5/29/2019

BAHAYA MENGEKOR NON MUSLIM BAB 8




Bab 8
Perlunya Bahasa Arab 
untuk memahami Islam dengan benar

I bnu Taimiyah berkata: “Allah menurunkan Al-Qur‘an dalam bahasa Arab dan menjadikan rasul-Nya menyampaikan isi Al Qur‘an dan hikmah dengan bahasa Arab. Orang-orang generasi pertama berbicara dengan bahasa Arab, sehingga tidak ada jalan untuk memperkokoh diri dalam beragama dan memahami agamanya dengan baik kecuali dengan bahasa Arab. Dengan demikian bahasa merupakan bagian dari agama. Orang yang biasa berbahasa ini akan lebih mudah memahami agama Allah dan lebih mendekatkan usahanya menegakkan syi‘ar agama. Juga dapat lebih mendekati para pendahulunya dari golongan Muhajirin dan Anshar dalam mengintegrasikan urusan-urusan mereka.” Bahasa Arab dapat menjadi pengantar bagi hal-hal lain, seperti ilmu dan akhlak.

Tradisi mempunyai pengaruh besar terhadap hal-hal yang dicintai ataupun dibenci oleh Allah. Oleh karena itu, syari‘at Islam mengharuskan mengikuti tradisi generasi terdahulu (para sahabat, tabi‘in dan tabi‘ut tabi‘in) dalam hal berpendapat dan beramal, dan membenci sikap berpaling dari kebiasaan mereka untuk meniru kaum lain tanpa ada udzur yang dibenarkan syari‘at.

Tegasnya, larangan meniru golongan non muslim juga dimaksudkan agar tidak menghilangkan keutamaan dan kelebihan yang telah Allah berikan kepada generasi terdahulu dan jangan sampai mengalami kerusakan ataupun kelemahan seperti yang terjadi pada generasi setelah mereka. Ketika kaum mukmin mengetahui tradisi-tradisi bangsa Parsi dan lain-lain, maka sebagian dari kaum mukmin segera bersungguh-sungguh kembali meniru generasi terdahulu, sehingga mereka menjadi pengikut-pengikut generasi terdahulu yang memperoleh kebaikan sampai hari kiamat. Dan sebagian besar dari kaum mukmin Parsi menjadi pemimpin bagi golongan lain. Kaum mukmin menghargai sebagian orang-orang mukmin Parsi yang mereka pandang lebih dekat kepada cara hidup para sahabat, sampai-sampai Al Ashma‘i pernah berkata: “Orang-orang ‘ajam dari Ashbahan (Parsi) bagaikan golongan Quraisy non Arab.”

Ibnu Taimiyah berkata: “Tentang memberi nama-nama bulan dengan nama-nama asing, Abu Ahmad Al Kirmani pernah berkata bahwa saya pernah berkata kepada Imam Ahmad: “Bangsa Parsi memberi nama-nama hari dan bulan dengan istilah yang tidak kami mengerti.” Ternyata Imam Ahmad sangat tidak senang dengan hal itu. Imam Ishaq ditanya orang: “Bagaimana seseorang yang mempelajari nama-nama bulan Romawi dan Parsi?” Jawabnya: “Selama nama-nama itu diketahui artinya dalam bahasa mereka, maka hal itu tidak ada salahnya.”
Imam Ahmad tidak menyukai nama-nama ini karena dua hal, yaitu:

1. Bilamana maknanya tidak dimengerti, boleh jadi mempunyai makna yang haram, sehingga seorang muslim dilarang mengucapkan kata-kata yang maknanya tidak dia mengerti. Oleh karena itu, beliau tidak senang dengan bacaan-bacaan untuk menyembuhkan orang sakit dari bahasa non-Arab, karena boleh jadi mengandung pengertian yang tidak dibolehkan oleh syari‘at Islam.

2. Beliau tidak senang karena beliau tidak menginginkan seorang muslim membiasakan diri dengan bahasa non-Arab. Sebab bahasa Arab merupakan simbol Islam dan umatnya, dan bahasa suatu umat merupakan simbol yang paling penting untuk membedakan dirinya dengan umat lain.

Ibnu Taimiyah berkata: “Membiasakan berbicara dengan bahasa non Arab, sehingga bahasa non-Arab menjadi bahasa pokok suatu negeri dan bagi penduduknya, ukumnya makruh karena meniru orang-orang ‘ajam. Oleh karena itu, ketika kaum mukmin menempati negeri Syam dan Mesir, dimana penduduk negeri-negeri itu menggunakan bahasa Romawi, kaum muslim membiasakan penduduk negeri-negeri tersebut menggunakan bahasa Arab. Demikian pula ketika menempati dengan negeri Irak dan Khurasan yang penduduknya berbahasa Parsi, negeri Afrika Utara yang penduduknya berbahasa Bar-bar, sehingga penduduk di negeri-negeri ini menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa penduduk negeri itu, baik yang muslim maupun yang kafir. Hanya saja, kemudian mereka meninggalkan bahasa Arab dan membiasakan berbicara dengan bahasa Parsi sehingga bahasa ini menguasai penduduk, sedangkan bahasa Arab menjadi asing.

Jalan yang paling baik adalah membiasakan berbicara dalam bahasa Arab, dan menganjurkan anak-anak mempelajarinya di surau-surau dan sekolah-sekolah Islam. Dengan begitu umat Islam menjadi lebih mudah memahami Al-Qur‘an dan As-Sunnah serta pendapat kaum salaf.

Ketahuilah, bahwa kebiasaan berbahasa Arab dapat mempermudah mengikuti generasi umat Islam terdahulu dari kalangan sahabat dan tabi‘in yang akan menambah kekuatan
pikiran, agama dan akhlak.Bahasa Arab merupakan bagian dari agama dan mengetahuinya adalah suatu kewajiban. Sebab memahami Al-Qur‘an dan As-Sunnah adalah wajib, yang hal itu hanya dapat dilakukan dengan memahami bahasa Arab. Sesuatu perbuatan yang dilakukan untuk menyempurnakan pelaksanaan suatu kewajiban, hukumnya menjadi wajib. Kewajiban ada yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah.

Inilah maksud dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abu Syaibah dari ‘Umar bin Yazid, ia berkata: “Umar mengirim surat kepada Abu Musa Al Asy‘ari yang isinya: ‘Hendaklah kalian benar-benar memahami As-Sunnah.

Hendaklah kalian benar-benar memahami bahasa Arab dan pahamilah Al-Qur‘an itu dalam bahasa Arab, karena sesungguhnya Al-Qur‘an itu menggunakan bahasa Arab.’” Masalah yang diperintahkan oleh ‘Umar di atas, yaitu memahami bahasa Arab untuk memahami syari‘at Islam merupakan hal yang menjadi kebutuhan. Sebab agama ini mencakup masalah nash dan amalan. Memahami bahasa Arab menjadi jalan untuk memahami nash agama, sedangkan memahami As-Sunnah adalah jalan untuk memahami amalan agama.


_____________
source: Books: Bahaya Mengekor Non Muslim (Mukhtarat Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim Syaikh Ibnu Taimiyah). Muhammad bin Ali Adh-Dhabi‘i, Penerbit Media Hidayah,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...