusi yang kita lakukan tidak dalam membuka
aib lawan diskusi kita karena telah kalah hujjah? Sebagaimana kata seorang
ikhwah : “Ketidakmilikan hujjah seseorang dalam berdiskusi, maka orang
tersebut akan akan menyerang dari sisi selain hujjah lawan diskusinya (yakni
membunuh karakter lawan diskusinya secara personal dengan berbagai macam fitnah
dan isu negatif)”.
Atau tatkala kita membuka aib
saudara kita sesama Muslim hanya karena faktor ketidaksukaan kita kepadanya. Na’udzubillah
min dzalik tsumma na’udzubillah…
Ingatlah sabda Nabi kita
Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam : “Siapa yang merasa pernah
berbuat aniaya kepada saudaranya, baik berupa kehormatan badan atau harta atau
lain-lainnya, hendaknya segera meminta halal (maaf) nya sekarang juga, sebelum
datang suatu hari yang tiada harta dan dinar atau dirham. Jika ia punya amal
shalih, maka akan diambil menurut penganiayannya, dan jika tidak mempunyai
hasanat (kebaikan), maka diambilkan dari kejahatan orang yang dia aniaya untuk
ditanggungkan kepadanya”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu)
Hadits diatas menggambarkan
kepada kita, bahwa tatkala kita tidak meminta maaf kepada orang yang kita rasa
pernah kita sakiti, baik secara fisik maupun non fisik (kata-kata), maka
wajiblah kita untuk meminta maaf. Jika tidak, maka kelak semua amal shalih kita
akan diambil untuk menghilangkan dosa dari menganiaya tersebut sesuai kadarnya.
Dan jika kita tidak punya sama sekali amal shalih atau kebaikan, maka kita akan
mendapatkan tambahan kejahatan dari orang yang kita aniaya tersebut, sehingga
semakin membertakan timbangan dosa kita di yaumul mizan kelak, yakni hari
dimana dilakukan pertimbangan amal baik dan buruk.
Semua orang tentu mempunyai
aib. Dan tentu pula ia tidak mau orang lain tahu akan aib yang dimiliki. Bisa
dibayangkan jika orang tersebut aibnya dibuka oleh orang lain, diceritakan
dibelakang dia, atau semisal ditayangkan di televisi sebagaimana hiburan
infotainment di TV. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh kita untuk
menutupi aib saudara kita sendiri.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa
melepaskan seorang Mukmin dari kesusahan hidup di dunia, niscaya Allah akan
melepaskan darinya kesusahan di hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan
(Mukmin) yang sulit, niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan
akhirat. Barangsiapa menutup aib seorang Muslim, maka Allah
akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan menolong
seorang hamba, selama hamba itu senantiasa menolong saudaranya. Barangsiapa
menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan
baginya menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah
untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya bersama-sama, melainkan akan turun
kepada mereka ketenteraman, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, dan Allah
memuji mereka di hadapan (para malaikat) yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa
amalnya lambat, maka tidak akan disempurnakan oleh kemuliaan nasabnya”. (HR.
Muslim)
Untuk itu yaa ikhwah,
berfikirlah sebelum berkata, berfikirlah sebelum berbuat. Bayangkan bahwa dia
adalah kita. Posisikan kita sebagai dia. Posisikan kita yang aibnya di buka
ataupun perasaannya di sakiti tatkala kita melontarkan perkataan atau kalimat
yang itu membuat hati menjadi tersakiti.
Bagi para hamilud-dakwah,
berdakwahlah dengan cara yang ma’ruf namun dengan tetap menyampaikan al-haq
sesuai Al-Qur’an dan Sunnah, dan bukan semata-mata agar disukai oleh jamaahnya.
Berfikirlah sebelum berkata, dan berfikirlah sebelum berbuat.
Dalam sebuah riwayat yang
diketengahkan oleh Imam Tirmidzi dijelaskan bahwa kunci untuk meraih keluhuran
jiwa adalah menjaga lisan. Mu’adz radhiyallahu ‘anhu berkata, Saya
bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah beritahukan kepada saya amal
perbuatan yang dapat memasukkan saya ke dalam surga dan menjauhkan dari
neraka?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kamu
benar-benar menanyakan sesuatu yang sangat besar. Sesungguhnya hal itu sangat
mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah, yaitu: Hendaklah kamu menyembah
kepada Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mendirikan
sholat, membayar zakat, puasa di bulan Ramadlan, dan berhaji ke Baitullah bila
kamu mampu menempuh perjalanannya”.
Selanjutnya, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah engkau aku tunjukkan pintu-pintu
kebaikan? Puasa itu adalah perisai, shadaqah dapat menghilangkan dosa seperti
halnya air memadamkan api, dan sholat seseorang pada tengah malam”. Beliau
lantas membaca ayat yang artinya, “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya,
sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, serta
mereka menafkahkan sebagian rizki yang telah Kami berikan kepada mereka.
Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu
bermacam-macam nikmat yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan terhadap
apa yang telah mereka kerjakan”.
Lalu, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya kembali, “Maukah engkau aku tunjukkan pokok dan
tiang dari segala sesuatu dan puncak keluhuran?” Saya (Mu’adz) berkata,
“Baiklah ya Rasulullah”.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “POKOK SEGALA SESUATU ADALAH ISLAM, TIANGNYA
ADALAH SHOLAT, DAN PUNCAK KELUHURANNYA ADALAH BERJUANG DI JALAN ALLAH”.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kamu
aku tunjukkan tentang kunci dari kesemuanya itu?” Saya menjawab, “Tentu yaa
Rasulullah”.
Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam lantas memegang lidahnya seraya berkata, “Peliharalah ini”. Saya
berkata, “Ya Rasulullah, apakah kami akan dituntut atas apa yang kami katakan?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Celaka kamu, bukankah
wajah manusia tersungkur ke dalam neraka, tidak lain karena akibat lidah
(perkataan) mereka?”. (HR. Tirmidzi)
Dahulu, dua sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bertengkar keras. Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu
‘anhu pun sampai kelepasan menyebut Bilal radhiyallahu ‘anhu
sebagai anak si hitam. Ketika Rasulullah menegurnya dengan keras, barulah Abu
Dzar menyesal bukan kepalang, hingga ia taruh pipinya di atas tanah dan minta
Bilal menginjak wajahnya asalkan ia bisa memaafkannya. Pada akhirnya Bilal tak
pernah menginjak wajah saudaranya, dan cerita itu berakhir dengan bahagia.
Hal-hal yang kita anggap
konyol, tidak perlu, tidak etis, tidak profesional dan tidak pantas dilakukan
oleh para aktivis dakwah pun pernah terjadi pada generasi sahabat Rasulullah.
Ingatkah bagaimana Nabi Musa ‘alaihissalam dikuasai oleh amarah kepada
kaumnya hingga ia menarik rambut Nabi Harun ‘alaihissalam? Demikianlah
amarah sesaat bisa membuat segala bangunan ukhuwah yang sudah dibangun lama
menjadi rusak. Efeknya bahkan bisa menjadi permanen bila tidak segera
ditanggulangi.
Sudahkah Anda mendengar kisah
pertengkaran 2 orang sahabat paling mulia, yaitu Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu dan ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu? Suatu hari Abu
Bakar datang kepada Rasulullah dan langsung duduk merapat dengannya. Ia
bercerita bahwa antara dirinya dan ‘Umar baru saja terjadi pertengkaran. Ia
terlanjur marah dan kemudian menyesal. Permintaan maafnya ditolak oleh ‘Umar,
maka Abu Bakar pun mengadu kepada Rasulullah. Beliau menenangkan Abu Bakar
dengan mengatakan bahwa Allah telah mengampuninya.
Setelah Abu Bakar pergi,
datanglah ‘Umar menemui Rasulullah yang saat itu sedang menyimpan amarah
sehingga nampak jelas pada wajahnya. Beginilah ucapan Rasulullah saat itu:
“Sesungguhnya Allah mengutus aku kepada kalian, dan kalian mengatakan ‘Kamu
pendusta’, sedangkan Abu Bakar mengatakan ‘Dia orang yang jujur’, dan dia
mengorbankan diri dan hartanya!”. Sadarlah ‘Umar akan kesalahannya karena telah
memperpanjang perselisihan dengan sahabat yang paling dicintai Rasulullah.
Setelah itu, Abu Bakar tak pernah disakiti lagi.
Bersaudara tak mesti sedarah…
Bersaudara tak harus serumah…
Bersaudara bukan soal daerah…
Karena persaudaraan yang benar adalah atas dasar ukhuwah Islamiyyah dalam ikatan aqidah…
Kita dipersaudarakan oleh Allah yang kita sembah…
Kita bersaudara karena Rasulullah yang menyampaikan hidayah…
Adakah persaudaraan yang lebih indah dari persaudaraan karena Allah?
Bersaudara tak harus serumah…
Bersaudara bukan soal daerah…
Karena persaudaraan yang benar adalah atas dasar ukhuwah Islamiyyah dalam ikatan aqidah…
Kita dipersaudarakan oleh Allah yang kita sembah…
Kita bersaudara karena Rasulullah yang menyampaikan hidayah…
Adakah persaudaraan yang lebih indah dari persaudaraan karena Allah?
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu adalah
bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah diantara kedua saudaramu dan
bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”.
(QS. Al Hujurat 49 :
10).
Wallahu a’lam bish-showab…
[Edt: Abd] >> artikel Mata-Media.com
VS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar