5/31/2019

REJEKI DI BAWAH BAYANG TOMBAK


DAN DIJADIKAN RIZKIKU
DI BAWAH BAYANGAN TOMBAKKU
Oleh: Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali


(Pembahasan berikut adalah penjelasan tentang hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, "Dan rizkiku dijadikan di bawah naungan tombakku". Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan lain-lain dari riwayat Ibnu 'Umar dengan sanad shahih. Penjelasan berikut dinukil dari karya Ibnu Rajab al-Hanbali yang berjudul "Al-Hikam al-Jadirah bil Idha'ah").

Hadits ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah mengutus Rasul-Nya untuk bekerja mencari dunia, tidak untuk mengumpulkannya tidak juga untuk menyimpannya, tidak untuk berjuang dalam mencari sebab-sebabnya, namun beliau diutus tidak lain untuk menyeru kepada tauhid-Nya saja dengan pedang, dan ini mengharuskannya untuk membunuh musuh-musuh yang menolak menerima tauhid, menumpahkan darah mereka, merampas harta mereka, menawan wanita dan anak-anak mereka, sehingga rizkinya berasal dari harta rampasan perang yang Allah berikan dari harta-harta musuhnya, karena sesungguhnya harta dijadikan Allah untuk Bani Adam tidak lain adalah untuk sarana ketaatan dan beribadah kepada-Nya, siapa yang mempergunakannya untuk kekufuran kepada Allah dan kesyirikan kepada-Nya maka Allah akan menguasakan atasnya Rasul-Nya dan pengikutnya untuk merebutnya dari para musuh dan mengembalikannya kepada yang berhak dari para hamba Allah yang bertauhid dan taat kepadanya.

Karena itulah harta ini disebut fa’i (yang kembali) karena bermakna kembali ke tempat yang paling berhak dan untuknya diciptakan. Dan di antara bunyi ayat yang telah mansukh (dihapus) dari Al-Quran adalah: "Dan sesungguhnya kami turunkan harta tidak lain adalah untuk mendirikan shalat dan membayar zakat".

Maka ahli tauhid dan ta’at kepada Allah lebih berhak kepada harta dari ahli kufur dan syirik kepada-Nya, sehingga mereka merampas harta itu, dan dijadikan rizki Rasulullah dari harta itu karena dia harta paling halal sebagaimana yang Allah firmankan : "Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu sebagai makanan yang halal lagi baik." (Al-Anfal: 69)

Dan ini merupakan kekhususan dari Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan umatnya, dan kepada mereka ghanimah ini dihalalkan. Ada juga yang berpendapat bahwa yang dikhususkan kehalalannya adalah ghanimah yang didapat dari peperangan dan bukan fa’i, adapun fa’i yang didapatkan tanpa peperangan maka itu halal dan boleh bagi umat-umat sebelumnya dan dari inilah rizki Rasul-Nya dijadikan.


Ghanimah menjadi harta paling halal karena beberapa alasan


Dia adalah harta yang dirampas dari orang-orang yang tidak berhak agar tidak digunakan untuk bermaksiat dan syirik kepada Allah, jika dia direbut dari orang yang mempergunakannya bukan untuk mentauhidkan Allah dan taat kepada-Nya, menyeru kepada ibadah kepada-Nya, maka dia menjadi harta yang paling Allah cintai dan paling baik dari sisi cara memperolehnya. Dan juga, sesungguhnya nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berjihad tidak lain untuk meninggikan kalimat Allah dan agama-Nya, bukan demi ghanimah, beliau memperolehnya tidak lain sekedar hasil yang menyertai dari jihadnya di jalan Allah, beliau sama sekali tidak pernah mengkhususkan satu waktunya sedikit pun untuk murni mencari rizki, namun semua waktunya adalah ibadah kepada Allah saja dan memurnikannya, sehingga Allah menjadikan rizkinya mudah selama beliau dalam ketaatan tanpa harus menjadikannya tujuan dan bekerja keras meraihnya. Sebagaimana yang diriwayatkan secara mursal* bahwa Rasulullah bersabda: "Aku adalah rasul rahmah (kasih sayang), dan aku adalah rasul malhamah (perang berdarah), sesungguhnya Allah mengutusku dengan jihad dan bukan dengan bercocok tanam". (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat)

*Mursal yaitu hadits yang diriwayatkan tanpa menyebutkan nama sahabat di dalam sanadnya, edt

Al-Baghawi meriwayatkan di dalam Mu’jamnya secara mursal: "Sesungguhnya aku diutus dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, dan Dia tidak menjadikanku petani atau pedagang, atau berniaga di pasar, dan Dia menjadikan rizkiku di bawah naungan tombakku". Disebutkan tombak dan bukan pedang supaya tidak dikatakan bahwa nabi mencari rizki dari harta ghanimah, tetapi supaya dikatakan bahwa Rasulullah diberi rizki dari harta yang Allah jadikan fa’i atasnya seperti dari Khaibar dan Fadak.

Dan harta fa’i adalah harta yang ditinggalkan oleh pemiliknya karena melarikan diri karena ketakutan, berbeda dengan ghanimah yang diperoleh dengan perang dan pedang, dan disebutkan tombak karena dia lebih dekat kepada makna fa’i, karena musuh akan melihat tombak dari kejauhan sehingga mereka lari ketakutan, sehingga larinya musuh karena bayang-bayang tombak, dan harta yang diambil darinya itulah harta fa’i yang darinya rizki nabi diperoleh, berbeda dengan ghanimah, karena dia diperoleh tidak lain dengan perang dan pedang. Wallahu a’lam.

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah mengatakan; "Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengutus Muhammad sebagai Hadiy (pemberi petunjuk) dan bukan sebagai Jabi (pengumpul uang)". Karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disibukkan waktunya dengan ketaatan kepada Allah dan dakwah kepada tauhid, maka apa yang beliau peroleh dari harta, baik itu fa’i atau ghanimah, itu hanyalah sampingan dan bukan tujuan utama. Karena itulah beliau mencela orang yang meninggalkan jihad dan menyibukkan diri dengan mengais harta, sehingga Allah menurunkan firman-Nya "Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri" (Al-Baqarah: 195), ketika orang-orang Anshar berniat meninggalkan jihad dan menyibukkan diri dengan memperbanyak harta dan mengolah tanah.

Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; "Jika kalian telah berjual beli dengan system ‘inah dan mengikuti ekor-ekor sapi, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan kuasakan kepada kalian kehinaan yang tidak akan Allah cabut dari leher-leher kalian hingga kalian kembali ke agama kalian". (Shahih; diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud). Karena itulah para shahabat memakruhkan untuk masuk ke tanah kharaj (pajak tanah) untuk bercocok tanam karena itu akan melalaikan dari jihad.

Makhul mengatakan; "Sesungguhnya kaum muslimin ketika baru tiba di Syam mereka tertarik dengan pertanian di Al-Hulah, kemudian mereka bercocok tanam hingga hal itu terdengar oleh Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau lalu mengutus seseorang ke kebun mereka dan membakarnya dengan api, lalu beliau menulis surat kepada mereka; "Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizki umat ini di mata tombak mereka, jika mereka kemudian bercocok tanam maka dia seperti manusia lainnya". (Diriwayatkan oleh Asad bin Musa) Diriwayatkan oleh Al-Baidhawi dengan sanad darinya, dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau menulis; "Barang siapa yang menanam suatu tanaman dan mengikuti ekor-ekor sapi dan rela dengan itu dan menyenanginya maka aku tetapkan atasnya jizyah". Salah seseorang ada yang bertanya padanya; "Mengapa kau tidak bercocok tanam untuk keluargamu?" Maka dia menjawab; "Demi Allah kita tidak datang untuk bercocok tanam, tapi kita datang untuk membunuh orang-orang yang bercocok tanam dan memakan tanaman mereka".*

*Ini dan riwayat sebelumnya merupakan bentuk tarhib (peringatan akan dosa, tidak cinta materi dan beramal sia-sia), dan bukan berarti diamalkan begitu saja, karena bercocok tanam hukumnya adalah mubah (diperbolehkan). Namun maksud dari ini semua adalah hendaknya orang yang beriman hidup dengan ditopang jihad sehingga dengan demikian dia merebut pertanian musuh kafir mereka, tidak mendedikasikan hidupnya seluruhnya untuk bercocok tanam seperti musuhnya.

Maka kondisi terbaik seorang mukmin adalah ketika kesibukannya untuk ketaatan kepada Allah dan jihad di jalan-Nya, berdakwah kepada ketaatan kepada-Nya dan tidak mengharapkan dunia dengan ini semua, lalu mengambil harta fa’i dengan kadar secukupnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyiapkan untuk keluarganya bahan makanan untuk jatah selama satu tahun dari harta fa’i kemudian membagikan sisanya, namun beliau terkadang melihat seseorang yang membutuhkan hingga kemudian beliau memberikan jatah keluarganya itu hingga tidak tersisa sedikit pun.

Begitu juga orang yang sibuk dengan ilmu, karena itu adalah salah satu dari dua jenis jihad, sehingga kesibukannya dengan ilmu sama seperti jihad fi sabilillah dan dakwah kepada-Nya, maka hendaklah dia mengambil dari harta fa’i atau wakaf sesuai dengan kebutuhannya untuk memperkuat dirinya dalam jihadnya, sehingga tidak pantas baginya untuk mengambil lebih dari kebutuhan itu.

Imam Ahmad secara khusus menyebutkan bahwa seseorang tidak boleh mengambil lebih dari kebutuhannya dari kas Baitul Mal seperti kharaj (pajak tanah). Sedangkan uang dari wakaf bahkan lebih ketat.

Dan siapa pun yang sibuk dengan tugasnya kepada Allah, maka Allah akan menjamin rizki-Nya atasnya, seperti disebutkan dalam hadits riwayat Zaid Ibn Tsabit bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; "Barangsiapa menjadikan dunia sebagai tujuannya, Allah akan menjadikan kefakiran (kemiskinan) di depan matanya, menceraiberaikan dunianya, dan dunia tidak datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuannya, Allah akan menjadikan kekayaan di hatinya. Dan Allah akan mengumpulkan dunianya, dan dunia datang kepadanya dengan tunduk." (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad shahih)

At-Tirmidzi meriwayatkan secara marfu’ bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; "Allah berfirman; Wahai anak Adam! Beribadahlah sepenuhnya kepadaKu, niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dada dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, niscaya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu." (Shahih. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan lain-lain dari Abu Hurairah)

Ibnu Majah meriwayatkan hadits marfu' dari Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa menjadikan tujuannya hanya untuk akhiratnya maka Allah akan mencukupkan kebutuhannya terhadap dunianya. Dan barangsiapa yang hatinya terbagi oleh banyak kekhawatiran akan hal dunia, maka Allah tidak akan peduli di lembah mana dia binasa." (Hasan: diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu 'Umar dan Ibnu Mas'ud)

Juga diriwayatkan dalam beberapa riwayat Israiliyat bahwa Allah berfirman, "Wahai dunia, layanilah siapa pun melayani-Ku, dan lelahkanlah siapa pun yang melayanimu." Akhir seruan kami, "Segala puji bagi Alloh Robb semesta alam dan sholawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi dan Rosul yang paling mulia, keluarganya, para sahabat dan siapa yang mengikuti kebaikan mereka sampai hari pembalasan.



Selesai disusun:
Nusantara, 11 September 2018 / 1 Muharrom 1440 H, Abu Sistemologi
Source : Dabiq Magazine 4, Al-Hayat Media Centre, Ad Daulatul Islamiyah Dhulhijjah 1435 H, Hal : 10 – 13,

BAHAYA MENGEKOR NON MUSLIM BAB 15



Bab 15
Bahaya bid‘ah lebih besar daripada
dugaan kebaikannya

S ecara umum generasi terdahulu merupakan generasi yang lebih baik daripada generasi kemudian. Sikap dan pendapat mereka sama sekali berbeda dengan golongan yang meninggalkan sunnah dan mengikuti bid‘ah. Golongan yang mengikuti bid‘ah berpendapat bahwa di dalam perbuatan-perbuatan bid‘ah itu ada kebaikannya. Hal ini bertentangan dengan beberapa bahaya bid‘ah yang sudah jelas, antara lain:

1. Perbuatan bid‘ah akan merusak aqidah dan amaliyah, maksudnya menjadikan hati rusak sehingga tidak lagi merasa perlu kepada sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan ada orang yang rajin melakukan perbuatan-perbuatan bid‘ah, tetapi tidak rajin melakukan pada perbuatan sunnah.

2. Kalangan tertentu ada yang lebih mengutamakan perbuatan- perbuatan bid‘ah daripada perbuatan-perbuatan yang wajib atau sunnah, sehingga keyakinan mereka terpengaruh oleh perbuatan bid‘ah yang biasa dilakukan.

Di antara mereka ada yang melakukan bid‘ah dengan ikhlas dan penuh ketekunan, tetapi tidak demikian halnya ketika melaksanakan perbuatan yang wajib atau sunnah.

Sehingga seolah-olah ia melaksanakan perbuatan bid‘ah itu sebagai ibadah, sedangkan hal-hal yang wajib atau sunnah dianggapnya hanya sebagai adat kebiasaan. Hal semacam ini jelas bertentangan dengan agama. Dengan melakukan perbuatan bid‘ah mereka akan terjerumus, sehingga tidak lagi melakukan hal-hal yang wajib atau sunnah, seperti beristighfar, memohon rahmat, thaharah, khusyu’, memenuhi undangan, merasakan manisnya bermunajat dengan Allah dan perbuatan-perbuatan baik lainnya. Sekiranya mereka tidak terjerumus dalam perbuatan bid‘ah, sudah tentu dia akan melakukan hal-hal wajib atau sunnah dengan sempurna.

3. Menjalankan hal-hal yang bid‘ah dapat menimbulkan adanya anggapan bahwa yang ma‘ruf itu mungkar dan yang mungkar itu ma‘ruf. Dampaknya adalah sebagian besar manusia menjadi bodoh terhadap agama yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tersebar luasnya benih-benih jahiliyah.

4. Dapat menyebabkan timbulnya perbuatan-perbuatan yang dibenci syari‘at, misalnya: menunda berbuka, menunda shalat ‘Isya’ sampai akhir waktu sehingga hatinya tidak khusyu’ karena melakukannya dengan tergesa-gesa, melakukan sujud lagi sesudah salam padahal dia tidak lupa, membaca dzikir dan wirid yang tidak ada dasar atau dalilnya atau melakukan hal-hal buruk lainnya.

Hal-hal semacam ini tidak akan disadari kecuali oleh orang yang hatinya bersih dan akalnya jernih.

5. Menyesatkan seseorang dari mengikuti Sunnah dan menyimpang dari jalan yang lurus. Hal ini karena dalam hatinya terjangkit sejenis penyakit sombong atau kibr, sehingga lebih senang menyimpang dari tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kapan pun ada peluang. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Abu ‘Utsman An Naisaburi: “Seseorang tidak akan meninggalkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali karena perasaan sombong dalam hatinya.” (Tahqiqul Ashl, 2/212).

Perbuatan bid‘ah ini kemudian menjadi sebab munculnya sifat-sifat buruk lainnya, sehingga tidak lagi bersungguh-sungguh dalam mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, hatinya menjadi congkak dan imannya menjadi lemah yang menyebabkan agamanya menjadi rusak atau hampir rusak,

sebagaimana firman Allah pada surah Al Kahfi ayat 104:

وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا

“Dan mereka mengira bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang baik.”

_____________
source: Books: Bahaya Mengekor Non Muslim (Mukhtarat Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim Syaikh Ibnu Taimiyah). Muhammad bin Ali Adh-Dhabi‘i, Penerbit Media Hidayah,

BAHAYA MENGEKOR NON MUSLIM BAB 14



Bab 14
Bantahan terhadap anggapan 
ada Bid‘ah yang Baik
Ibnu Taimiyah berkata: “Sebagian orang berkata bahwa bid‘ah itu ada dua macam yaitu bid‘ah yang baik dan bid‘ah yang buruk dengan alasan pernyataan ‘Umar tentang shalat tarawih, bahwa sebaik-baik bid‘ah adalah ini.” (HR. Bukhari, dalam kisah ‘Umar ketika mengumpulkan orang banyak untuk melakukan shalat tarawih berjama‘ah) Mereka juga beralasan bahwa perkataan dan perbuatan yang baru sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak tercela adalah perbuatan baik. Dan beberapa dalil lain yang menunjukkan hal semacam itu seperti ijma’ atau qiyas.

Barangkali bisa ditambahkan lagi adanya orang yang melihat adat kebiasaan yang dilakukan oleh kebanyakan orang, lalu dianggap sebagian dari dalil tentang adanya bid‘ah yang baik. Dengan demikian, perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan dan dikenal sebagai ijma’ - sekalipun tidak pernah diketahui adanya suatu perkataan sepakat seluruh kaum muslimin tentang hal itu -, maka perbuatan itu ia anggap baik.

Anggapan semacam ini sama dengan pernyataan golongan yang Allah nyatakan pada surah Al Maidah ayat 104:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ تَعَالَوۡاْ إِلَىٰ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَإِلَى ٱلرَّسُولِ قَالُواْ حَسۡبُنَا مَا وَجَدۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَآؤُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ شَيۡ‍ٔٗا وَلَا يَهۡتَدُونَ ١٠٤

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, marilah kalian menuju kepada apa yang telah Allah turunkan kepada rasul-Nya, maka mereka menjawab: ‘Cukuplah kami mengikuti apa yang telah kami dapati pada nenek moyang kami.’”

Alangkah banyaknya orang yang mengaku berilmu dan ahli ibadah menggunakan alasan-alasan yang tidak berasal dari syari‘at sebagai pegangan dalam beragama. Ayat di atas sebenarnya menyatakan bahwa bid‘ah adalah tercela, bukan menyatakan bahwa sebagian bid‘ah itu ada yang baik, sekalipun bid‘ah itu berasal dari beberapa dalil syari‘at yang shahih atau berdasar pada alasan beberapa orang yang dijadikan panutan oleh sebagian orang-orang bodoh atau golongan pentakwil.

Golongan yang menyatakan bahwa bid‘ah itu ada yang baik dapat dikategorikan menjadi dua:

Pertama. Mereka yang mengatakan bahwa sebagian bid‘ah itu baik dan sebagian lain buruk. Bid‘ah yang buruk adalah semua hal yang dilarang melakukannya oleh syari‘at, sedangkan bid‘ah yang didiamkan oleh syari‘at, maka bid‘ah semacam itu tidak tentu buruk, bahkan terkadang baik. Inilah yang dikatakan oleh sebagian mereka.

Kedua. Yang mereka katakan bid‘ah yang buruk, sebenarnya adalah bid‘ah yang baik karena pada bid‘ah tersebut adakalanya mengandung kebaikan. Orang-orang ini berkata: “Tidak semua bid‘ah itu sesat.”

Jawabnya. Pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “Semua perkara yang diada-adakan adalah buruk, setiap bid‘ah adalah sesat dan setiap yang sesat masuk neraka” berarti ancaman atau peringatan terhadap perbuatan yang diada-adakan. Inilah penegasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak seorangpun dihalalkan untuk menentang dalil yang menunjukkan buruknya bid‘ah. Orang yang menentang dalil ini termasuk orang yang sombong.

Jawaban terhadap orang yang menentang dalil tersebut adalah antara dua hal berikut:

1. Bagi orang yang berpendapat bahwa sesuatu yang baru yang memang benar-benar baik tidak termasuk bid‘ah, maka kaidah umum - sesuatu yang baru adalah bid‘ah - tidak belaku untuk perbuatan baru semacam itu. Dan juga bagi orang yang berpendapat bahwa sesuatu yang benar-benar baik merupakan pengecualian dari kaidah umum, maka kaidah umum tetap berlaku, dan pengecualian tersebut juga tetap berlaku.

2. Sesuatu yang baru yang telah jelas baiknya merupakan pengecualian dari kaidah umum. Akan tetapi kaidah umum tersebut tetap berlaku terhadap sesuatu yang baru lainnya. Misalnya, ada orang yang beranggapan bahwa ada sebagian bid‘ah yang tidak terkena larangan umum ini. Anggapan semacam ini memerlukan dalil tersendiri, karena adanya kaidah umum larangan berbuat bid‘ah.

Kemudian, yang dapat mengecualikan hanyalah dalil-dalil syari‘at, yaitu Al-Qur‘an, As-Sunnah dan ijma’ yang dinyatakan secara jelas atau hasil kesimpulan ahli fiqih. Sedangkan kebiasaan di suatu negeri, kebiasaan mayoritas penduduk suatu negeri atau pendapat sebagian besar ulama atau pendapat manusia tidak patut dijadikan alasan untuk menentang sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas.

Ibnu Taimiyah berkata: Shalat tarawih bukanlah perbuatan bid‘ah menurut syari‘at tetapi merupakan perbuatan sunnah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْكُمْ صِيَمَ رَمَضَانَ وَسَنَّنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ

“Sungguh Allah mewajibkan kamu sekalian puasa ramadhan dan aku perintahkan pada kamu sekalian melaksanakan shalat pada malamnya.”

(HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah. Dalam sanad Ibnu Khuzaimah ada rawi Ibnu Syaiban, rawi ini lemah. Ibnu Khuzaimah berkata bahwa makna hadits ini shahih sesuai Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam)

Shalat tarawih berjama‘ah juga tidak termasuk bid‘ah menurut syari‘at, tetapi sunnah. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya dengan berjama‘ah pada dua malam pertama bulan Ramadhan, bahkan tiga malam pertama. Beliau juga melakukannya beberapa kali dengan berjama‘ah pada sepuluh hari terakhir. Beliau bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْضَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

“Sesungguhnya apabila seseorang shalat bersama imam sampai salam, maka ditulis baginya pahala shalat lail.”

Ketika itu beliau melaksanakan berjama‘ah dengan para sahabat, sehingga mereka khawatir ketinggalan shalat malam. (HR. Ashhabus Sunan).

Berhujjah dengan hadits ini Imam Ahmad dan yang lain berpendapat bahwa melakukan shalat tarawih berjama‘ah lebih utama daripada melakukannya sendirian. Dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas terkandung anjuran untuk melakukan shalat tarawih berjama‘ah. Dengan demikian tegaslah bahwa shalat tarawih berjama‘ah hukumnya sunnah secara mutlak dan para sahabat melakukannya dengan berjama‘ah di masjid pada masa beliau masih hidup dan beliau membenarkannya. Dengan pembenaran beliau ini berarti perbuatan tersebut merupakan sunnah beliau.

Adapun perkataan ‘Umar “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini”, sebagian besar orang menjadikannya sebagai hujjah tentang adanya bid‘ah yang baik. Sanggahannya adalah: “Perkataan seorang sahabat tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Perkataan ‘Umar itu ternyata menyelisihi hadits. Perkataan tersebut tidak dapat dijadikan hujjah karena menyelisihi hadits.”

Ada dua kemungkinan, karena perkataan sahabat tidak mungkin bertentangan dengan hadits. Pertama, hadits yang bersifat umum boleh dikecualikan oleh perkataan seorang sahabat, dengan syarat tidak menyelisihi salah satu dari dua riwayat di atas, sehingga ucapan sahabat tersebut bisa dijadikan alasan bagi mereka yang beranggapan bahwa bid‘ah ada yang baik. Kedua, bila perkataan seorang sahabat bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka perkataan tersebut tidak boleh dipakai sebagai hujjah.

Kemudian kami berkata: “Dalam kejadian pada hadits ‘Umar ini, kebanyakan orang menamakannya bid‘ah hasanah (bid‘ah yang baik). Kata bid‘ah ini sebenarnya hanyalah pemberian nama secara lughawi (bahasa), bukan secara syar‘i (istilah). Sebab kata bid‘ah secara lughawi adalah perbuatan yang baru. Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara lughawi disebut juga bid‘ah (agama baru), seperti dinyatakan oleh utusan Quraisy pada raja Najasi, ketika para utusan ini menyebut perihal para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang hijrah ke Habsyi.

Mereka berkata: “Orang-orang ini keluar dari agama nenek moyang mereka dan tidak masuk kepada agama raja, tetapi mereka membawa agama baru yang sebelumnya tidak dikenal.”

Penggunaan kata bid‘ah dengan arti semacam ini ditunjukkan pula oleh Al-Qur‘an dan As-Sunnah, sehingga secara syar‘i tidak dapat dikatakan bid‘ah walaupun secara lughawi disebut bid‘ah. Kata bid‘ah secara lughawi lebih umum pengertiannya daripada dalam pengertian syar‘i. Telah dimaklumi bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Tiap-tiap bid‘ah itu sesat” tidaklah ditujukan pada pengertian setiap perbuatan yang baru. Sebab Islam, bahkan semua agama yang dibawa para nabi merupakan agama baru. Akan tetapi yang dimaksud dengan bid‘ah itu adalah setiap perbuatan yang baru yang sebelumnya tidak ada ketetapannya dalam syari‘at Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Oleh karena itu, di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, para sahabat biasa melakukan shalat tarawih berjama‘ah bersama beliau atau sendirian. Pada malam ketiga dan keempat, ketika para sahabat berkumpul beliau bersabda kepada mereka:

“Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang merintangi aku untuk keluar kepada kalian, kecuali karena aku tidak ingin hal ini akan diwajibkan kepada kamu sekalian. Oleh karena itu, lakukanlah shalat tarawih di rumah-rumah kamu, sebab sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari)

Jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar untuk shalat tarawih berjama‘ah karena beliau khawatir bila dijadikan wajib. Itulah alasan beliau tidak keluar. Sekiranya beliau tidak khawatir dijadikan wajib, tentu beliau keluar kepada mereka. Kemudian pada masa khalifah ‘Umar, ia mengumpulkan para sahabat untuk shalat tarawih dengan berjama‘ah dan dipasang lampu di masjid Nabawi. Cara semacam ini disebut bid‘ah karena merupakan suatu perbuatan yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan. Secara bahasa memang dinamakan bid‘ah sekalipun secara syar‘i tidak disebut bid‘ah. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menetapkan perbuatan tersebut sebagai amal shalih, hanya saja beliau khawatir shalat tarawih berjama‘ah ini dijadikan wajib. Ternyata kekhawatiran tersebut tidak terwujud sampai beliau meninggal, sehingga hilanglah alasan yang melarang shalat tarawih berjama‘ah.

Diapun berkata: “Namun demikian, seseorang yang melakukan suatu amalan baru pada hari tertentu merupakan hal yang terlarang. Amalan baru tersebut misalnya melakukan puasa setiap hari Kamis pada awal bulan Rajab, shalat lail pada malam Jum’atnya, yang mereka sebut dengan shalat raghaib. Ada juga perbuatan-perbuatan baru lainnya berkaitan dengan hari-hari tersebut, seperti membuat makanan, berdandan, membagi-bagi infaq dan lain sebagainya. Sudah tentu perbuatan tersebut akan menimbulkan kepercayaan baru di dalam hati mereka. Oleh karena itu, perbuatan semacam ini dilarang.

Dengan mereka melakukan perbuatan tersebut, akan timbul suatu kepercayaan baru bahwa hari tersebut lebih mulia dari hari-hari lainnya, berpuasa pada hari tersebut lebih utama daripada hari-hari Kamis yang lain, sebelumnya atau sesudahnya. Juga shalat lail pada malam Jum‘atnya lebih baik daripada di malam-malam Jum‘at lainnya, sekalipun sama-sama pada bulan Rajab apalagi pada bulan lainnya.

Sekiranya tidak ada keyakinan dalam hatinya atau paling tidak hatinya terpengaruh hal semacam itu, niscaya tidak akan timbul semangat untuk beribadah secara khusus pada hari-hari tersebut. Perbuatan semacam ini diharamkan karena telah menetapkan suatu hari lebih utama. Mengistimewakan hari tertentu tanpa didukung keterangan agama adalah terlarang.”

Beliau juga berkata: “Manusia terkadang mengkhususkan waktu-waktu tertentu karena berkeyakinan adanya keutamaan waktu-waktu tersebut. Terkadang mereka mengkhususkannya dengan melakukan puasa atau shalat pada waktu tersebut, padahal sebenarnya waktu yang dikhususkan itu tidak ada keutamaannya. Pengkhususan semacam itu biasanya hanya muncul karena adanya keyakinan tertentu.”

Anggapan bahwa puasa dan shalat lail pada hari tersebut tidak sama dengan puasa dan shalat pada hari yang lain adalah persoalan aqidah. Seseorang mengkhususkan ibadah pada waktu tersebut tentu karena adanya keyakinan tersendiri, bisa jadi hanya taklid kepada orang lain atau mengikuti kebiasaan atau takut dirinya dicela atau sebab yang lain. Jika bukan karena alasan-alasan tersebut, berarti yang bersangkutan berbohong. Dorongan untuk melakukan ibadah semacam ini tidak akan terlepas dari dorongan aqidah yang sesat atau motif lain yang tidak syar‘i. Dan keyakinan semacam itu adalah sesat. Sedangkan beragama berdasarkan keyakinan yang sesat adalah dilarang.

Barang siapa mau memperhatikan hal ini, niscaya ia akan yakin betapa besar bahaya bid‘ah dengan racunnya yang merusak iman. Bahkan ada yang berkata bahwa semua bid‘ah muncul dari sikap kekafiran.

Setiap ibadah yang tidak bersumber dari syari‘at, misalnya shalat di kuburan, menyembelih hewan di tempat berhala dan lain sebagainya haram dilakukan. Bila pelakunya mengatakan tidak berkeyakinan adanya keutamaan ibadah tersebut, maka paling tidak ia beranggapan demikian. Padahal menetapkan keutamaan yang sesuai syari‘at dan meniadakan keutamaan yang tidak sesuai syari‘at merupakan tujuan syari‘at.

_____________
source: Books: Bahaya Mengekor Non Muslim (Mukhtarat Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim Syaikh Ibnu Taimiyah). Muhammad bin Ali Adh-Dhabi‘i, Penerbit Media Hidayah,

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...