Penamaan MUSYRIK
Bagi Orang-Orang Yang Berbuat Syirik
Walau Sebelum Ada Hujjah
Orang-orang yang melakukan Syirik Akbar sedangkan
dia tidak dipaksa lagi menyengaja maka dia itu MUSYRIK, baik dia mau
disebut musyrik ataupun tidak mau, sama saja baik sebelum hujjah atau
sesudahnya, baik di zaman fatrah maupun bukan masa fatrah, sama saja tujuannya
baik atau buruk, sama saja dia itu ahli ibadah atau ahli fasiq, sama saja dia
itu mengaku islam atau tidak. Dan tidak boleh tawaqquf dari menamakan dia
(orang mu’ayyan itu) sebagai musyrik, karena itu tergolong nama-nama syar’iyyah
dan orang-orang yang tawaqquf dalam hal itu adalah orang yang jahil akan nama-nama
syar’iy.
I. Dalil-Dalil Dari Al
Qur’an
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ أَن يَسۡتَغۡفِرُواْ لِلۡمُشۡرِكِينَ وَلَوۡ كَانُوٓاْ أُوْلِي
قُرۡبَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُمۡ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَحِيمِ ١١٣
“Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan (kepada Allah)
bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat
(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah
penghuni neraka jahanam.” (QS. At Taubah
[9]: 113)
Allah Subhanahu
Wa Ta’ala menamakan mereka sebagai orang-orang
musyrik sebelum tegaknya hujjah risaliyyah, yang mana ayat ini turun berkenaan
dengan ibu Rasulullah saat beliau hendak memintakan ampunan buatnya. Sedangkan
ibu beliau adalah belum mendengar Al Qur’an dan belum mendengar kerasulan
Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu berkata tentang
ayat ini: “Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam mau
memintakan ampun buat ibunya, namun Allah Subhanahu
Wa Ta’ala melarangnya dari hal itu.” [Tafsir
Ibnu Katsir: 2/479]
Allah Subhanahu
Wa Ta’ala berfirman:
وَكَذَٰلِكَ
زَيَّنَ لِكَثِيرٖ مِّنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ قَتۡلَ أَوۡلَٰدِهِمۡ
“Dan
begitulah bagi banyak kaum musyrikin, sekutu-sekutu mereka menghiasi pembunuhan
anak-anak mereka.” [QS. Al An’am [6]: 137]
Allah menamakan mereka sebagai kaum
musyrikin sebelum datangnya risalah Muhammad shallallahu
alaihi wasallam.
Allah Subhanahu
Wa Ta’ala berfirman:
وَإِنۡ
أَحَدٞ مِّنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٱسۡتَجَارَكَ فَأَجِرۡهُ حَتَّىٰ يَسۡمَعَ كَلَٰمَ ٱللَّهِ
ثُمَّ
“Dan
jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu,
maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah...” (QS.
At Taubah [9]: 6)
Allah menamakan mereka kaum musyrikin
sebelum mendengar firman Allah, yaitu sebelum hujjah.
Allah Subhanahu
Wa Ta’ala berfirman:
أَوۡ تَقُولُوٓاْ إِنَّمَآ
أَشۡرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبۡلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةٗ مِّنۢ بَعۡدِهِمۡۖ
أَفَتُهۡلِكُنَا بِمَا فَعَلَ ٱلۡمُبۡطِلُونَ ١٧٣
“Atau
agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan
Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang)
sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan
orang-orang yang sesat dahulu?” (QS. Al A’raf [7]:
173)
Allah menamakan mereka Kaum Musyrikin sebelum
ada Hujjah Risaliyyah.
Allah Subhanahu
Wa Ta’ala berfirman:
وَجَدتُّهَا وَقَوۡمَهَا
يَسۡجُدُونَ لِلشَّمۡسِ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ
أَعۡمَٰلَهُمۡ فَصَدَّهُمۡ عَنِ ٱلسَّبِيلِ فَهُمۡ لَا يَهۡتَدُونَ ٢٤ ...... وَصَدَّهَا
مَا كَانَت تَّعۡبُدُ مِن دُونِ ٱللَّهِۖ إِنَّهَا كَانَتۡ مِن قَوۡمٖ كَٰفِرِينَ
٤٣
“Aku
(burung Hudhud) mendapati dia dan kaumnya sujud kepada matahari, tidak kepada
Allah; dan syaitan Telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan
mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat
petunjuk......... Sesungguhnya dia itu dahulunya tergolong orang-orang kafir.” (QS.
An Naml [27]: 24-43)
Allah sebutkan bahwa Bilqis tergolong
orang-orang kafir sebelum perjumpaannya dengan Sulaiman ‘alahissalam, sedangkan
kekafiran di sini dalam ayat ini adalah bermakna syirik dengan dalil bahwa ayat
sebelumnya menjelaskan bahwa mereka itu beribadah kepada matahari dan yang
lainnya. [Lihat Haqaiq At Tauhid, Syaikh Ali Al Khudlair]
Semua para Rasul telah diutus kepada
kaumnya dan mereka itu mengkhitabi kaumnya atas dasar status mereka itu sebagai
orang-orang musyrik sebelum diutusnya mereka. Kemudian mereka itu meminta dari
kaumnya untuk meninggalkan syirik:
وَلَقَدۡ
بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَ
“Dan
sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah
Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu...!” (QS.
An Nahl [16]: 36)
Dan
Firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
فَقَالَ
يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُ
"...Wahai
kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada ilah bagimu selain-Nya...." (QS.
Al A’raf [7]: 59) Dan ayat-ayat lainnya...
II. Dalil-Dalil Dari
Hadist
Adapun hadist-hadist di antaranya adalah
hadist Banu Al Muntafiq, yaitu hadist shahih riwayat Al Imam Ahmad: Mereka
datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan
bertanya kepada beliau dalam hadist yang panjang tentang orang yang telah meninggal
dunia dari kalangan ahlu fatrah, maka Rasulullah berkata:
“Demi
Allah, sungguh kamu tidak melewati kuburan orang
musyrik mana saja baik orang Amiriy atau Quraisy,
maka katakan: “Muhammad telah mengutus saya kepada kamu untuk memberi kabarmu
dengan kabar yang menakutkan kamu, wajah dan perutmu digusur di dalam api neraka.”
[Musnad
Imam Ahmad: 4/13 (162/51) lihat Az Zanad Syarh Lum’ah Al I’tiqad]
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata dalam Al Hadyu: “Di antara faidah hadist ini adalah
bahwa orang yang mati di atas syirik disaksikan bahwa dia itu di neraka.” Orang
yang menyekutukan Allah sebelum hujjah risaliyyah dinamakan orang musyrik. Dan
ini sangat jelas sekali. Dan di antaranya adalah hadist permohonan ampun
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam buat
ibunya.
III.
Pernyataan-Pernyataan Para Imam:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata: “Nama musyrik itu telah ada sebelum risalah, karena
dia itu menyekutukan Rabbnya, menjadikan tandingan bagi-Nya dan menjadikan
bersama-Nya tuhan-tuhan yang lain serta dia menjadikan bagi-Nya andad
sebelum (datangnya) Rasul. Sehingga
pastilah bahwa nama-nama ini (mengada-adakan, melampaui batas, merusak dan yang
lainnya) mendahului risalah, dan begitu juga nama jahl
(bodoh) dan jahiliyah. Dikatakan jahiliyyah dan jahl sebelum
(adanya) Rasul. Dan adapaun ta’adzib (pengadzaban)
maka itu tidak (ada sebelum risalah).” [Majmu Al Fatawa:
20/38]
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
berkata: “Maka macam orang-orang musyrik ini dan yang serupa
dengannya dari kalangan orang-orang yang beribadah kepada para wali dan
orang-orang shalih, kami menghukumi bahwa mereka itu adalah orang-orang musyrik
dan kami memandang mereka itu kafir bila telah tegak atas mereka hujjah
risaliyyah. Dan dosa-dosa selain ini yang tingkatan dan kerusakannyadi bawah
(syirik) ini, maka kami tidak
mengkafirkan (orang) dengan sebabnya.” [Ad Durar As Saniyyah: 1/522]
Sangat jelas sekali bahwa syaikh rahimahullah
menghukumi pelaku syirik akbar sebagai orang musyrik meskipun
sebelum (tegak) hujjah. Dan bila hujjah risaliyyah sudah tegak maka dihukumi
musyrik lagi kafir.
Syaikh Abdullah Ibnu Abdurrahman Aba
Buthain rahimahullah berkata:
“Dan orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah namun
dia suka melakukan syirik akbar, seperti meminta kepada mayyit atau yang ghaib,
memohon kepada mereka pemenuhan kebutuhan dan diselamatkan dari bencana, taqarrub
kepada mereka dengan nadzar dan sembelihan, maka dia itu
musyrik, mau tidak mau.” [risalah makna kalimat At Tauhid yang diterbitkan
bersama dengan Al Kalimaat An Nafi’ah: 106]
Syaikh Abdullah Aba Buthain yang
sebagai mufti negeri Nejed rahimahullah berkata
juga: “Orang pelaku syirik adalah musyrik, mau tidak mau, sebagaimana sesungguhnya
pemakan riba itu adalah muraabi mau
tidak mau, meskipun dia tidak menamakan apa yang dilakukannya riba, dan peminum
khamar itu adalah peminum khamar meskipun dia menamakannya dengan nama lain.” [Risalah Al
Intishar Lihizbillahil Muwahidin War Raddu ‘Alal Mujadil ‘Anil Musyrikin:
12 digabung dengan Aqidatul Muwahhidin]
Beliau berkata juga setelah menuturkan
kisah ‘Adiy Ibnu Hatim: ‘Adiy rahimahullah sama
sekali tidak mengira bahwa sikap setujunya kepada mereka (para ulama dan rahib)
dalam apa yang telah disebutkan adalah bentuk ibadah kepada mereka, maka Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa hal itu adalah ibadah
dari mereka kepada mereka (para ulama dan rahib) padahal mereka itu tidak
meyakini sebagai bentuk ibadah kepada mereka. Dan begitu juga apa yang
dilakukan oleh ‘Ubbadul Qubur berupa berdo’a kepada penghuni kubur, memohon
pemenuhan kebutuhan kepada mereka dengan sembelihan dan nadzar, (itu semua)
adalah ibadah dari mereka kepada orang-orang yang dikubur meskipun mereka tidak
menamainya dan tidak meyakininya sebagai ibadah.” [Al
Intishar, Aqidatul Muwaahidin: 12-13]
Dan beliau berkata dalam Ad
Durar: 10/393-394 dalam rangka mengkomentari hadist ini
(hadist ‘Addiy): “Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencela
mereka dan menamakan mereka sebagai kaum musyrikin padahal mereka tidak
mengetahui bahwa perbuatan mereka ini adalah ibadah kepada mereka, namun mereka
tidak diudzur.”
Ibnu Qayyim rahimahullah
berkata tentang orang-orang yang taqlid (ikut-ikutan) kepada
guru-guru mereka dalam masalah yang membuat (pelakunya) kafir: “...ada perbedaan
antara muqallid yang memiliki tamakkun (peluang
kesempatan) untuk mencari tahu dan mengenal kebenaran, terus berpaling darinya,
dengan muqallid yang sama sekali tidak memiliki tamakkun.
Dan kedua macam orang ini ada dalam realita. Orang yang memiliki tamakkun
dan yang berpaling adalah teledor (mufarrith)
lagi meninggalkan yang wajib atasnya juga tidak ada udzur baginya di sisi
Allah. Dan adapun orang yang tidak mampu untuk bertanya dan untuk mengetahui
yang sama sekali tidak memiliki tamakkun untuk
tahu maka ini ada dua macam:
Pertama:
Orang yang menginginkan petunjuk yang mementingkannya lagi mencintainya dan
tidak kuasa mendapatkannya dan mencarinya karena tidak ada orang yang membimbing,
maka status hukumnya adalah hukum orang-orang ahlul
fatrah dan yang belum sampai dakwah kepadanya.
Dan
Kedua: (Orang) yang tidak memiliki keinginan
untuk mencarinya dan tidak membisikan jiwanya dengan selain apa yang menjadi
keinginannya.” [Thariq Al Hijratain Wa Babus Sa’a adatain: 544-545]
Syaikh Abdullathif
Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab berkata
dalam rangka menafsirkan perkataan Ibnul Qayyim di atas: “Sesungguhnya Al
‘Allamah Ibnul Qayyim memastikan kekafiran orang-orang yang taqlid kepada
guru-guru mereka dalam masalah-masalah yang membuatnya kafir bila mereka
memiliki tamakkun untuk
mencari dan mengetahui kebenaran dan mereka itu memiliki ahliyyah
untuk itu (maksudnya mereka baligh lagi berakal), namun mereka justru
berpaling dan tidak ambil peduli. Sedangkan orang yang tidak memiliki tamakkun
dan ahliyyah untuk
mengetahui apa yang dibawa para rasul, maka dia itu menurutnya (Ibnul Qayyim)
adalah tergolong ahlul fatrah (yaitu) kalangan yang sama sekali belum sampai
kepadanya dakwah seorang rasulpun. Dan kedua macam orang ini (yaitu ahlul fatrah
dan orang-orang yang taqlid kepada guru-gurunya dalam masalah-masalah mukaffirah
yang tidak memiliki tamakkun untuk
mencari kebenaran dan tidak memilik ahliyyah untuk
itu) tidak dihukumi sebagai orang Islam dan mereka tidak masuk ke dalam deretan
kaum muslimin termasuk menurut orang yang tidak mengkafirkan sebagiannya, dan
ucapannya nanti akan datang dihadapanmu. Dan adapun nama syirik maka itu tepat
bagi mereka dan nama (musyrik) itu layak untuk mereka itu. Dan Islam macam apa
yang tersisa bila inti pokonya dan kaidahnya yang paling besar yaitu syahadah
akan Laa ilaaha illallaah dilanggar..??!”
[Minhaj
At Ta-sis Wat Taqdis Fi Kasyfi Syubuhat Dawud Ibni Jirjis: 99]
Maksudnya bahwa pelaku syirik yang berada
di zaman fatrah adalah sama dengan orang yang melakukan kemusyrikan yang tidak
memiliki tamakkun untuk
mengetahui, yaitu keduanya musyrik walaupun mengaku muslim, karena tidak merealisikan
tauhid.
Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan
Ibnu Muhammad rahimahullah berkata:
“Bahkan ahlul fatrah yang belum sampai kepadanya risalah dan Al Qur’an dan mereka
mati di atas jahiliyyah, mereka itu tidak dinamakan muslimin dengan ijma’ dan tidak
boleh dimintakan ampunan baginya. Hanyasannya para ulama berselisih dalam hal pengadzaban
mereka di akhirat.” [Hukmu Takfir Al Mu’ayyan: 151]
Bila engkau telah paham hal ini, maka
mudah bagimu memahami apa yang samar atasmu dari sebagian perkataan Syaikh
Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab, yaitu sikapnya yang tidak mengkafirkan orang jahil
yang menyembah kubah Al Kawwaz dan perkataan yang serupa itu. Sesungguhnya
Syaikh rahimahullah tidak
mengkafirkan orang-orang musyrik langsung saja karena saat itu adalah zaman
fatrah, sehingga sampai dakwah kepadanya, namun beliau tidak menghukumi mereka
sebagai orang muslim. Yaitu bukan kafir karena belum ada
hujjah dengan sebab fatrah atau tidak ada tamakkun,
bukan muslim karena tidak realisasikan tauhid, tapi dia musyrik karena
menyekutukan Allah. Camkan hal ini dan jangan kamu termasuk
orang yang dungu!
Oleh sebab itu maka dua putra Syaikh
Abdullathif yaitu Abdullah dan
Ibrahim serta Syaikh
Sulaiman Ibnu Sahman mengatakan saat ditanya tentangnya, mereka
berkata: “Maka dikatakan, Ya, karena sesungguhnya Syaikh Muhammad rahimahullahtidak
langsung serta merta mengkafirkan manusia kecuali setelah tegaknya hujjah dan dakwah,
sebab mereka saat itu berada di zaman fatrah3 dan (zaman) ketidaktahuan akan atsar-atsar
risalah, dan oleh sebab itu beliau berkata: “Karena kejahilan mereka dan ketidakadaan
orang yang mengingatkan mereka, adapun bila hujjah sudah tegak maka tidak ada
larangan dari mengkafirkan mereka meskipun mereka tidak memahaminya.” [Ad Durar
As Saniyyah: 10/434-435]
Abdullah dan Husen
putera Syaikh Muhammad berkata
tatkala keduanya ditanya tentang orang yang mengaku muslim yang mati sebelum
adanya dakwah SyaikhMuhammad: “Orang yang meninggal dunia dari kalangan para
pelaku syirik sebelum sampainya dakwah ini, maka hukum yang divoniskan atasnya
adalah bahwa bila dia itu diketahui melakukan Syirik dan menjadikannya sebagai
ajaran kemudian mati di atasnya, maka ini dhahirnya mati di atas kekufuran
(maksudnya dengan kekafiran di sini adalah syirik karena pemberlakuan hukumnya
atas orang itu, Ali Al Khudlair) sehingga tidak boleh dido’akan, tidak boleh
berkurban atas namanya, dan tidak boleh juga bersedekah atas namanya. Adapun
hakikat sebenarnya adalah dikembalikan kepada Allah Subhanahu
Wa Ta’ala, bila ternyata hujjah telah tegak atas
dia di masa hidupnya dan dia membangkang, maka dia kafir dalam hukum dhahir dan
bathin. Dan bila ternyata hujjah belum tegak atasnya maka urusannya kembali
kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
[Ad
Durar As Saniyyah: 10/ 142].
Putera-putera Syaikh Muhammad dan
Hamd Ibnu Nashir Alu Ma’mar tatkala ditanya
tentang hal itu, mereka mengatakan: “Bila dia melakukan kekafiran dan kemusyrikan
karena kejahilan atau tidak adanya orang yang mengingatkannya, maka kami tidak
memvonis dia kafir sehingga hujjah tegak atasnya namun kami tidak
menghukumi dia sebagai orang muslim.” [Ad Durar
10/136]
Jelaslah di hadapan pembaca yang budiman
bahwa orang semacam ini bukan kafir karena hujjah belum tegak atasnya, dan dia
bukan muslim karena dia menyekutukan Rabbnya, sebab sesungguhnya tauhid dan
syirik adalah dua hal yang berlawanan yang tidak bisa bersatu dan dua hal yang
kontradiksi yang keduanya tidak bisa bersatu dan tidak bisa hilang kedua-duanya
dari diri seseorang di dalam waktu yang bersamaan. Orang ini telah menyekutukan
Allah, sedangkan bila ada syirik maka tauhid hilang yang merupakan inti Islam,
jadi dia adalah musyrik dan adapun ta’dzib (pengadzaban)
maka ini urusan yang berkaitan dengan hujjah.
Syaikh Abdullathif, Syaikh Ishaq dan Syaikh
Sulaiman Ibnu Sahman telah menukil ijma’ dari Ibnul Qayyim, bahwa
para ahlul fatrah dan orang yang belum sampai dakwah kepadanya, sesungguhnya
kedua macam orang ini tidak dihukumi sebagai orang Islam dan mereka tidak masuk
ke dalam deretan kaum muslimin termasuk menurut orang yang tidak mengkafirkan
sebagiannya. Dan adapun syirik maka itu tepat bagi mereka dan namanya mencakup
diri mereka. Islam apa yang tersisa bila inti dan kaidahnya yang terbesar yaitu
syahadah Laa ilaaha illallaah dilanggar.
[Hukmi
Takfiril Mu’ayyan Wal Farqu Baina Qiyaamil Hujjah Wa Fahmil Hujja, Aqidatul
Muwahhidin: 160, lihat juga Al Haqaiq karya Syaikh Ali Al Khudlair: 17]
Syaikh Ahmad Hamud Al Khalidiy berkata
dalam komentarnya terhadap kitab Takfir Al
Mu’ayyan: Yaitu mereka itu dinamakan orang-orang
musyrik dan mereka tidak diadzab kecuali tegak hujjah atas mereka, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Nama musyrik telah ada sebelum
risalah, karena dia menyekutukan Tuhannya, menjadikan tandingan bagi-Nya dan
menjadikan bersamanya tuhan-tuhan yang lain, serta dia menjadikan bagi-Nya
andad sebelum Rasul -hingga ucapan- Dan adapun pengadzaban maka tidak (ada
sebelum risalah).”
Source:
INILAH
KEYAKINAN KAMI
Al ‘Urwah
Al Wustha
(Buhul
Tali Yang Sangat Kokoh)
KUMPULAN MANHAJ TAUHID
Penyusun: Abu
Sulaiman Aman Abdur Rahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar