SIAPAKAH MURJI-AH
Penulis
SYAIKH ABU MUHAMMAD ‘ASHIM
AL MAQDI SY
Alih Bahasa
ABU SULAIMAN AMAN ABDUR
RAHMAN
MURJI-AH ada Tiga Macam:
- Macam pertama mengatakan Al Irja dalam Al Iman dan Al Qadar sesuai
aliran-aliran Qadariyyah dan Mu’tazilah.
- Macam lain berpaham Al Irja dalam Al Iman dan (berpaham) Jabriyyah
dalam Al ‘Amal sesuai madzhab Jahmiyyah.
- Dan macam lain yang ke tiga keluar dari Jabriyyah dan Qadariyyah, dan
mereka adalah berbagai firqah: Yunusiyyah, Ghassaniyyah, Tsaubaniyyah,
Tumaniyyah, dan Mirrisiyyah.
Sebab mereka dinamakan Murji-ah adalah karena
mereka mengakhirkan ‘amal dari Al Iman, karena irja’ maknanya adalah ta’khir (mengakhirkan), dikatakan: Arjaituhu wa arjatuhu idza akhkhartuhu (bila saya mengakhirkannya).
Murji-ah dalam bab Al Iman ada dua macam:
Pertama: Ghulatul
Murji-ah (Murji-ah Ahli Kalam)
Ke dua: Murji-ah
Fuqaha’2
Adapun Murji-ah Ahli
Kalam, maka sungguh Jahm Ibnu
Shafwan dan yang mengikutinya
telah mengatakan: “Al Iman itu adalah sekedar tashdiq (pembenaran) dengan hati dan mengetahuinya”. Mereka tidak menjadikan
amalan hati sebagai bagian dari Al Iman, serta mereka mengira bahwa seseorang
bisa jadi dia itu mu’min kamilul iman dengan hatinya, sedangkan dia itu menghina Allah dan Rasul-Nya,
memusuhi auliya Allah dan terhadap musuh-musuh Allah, dia menghancurkan mesjid
dan menghinakan mushhaf dan mu’munin
dengan puncak penghinaan serta memuliakan orang-orang kafir dengan puncak pemuliaan.
Mereka berkata: “Ini semua adalah maksiat yang tidak menafikan keimanan yang ada
di hatinya, akan tetapi ia melakukan hal ini sedangkan ia secara bathin di sisi
Allah adalah mu’min”. Mereka berkata: “Sebab diberlakukan baginya Ahkamul
Kuffar di dunia ini adalah karena ucapan-ucapan ini adalah tanda terhadap
kekafiran”.
Bila dinyatakan terhadap mereka bahasa Al Kitab,
As Sunnah dan Ijma telah menyatakan bahwa seorang tertentu dari mereka itu
kafir pada hakekat sebenarnya lagi di ‘adzab di akhirat. Maka mereka berkata
ini adalah dalil yang menunjukkan lenyapnya tashdiq dan ‘ilmu dari hatinya.
Kekafiran menurut mereka adalah hanya satu hal, yaitu kejahilan, dan iman juga adalah hanya satu hal, yaitu pengetahuan atau pendustaan hati
dan pembenarannya. Sesungguhnya mereka berselisih apakah tashdiqul qalbi itu hal lain di luar al ‘ilmu atau ia itu suatu yang sama. Pendapat ini
walaupun pendapat yang paling rusak yang dikatakan dalam hal al iman, namun ia telah dianut oleh banyak kalangan
dari Ahlul Kalam yang Murji-ah. Dan salaf sendiri seperti Waki Ibnul Jarrah, Ahmad Ibnu Hambal, Abu ‘Ubaid dan yang lainnya telah mengkafirkan orang yang mengatakan pendapat ini, dan mereka berkata: Iblis
kafir dengan nash Al Qur’an sedang dia hanya dikafirkan dengan sebab istikbarnya serta sikap penolakan untuk sujud
(menghormati) kepada Adam bukan karena ia mendustakan berita, begitu juga
Fir’aun dan kaumnya. Allah ta’ala berfirman:
وَجَحَدُوْا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَآ
أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka)
padahal mereka meyakini (kebenaran)nya.”
[QS. An-Naml: 14].
Musa 'alaihissalam berkata kepada Fir’aun:
قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَآ أَنْزَلَ هَىؤُلَآءِ
إِلَّا رَبُّ السَّمَىوَتِ وَالْآرْضِ بَصَآئِرَ
“Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan
mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang memelihara langit dan bumi sebagai
bukti-bukti yang nyata.”
[QS. Al Isra: 102]
Inilah Musa Ash Shadiq Al
Mashduq mengatakan itu kepadanya, maka ini menunjukkan
bahwa Fir’aun itu telah mengetahui bahwa Allah telah menurunkan ayat-ayat itu,
sedangkan dia itu tergolong makhluk Allah yang paling besar pembangkangan dan
sikap aniayanya karena sebab keburukan keinginan dan maksudnya, bukan karena ketidaktahuannya,
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْآرْضِ وَجَعَلَ
أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَآئِفَةً مِّنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَآءَهُمْ
وَيَسْتَحيِ نِسَآءَهُمْ، إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِيْنَ
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan
menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka,
menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan
mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.”
[Al Qashash: 4]
Begitu juga
orang Yahudi yang telah Allah firmankan tentang mereka:
الَّذِيْنَ ءَاتَيْنَىهُمُ الْكِتَبَ
يَعْرِفُوْنَهُ كَمَا يَعْرِفُوْنَ أَبْنَآءَهُمْ
“Orang-orang yang telah Kami beri Al Kitab mengenal Muhammad seperti
mereka mengenal anak-anak mereka sendiri.”
[QS. Al Baqarah: 146]
Dan begitu
pula kaum musyrikin yang telah Allah firmankan tentang mereka:
فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ
الظَّىلِمِيْنَ بِأَيَايَتِ اللهِ يَجْحَدُوْنَ
“Karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi
orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.”
[QS. Al An’am: 33]
Adapun Murji-ah Fuqaha’, yaitu orang-orang yang mengatakan bahwa Al Iman itu tashdiqul qalbi dan ucapan lisan, sedang amal itu bukan bagian darinya, dan di antara
mereka segolongan dari ahli fiqih Kufah dan ahli ibadahnya, serta pendapat
mereka itu tidaklah seperti pendapat Jahm, maka mereka itu mengetahui bahwa
orang itu tidak menjadi mu’min bila tidak menyatakan keimanannya padahal dia
mampu melakukannya, dan mereka mengetahui bahwa iblis, Fir’aun, dan yang
lainnya adalah kafir meskipun hati mereka membenarkannya, akan tetapi
mereka bila tidak memasukkan amalan-amalan hati dalam al iman maka lazim atas
mereka pendapat Jahm, mereka juga tidak berpendapat akan bertambah dan berkurangnya keimanan
dengan sebab amal, namun mereka mengatakan bahwa bertambahnya al iman itu
terjadi sebelum sempurnanya tasyri’, dengan arti bahwa setiap kali Allah
menurunkan ayat maka wajib membenarkannya, sehingga tashdiq
(pembenaran)
ini tergabung dengan tashdiq yang sebelumnya, akan tetapi setelah sempurnanya apa yang Allah
turunkan mereka tidaklah lagi iman yang bertingkat-tingkat menurut mereka,
namun iman manusia seluruhnya sama, iman assabiqin al awwalin seperti
Abu Bakar, dan ‘Umar adalah sama dengan iman manusia yang paling durjana
seperti Al Hajjaj, Abu Muslim Al Khurasaniy dan yang lainnya.
Sedangkan irja pada masa kita ini adalah banyak, baik di kalangan
orang-orang awam
ataupun di
kalangan orang-orang yang tergolong beragama:
· Di antara irja orang-orang awam adalah
ucapan mereka yang masyhur:
Iman itu di hati dan tidak memperhatikan amalan-amalan namun
menterbengkalaikannya atau menyepelekannya serta meninggalkannya dengan dalih
merasa cukup dengan baiknya hati dan kebersihan niat.
· Adapun irja orang-orang yang ber-intisab
kepada
dien atau dakwah yang kita munaqasyahi dalam kitab ini. Ia pada umumnya
bukan dalam definisi al iman, karena mereka mendefinisikannya dengan definisi
yang benar, mereka mengatakan: Al Iman adalah ucapan dengan lisan, keyakinan
dengan hati dan amalan dengan jawarih dan
arkan… atau mengatakan: Ia adalah ucapan dan amalan, dan ia adalah
pendapat Ahlus Sunnah dalam Al Iman.
Namun saat mereka menerapkan hal itu terhadap waqi’
(realita)
dan dalam sisi praktek terutama terhadap nawaqidlul iman,
(maka) nampak di hadapan anda bahwa rukun ‘amal yang mereka tetapkan dalam
definisi Al Iman adalah diterlantarkan pada mereka bahkan ia hampir gugur dan
disia-siakan.
