Pengingkaran
Para Salaf kepada Siapa Saja Yang Menyelisihi Hadits Rasulullah SAW dengan
Lebih Memilih Pendapat Manusia
Para salaf ridhwanullah ‘alaihim sangat keras pengingkarannya kepada siapa saja yang
menyelisihi hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
lebih memilih pendapat manusia dan ta’assufaat maridhoh. Bahkan sampai taraf
mereka menghajrnya (memboikotnya) demi mengagungkan dan menghormati
sunnah.
Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya
dari Salim bin Abdullah bahwa Abdullah bin Umar berkata, “Saya pernah mendengar
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Janglah kalian
melarang istri-istri kalian mendatangi masjid jika mereka minta izin kepada
kalian untuk mendatanginya.” Salim bin Abdullah berkata, “Bilal bin Abdullah
berkata, “Demi Alloh kami akan melarang mereka.” Salim bin Abdullah berkata,
“Abdullah bin Umar mendatanginya dan mencelanya dengan celaan yang buruk, saya
belum pernah mendengar semisalnya sama sekali. Abdullah bin Umar berkata, “Saya
beri tahu engkau hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
namun engkau malah mengatakan demi Alloh kami pasti akan melarang mereka.”
Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits
dari Abdullah bin Mughaffal bahwa ia pernah melihat seorang lelaki, lalu ia
mengatakan kepada lelaki itu, “Jangan kamu melakukan khadzaf (melempar
sesuatu dengan jari telunjuk dan ibu jari). Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam melarang khadzaf –atau membenci khadzaf-.” Ia melanjutkan, “Hewan
buruan tidak boleh diburu dengan cara itu dan musuh tidak boleh dihajar dengan
cara itu. Namun khadzaf itu kadang kala bisa menanggalkan gigi dan mencungkil
mata.” Kemudian setelah itu Abdullah bin Mughaffal melihatnya melakukan khadzaf
maka ia mengatakan kepada lelaki itu, “Saya beri tahu engkau hadits dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau melarang khadzaf
–atau membenci khadzaf- namun engkau malah melakukannya?! Saya tidak
akan berbicara denganmu lagi.”
Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya
(3/475 – Fathul Bari) Zubair bin ‘Arabiy berkata, “Ada seorang lelaki bertanya
kepada Ibnu Umar ra mengenai memegang hajar aswad.” Ibnu Umar menjawab, “Saya
pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memegangnya
dan menciumnya.” Lelaki itu berkata, “Saya berkata, “Kalau berdesakan dan dan
kalah berebutan bagaimana?” Ia melanjutkan, “Misalnya kalau pas berada di sudut
Yamani, saya pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memegangnya
dan menciumnya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengomentari
perkataan ibnu Umar (Misalnya kalau pas ada di sudut Yamani), “Ibnu Umar
mengatakan kepada lelaki itu karena ia memahami lelaki itu menentang hadits
dengan pendapatnya maka ia mengingkari hal itu dan memerintahkankannya jika
lelaki itu mendengar hadits untuk mengambilnya dan menjauhi pendapat akal.
Ibnu Abbas rodhiyaAllohu 'anh berkata
kepada orang yang menentang sunnah dengan perkataan Abu Bakar dan Umar ra,
“Demi Alloh saya melihat kalian tidak akan meninggalkan perilaku kalian sebelum
Alloh mengazab kalian. Saya beri tahu kalian hadits dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam namun kalian menyangkalnya dengan ucapan Abu Bakar
dan Umar.”
Al-‘Allamah Sulaiman bin Abdullah bin
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah berkata, “Jika komentar Ibnu
Abbas kepada orang yang menyangkalnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar semacam
ini, padahal keduanya sudah tidak diragukan lagi kualitasnya, maka apa yang
akan dikatakannya kepada orang yang menyangkal sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dengan pendapat imam madzhabnya tempat ia
berafiliasi kepadanya. Dan menjadikan perkataannya sebagai ukuran kebenaran di
atas Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apa saja pendapat yang sesuai dengan perkataannya
ia terima dan apa saja yang menyelisihinya ia menolaknya atau menakwilkannya. Fallohul musta’an (Hanya
Alloh-lah tempat meminta pertolongan).
Alangkah bagusnya perkataan beberapa
orang belakangan: “Jika dalil datang yang sesuai dengan pendapat nenek moyang
mereka pun mengambil dalil itu. Mereka pun ridha dengannya. Namun ketika tidak
sesuai dengan pendapat tersebut dalilnya ditakwilkan dan menggunakan takwil
walaupun sulit.”
Tidak diragukan lagi bahwa ini masuk
dalam firman Alloh Ta'ala,
اتَّخَذُوْا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Alloh.”
[QS. At-Taubah (9): 31].
Abu As-Saa-Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata, “Kami pernah bersama Waki’, ia berkata kepada seorang lelaki yang
ada di hadapannya yang suka mengedepankan pendapat akal, “Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam pernah melakukan isy’ar (melukai punuk onta
sebagai tanda bahwa onta tersebut akan dijadikan hadyu (hewan korban) dalam
ibadah haji). Namun Abu Hanifah mengatakan bahwa isy’ar adalah mutslah
(mutilasi). Lelaki itu berkata, “Telah diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakha’i
bahwa ia berkata, “Isy’ar termasuk mutilasi.” Abu As-Saib berkata, “Melihat hal
itu saya melihat Waki’ sangat marah dan berkata, “Saya katakan Rasulullah SAW
bersabda namun kamu mengatakan Ibrahim berkata. Kamu layak untuk dipenjara
kemudian tidak boleh keluar sebelum perkataanmu tadi dibuang.” Inilah sikap
bagi orang yang suka menentang nash dalil dengan perkataan fulan dan fulan
dengan argument bahwa si fulan tersebut lebih alim (berilmu) darimu!!
Dalam “Thabaqat
Al-Hanabilah”
(1/251) meriwayatkan dari Al-Fadhl bin
Ziyad, dari Ahmad bin Hanbal, ia berkata, “Telah sampai berita kepada Ibnu Abi
Dzi’b bahwa Imam Malik tidak berpendapat dengan hadits “Dua orang yang
melakukan transaksi jual beli punya hak khiyar (mengembalikan barang yang
dibeli jika terdapat cacat atau tidak sesuai dengan yang diinginkannya).” Ibnu
Abi Dzi’b berkata, “Imam Malik harus diminta bertaubat dalam masalah khiyar
ini, kalau tidak mau bertaubat maka lehernya harus dipenggal.” Padahal
sebenarnya Imam Malik tidak menolak hadits tersebut, hanya menakwilkannya bukan
dengan pemahaman yang benar.”
Demikianlah sikap para salaf yang baik,
mereka sangat keras ketika mengingkari orang-orang yang menentang hadits
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pendapat akal,
qiyas (analogi), istihsan (menganggap baik), atau perkataan seseorang, siapa
pun orangnya. Para salah meninggalkan (menghajr) pelakunya dan
mengingkari orang yang membuat berbagai perumpamaan untuk mereka. Mereka tidak
membolehkan selain inqiyad (patuh), taslim (pasrah) dan menerima hadits
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sikap mendengar
dan taat (sam’an wa tho’atan). Tidak pernah terbersit dalam hati mereka keragu-raguan
dalam menerimanya sebelum ada bukti amalan, qiyas, atau bersesuaian dengan
perkataan fulan dan fulan; tetapi mereka hanya mengamalkan firman Alloh Ta'ala,
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَلى اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka.” [QS. Al-Ahzab (33): 36].
Dan
firman Alloh Ta'ala,
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لَا يَجِدُوا فِيْ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا
تَسْلِيْمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.” [QS. An-Nisa (4): 65]. Dan firman Alloh
Ta'ala yang semisal keduanya.
Kita berada pada zaman yang jika
dikatakan kepada salah seorang yang hidup di zaman ini, “Ada hadits shahih dari
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda seperti
ini.” Ia menanggapi, “Siapa yang berpendapat dengan hadits ini.” Ia menjadi
alasan ini untuk menolak hadits Rasulullah SAW. Atau ketidaktahuannya dengan
orang yang berpendapat dengan hadits itu dijadikan sebagai argument baginya
untuk menyelisihi hadits Rasulullah SAW dan tidak mau mengamalkannya.
Seandainya ia mau menasehati dirinya niscaya ia akan tahu bahwa perkataannya
ini merupakan kebatilan yang sangat besar.
Tidak pernah dikenal sama sekali ada
seorang ulama besar Islam yang mengatakan, “Kami tidak akan mengamalkan hadits
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebelum kami mengetahui
orang yang telah mengamalkannya. Karena ketidaktahuan orang yang menyampaikan
hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam akan orang yang
telah mengamalkan hadits tersebut tidak menjadikannya halal untuk melakukan apa
yang dikatakan orang tadi.” [I’lam Al-Muwaqqi’in 4 / 244, 245].
Source:
Al-Haqq wa
Al-Yaqin
Tentang
Memusuhi Para Thaghut
dan Orang-Orang Murtad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar