9/10/2019

MUSYAWARAH - Ibnu Taimiyah


MUSYAWARAH
Oleh : Ibnu Taimiyah


Seorang pemimpin tidak bisa lepas dari kebutuhan bermusyawarah; sebab Allah subhanahu wa ta’ala, telah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bermusyawarah. Dia berfirman,

فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ

"Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadaNya." (Ali Imran: 159).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan.

لَمْ يَكُنْ أَحَدًا أَكْثَرَ مُشَاوَرَةً لِأَصْحَابِهِ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم

Tidak ada seorang pun yang lebih banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya dibandingkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [At-Tirmidzi dalam al-Jihad, no. 1714]

Ada yang berpendapat bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam bermusyawarah adalah untuk menyatukan hati para sahabatnya dan supaya orang-orang sesudahnya mencontohnya, dan agar dengan musyawarah tersebut beliau dapat mengorek pendapat dari mereka mengenai perkara yang mana wahyu belum turun menjelaskannya, baik urusan peperangan, perkara-perkara parsial maupun selainnya. Jika Nabi saja bermusyawarah, maka selain beliau tentu lebih patut lagi untuk bermusyawarah.

Allah subhanahu wa ta’ala telah memuji kaum beriman mengenai perkara tersebut dalam firmanNya,

وَمَا عِندَ ٱللَّهِ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ ٣٦ وَٱلَّذِينَ يَجۡتَنِبُونَ كَبَٰٓئِرَ ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡفَوَٰحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُواْ هُمۡ يَغۡفِرُونَ ٣٧ وَٱلَّذِينَ ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣٨

"Dan yang ada pada sisi Allah lebih haik dan lebih kekal bagi orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal; dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf; dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka." (Asy-Syura: 36-38).

Jika seseorang bermusyawarah dengan mereka, lalu bila sebagian mereka menjelaskan kepadanya tentang sesuatu yang harus diikuti dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta Ijma' kaum muslimin, maka ia wajib mengikutinya. Dan tidak ada ketaatan kepada seseorang dalam perkara yang menyelisihinya, meskipun ia seorang tokoh agama dan dunia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu," (An-Nisa': 59).

Jika perkara itu diperselisihkan oleh umat Islam, maka seyogyanya dia meminta pendapat beserta dalilnya dari masing-masing peserta musyawarah. Pendapat mana yang lebih mendekati Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, maka itulah yang dilaksanakan, sebagaimana firman-Nya,

فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisa': 59).

Ulil Amri itu ada Dua Golongan: Umara' (penguasa) dan ulama. Mereka itu apabila baik, maka baik pula manusia. Karena itu masing dari keduanya harus senantiasa berhati-hati terhadap segala ucapan dan tindakannya guna menaati Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti Kitabullah. Selama memungkinkan untuk mengetahui dalil-dalil dari al-Qur'an dan as-Sunnah mengenai kasus-kasus yang musykil, maka itu wajib dilakukan. Jika tidak memungkinkan, karena sempitnya waktu, kelemahan pengkaji, dalil-dalil sama kuatnya menurut pandangannya, atau selainnya, maka dia boleh "bertaklid" kepada orang yang menurutnya cukup baik penguasaan ilmu dan agamanya. Ini adalah pendapat yang paling kuat. Konon, dia tidak boleh bertaklid sama sekali. Konon lagi, dia harus bertaklid terus menerus. Ketiga pendapat ini terdapat dalam madzhab Ahmad dan selainnya.

Demikian pula apa yang disyaratkan mengenai para qadhi dan pejabat dari syarat-syarat yang wajib dikerjakan menurut kesanggupan. Bahkan seluruh ibadah, seperti shalat, jihad dan selainnya, semua itu wajib sesuai kemampuan. Adapun jika tidak memungkinkan, maka Allah tidak membebani jiwa melainkan menurut kesanggupannya. Karena itu Allah memerintahkan orang yang shalat supaya bersuci dengan air. Jika air tidak ada, atau khawatir bahayanya dengan mempergunakan air tersebut, karena cuaca sangat dingin, luka atau selainnya, maka ia boleh bertayamum dengan debu yang suci, lalu mengusap wajahnya dan kedua tangannya dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada 'Imran bin Hushain,

صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

"Shalatlah dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan duduk. Jika tidak mampu, maka dengan berbaring."

[Al-Bukhari dalam at-Taqshir, no. 1117; Abu Daud dalam ash-Shalah, no. 952; dan at-Tirmidzi dalam ash-Shalah, no. 371.]

Allah mewajibkan melaksanakan shalat pada waktunya, bagaimana pun keadaannya. Sebagaimana firmanNya,

حَٰفِظُواْ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلۡوُسۡطَىٰ وَقُومُواْ لِلَّهِ قَٰنِتِينَ ٢٣٨ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ فَرِجَالًا أَوۡ رُكۡبَانٗاۖ فَإِذَآ أَمِنتُمۡ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمۡ تَكُونُواْ تَعۡلَمُونَ ٢٣٩

"Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat ivustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui." (Al-Baqarah: 238-239).

Allah mewajibkan shalat kepada orang dalam keadaan aman dan orang yang dalam keadaan takut, orang yang sehat dan orang yang sakit, orang yang kaya dan orang yang miskin, orang yang bermukim dan orang yang sedang bepergian. Tapi Dia memberikan keringanan shalat kepada musafir, orang yang ketakutan dan orang yang sakit, sebagaimana yang ditetapkan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah.

Demikian pula Allah mewajibkan dalam shalat tersebut berbagai macam kewajiban, seperti bersuci, menutup aurat, dan menghadap kiblat, serta menggugurkan kewajiban yang tidak mampu dilakukan seorang hamba. Jika kapal suatu kaum pecah atau para perampok merampas pakaian mereka, maka mereka melaksanakan shalat dalam keadaan telanjang menurut keadaan mereka, sedangkan imam mereka berdiri di tengah-tengah mereka; agar yang lain tidak melihat auratnya.

Sekiranya arah kiblat rancu bagi mereka, maka mereka berijtihad untuk mengetahui arah kiblat. Jika petunjuk-petunjuk (ke arah kiblat) itu tidak ditemukan, maka mereka mengerjakan shalat bagaimana saja yang memungkinkan. Sebagaimana diriwayatkan bahwa mereka melakukan demikian pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Demikian pula jihad, kekuasaan (wilayat), dan seluruh perkara agama. Itu semua termaktub dalam firman-Nya,

فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu." (At-Taghabun: 16).

Juga dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا أَمَرَتَكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Jika aku memerintahkan kepada kalian dengan suatu perintah, maka lakukanlah menurut kesanggupan kalian."

Sebagaimana Allah -tatkala mengharamkan makanan-makanan yang keji- berfirman,

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ

"Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya." (Al-Baqarah: 173).

Dia berfirman,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ

"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan." (Al-Hajj: 78).

Dia berfirman,

مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ

"Allah tidak hendak menyulitkan kamu." (Al-Ma'idah: 6).

Dia tidak mewajibkan apa yang tidak disanggupi dan tidak pula mengharamkan apa yang terpaksa dibutuhkan, selama keterpaksaan (darurat) itu bukan kemaksiatan seorang hamba.



Source:
KUMPULAN FATWA IBNU TAIMIYAH
[Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar & Kekuasaan, Siyasah Syar’iyah dan Jihad Fi Sabilillah]
Penerjemah: Ahmad Syaikhu, S.Ag
Muraja’ah: Tim Pustaka DH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...