9/19/2019

Sikap Menyelisihi Hadits


Pengingkaran Para Salaf kepada Siapa Saja Yang Menyelisihi Hadits Rasulullah SAW dengan Lebih Memilih Pendapat Manusia


Para salaf ridhwanullah ‘alaihim sangat keras pengingkarannya kepada siapa saja yang menyelisihi hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan lebih memilih pendapat manusia dan ta’assufaat maridhoh. Bahkan sampai taraf mereka menghajrnya (memboikotnya) demi mengagungkan dan menghormati sunnah.

Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Salim bin Abdullah bahwa Abdullah bin Umar berkata, “Saya pernah mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Janglah kalian melarang istri-istri kalian mendatangi masjid jika mereka minta izin kepada kalian untuk mendatanginya.” Salim bin Abdullah berkata, “Bilal bin Abdullah berkata, “Demi Alloh kami akan melarang mereka.” Salim bin Abdullah berkata, “Abdullah bin Umar mendatanginya dan mencelanya dengan celaan yang buruk, saya belum pernah mendengar semisalnya sama sekali. Abdullah bin Umar berkata, “Saya beri tahu engkau hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam namun engkau malah mengatakan demi Alloh kami pasti akan melarang mereka.”

Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Mughaffal bahwa ia pernah melihat seorang lelaki, lalu ia mengatakan kepada lelaki itu, “Jangan kamu melakukan khadzaf (melempar sesuatu dengan jari telunjuk dan ibu jari). Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang khadzaf –atau membenci khadzaf-.” Ia melanjutkan, “Hewan buruan tidak boleh diburu dengan cara itu dan musuh tidak boleh dihajar dengan cara itu. Namun khadzaf itu kadang kala bisa menanggalkan gigi dan mencungkil mata.” Kemudian setelah itu Abdullah bin Mughaffal melihatnya melakukan khadzaf maka ia mengatakan kepada lelaki itu, “Saya beri tahu engkau hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau melarang khadzaf –atau membenci khadzaf- namun engkau malah melakukannya?! Saya tidak akan berbicara denganmu lagi.”

Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya (3/475 – Fathul Bari) Zubair bin ‘Arabiy berkata, “Ada seorang lelaki bertanya kepada Ibnu Umar ra mengenai memegang hajar aswad.” Ibnu Umar menjawab, “Saya pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memegangnya dan menciumnya.” Lelaki itu berkata, “Saya berkata, “Kalau berdesakan dan dan kalah berebutan bagaimana?” Ia melanjutkan, “Misalnya kalau pas berada di sudut Yamani, saya pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memegangnya dan menciumnya.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengomentari perkataan ibnu Umar (Misalnya kalau pas ada di sudut Yamani), “Ibnu Umar mengatakan kepada lelaki itu karena ia memahami lelaki itu menentang hadits dengan pendapatnya maka ia mengingkari hal itu dan memerintahkankannya jika lelaki itu mendengar hadits untuk mengambilnya dan menjauhi pendapat akal.

Ibnu Abbas rodhiyaAllohu 'anh berkata kepada orang yang menentang sunnah dengan perkataan Abu Bakar dan Umar ra, “Demi Alloh saya melihat kalian tidak akan meninggalkan perilaku kalian sebelum Alloh mengazab kalian. Saya beri tahu kalian hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam namun kalian menyangkalnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar.”

Al-‘Allamah Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah berkata, “Jika komentar Ibnu Abbas kepada orang yang menyangkalnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar semacam ini, padahal keduanya sudah tidak diragukan lagi kualitasnya, maka apa yang akan dikatakannya kepada orang yang menyangkal sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pendapat imam madzhabnya tempat ia berafiliasi kepadanya. Dan menjadikan perkataannya sebagai ukuran kebenaran di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apa saja pendapat yang sesuai dengan perkataannya ia terima dan apa saja yang menyelisihinya ia menolaknya atau menakwilkannya. Fallohul musta’an (Hanya Alloh-lah tempat meminta pertolongan).

Alangkah bagusnya perkataan beberapa orang belakangan: “Jika dalil datang yang sesuai dengan pendapat nenek moyang mereka pun mengambil dalil itu. Mereka pun ridha dengannya. Namun ketika tidak sesuai dengan pendapat tersebut dalilnya ditakwilkan dan menggunakan takwil walaupun sulit.”

Tidak diragukan lagi bahwa ini masuk dalam firman Alloh Ta'ala,

اتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Alloh.”  
[QS. At-Taubah (9): 31].

Abu As-Saa-Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Kami pernah bersama Waki’, ia berkata kepada seorang lelaki yang ada di hadapannya yang suka mengedepankan pendapat akal, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukan isy’ar (melukai punuk onta sebagai tanda bahwa onta tersebut akan dijadikan hadyu (hewan korban) dalam ibadah haji). Namun Abu Hanifah mengatakan bahwa isy’ar adalah mutslah (mutilasi). Lelaki itu berkata, “Telah diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakha’i bahwa ia berkata, “Isy’ar termasuk mutilasi.” Abu As-Saib berkata, “Melihat hal itu saya melihat Waki’ sangat marah dan berkata, “Saya katakan Rasulullah SAW bersabda namun kamu mengatakan Ibrahim berkata. Kamu layak untuk dipenjara kemudian tidak boleh keluar sebelum perkataanmu tadi dibuang.” Inilah sikap bagi orang yang suka menentang nash dalil dengan perkataan fulan dan fulan dengan argument bahwa si fulan tersebut lebih alim (berilmu) darimu!!

Dalam “Thabaqat Al-Hanabilah” (1/251) meriwayatkan dari Al-Fadhl bin Ziyad, dari Ahmad bin Hanbal, ia berkata, “Telah sampai berita kepada Ibnu Abi Dzi’b bahwa Imam Malik tidak berpendapat dengan hadits “Dua orang yang melakukan transaksi jual beli punya hak khiyar (mengembalikan barang yang dibeli jika terdapat cacat atau tidak sesuai dengan yang diinginkannya).” Ibnu Abi Dzi’b berkata, “Imam Malik harus diminta bertaubat dalam masalah khiyar ini, kalau tidak mau bertaubat maka lehernya harus dipenggal.” Padahal sebenarnya Imam Malik tidak menolak hadits tersebut, hanya menakwilkannya bukan dengan pemahaman yang benar.”

Demikianlah sikap para salaf yang baik, mereka sangat keras ketika mengingkari orang-orang yang menentang hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pendapat akal, qiyas (analogi), istihsan (menganggap baik), atau perkataan seseorang, siapa pun orangnya. Para salah meninggalkan (menghajr) pelakunya dan mengingkari orang yang membuat berbagai perumpamaan untuk mereka. Mereka tidak membolehkan selain inqiyad (patuh), taslim (pasrah) dan menerima hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sikap mendengar dan taat (sam’an wa tho’atan). Tidak pernah terbersit dalam hati mereka keragu-raguan dalam menerimanya sebelum ada bukti amalan, qiyas, atau bersesuaian dengan perkataan fulan dan fulan; tetapi mereka hanya mengamalkan firman Alloh Ta'ala,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَلى اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.[QS. Al-Ahzab (33): 36].

Dan firman Alloh Ta'ala,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِيْ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [QS. An-Nisa (4): 65]. Dan firman Alloh Ta'ala yang semisal keduanya.

Kita berada pada zaman yang jika dikatakan kepada salah seorang yang hidup di zaman ini, “Ada hadits shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda seperti ini.” Ia menanggapi, “Siapa yang berpendapat dengan hadits ini.” Ia menjadi alasan ini untuk menolak hadits Rasulullah SAW. Atau ketidaktahuannya dengan orang yang berpendapat dengan hadits itu dijadikan sebagai argument baginya untuk menyelisihi hadits Rasulullah SAW dan tidak mau mengamalkannya. Seandainya ia mau menasehati dirinya niscaya ia akan tahu bahwa perkataannya ini merupakan kebatilan yang sangat besar.

Tidak pernah dikenal sama sekali ada seorang ulama besar Islam yang mengatakan, “Kami tidak akan mengamalkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebelum kami mengetahui orang yang telah mengamalkannya. Karena ketidaktahuan orang yang menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam akan orang yang telah mengamalkan hadits tersebut tidak menjadikannya halal untuk melakukan apa yang dikatakan orang tadi.” [I’lam Al-Muwaqqi’in 4 / 244, 245].

Source:
Al-Haqq wa Al-Yaqin
Tentang
Memusuhi Para Thaghut dan Orang-Orang Murtad

Penulis : Abu Abdirrahman Al-Atsary, 1422H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...