Ya memang mereka mengatakan –atau mayoritas mereka– bahwa Al Iman itu
bertambah dengan amal shalih dan berkurang dengan maksiat, sebagaimana yang
dikatakan Ahlus Sunnah, akan tetapi dosa-dosa seluruhnya menurut mereka adalah hal
yang menguranginya kesempurnaan iman saja dan tidak ada pada dosa-dosa itu
satupun yang menggugurkan ashlul iman, kecuali pada satu keadaan saja yaitu
bila perbuatan dosa itu disertai juhud (pengingkaran) atau istihlal atau
keyakinan, begitulah secara muthlaq apapun bentuk dosanya atau amalannya.
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam sabdanya: “Iman
itu tujuh puluh sekian cabang (dan dalam riwayat At-Tirmidzi: Pintu) sedang
yang paling tinggi (Dan dalam riwayat At Tirmidzi: yang paling tinggi) adalah
ucapan Laa ilaaha illallaah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan kotoran
dari jalan, sedangkan malu itu satu cabang dari Al Iman.” (HR.
Muslim dan Ashhabus Sunan dari hadist Abu Hurairah).
Seluruh cabang-cabang Al Iman dan pintu-pintunya adalah tidak sama,
maka cabang (Laa ilaaha illallaah) itu tidaklah seperti cabang (rasa malu) atau
(menyingkirkan kotoran dari jalan).
Akan tetapi di antaranya ada hal yang dengan lenyapnya ia, maka iman
berkurang saja seperti rasa malu.
Di antaranya ada hal yang dengan lenyapnya ia,
maka imanpun menjadi gugur seperti cabang laa ilaaha illallaah.
Khawarij dan orang
yang sejalan dan mengikuti mereka dari kalangan Ghulatul Mukaffirah menjadikan lenyapnya cabang mana saja dari cabang-cabang Al
Iman sebagai hal yang menggugurkan dan menghilangkan ashlul iman.
Kemudian datang Murji-atul ‘Ashr (Neo Murji-ah atau Murji-ah Gaya Baru/MGB) –sebagai reaksi balik
terhadap Khawarij dan madzhab mereka– terus mereka menjadikan lenyapnya
cabang-cabang al iman seluruhnya hanya sekedar mengurangi al iman, dan tidak satupun
darinya bisa menghilangkan atau menggugurkan ashlul iman, kecuali bila
hal itu berkaitan dengan juhud atau keyakinan.
Dan kedua kelompok itu adalah sesat.
Adapun Ahlul haq dan Ashhabul Firqah An Najiyah Wath Tha-ifatul Manshurah, maka mereka itu pertengahan dalam abwabul iman wal kufr. Menurut mereka syu’abul iman (cabang-cabang keimanan) di antaranya ada yang
mempengaruhi saja pada kamalul iman (kesempurnaan
iman) dan tidak menghilangkannya, dan macam ini terbagi menjadi dua bagian,
pertama: cabang yang tergolong kamalul iman al
mustahabb dan ke dua: kamalul iman al wajib.
Dan di antara syu’abul
iman ada yang menghilangkan ashlul iman dan menggugurkannya.
Sehingga
menurut mereka Al Iman itu menjadi tiga macam:
· Cabang yang termasuk kamalul iman al mustahabb, yaitu hal yang
dianjurkan oleh Allah dan tidak ada ancaman atas sikap tafrith di dalamnya.
· Cabang yang termasuk kamalul iman al wajib, yaitu yang ada
ancaman dari Allah atas sikap tafrith di dalamnya dengan ancaman yang tidak sampai pada ancaman kekafiran.
· Dan cabang yang termasuk ashlul iman, yaitu yang tersusun dari
setiap syu’bah (cabang) yang mana
al iman lenyap dan gugur dengan lenyapnya.
Dan Ahlul Haq tidak membuat-buat di dalamnya,
kemudian menjadikan suatu cabang termasuk dari macam ini atau itu kecuali
dengan dalil syar’iy dan nash dari Allah ta’ala atau Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قَالُوا سُبْحَىنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ إِلَّا
مَا عَلَّمْتَنَا
“Maha suci Engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami, kecuali apa yang
telah Engkau ajarkan kepada Kami.”
[QS. Al Baqarah: 32]
Dan firqah irja yang paling mirip dengan Murji-atul ‘Ashr dalam abwabul iman wal kufr
itu adalah Murji-ah Mirrisiyyah: Murji-ah Baghdad pengikut Bisyir Ibnu Ghiyats Al Mirrisiy yang berpendapat
dalam masalah Al Iman: “Sesungguhnya ia
adalah tashdiq dengan hati dan lisan seluruhnya, dan bahwa sujud kepada berhala
itu bukanlah kekafiran akan tetapi ia adalah dilalah terhadap kekafiran.”
Dan itu dikarenakan Murji-ah masa kita ini tidak
memandang bahwa di sana ada kufur ‘amaliy yang mengeluarkan dari millah kecuali
bila itu disertai dengan keyakinan, atau juhud atau istihlal,
maka itu barulah kekafiran menurut mereka.
Sama saja baik itu termasuk masalah hinaan terhadap Allah ta’ala atau
sujud kepada berhala atau tasyri’ (membuat hukum/UU) di samping Allah,
atau memperolok-olok agama Allah, semua itu bukanlah kekafiran dengan
sendirinya, namun ia adalah dalil yang menunjukkan bahwa pelakunya meyakini
kekafiran, jadi kekafiran itu adalah keyakinannya atau pengingkarannya atau istihlalnya,
sehingga dengan hal itu mereka telah membuka pintu keburukan lebar-lebar untuk
merugikan ahlul Islam yang masuk darinya setiap mulhid, zindiq dan orang yang mencela dienullah
dengan
aman tentram. Kaum Murji-atul ‘Ashri itu menambalkan buat para thaghut murtaddin
dan
membela-bela mereka dengan syubhat-syubhat yang sama sekali tidak pernah
terbesit di benak para thaghut itu, dan mereka sama sekali tidak pernah
mendengarnya, serta mereka tidak mungkin mendapatkan tentara yang tulus yang
mau membela-bela mereka dan menjadi benteng kebatilan mereka seperti kaum Murji-atul
‘Ashri itu, oleh sebab itu sebagian salaf berkata tentang irja: “Ia
adalah dien yang menyenangkan para raja!!!”
Sebagian yang lain berkata tentang fitnah Murji-ah, bahwa ia: “LEBIH DITAKUTKAN
ATAS UMAT INI DARI FITNAH KHAWARIJ.”
Dan mereka berkata: “KHAWARIJ LEBIH
KAMI UDZUR DARIPADA MURJI-AH.”
Dan ini bukan ucapan yang asal-asalan, akan tetapi ia adalah haq dan
benar, Khawarij di antara dorongan sikap ghuluw dan penyimpangan mereka adalah
bermula karena sikap marah saat larangan-larangan Allah dan batasan-Nya
dilanggar –menurut klaim mereka– adapun Murji-ah, maka madzhab mereka5 itu
menghantarkan pada pelanggaran batasan-batasan syar’iyyat, pelepasan diri dari
ikatan dan dlawabith dieniyyah, serta membuka pintu-pintu riddah
dalam
rangka mempermudah orang-orang kafir dan memuluskan jalan bagi kaum zanadiqah.
Sungguh (pada) masa kita ini telah menyaksikan bantahan yang sangat
banyak terhadap Khawarij Mu’ashirin dan terhadap ahlul ghuluw fit takfier sampai
pasaran penuh sesak dengan buku-buku dan desertasi-desertasi seputar itu, dan
pada mayoritasnya sangat kuat sikap aniayanya dan sangat lemah keobjektifannya.
Di sisi lain jarang sekali kita menemukan orang yang menulis rincian
yang baik tentang irja, terutama irja masa kini dan para pelakunya, serta
menghati-hatikan dari syubhat-syubhat mereka sebagaimana menghati-hatikan dari
syubhat-syubhat Khawarij...
Mudah-mudahan kitab kami ini menutupi suatu dari kekurangan dalam bab
ini, atau memberikan contoh yang baik sehingga memberikan motivasi terhadap
ahlul ilmu untuk menulis dalam hal ini sebagai bentuk penjelasan akan al haq
dan pembongkaran akan kepalsuan al bathil dan syubhat-syubhat al mubtadi’ah
yang
mencoreng al haqqul mubin. Dan saya memohon kepada Allah agar dengannya Dia membuka
telinga-telinga yang dungu, mata-mata yang buta dan hati yang tertutup, serta
Dia menjadikannya sebagai perbuatan yang tulus untuk wajah-Nya yang mulia. Segala
puji bagi Allah di awal dan di akhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar