9/12/2019

MENUNAIKAN AMANAT: KEKUASAAN / JABATAN - Ibnu Taimiyah


MENUNAIKAN AMANAT:
KEKUASAAN / JABATAN
 Oleh : Ibnu Taimiyah



 
Tentang menunaikan amanat ini ada dua macam:

Pertama, Kekuasaan (al-Wilayat). Inilah sebab turunnya ayat.

Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, membebaskan kota Makkah dan menerima kunci-kunci Ka"bah dari Bani Syaibah, kunci-kunci tersebut diminta oleh al-Abbas supaya berhimpun padanya antara kemuliaan tugas memberi minum orang haji dan juru kunci Baitullah, maka Allah menurunkan ayat ini. Kemudian Nabi menyerahkan kunci-kunci tersebut kepada Bani Syaibah. Karena itu wajib atas pemimpin supaya mengangkat, untuk semua tugas dari tugas-tugas umat Islam, orang yang paling layak (Ashlah) untuk tugas tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِميْنَ شَيْئًا، فَوَلِّ رَجُلًا وَهُوَ يَجِدُ مَنْ هُوَ أَصْلَحُ لِلْمُسْلِمِيْنَ مِنْهُ، فَقَدْ خَانَ اللهَ وَرَسُوْلِهُ

"Barangsiapa memimpin sesuatu dari urusan umat Islam, lalu ia mengangkat seseorang padahal ia melihat ada orang yang lebih layak daripadanya, maka ia telah mengkhianati Allah dan RasulNya.”
[Al-Hakim dalam al-Mustadrak, 4/ 92]

Dalam riwayat yang lain,

مَنْ وَلَّى رَجُلًا عَلَى عِصَابَةٍ، وَهُوَ يَجِدُ فِي تِلْكَ الْعِصَابَةِ مَنْ هُوَ أَرْضَى لِلَّهِ مِنْهُ، فَقَدْخَانَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَ خَانَ الْمُؤْمِنِيْنَ

"Barangsiapa mengangkat seseorang pada suatu jabatan padahal dia melihat pada jabatan itu ada orang lain yang lebih diridhai Allah daripadanya, maka dia telah mengkhianati Allah dan RasulNya serta kaum beriman."
(HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak)

Sebagian ulama meriwayatkan bahwa itu pernyataan Umar kepada anaknya (Ibnu Umar). Lalu Ibnu Umar meriwayatkannya dari bapaknya. Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, "Barangsiapa memimpin urusan umat Islam, lalu ia mengangkat seseorang karena mawaddah (hubungan kasih sayang) atau karena hubungan kekerabatan di antara keduanya, maka ia telah mengkhianati Allah dan RasulNya serta umat Islam." Dan ini pasti mengenai dirinya.

Maka wajib baginya mencari orang yang berhak mengisi berbagai jabatan, sebagai wakilnya untuk ditempatkan di berbagai negeri, sebagai gubernur yang merupakan wakil penguasa, sebagai qadhi dan sejenisnya, sebagai panglima pasukan dan komandan pasukan berskala kecil dan besar, pejabat yang mengurusi harta negara seperti para menteri, pencatat, penjaga, serta pegawai yang bertugas mengutip pajak dan zakat serta harta-harta milik umat Islam lainnya. Untuk jabatan masing-masing tersebut hendaklah diangkat dan dipilih orang yang dilihatnya paling layak dan tepat. Bahkan hingga para imam shalat, muadzin, pembaca (al-Qur'an), pengajar, amir haji, pos, intelejen, penjaga harta negara, penjaga benteng, para pengawal benteng dan kota, kepala regu pasukan besar dan kecil, kepala suku dan pasar, dan juga kepala kampung.

Wajib atas setiap orang yang memimpin urusan umat Islam, adalah orang yang paling berkompeten untuk jabatan tersebut supaya mempergunakan dan mempekerjakan untuk segala yang berada di bawah kekuasaannya dalam segala posisi. Ia tidak boleh mendahulukan seseorang karena ia meminta jabatan, atau lebih dahulu meminta, bahkan itu menjadi faktor untuk ditolak. Karena dalam hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disebutkan: bahwa suatu kaum masuk menghadap beliau kemudian mereka meminta jabatan kepada beliau, maka beliau bersabda,

إِنَّا لَا نُوَلِّيْ هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ

“Sesungguhnya kami tidak menyerahkan urusan kami ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula pada orang yang berambisi mendapatkannya.”
[Al-Bukhari, al-Ahkam, no. 7148; Muslim, al-Imarah, 14/ 1733. Keduanya dari Abu Musa]

Beliau berkata kepada Abdurrahman bin Samurah,

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنٍ بْنِ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِّلْتَ إِلَيْهَا وِإِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

"Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah meminta jabatan. Sebab jika kamu diberi jabatan itu dengan meminta, maka bebannya diberikan kepadamu, sedangkan jika kamu diberi jabatan tanpa meminta-minta niscaya kamu akan ditolong."
(HR. al-Bukhari dan Muslim dalam Shahihain).

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ طَلَبَ الْقَضَاءَ وَاسْتَعَانَ عَلَيْهِ وُكِلَ إِلَيْهِ وَمَنْ لَمْ يَطْلُبْهُ وَلَمْ يَسْتَعِنْ عَلَيْهِ أَنْزَلَ اللهُ مَلَكًا يُسَدِّدُهُ

"Barangsiapa yang mencari jabatan qadhi (hakim) dan meminta bantuan supaya memperolehnya, maka semua itu diserahkan kepadanya; dan barangsiapa yang tidak meminta jabatan hakim dan tidak meminta bantuan supaya memperoleh jabatan itu, maka Allah menurunkan kepadanya malaikat yang menuntun langkahnya."
(HR. Ahlus Sunan).

Jika jabatan itu diberikan bukan kepada orang yang lebih berhak dan lebih berkompeten, tapi diberikan kepada selainnya -karena faktor kekerabatan di antara keduanya, karena hubungan mawali atau persahabatan atau pertemanan karena kesamaan negeri atau madzhab, tarikat atau suku seperti: Arabiyah, Farisiyah, Turkiyah dan Rumiyah, atau karena suap yang diterima darinya baik berupa harta atau manfaat, atau sebab-sebab lainnya, atau karena kedengkian dalam hatinya kepada orang yang lebih berhak (menduduki jabatan), atau karena permusuhan di antara keduanya-, maka ia telah mengkhianati Allah dan RasulNya serta orang-orang beriman.

Semua itu masuk dalam kategori larangan Allah dalam firmanNya,

"HAI ORANG-ORANG YANG BERIMAN, JANGANLAH KAMU MENGKHIANATI ALLAH DAN RASUL (MUHAMMAD) DAN (JUGA) JANGANLAH KAMU MENGKHIANATI AMANAT-AMANAT YANG DIPERCAYAKAN KEPADAMU, SEDANG KAMU MENGETAHUI. DAN KETAHUILAH, BAHWA HARTAMU DAN ANAK-ANAKMU ITU HANYALAH SEBAGAI COBAAN DAN SESUNGGUHNYA DI SISI ALLAH-LAH PAHALA YANG BESAR."
(Al-Anfal: 27-28).

Sesungguhnya seseorang, karena kecintaannya kepada anaknya atau kepada sahaya yang dibebaskannya, kadangkala mengutamakannya dari yang lain untuk menduduki jabatan, atau memberikannya kepada orang yang tidak berhak. Dengan demikian ia telah mengkhianati amanat padanya yang dipercayakan. Demikian pula kadangkala ia lebih mengutamakannya dengan menambah hartanya atau penjagaannya, dengan cara mengambil bagian yang bukan haknya, atau menerima suap dari orang yang menginginkan suatu jabatan. Dengan demikian ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta mengkhianati amanatnya.

Kemudian orang yang menunaikan amanat -dengan menyelisihi hawa nafsunya- akan diteguhkan oleh Allah. Lalu setelah itu Allah akan memeliharanya, baik dalam keluarga maupun hartanya. Sedangkan orang yang menaati hawa nafsunya akan diberi hukuman oleh Allah dengan kegagalan tujuannya lalu Dia akan menghinakan keluarganya dan melenyapkan hartanya.

Dalam hal ini terdapat hikayat yang masyhur; bahwasanya beberapa khalifah Bani Abbas meminta kepada seorang ulama untuk menceritakan kepadanya mengenai apa yang diketahuinya. Maka ulama itu bercerita, "Aku mengetahui Umar bin Abdul Aziz. Pernah dikatakan kepadanya, 'Wahai Amirul Mukminin, anda telah mengeringkan mulut anak-anakmu dari harta ini dan anda telah meninggalkan mereka dalam keadaan fakir tidak memiliki apa-apa.' Saat itu beliau dalam keadaan sakit yang membawa kematiannya. Amirul Mukminin mengatakan, 'Bawalah mereka masuk menghadapku.' Maka mereka pun dibawa masuk. Mereka berjumlah belasan anak laki-laki, tidak ada satu pun yang sudah baligh. Ketika ia melihat mereka, maka bercucurlah air matanya. Kemu-dian berkata kepada mereka, 'Wahai anak-anakku, aku tidak menghalangimu dari apa yang menjadi hakmu dan tidak pula aku akan mengambil harta rakyat untuk kuberikan kepadamu. Sesungguhnya kalian hanyalah salah satu dari dua macam manusia: Sebagai orang shalih -maka Allah akan menolong orang yang shalih- atau sebagai orang yang tidak shalih. Maka aku tidak akan meninggalkan untuknya sesuatu yang dapat membantunya untuk bermaksiat kepada Allah. (Cukup sekian) pergilah kalian'." Ulama tersebut melanjutkan ceritanya, "Sungguh aku melihat sebagian putranya membawa seratus kuda untuk berjuang di jalan Allah, yakni memberikannya kepada orang yang berperang di atas jalan Allah."

Aku katakan, Demikianlah kenyataan yang diperbuat seorang khalifah umat Islam yang wilayahnya membentang dari ujung timur (negeri Turki) hingga ujung barat (negeri Andalus) dan lainnya, kepulauan Kubrus, Syam dan kota-kota besar seperti Thursus dan lainnya hingga ujung Yaman. Masing-masing dari putranya hanya mengambil sangat sedikit dari warisan yang ditinggalkannya. Konon, kurang dari 20 Dirham. Seorang ulama mengatakan, "Aku menghadiri sebagian khalifah, saat putra-putranya membagi-bagi harta peninggalannya, maka masing-masing dari mereka mengambil 600.000 Dinar (emas). Dan sungguh aku melihat sebagian mereka mengemis kepada orang lain. Dalam semua ini, baik hikayat, fakta yang terlihat di zaman ini maupun apa yang terdengar sebelumnya, terdapat pelajaran bagi setiap orang yang berakal.

Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menunjukkan bahwa kepemimpinan itu adalah amanat yang wajib ditunaikan, dalam banyak hadits. Misalnya, hadits-hadits yang telah disebutkan sebelumnya. Juga seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Abu Dzar radhiallahu ‘anhu mengenai kepemimpinan (imarah):

إِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَاهَا بِحَقِّهَا وَأَدَى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا

"Itu adalah amanat, dan itu pada Hari Kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajiban di dalamnya.”
[Muslim dalam al-Imarah, 16/ 1825]

Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika amanat telah disia-siakan, maka tunggulah saatnya." Dikatakan, "Wahai Rasulullah, bagaimana menyia-nyiakan amanat itu?" Beliau bersabda, "Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saatnya." [Al-Bukhari dalam al-Ilm, no. 59]

Kaum muslimin telah menyepakati masalah ini. Karena itu bagi wali anak yatim, pengelola wakaf, dan orang yang diberi tugas mengurus harta orang lain harus mengelolanya dengan cara yang lebih baik. Sebagaimana firman Allah,

وَلَا تَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

"Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat)." (Al-Isra': 34).

Dia tidak mengatakan, "Dengan cara yang baik."

Sebab, karena wali (pemimpin) adalah "penggembala" manusia, tidak ubahnya dengan penggembala kambing, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Imam yang memimpin manusia adalah pemimpin dan ia bertanggnngjawab atas kepemimpinannya. Wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Anak adalah pemimpin pada harta ayahnya dan ia bertanggnngjawab atas kepemimpinannya. Hamba sahaya adalah pemimpin pada harta tuannya dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Ketahuilah balnua setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas kepemimpinannya."

Hadits ini diriwayatkan dalam ash-Shahihain. [Al-Bukhari dalam al-Ahkam, no. 7138; dan Muslim dalam al-Imarah, 20/ 1829. Semuanya dari Ibnu Umar]

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْ عِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهَا إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

"TIDAKLAH SEORANG PEMIMPIN YANG DIMINTA ALLAH UNTUK MEMIMPIN RAKYATNYA MENINGGAL DUNIA DALAM KEADAAN MENIPU (MENGKHIANATI) RAKYATNYA, MELAINKAN ALLAH MENGHARAMKAN BAGINYA AROMA SURGA."
[Muslim dalam al-Imarah, 21/142, dari Ma'qal bin Yasar al-Muzani]

Abu Muslim al-Khaulani pernah masuk menghadap Mu'awiyah bin Abi Sufyan seraya berkata, "As-Salamu alaika, wahai Ajir (Kuli)." Mereka berkata, "Katakanlah, As-Salamu alaika, wahai Amir'." Ia mengatakan, "As-Salamu alaika, wahai Ajir." Mereka berkata, "Katakanlah, 'As-Salamu alaika, wahai Amir'." Ia mengatakan, "As-Salamu alaika, wahai Ajir." Mereka berkata, "Katakanlah, As-Salamu alaika, wahai Amir'." Ia tetap saja mengatakan, "As-Salamu alaika, wahai Ajir." Mu'awiyah berkata, "Biarkanlah Abu Muslim, karena ia lebih tahu mengenai apa yang diucapkannya." Abu Muslim berkata, "Anda hanyalah seorang kuli yang dipekerjakan oleh Tuhan domba-domba ini untuk menggembalakannya. Jika anda mengobati boroknya, mengobati sakitnya dan memeliharanya dengan baik, maka Tuan pemilik domba-domba tersebut akan memberikan upahmu secara penuh. Sebaliknya, jika anda tidak mengobati lukanya, tidak mengobati penyakitnya dan tidak memeliharanya dengan baik, maka pemiliknya akan memberi sanksi kepadamu."

Dalam hal ini terdapat pelajaran yang nyata. Sebab makhluk adalah para hamba Allah, sedang para pemimpin adalah para wakil Allah untuk memimpin hamba-hambaNya. Mereka adalah wakil para hamba atas diri mereka, tidak ubahnya salah seorang dari dua orang yang bersekutu dengan yang lainnya. Jadi pada mereka terdapat pengertian wilayah (perwalian) dan makalah (perwakilan). Kemudian wali dan wakil bila mengangkat seseorang untuk mewakili berbagai urusannya dan meninggalkan orang yang lebih layak untuk mengelola perdagangan atau hartanya, dan ia menjualnya dengan suatu harga padahal ia mendapati orang yang mau membelinya dengan harga yang lebih baik daripada itu, maka ia mengkhianati pemiliknya. Terlebih apabila antara orang yang diberinya kepercayaan dengan dirinya terdapat ikatan kasih dan kekerabatan, maka pemiliknya akan murka kepadanya dan mencacinya, dan dia melihat bahwa ia telah mengkhianatinya dan lebih mementingkan kerabat atau kawannya.


Source:
KUMPULAN FATWA IBNU TAIMIYAH
[Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar & Kekuasaan, Siyasah Syar’iyah dan Jihad Fi Sabilillah]
Penerjemah: Ahmad Syaikhu, S.Ag
Muraja’ah: Tim Pustaka DH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...