QISHASH
BERKENAAN DENGAN KEHORMATAN
Oleh : Ibnu Taimiyah
Qishash berkenaan dengan kehormatan
disyariatkan juga. Yaitu apabila seseorang melaknat orang lain atau mendoakan
keburukan kepadanya, maka ia boleh melakukan hal yang sama. Demikian pula
apabila seseorang mencaci makinya dengan suatu caci makian yang bukan
kedustaan. Tapi memaafkan itu lebih utama.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ
سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ
إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ ٤٠ وَلَمَنِ ٱنتَصَرَ بَعۡدَ ظُلۡمِهِۦ
فَأُوْلَٰٓئِكَ مَا عَلَيۡهِم مِّن سَبِيلٍ ٤١
"Dan balasan suatu
kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barnngsinpa memaafkan dan berbuat
baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai
orang-orang yang zhalim. Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah
teraniaya, tidak ada suatu dosap un atas mereka." (Asy-Syura: 40-41).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اَلْمُسْتَبَّانِ
مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِئِ مِنْهُمَا مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُوْمُ
“Apa yang diucapkan oleh dua
orang yang saling memaki maka itu menjadi tanggungan orang yang memulai dari
keduanya, selama orang yang dizhalimi itu tidak melampaui batas.”
[Muslim dalam al-Birr wa ash-Shilah,
2587/ 68; Abu Daud dalam al-Adab, no. 4894; keduanya dari Abu Hurairah]
Ini disebut pula
"pembelaan". Sedangkan makian yang tidak ada kedustaan di dalamnya,
misalnya memberitahukan tentang keburukan-keburukan yang terdapat dalam
dirinya, atau menyebutnya sebagai anjing, keledai dan sejenisnya. Adapun jika
dia membuat kedustaan terhadapnya, maka tidak halal baginya membuat kedustaan
yang sama terhadapnya. Seandainya ia mengkafirkan atau memfasikkannya dengan
tanpa hak, maka tidak halal pula baginya untuk mengkafirkan atau menfasikkannya
dengan tanpa hak. Seandainya ia melaknat ayahnya, kabilahnya, penduduk
negerinya atau sejenisnya, maka tidak halal baginya berbuat aniaya terhadap
mereka, sebab mereka tidak ikut menganiayanya. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا
يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنََٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ
أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا
تَعۡمَلُونَ ٨
"Hai orang-orang yang
beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum, mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (Al-Ma'idah: 8).
Kemudian Allah memerintahkan
kaum muslimin agar kebencian mereka kepada orang-orang kafir tidak membawa
mereka untuk berlaku tidak adil. I'irman Allah, "Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa."
Jika penganiayaan terhadap
orang lain berkenaan dengan kehormatannya itu diharamkan karena haknya; karena
menyakitkan dirinya, maka diperbolehkan melakukan qishash kepadanya dengan yang
setara. Seperti mendoakan keburukan atasnya, sebagaimana yang dilakukannya.
Adapun apabila hal itu diharamkan karena hak Allah, seperti kedustaan, maka
tidak diperbolehkan sama sekali (membalas dengan kedustaan serupa). Demikianlah
pendapat kebanyakan para ahli fikih: Apabila ia membunuhnya dengan cara
membakar, menenggelamkan, mencekik atau sejenisnya, maka ia harus dihukum sebagaimana
yang dilakukannya, selama perbuatan tersebut tidak diharamkan dengan
sendirinya, seperti memberi minum khamr dan mensodominya (maka tidak boleh
membalas dengan hal serupa). Sebagian mereka mengatakan, "Tidak ada hukuman
atasnya melainkan dengan pedang." Tapi yang pertama itulah yang menyerupai
al-Qur'an, as-Sunnah dan keadilan.
Source:
KUMPULAN FATWA IBNU TAIMIYAH
[Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar & Kekuasaan, Siyasah Syar’iyah
dan Jihad Fi Sabilillah]
Penerjemah: Ahmad Syaikhu, S.Ag
Muraja’ah: Tim Pustaka DH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar