Bab 8
Perlunya Bahasa Arab
untuk memahami
Islam dengan benar
I bnu Taimiyah berkata: “Allah menurunkan
Al-Qur‘an dalam bahasa Arab dan menjadikan rasul-Nya menyampaikan isi Al Qur‘an
dan hikmah dengan bahasa Arab. Orang-orang generasi pertama berbicara dengan
bahasa Arab, sehingga tidak ada jalan untuk memperkokoh diri dalam beragama dan
memahami agamanya dengan baik kecuali dengan bahasa Arab. Dengan demikian
bahasa merupakan bagian dari agama. Orang yang biasa berbahasa ini akan lebih
mudah memahami agama Allah dan lebih mendekatkan usahanya menegakkan syi‘ar
agama. Juga dapat lebih mendekati para pendahulunya dari golongan Muhajirin dan
Anshar dalam mengintegrasikan urusan-urusan mereka.” Bahasa Arab dapat menjadi
pengantar bagi hal-hal lain, seperti ilmu dan akhlak.
Tradisi mempunyai pengaruh besar terhadap
hal-hal yang dicintai ataupun dibenci oleh Allah. Oleh karena itu, syari‘at
Islam mengharuskan mengikuti tradisi generasi terdahulu (para sahabat, tabi‘in
dan tabi‘ut tabi‘in) dalam hal berpendapat dan beramal, dan membenci sikap
berpaling dari kebiasaan mereka untuk meniru kaum lain tanpa ada udzur yang
dibenarkan syari‘at.
Tegasnya, larangan meniru golongan non muslim
juga dimaksudkan agar tidak menghilangkan keutamaan dan kelebihan yang telah
Allah berikan kepada generasi terdahulu dan jangan sampai mengalami kerusakan
ataupun kelemahan seperti yang terjadi pada generasi setelah mereka. Ketika
kaum mukmin mengetahui tradisi-tradisi bangsa Parsi dan lain-lain, maka
sebagian dari kaum mukmin segera bersungguh-sungguh kembali meniru generasi
terdahulu, sehingga mereka menjadi pengikut-pengikut generasi terdahulu yang
memperoleh kebaikan sampai hari kiamat. Dan sebagian besar dari kaum mukmin
Parsi menjadi pemimpin bagi golongan lain. Kaum mukmin menghargai sebagian
orang-orang mukmin Parsi yang mereka pandang lebih dekat kepada cara hidup para
sahabat, sampai-sampai Al Ashma‘i pernah berkata: “Orang-orang ‘ajam dari Ashbahan
(Parsi) bagaikan golongan Quraisy non Arab.”
Ibnu Taimiyah berkata: “Tentang memberi
nama-nama bulan dengan nama-nama asing, Abu Ahmad Al Kirmani pernah berkata
bahwa saya pernah berkata kepada Imam Ahmad: “Bangsa Parsi memberi nama-nama
hari dan bulan dengan istilah yang tidak kami mengerti.” Ternyata Imam Ahmad
sangat tidak senang dengan hal itu. Imam Ishaq ditanya orang: “Bagaimana
seseorang yang mempelajari nama-nama bulan Romawi dan Parsi?” Jawabnya: “Selama
nama-nama itu diketahui artinya dalam bahasa mereka, maka hal itu tidak ada
salahnya.”
Imam Ahmad tidak menyukai nama-nama ini karena dua hal, yaitu:
1. Bilamana maknanya tidak dimengerti, boleh
jadi mempunyai makna yang haram, sehingga seorang muslim dilarang mengucapkan
kata-kata yang maknanya tidak dia mengerti. Oleh karena itu, beliau tidak
senang dengan bacaan-bacaan untuk menyembuhkan orang sakit dari bahasa
non-Arab, karena boleh jadi mengandung pengertian yang tidak dibolehkan oleh
syari‘at Islam.
2. Beliau tidak senang karena beliau tidak
menginginkan seorang muslim membiasakan diri dengan bahasa non-Arab. Sebab
bahasa Arab merupakan simbol Islam dan umatnya, dan bahasa suatu umat merupakan
simbol yang paling penting untuk membedakan dirinya dengan umat lain.
Ibnu Taimiyah berkata: “Membiasakan berbicara
dengan bahasa non Arab, sehingga bahasa non-Arab menjadi bahasa pokok suatu
negeri dan bagi penduduknya, ukumnya makruh karena meniru orang-orang ‘ajam.
Oleh karena itu, ketika kaum mukmin menempati negeri Syam dan Mesir, dimana penduduk
negeri-negeri itu menggunakan bahasa Romawi, kaum muslim membiasakan penduduk
negeri-negeri tersebut menggunakan bahasa Arab. Demikian pula ketika menempati
dengan negeri Irak dan Khurasan yang penduduknya berbahasa Parsi, negeri Afrika
Utara yang penduduknya berbahasa Bar-bar, sehingga penduduk di negeri-negeri
ini menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa penduduk negeri itu, baik yang muslim
maupun yang kafir. Hanya saja, kemudian mereka meninggalkan bahasa Arab dan
membiasakan berbicara dengan bahasa Parsi sehingga bahasa ini menguasai
penduduk, sedangkan bahasa Arab menjadi asing.
Jalan yang paling baik adalah membiasakan
berbicara dalam bahasa Arab, dan menganjurkan anak-anak mempelajarinya di
surau-surau dan sekolah-sekolah Islam. Dengan begitu umat Islam menjadi lebih
mudah memahami Al-Qur‘an dan As-Sunnah serta pendapat kaum salaf.
Ketahuilah, bahwa kebiasaan berbahasa Arab dapat
mempermudah mengikuti generasi umat Islam terdahulu dari kalangan sahabat dan
tabi‘in yang akan menambah kekuatan
pikiran, agama dan akhlak.Bahasa Arab merupakan
bagian dari agama dan mengetahuinya adalah suatu kewajiban. Sebab memahami
Al-Qur‘an dan As-Sunnah adalah wajib, yang hal itu hanya dapat dilakukan dengan
memahami bahasa Arab. Sesuatu perbuatan yang dilakukan untuk menyempurnakan
pelaksanaan suatu kewajiban, hukumnya menjadi wajib. Kewajiban ada yang wajib
‘ain dan ada yang wajib kifayah.
Inilah maksud dari hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Bakar bin Abu Syaibah dari ‘Umar bin Yazid, ia berkata: “Umar mengirim surat
kepada Abu Musa Al Asy‘ari yang isinya: ‘Hendaklah kalian benar-benar memahami
As-Sunnah.
Hendaklah kalian benar-benar memahami bahasa
Arab dan pahamilah Al-Qur‘an itu dalam bahasa Arab, karena sesungguhnya
Al-Qur‘an itu menggunakan bahasa Arab.’” Masalah yang diperintahkan oleh ‘Umar
di atas, yaitu memahami bahasa Arab untuk memahami syari‘at Islam merupakan hal
yang menjadi kebutuhan. Sebab agama ini mencakup masalah nash dan amalan.
Memahami bahasa Arab menjadi jalan untuk memahami nash agama, sedangkan
memahami As-Sunnah adalah jalan untuk memahami amalan agama.
source: Books: Bahaya
Mengekor Non Muslim (Mukhtarat Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim Syaikh Ibnu
Taimiyah). Muhammad bin Ali Adh-Dhabi‘i, Penerbit Media Hidayah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar