MUSYAWARAH
Oleh : Ibnu Taimiyah
Seorang pemimpin tidak bisa lepas
dari kebutuhan bermusyawarah; sebab Allah subhanahu wa ta’ala, telah memerintahkan
Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bermusyawarah. Dia berfirman,
فَٱعۡفُ
عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ
فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
"Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepadaNya."
(Ali Imran: 159).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia
menuturkan.
لَمْ
يَكُنْ أَحَدًا أَكْثَرَ مُشَاوَرَةً لِأَصْحَابِهِ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله
عليه وسلم
“Tidak ada seorang pun
yang lebih banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya dibandingkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.” [At-Tirmidzi dalam al-Jihad, no. 1714]
Ada yang berpendapat bahwa
Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam bermusyawarah
adalah untuk menyatukan hati para sahabatnya dan supaya orang-orang sesudahnya
mencontohnya, dan agar dengan musyawarah tersebut beliau dapat mengorek
pendapat dari mereka mengenai perkara yang mana wahyu belum turun
menjelaskannya, baik urusan peperangan, perkara-perkara parsial maupun
selainnya. Jika Nabi saja bermusyawarah, maka selain beliau tentu lebih patut
lagi untuk bermusyawarah.
Allah subhanahu wa ta’ala
telah memuji kaum beriman mengenai perkara tersebut dalam firmanNya,
وَمَا
عِندَ ٱللَّهِ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ
يَتَوَكَّلُونَ ٣٦ وَٱلَّذِينَ يَجۡتَنِبُونَ كَبَٰٓئِرَ ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡفَوَٰحِشَ
وَإِذَا مَا غَضِبُواْ هُمۡ يَغۡفِرُونَ ٣٧ وَٱلَّذِينَ ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمۡ
وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ
يُنفِقُونَ ٣٨
"Dan yang ada pada sisi
Allah lebih haik dan lebih kekal bagi orang yang beriman, dan hanya kepada
Tuhan mereka, mereka bertawakal; dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa
besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi
maaf; dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada
mereka."
(Asy-Syura: 36-38).
Jika seseorang bermusyawarah
dengan mereka, lalu bila sebagian mereka menjelaskan kepadanya tentang sesuatu
yang harus diikuti dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta Ijma' kaum muslimin,
maka ia wajib mengikutinya. Dan tidak ada ketaatan kepada seseorang dalam
perkara yang menyelisihinya, meskipun ia seorang tokoh agama dan dunia. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ
مِنكُمۡۖ
"Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu,"
(An-Nisa': 59).
Jika perkara itu
diperselisihkan oleh umat Islam, maka seyogyanya dia meminta pendapat beserta
dalilnya dari masing-masing peserta musyawarah. Pendapat mana yang lebih
mendekati Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, maka itulah yang dilaksanakan, sebagaimana
firman-Nya,
فَإِن
تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ
تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ
تَأۡوِيلًا ٥٩
"Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya."
(An-Nisa': 59).
Ulil Amri itu ada Dua Golongan: Umara' (penguasa) dan
ulama. Mereka itu apabila baik, maka baik pula manusia. Karena itu masing
dari keduanya harus senantiasa berhati-hati terhadap segala ucapan dan
tindakannya guna menaati Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti Kitabullah. Selama
memungkinkan untuk mengetahui dalil-dalil dari al-Qur'an dan as-Sunnah mengenai
kasus-kasus yang musykil, maka itu wajib dilakukan. Jika tidak memungkinkan,
karena sempitnya waktu, kelemahan pengkaji, dalil-dalil sama kuatnya menurut
pandangannya, atau selainnya, maka dia boleh "bertaklid" kepada orang
yang menurutnya cukup baik penguasaan ilmu dan agamanya. Ini adalah pendapat
yang paling kuat. Konon, dia tidak boleh bertaklid sama sekali. Konon lagi, dia
harus bertaklid terus menerus. Ketiga pendapat ini terdapat dalam madzhab Ahmad
dan selainnya.
Demikian pula apa yang
disyaratkan mengenai para qadhi dan pejabat dari syarat-syarat yang wajib
dikerjakan menurut kesanggupan. Bahkan seluruh ibadah, seperti shalat, jihad
dan selainnya, semua itu wajib sesuai kemampuan. Adapun jika tidak
memungkinkan, maka Allah tidak membebani jiwa melainkan menurut kesanggupannya.
Karena itu Allah memerintahkan orang yang shalat supaya bersuci dengan air.
Jika air tidak ada, atau khawatir bahayanya dengan mempergunakan air tersebut,
karena cuaca sangat dingin, luka atau selainnya, maka ia boleh bertayamum
dengan debu yang suci, lalu mengusap wajahnya dan kedua tangannya dengannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada 'Imran bin Hushain,
صَلِّ
قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى
جَنْبٍ
"Shalatlah dengan
berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan duduk. Jika tidak mampu, maka dengan
berbaring."
[Al-Bukhari dalam at-Taqshir,
no. 1117; Abu Daud dalam ash-Shalah, no. 952; dan at-Tirmidzi dalam ash-Shalah,
no. 371.]
Allah mewajibkan melaksanakan
shalat pada waktunya, bagaimana pun keadaannya. Sebagaimana firmanNya,
حَٰفِظُواْ
عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلۡوُسۡطَىٰ وَقُومُواْ لِلَّهِ قَٰنِتِينَ ٢٣٨ فَإِنۡ
خِفۡتُمۡ فَرِجَالًا أَوۡ رُكۡبَانٗاۖ فَإِذَآ أَمِنتُمۡ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ
كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمۡ تَكُونُواْ تَعۡلَمُونَ ٢٣٩
"Peliharalah segala
shalat (mu), dan (peliharalah) shalat ivustha. Berdirilah karena Allah (dalam
shalatmu) dengan khusyu'. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka
shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman,
maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada
kamu apa yang belum kamu ketahui." (Al-Baqarah: 238-239).
Allah mewajibkan shalat
kepada orang dalam keadaan aman dan orang yang dalam keadaan takut, orang yang
sehat dan orang yang sakit, orang yang kaya dan orang yang miskin, orang yang
bermukim dan orang yang sedang bepergian. Tapi Dia memberikan keringanan shalat
kepada musafir, orang yang ketakutan dan orang yang sakit, sebagaimana yang
ditetapkan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah.
Demikian pula Allah
mewajibkan dalam shalat tersebut berbagai macam kewajiban, seperti bersuci,
menutup aurat, dan menghadap kiblat, serta menggugurkan kewajiban yang tidak
mampu dilakukan seorang hamba. Jika kapal suatu kaum pecah atau para perampok
merampas pakaian mereka, maka mereka melaksanakan shalat dalam keadaan
telanjang menurut keadaan mereka, sedangkan imam mereka berdiri di
tengah-tengah mereka; agar yang lain tidak melihat auratnya.
Sekiranya arah kiblat rancu
bagi mereka, maka mereka berijtihad untuk mengetahui arah kiblat. Jika
petunjuk-petunjuk (ke arah kiblat) itu tidak ditemukan, maka mereka mengerjakan
shalat bagaimana saja yang memungkinkan. Sebagaimana diriwayatkan bahwa mereka
melakukan demikian pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Demikian
pula jihad, kekuasaan (wilayat), dan seluruh perkara agama. Itu semua
termaktub dalam firman-Nya,
فَاتَّقُوا
اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
"Maka bertakwalah kamu
kepada Allah menurut kesanggupanmu." (At-Taghabun: 16).
Juga dalam sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam,
إِذَا
أَمَرَتَكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika aku memerintahkan
kepada kalian dengan suatu perintah, maka lakukanlah menurut kesanggupan
kalian."
Sebagaimana Allah -tatkala
mengharamkan makanan-makanan yang keji- berfirman,
فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ
"Tetapi barangsiapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya." (Al-Baqarah: 173).
Dia berfirman,
وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
"Dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan." (Al-Hajj: 78).
Dia berfirman,
مَا
يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ
"Allah tidak hendak
menyulitkan kamu." (Al-Ma'idah: 6).
Dia tidak mewajibkan apa yang
tidak disanggupi dan tidak pula mengharamkan apa yang terpaksa dibutuhkan,
selama keterpaksaan (darurat) itu bukan kemaksiatan seorang hamba.
Source:
KUMPULAN FATWA IBNU TAIMIYAH
[Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar & Kekuasaan, Siyasah Syar’iyah
dan Jihad Fi Sabilillah]
Penerjemah: Ahmad Syaikhu, S.Ag
Muraja’ah: Tim Pustaka DH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar