MENUNAIKAN AMANAT:
KEKUASAAN
/ JABATAN
Oleh : Ibnu Taimiyah
Tentang menunaikan amanat ini ada dua macam:
Pertama, Kekuasaan (al-Wilayat). Inilah sebab
turunnya ayat.
Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
membebaskan kota Makkah dan menerima kunci-kunci Ka"bah dari Bani Syaibah,
kunci-kunci tersebut diminta oleh al-Abbas supaya berhimpun padanya antara
kemuliaan tugas memberi minum orang haji dan juru kunci Baitullah, maka Allah
menurunkan ayat ini. Kemudian Nabi menyerahkan kunci-kunci tersebut kepada Bani
Syaibah. Karena itu wajib atas pemimpin supaya mengangkat, untuk semua tugas
dari tugas-tugas umat Islam, orang yang paling layak (Ashlah) untuk
tugas tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
وَلِيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِميْنَ شَيْئًا، فَوَلِّ رَجُلًا وَهُوَ يَجِدُ مَنْ
هُوَ أَصْلَحُ لِلْمُسْلِمِيْنَ مِنْهُ، فَقَدْ خَانَ اللهَ وَرَسُوْلِهُ
"Barangsiapa memimpin
sesuatu dari urusan umat Islam, lalu ia mengangkat seseorang padahal ia melihat
ada orang yang lebih layak daripadanya, maka ia telah mengkhianati Allah dan
RasulNya.”
[Al-Hakim dalam al-Mustadrak,
4/ 92]
Dalam riwayat yang lain,
مَنْ
وَلَّى رَجُلًا عَلَى عِصَابَةٍ، وَهُوَ يَجِدُ فِي تِلْكَ الْعِصَابَةِ مَنْ هُوَ
أَرْضَى لِلَّهِ مِنْهُ، فَقَدْخَانَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَ خَانَ الْمُؤْمِنِيْنَ
"Barangsiapa mengangkat
seseorang pada suatu jabatan padahal dia melihat pada jabatan itu ada orang
lain yang lebih diridhai Allah daripadanya, maka dia telah mengkhianati Allah
dan RasulNya serta kaum beriman."
(HR. al-Hakim dalam
al-Mustadrak)
Sebagian ulama meriwayatkan
bahwa itu pernyataan Umar kepada anaknya (Ibnu Umar). Lalu Ibnu Umar
meriwayatkannya dari bapaknya. Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata,
"Barangsiapa memimpin urusan umat Islam, lalu ia mengangkat seseorang
karena mawaddah (hubungan kasih sayang) atau karena hubungan kekerabatan di
antara keduanya, maka ia telah mengkhianati Allah dan RasulNya serta umat
Islam." Dan ini pasti mengenai dirinya.
Maka wajib baginya mencari
orang yang berhak mengisi berbagai jabatan, sebagai wakilnya untuk ditempatkan
di berbagai negeri, sebagai gubernur yang merupakan wakil penguasa, sebagai qadhi
dan sejenisnya, sebagai panglima pasukan dan komandan pasukan berskala kecil
dan besar, pejabat yang mengurusi harta negara seperti para menteri, pencatat,
penjaga, serta pegawai yang bertugas mengutip pajak dan zakat serta harta-harta
milik umat Islam lainnya. Untuk jabatan masing-masing tersebut hendaklah
diangkat dan dipilih orang yang dilihatnya paling layak dan tepat. Bahkan
hingga para imam shalat, muadzin, pembaca (al-Qur'an), pengajar, amir haji,
pos, intelejen, penjaga harta negara, penjaga benteng, para pengawal benteng
dan kota, kepala regu pasukan besar dan kecil, kepala suku dan pasar, dan juga
kepala kampung.
Wajib atas setiap orang yang
memimpin urusan umat Islam, adalah orang yang paling berkompeten untuk jabatan
tersebut supaya mempergunakan dan mempekerjakan untuk segala yang berada di
bawah kekuasaannya dalam segala posisi. Ia tidak boleh mendahulukan seseorang
karena ia meminta jabatan, atau lebih dahulu meminta, bahkan itu menjadi faktor
untuk ditolak. Karena dalam hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam disebutkan: bahwa suatu kaum masuk menghadap beliau kemudian
mereka meminta jabatan kepada beliau, maka beliau bersabda,
إِنَّا
لَا نُوَلِّيْ هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya kami tidak
menyerahkan urusan kami ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula pada
orang yang berambisi mendapatkannya.”
[Al-Bukhari, al-Ahkam,
no. 7148; Muslim, al-Imarah, 14/ 1733. Keduanya dari Abu Musa]
Beliau berkata kepada Abdurrahman bin Samurah,
يَا عَبْدَ
الرَّحْمَنٍ بْنِ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا
عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِّلْتَ إِلَيْهَا وِإِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ
أُعِنْتَ عَلَيْهَا
"Wahai Abdurrahman bin
Samurah, janganlah meminta jabatan. Sebab jika kamu diberi jabatan itu dengan
meminta, maka bebannya diberikan kepadamu, sedangkan jika kamu diberi jabatan tanpa
meminta-minta niscaya kamu akan ditolong."
(HR. al-Bukhari dan Muslim
dalam Shahihain).
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
طَلَبَ الْقَضَاءَ وَاسْتَعَانَ عَلَيْهِ وُكِلَ إِلَيْهِ وَمَنْ لَمْ يَطْلُبْهُ
وَلَمْ يَسْتَعِنْ عَلَيْهِ أَنْزَلَ اللهُ مَلَكًا يُسَدِّدُهُ
"Barangsiapa yang
mencari jabatan qadhi (hakim) dan meminta bantuan supaya memperolehnya, maka
semua itu diserahkan kepadanya; dan barangsiapa yang tidak meminta jabatan
hakim dan tidak meminta bantuan supaya memperoleh jabatan itu, maka Allah
menurunkan kepadanya malaikat yang menuntun langkahnya."
(HR. Ahlus Sunan).
Jika jabatan itu diberikan
bukan kepada orang yang lebih berhak dan lebih berkompeten, tapi diberikan
kepada selainnya -karena faktor kekerabatan di antara keduanya, karena hubungan
mawali atau persahabatan atau pertemanan karena kesamaan negeri atau
madzhab, tarikat atau suku seperti: Arabiyah, Farisiyah, Turkiyah dan Rumiyah,
atau karena suap yang diterima darinya baik berupa harta atau manfaat, atau
sebab-sebab lainnya, atau karena kedengkian dalam hatinya kepada orang yang
lebih berhak (menduduki jabatan), atau karena permusuhan di antara keduanya-,
maka ia telah mengkhianati Allah dan RasulNya serta orang-orang beriman.
Semua itu masuk dalam kategori larangan Allah dalam
firmanNya,
"HAI ORANG-ORANG YANG BERIMAN, JANGANLAH KAMU
MENGKHIANATI ALLAH DAN RASUL (MUHAMMAD) DAN (JUGA) JANGANLAH KAMU MENGKHIANATI
AMANAT-AMANAT YANG DIPERCAYAKAN KEPADAMU, SEDANG KAMU MENGETAHUI. DAN KETAHUILAH,
BAHWA HARTAMU DAN ANAK-ANAKMU ITU HANYALAH SEBAGAI COBAAN DAN SESUNGGUHNYA DI
SISI ALLAH-LAH PAHALA YANG BESAR."
(Al-Anfal: 27-28).
Sesungguhnya seseorang,
karena kecintaannya kepada anaknya atau kepada sahaya yang dibebaskannya,
kadangkala mengutamakannya dari yang lain untuk menduduki jabatan, atau
memberikannya kepada orang yang tidak berhak. Dengan demikian ia telah mengkhianati
amanat padanya yang dipercayakan. Demikian pula kadangkala ia lebih
mengutamakannya dengan menambah hartanya atau penjagaannya, dengan cara
mengambil bagian yang bukan haknya, atau menerima suap dari orang yang
menginginkan suatu jabatan. Dengan demikian ia telah mengkhianati Allah dan
Rasul-Nya serta mengkhianati amanatnya.
Kemudian orang yang menunaikan
amanat -dengan menyelisihi hawa nafsunya- akan diteguhkan oleh Allah. Lalu
setelah itu Allah akan memeliharanya, baik dalam keluarga maupun hartanya.
Sedangkan orang yang menaati hawa nafsunya akan diberi hukuman oleh Allah
dengan kegagalan tujuannya lalu Dia akan menghinakan keluarganya dan
melenyapkan hartanya.
Dalam hal ini terdapat
hikayat yang masyhur; bahwasanya beberapa khalifah Bani Abbas meminta kepada
seorang ulama untuk menceritakan kepadanya mengenai apa yang diketahuinya. Maka
ulama itu bercerita, "Aku mengetahui Umar bin Abdul Aziz. Pernah dikatakan
kepadanya, 'Wahai Amirul Mukminin, anda telah mengeringkan mulut anak-anakmu
dari harta ini dan anda telah meninggalkan mereka dalam keadaan fakir tidak
memiliki apa-apa.' Saat itu beliau dalam keadaan sakit yang membawa
kematiannya. Amirul Mukminin mengatakan, 'Bawalah mereka masuk menghadapku.'
Maka mereka pun dibawa masuk. Mereka berjumlah belasan anak laki-laki, tidak
ada satu pun yang sudah baligh. Ketika ia melihat mereka, maka bercucurlah air
matanya. Kemu-dian berkata kepada mereka, 'Wahai anak-anakku, aku tidak
menghalangimu dari apa yang menjadi hakmu dan tidak pula aku akan mengambil
harta rakyat untuk kuberikan kepadamu. Sesungguhnya kalian hanyalah salah satu
dari dua macam manusia: Sebagai orang shalih -maka Allah akan menolong orang
yang shalih- atau sebagai orang yang tidak shalih. Maka aku tidak akan
meninggalkan untuknya sesuatu yang dapat membantunya untuk bermaksiat kepada
Allah. (Cukup sekian) pergilah kalian'." Ulama tersebut melanjutkan ceritanya,
"Sungguh aku melihat sebagian putranya membawa seratus kuda untuk berjuang
di jalan Allah, yakni memberikannya kepada orang yang berperang di atas jalan
Allah."
Aku katakan, Demikianlah
kenyataan yang diperbuat seorang khalifah umat Islam yang wilayahnya membentang
dari ujung timur (negeri Turki) hingga ujung barat (negeri Andalus) dan
lainnya, kepulauan Kubrus, Syam dan kota-kota besar seperti Thursus dan lainnya
hingga ujung Yaman. Masing-masing dari putranya hanya mengambil sangat sedikit
dari warisan yang ditinggalkannya. Konon, kurang dari 20 Dirham. Seorang ulama
mengatakan, "Aku menghadiri sebagian khalifah, saat putra-putranya membagi-bagi
harta peninggalannya, maka masing-masing dari mereka mengambil 600.000 Dinar
(emas). Dan sungguh aku melihat sebagian mereka mengemis kepada orang lain.
Dalam semua ini, baik hikayat, fakta yang terlihat di zaman ini maupun apa yang
terdengar sebelumnya, terdapat pelajaran bagi setiap orang yang berakal.
Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam telah menunjukkan bahwa kepemimpinan itu adalah amanat
yang wajib ditunaikan, dalam banyak hadits. Misalnya, hadits-hadits yang telah
disebutkan sebelumnya. Juga seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
kepada Abu Dzar radhiallahu ‘anhu mengenai kepemimpinan (imarah):
إِنَّهَا
أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَاهَا
بِحَقِّهَا وَأَدَى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا
"Itu adalah amanat, dan
itu pada Hari Kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang
mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajiban di dalamnya.”
[Muslim dalam al-Imarah,
16/ 1825]
Al-Bukhari meriwayatkan dalam
Shahihnya dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Jika amanat telah disia-siakan, maka tunggulah
saatnya." Dikatakan, "Wahai Rasulullah, bagaimana menyia-nyiakan
amanat itu?" Beliau bersabda, "Jika suatu urusan diserahkan kepada
orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saatnya." [Al-Bukhari dalam al-Ilm,
no. 59]
Kaum muslimin telah
menyepakati masalah ini. Karena itu bagi wali anak yatim, pengelola wakaf, dan
orang yang diberi tugas mengurus harta orang lain harus mengelolanya dengan
cara yang lebih baik. Sebagaimana firman Allah,
وَلَا
تَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
"Dan janganlah kamu
mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik
(bermanfaat)."
(Al-Isra': 34).
Dia tidak mengatakan,
"Dengan cara yang baik."
Sebab, karena wali (pemimpin)
adalah "penggembala" manusia, tidak ubahnya dengan penggembala kambing,
sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
"Setiap kalian adalah
pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Imam yang
memimpin manusia adalah pemimpin dan ia bertanggnngjawab atas kepemimpinannya.
Wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia bertanggung jawab atas
kepemimpinannya. Anak adalah pemimpin pada harta ayahnya dan ia
bertanggnngjawab atas kepemimpinannya. Hamba sahaya adalah pemimpin pada harta tuannya
dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Ketahuilah balnua setiap kalian
adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas kepemimpinannya."
Hadits ini diriwayatkan dalam
ash-Shahihain. [Al-Bukhari dalam al-Ahkam, no. 7138; dan Muslim dalam
al-Imarah, 20/ 1829. Semuanya dari Ibnu Umar]
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا
مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْ عِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ
غَاشٌّ لَهَا إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
"TIDAKLAH SEORANG PEMIMPIN YANG DIMINTA ALLAH
UNTUK MEMIMPIN RAKYATNYA MENINGGAL DUNIA DALAM KEADAAN MENIPU (MENGKHIANATI)
RAKYATNYA, MELAINKAN ALLAH MENGHARAMKAN BAGINYA AROMA SURGA."
[Muslim dalam al-Imarah,
21/142, dari Ma'qal bin Yasar al-Muzani]
Abu Muslim al-Khaulani pernah
masuk menghadap Mu'awiyah bin Abi Sufyan seraya berkata, "As-Salamu
alaika, wahai Ajir (Kuli)." Mereka berkata, "Katakanlah,
As-Salamu alaika, wahai Amir'." Ia mengatakan, "As-Salamu alaika,
wahai Ajir." Mereka berkata, "Katakanlah, 'As-Salamu alaika,
wahai Amir'." Ia mengatakan, "As-Salamu alaika, wahai Ajir."
Mereka berkata, "Katakanlah, As-Salamu alaika, wahai Amir'."
Ia tetap saja mengatakan, "As-Salamu alaika, wahai Ajir." Mu'awiyah
berkata, "Biarkanlah Abu Muslim, karena ia lebih tahu mengenai apa yang
diucapkannya." Abu Muslim berkata, "Anda hanyalah seorang kuli
yang dipekerjakan oleh Tuhan domba-domba ini untuk menggembalakannya. Jika anda
mengobati boroknya, mengobati sakitnya dan memeliharanya dengan baik, maka Tuan
pemilik domba-domba tersebut akan memberikan upahmu secara penuh. Sebaliknya,
jika anda tidak mengobati lukanya, tidak mengobati penyakitnya dan tidak
memeliharanya dengan baik, maka pemiliknya akan memberi sanksi kepadamu."
Dalam hal ini terdapat
pelajaran yang nyata. Sebab makhluk adalah para hamba Allah, sedang para
pemimpin adalah para wakil Allah untuk memimpin hamba-hambaNya. Mereka adalah
wakil para hamba atas diri mereka, tidak ubahnya salah seorang dari dua orang
yang bersekutu dengan yang lainnya. Jadi pada mereka terdapat pengertian
wilayah (perwalian) dan makalah (perwakilan). Kemudian wali dan wakil bila
mengangkat seseorang untuk mewakili berbagai urusannya dan meninggalkan orang
yang lebih layak untuk mengelola perdagangan atau hartanya, dan ia menjualnya
dengan suatu harga padahal ia mendapati orang yang mau membelinya dengan harga
yang lebih baik daripada itu, maka ia mengkhianati pemiliknya. Terlebih apabila
antara orang yang diberinya kepercayaan dengan dirinya terdapat ikatan kasih
dan kekerabatan, maka pemiliknya akan murka kepadanya dan mencacinya, dan dia
melihat bahwa ia telah mengkhianatinya dan lebih mementingkan kerabat atau
kawannya.
Source:
KUMPULAN FATWA IBNU TAIMIYAH
[Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar & Kekuasaan, Siyasah Syar’iyah
dan Jihad Fi Sabilillah]
Penerjemah: Ahmad Syaikhu, S.Ag
Muraja’ah: Tim Pustaka DH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar