QISHASH KEDUSTAAN
DAN SEJENISNYA
Oleh : Ibnu Taimiyah
Adapun dusta dan sejenisnya,
maka tidak ada qishasnya, tapi terdapat sanksi selain itu. Yang termasuk
kedustaan antara lain, hukuman menuduh berzina yang absah dalam al-Qur'an,
as-Sunnah dan Ijma'. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالَّذِيْنَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَـتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهُدَآءَ فَاجْلِدُوهُمْ
ثَمَنِيْنَ جَلْدَةً وَلَا تَقْتُلُوا لَهُمْ شَهَدَةً أَبَدًا، وَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَسِقُوْنَ. إِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا
فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيْمٌ
"Dan orang-orang yang
menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang
yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah
Malta Pengampun lagi Maha Penyayang." (An-Nur: 4-5).
Jika seorang merdeka menuduh
seorang muhshan (muslim, merdeka dan memelihara diri) berzina dan melakukan
homoseksual (liwath), maka dia berhak mendapatkan sanksi karena tuduhan tersebut,
yaitu 80 kali dera. Jika ia menuduhnya dengan tuduhan selain itu, maka ia
diberi sanksi ta'zir.
Sanksi ini menjadi hak orang
yang dituduh. Hak tersebut tidak boleh dijalankan melainkan dengan
permintaannya, menurut kesepakatan para ahli fikih. Tapi jika ia memaafkannya,
maka sanksi tersebut gugur, menurut jumhur ulama. Karena yang dominan di
dalamnya ialah hak Adami, seperti halnya qishash dan harta. Konon, sanksi itu
tidak gugur karena hak Allah lebih dominan, karena tidak ada kesetaraan,
seperti halnya hudud lainnya. Hukuman karena menuduh zina hanya wajib
dilaksanakan, apabila orang yang dituduh itu seorang muhshan -yaitu muslim,
merdeka lagi memelihara diri- .
Adapun orang yang sudah
masyhur dengan perbuatan maksiat, maka tidak ada had bagi orang yang
menuduhnya, demikian pula orang kafir dan hamba sahaya, tetapi orang yang
menuduhnya diberi sanksi ta'zir. Kecuali suami, ia boleh menuduh istrinya,
apabila ia berzina tapi tidak hamil dari perzinaan tersebut. Apabila ia hamil
dari perzinaan itu dan melahirkan anak, maka ia harus menuduhnya dan menafikan
anaknya; agar tidak bernasab kepadanya anak yang bukan dari benihnya. Jika ia
telah menuduhnya, maka wanita tersebut memilih dua kemungkinan: mengaku berzina
atau melaknat suaminya, sebagaimana disinyalir dalam al-Qur'an dan as-Sunnah.
Sekiranya penuduh itu seorang hamba sahaya, maka ia dihukum dera separuh
hukuman yang berlaku bagi orang merdeka. Demikian pula mengenai dera zina dan
meminum khamr. Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, mengenai hamba
sahaya,
فَإِنْ
أَتَيْنَ بِفَحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَتِ مِنَ
الْعَذَابِ
"Kemudian jika mereka
mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari
hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami." (An-Nisa : 25).
Adapun bila sanksi yang wajib
itu berupa pembunuhan atau potong tangan, maka tidak berlaku separuh hukuman.
Source:
KUMPULAN FATWA IBNU TAIMIYAH
[Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar & Kekuasaan, Siyasah Syar’iyah
dan Jihad Fi Sabilillah]
Penerjemah: Ahmad Syaikhu, S.Ag
Muraja’ah: Tim Pustaka DH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar