PARA PENDUSTA
YANG MENGAKU BERIMAN
Oleh: Abu Usamah JR
“Dan
diantara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir”.
Padahal sesungguhnya mereka bukanlah orang‑orang
yang beriman. Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka
hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari.”
(QS. Al‑Baqarah: 8‑9).
Allah ‘azza wa jalla menyebutkan ada
orang‑orang yang
mengaku dan merasa dirinya telah beriman. Namun sesungguhnya pengakuan iman
mereka dusta dan ditolak oleh Allah. Bahkan Allah menyebut mereka sebagai
pendusta yang mencoba menipu Allah dan orang‑orang
beriman. Padahal yang tertipu dengan pengakuan mereka yang dusta tiada lain
adalah diri mereka sendiri.
Keadaan manusia yang demikian telah
ada dan banyak pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.
Lalu bagaimana dengan keadaan manusia pada akhir zaman ini? Tentu keadaannya
lebih parah, sebab tidaklah berlalu suatu zaman melainkan zaman sesudahnya
lebih buruk dari zaman sebelumnya. Bahkan boleh jadi para pendusta yang mengaku
beriman pada zaman ini menjadi umat mayoritas, sedangkan mereka yang beriman
dengan sebenarnya menjadikelompok minoritas lagi terasing. Sebab masa
keterasingan Islam akan kembali sebagaimana keadaan awal kedatangan Islam yang asing.
Dan boleh jadi mereka yang mengaku
beriman namun keimanannya ditolak oleh Allah, adalah orang‑orang yang mengaku beriman namun ia
tidak mengetahui makna hakikat iman yang benar. Atau dia mengetahui tuntutan
dari keimanan dan konsekwensinya, namun dia enggan untuk memenuhi tuntutan dan
konsekwensi keimanan tersebut. Jika keadaan mereka yang mengaku beriman seperti
salah satu dari dua hal diatas maka statusnya sama, yaitu pengakuan imannya
dusta. Yang pertama tidak diudzur karena ketidaktahuannya dalam perkara pokok iman,
yang keduapun tidak diudzur karena pembangkangannya.
Maka sesungguhnya mengetahui
persoalan iman dan kafir adalah persoalan terpenting yang diketahui untuk
pertama kali oleh setiap hamba. Sebab dengan mengetahui persoalan ini seorang hamba
akan memilih dengan pengetahuan dan kesadarannya antara iman atau kafir. Dan sesungguhnya
semua hukum di dalam Islam dibangun di atas persoalan iman dan kafir. Kebodohan
dalam persoalan ini pada diri seseorang akan berdampak pada rusaknya amal‑amal dia dalam Islam.
Dan diantara kerusakan besar akibat
kebodohan seorang hamba dalam memahami iman dan kafir, adalah dia mengakui
dirinya beriman namun dia tidak mengetahui hakikat iman. Akibatnya dia mengaku
beriman namun konsekuensi dari keimanan tidak dilaksanakan. Dengan keadaan yang
demikian pada hakekatnya ia tidak beriman.
Diantara orang‑orang
yang berdusta dalam pengakuan imannya adalah:
1. Mengaku
beriman tapi membenarkan ajaran selain Islam.
“Sesungguhnya agama (yang diridloi)
disisi Allah adalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19).
Ayat
diatas bermakna bahwa Allah tidak pernah meridloi ajaran apapun selain Islam.
Dan ajaran apapun selain Islam adalah ajaran kebatilan. Konsekwensi dari orang
yang mengaku sebagai seorang muslim atau mukmin adalah meyakini bahwa ajaran
yang benar hanyalah Islam dan selainnya adalah kebatilan. Maka dia hanya
ridho/puas dan merasa cukup dengan ajaran Islam saja dan tidak merasa
membutuhkan dengan ajaran selainnya. Sebab Islam adalah ajaran yang telah
sempurna sehingga ia tidak membutuhkan tambahan, revisi ataupun pengurangan.
Namun
ditengah mewabahnya kebodohan dikalangan umat Islam, banyak diantara umat yang tidak
bisa membedakan antara ajaran Islam dan ajaran kekafiran. Akibatnya mereka
kemudian membenarkan dan mengikuti paham atau ajaran selain Islam. Padahal
konsekwensi dari penerimaan dia terhadap ajaran selain Islam adalah
mengakibatkan batalnya keislaman pada dirinya. Namun dengan keadaan dia yang
demikian ia tetap merasa atau mengaku dirinya adalah orang beriman. Padahal
sekiranya dia paham akan persoalan iman dan kafir, dia akan tahu bahwa dirinya
telah murtad.
Contoh
yang paling nyata dalam hal ini adalah orang‑orang
yang mengaku dirinya beriman, dia melaksanakan perbuatan‑perbuatan iman seperti sholat, puasa,
zakat dan yang lainnya, namun dia membenarkan dan mengikuti ajaran demokrasi.
Padahal demokrasi adalah ajaran kekafiran, yang berkonsekwensi pada murtadnya
seseorang yang membenarkan atau mengikuti ajaran demokrasi. Para pengikut dan
penikmat demokrasi diantara mereka meyakini bahwa dirinya adalah seorang
mukmin, karena dia masih sholat, puasa serta melaksanakan ajaran Islam lainnya.
Padahal
pengakuan iman mereka dusta, karena ia telah melakukan perbuatan yang merusak
atau membatalkan keimanan mereka.
Demokrasi
hanyalah salah satu dari ajaran kekafiran yang jika seorang muslim
membenarkannya akan berakibat pada kemurtadan atas pelakunya. Dan mayoritas
para pengikut demokrasi yang mengaku muslim tidak paham akan hakekat demokrasi.
Disinilah pentingnya seorang muslim mengetahui persoalan iman dan kafir, agar
ia tidak menjadi kafir tanpa sadar.
2. Mengaku
mukmin tapi rela berhukum dengan hukum thoghut.
“Tidaklah
engkau (Muhammad) memperhatikan orang‑orang
yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan
kepada apa yang diturunkan sebelummu?, Tetapi mereka masih menginginkan
ketetapan hukum kepada thoghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk
mengingkari thoghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka dengan kesesatan
yang sejauh‑jauhnya.”
(QS. An‑Nisa’:
60).
Pada
ayat diatas Allah ‘azza wa jalla mengungkapkan keheranannya kepada orang‑orang yang mengaku beriman kepada
kitab‑kitab Allah,
namun mereka masih mau berhukum dengan hukum thoghut. Padahal salah satu
konsekwensi dari beriman kepada kitab Al‑Qur’an
adalah menjadikannya sebagai petunjuk, pedoman, rujukan hukum dan pemutus
perkara diantara mereka. Namun pada kenyataannya mereka justru menjadikan hukum
buatan manusia yang diberlakukan oleh penguasa thoghut sebagai rujukan dan
pemutus perkara diantara mereka.
Padahal
dengan kerelaan mereka berhukum dengan hukum thoghut, menunjukkan akan ketidak ridhoan
mereka dengan hukum yang telah Allah turunkan berupa Al‑Qur’an.
Itulah
keadaan dari sebagian besar kaum muslimin yang jahil terhadap agamanya. Dimana mereka
mengaku mengimani Al‑Qur’an
namun menolak menjadikan Al‑Qur’an
sebagai sumber hukum dan pemutus perkara diantara mereka. Bahkan mereka juga
turut menjadi penentang atas ditegakkannya hukum syariat Islam. Dan mereka
ridho pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum bagi mereka, dan KUHP
buatan penjajah Belanda sebagai pemutus perkara diantara mereka. Maka sungguh
aneh keadaan para pendusta yang mengaku dirinya beriman itu. Iman seperti apa
dan bagaimanakah yang dipahami oleh otak mereka yang sudah rusak itu?
3. Mengaku
mukmin tapi beriman kepada sebagian ajaran Islam tapi mengingkari sebagian yang
lainnya.
“Sesungguhnya
orang‑orang
yang ingkar kepada Allah dan Rasul‑RasulNya,
dan bermaksud membeda‑bedakan
antara (keimanan kepada) Allah dan RasulNya, dengan mengatakan, “Kami beriman
kepada sebagian dan kami mengingkari sebagian (yang lain)”, serta bermaksud mengambil
jalan tengah (iman atau kafir), merekalah orang‑orang kafir yang sebenarnya. Dan kami
sediakan untuk orang‑orang
kafir itu adzab yang menghinakan.” (QS. An‑Nisa’:
150‑151).
Sebagian
besar dari mereka yang mengaku beriman beranggapan bahwa dia sudah menjadi mukmin
yang taat dengan melaksanakan sholat, puasa, zakat, haji dan melakukan ibadah‑ibadah ritual lainnya. Dengan
melakukan ibadah‑ibadah
tersebut mereka meyakini bahwa dirinya telah menjadi seorang mukmin yang
sempurna. Inilah keadaan sebagian besar kaum muslimin di negeri ini. Dimana
mereka memahami bahwa ajaran Islam hanya sebatas ibadah ritual yang tidak ada kaitannya
dengan sistem sosial.
Akibat
dari pemahaman yang demikian mereka menolak ketika ada pihak yang
memperjuangkan Islam sebagai sistem kenegaraan dan sosial. Mereka beranggapan
bahwa seorang muslim tidak wajib untuk menegakkan hukum syariat Islam dalam
sebuah sistem kenegaraan. Sebab dalam anggapan mereka agama dan negara adalah
dua hal yang berbeda. Inilah pemikiran sekularisme yang kini banyak dianut oleh
mereka yang mengaku muslim.
Jika
seorang muslim membenarkan paham sekularisme itu berarti sama dengan mereka
menerima Jika seorang muslim membenarkan paham sekularisme itu berarti sama
dengan mereka menerima ajaran Islam yang sebagian dan menolak sebagian yang
lainnya. Mereka menerima ajaran Islam sebagai aturan dalam ibadah ritual, namun
menolak ajaran Islam sebagai sistem hukum, politik, kenegaraan dan sosial.
Padahal Islam adalah ajaran yang sempurna yang mengatur urusan ibadah seorang
hamba dengan Rabbnya, dan juga mengatur urusan kehidupan manusia dari urusan pribadi,
rumah tangga, sosial hingga negara. Maka konsekwensi dari pengakuan dirinya
sebagai seorang muslim adalah menerima semua ajaran Islam baik secara global
maupun terperinci.
Fenomena
kemurtadan / kekafiran berupa penolakan sebagian ajaran Islam dan menerima sebagian
yang lainnya nampak sangat jelas di negeri ini. Mereka yang mengaku muslim menegakkan
sholat, puasa Romadhon dan yang lainnya, namun mereka menolak ditegakkannya hukum
syariat Islam. Lihatlah apa yang dilakukan oleh mereka yang mengaku sebagai
kaum santri, namun mereka menyatakan ikrar setia kepada ideologi syirik dan
menolak tegaknya sistem khilafah di negeri ini. Dengan perbuatannya mereka
meyakini bahwa itulah yang diajarkan oleh Islam.
Pengakuan
seorang muslim akan keimanannya, namun ia menolak Islam sebagai aturan hukum, sosial
dan negara, adalah pengakuan iman yang dusta. Sebab seorang muslim dituntut
untuk menerima dan melaksanakan semua ajaran Islam dalam seluruh sisi
kehidupan. Penolakan terhadap satu atau sebagian dari ajaran Islam sama dengan
menolak seluruh ajaran Islam. Siapa yang menolak satu atau sebagian dari ajaran
Islam sama halnya dengan menolak seluruh ajaran Islam. Siapa yang menolak satu
atau sebagian ajaran Islam maka dia kafir, meskipun dia menerima sebagian
ajaran Islam lainnya dan meskipun dia mengaku muslim.
4. Mengaku
mukmin tapi mengangkat orang kafir sebagai pemimpin.
“Wahai orang‑orang yang beriman!, Janganlah kamu
menjadikan orang yahudi dan nasrani sebagai pemimpinmu, mereka satu sama lain
sebagai pemimpin bagi yang lain, barangsiapa diantara kamu menjadikan mereka
sebagai pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang‑orang
dzalim.” (QS. Al‑Maidah: 51).
Allah
‘azza wa jalla melarang orang‑orang
beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin. Konsekwensi dari mengangkat
orang kafir sebagai pemimpin menjadikan pelakunya sama kafirnya dengan yang
diangkat sebagai pemimpin. Termasuk orang kafir adalah para pemimpin / penguasa
yang memberlakukan hukum selain hukum Allah. Dan kini karena meratanya kebodohan,
banyak orang‑orang yang
mengaku beriman mendatangi tempat‑tempat
pemungutan suara untuk berpartisipasi mengangkat orang‑orang kafir sebagai pemimpin.
Maka
jika ada orang‑orang yang
mengaku beriman, namun ia dengan sukarela turut berpartisipasi dalam mengangkat
orang‑orang kafir
sebagai pemimpin, hal ini menunjukkan kedustaan dia dalam pengakuan imannya.
Meskipun boleh jadi perbuatannya tersebut karena kebodohannya ataupun karena
pembangkangannya.
5. Mengaku
beriman tapi berkasih sayang dan saling membantu dengan kaum kafir.
“Engkau
(Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan “Engkau
(Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih sayang dengan orang‑orang yang menentang Allah dan
RasulNya, sekalipun orang‑orang
itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya.”
(QS. Al‑Mujadilah: 22).
Allah
‘azza wa jalla meniadakan keimanan atas orang‑orang
yang berkasih sayang dengan orang-orang kafir, meskipun orang tersebut mengaku
beriman. Perbuatan mereka yang secara dzahir menampakkan kasih sayang dengan
orang‑orang kafir
menunjukkan akan hakekat kekafiran batin mereka. Maka jika hari ini kita
melihat penguasa Saudi, penguasa Turki, penguasa Mesir dan penguasa negara Arab
lainnya, bekerjasama dengan Amerika dalam rangka memerangi Daulah Islam, itu
menunjukkan secara pasti kafirnya para penguasa tersebut secara lahir dan
batin. Dan mereka sama sekali tidak diudzur atas perbuatannya tersebut.
Dan
begitu pula dipastikan kekafirannya atas orang‑orang
yang mengaku beriman namun mereka menjadi bala tentara bagi penguasa thoghut.
Termasuk mereka yang menjadi penolong‑penolong
thoghut dari kalangan sipil seperti para ulama su’, wartawan dan para ahli,
yang turut membantu menguatkan para penguasa tersebut, mereka semua adalah
orang‑orang kafir.
Meskipun mereka mengaku mukmin, mengaku mencintai Islam dan menampakkan
perbuatan‑perbuatan
iman, namun itu semua bukan penghalang dari dikafirkannya mereka.
Jika
kemudian semua orang‑orang yang
telah disebut sebelumnya adalah orang‑orang
kafir dan pengakuan iman mereka dusta, lalu seperti apakah orang mukmin
sebenarnya yang pengakuan mereka benar?. Inilah jawabannya:
Allah
‘azza wa jalla berfirman:
“Maka demi
Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada
rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An‑Nisa’:
65).
Dalam
ayat diatas Allah ‘azza wa jalla hanya akan mengakui keimanan seseorang dengan
tiga syarat, yaitu:
Ø Berhukum dengan hukum yang dibawa
oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ø Tidak ada rasa keberatan dalam hati
dengan hukum tersebut.
Ø Menerima sepenuhnya setiap ketentuan
dari hukum yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut.
Jika
saja salah satu dari tiga syarat tersebut tidak ada, maka keimanan seorang
hamba ditolak, meskipun dia mengaku beriman dan mengaku mencintai Islam.
Allah ‘azza
wa jalla berfirman:
“Dan
tidaklah pantas bagi laki‑laki
yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah “Dan tidaklah pantas bagi
laki‑laki
yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul‑Nya telah menetapkan suatu ketetapan
akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul‑Nya,
maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.”
(QS. Al‑Ahzab: 36).
Allah telah menyebutkan bahwa
tidaklah mungkin seseorang akan berpaling dari aturan dan ketetapan Allah dan
Rasul‑Nya dengan
memilih diluar apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul‑Nya. Maka tidalah mungkin seorang
mukmin akan meninggalkan ajaran dan hukum Islam, kemudian ia memilih ajaran
demokrasi dan hukum buatan manusia. Bahkan, jika dia melakukannya, itu
menunjukkan kedustaan pengakuan mereka, dan Allah menyebut mereka sebagai orang
yang telah tersesat dengan kesesatan yang jauh. Sehingga seorang mukmin yang benar
adalah yang mentaati semua ketetapan Allah dan Rasul‑Nya baik dalam persoalan ibadah maupun
muamalah, dengan ketaatan yang penuh dengan ketulusan dan tanpa ada keberatan sedikitpun.
Wallahu
a’lam.
13 Jumadil
Ula 1438 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar