5/31/2019

BAHAYA MENGEKOR NON MUSLIM BAB 14



Bab 14
Bantahan terhadap anggapan 
ada Bid‘ah yang Baik
Ibnu Taimiyah berkata: “Sebagian orang berkata bahwa bid‘ah itu ada dua macam yaitu bid‘ah yang baik dan bid‘ah yang buruk dengan alasan pernyataan ‘Umar tentang shalat tarawih, bahwa sebaik-baik bid‘ah adalah ini.” (HR. Bukhari, dalam kisah ‘Umar ketika mengumpulkan orang banyak untuk melakukan shalat tarawih berjama‘ah) Mereka juga beralasan bahwa perkataan dan perbuatan yang baru sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak tercela adalah perbuatan baik. Dan beberapa dalil lain yang menunjukkan hal semacam itu seperti ijma’ atau qiyas.

Barangkali bisa ditambahkan lagi adanya orang yang melihat adat kebiasaan yang dilakukan oleh kebanyakan orang, lalu dianggap sebagian dari dalil tentang adanya bid‘ah yang baik. Dengan demikian, perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan dan dikenal sebagai ijma’ - sekalipun tidak pernah diketahui adanya suatu perkataan sepakat seluruh kaum muslimin tentang hal itu -, maka perbuatan itu ia anggap baik.

Anggapan semacam ini sama dengan pernyataan golongan yang Allah nyatakan pada surah Al Maidah ayat 104:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ تَعَالَوۡاْ إِلَىٰ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَإِلَى ٱلرَّسُولِ قَالُواْ حَسۡبُنَا مَا وَجَدۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَآؤُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ شَيۡ‍ٔٗا وَلَا يَهۡتَدُونَ ١٠٤

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, marilah kalian menuju kepada apa yang telah Allah turunkan kepada rasul-Nya, maka mereka menjawab: ‘Cukuplah kami mengikuti apa yang telah kami dapati pada nenek moyang kami.’”

Alangkah banyaknya orang yang mengaku berilmu dan ahli ibadah menggunakan alasan-alasan yang tidak berasal dari syari‘at sebagai pegangan dalam beragama. Ayat di atas sebenarnya menyatakan bahwa bid‘ah adalah tercela, bukan menyatakan bahwa sebagian bid‘ah itu ada yang baik, sekalipun bid‘ah itu berasal dari beberapa dalil syari‘at yang shahih atau berdasar pada alasan beberapa orang yang dijadikan panutan oleh sebagian orang-orang bodoh atau golongan pentakwil.

Golongan yang menyatakan bahwa bid‘ah itu ada yang baik dapat dikategorikan menjadi dua:

Pertama. Mereka yang mengatakan bahwa sebagian bid‘ah itu baik dan sebagian lain buruk. Bid‘ah yang buruk adalah semua hal yang dilarang melakukannya oleh syari‘at, sedangkan bid‘ah yang didiamkan oleh syari‘at, maka bid‘ah semacam itu tidak tentu buruk, bahkan terkadang baik. Inilah yang dikatakan oleh sebagian mereka.

Kedua. Yang mereka katakan bid‘ah yang buruk, sebenarnya adalah bid‘ah yang baik karena pada bid‘ah tersebut adakalanya mengandung kebaikan. Orang-orang ini berkata: “Tidak semua bid‘ah itu sesat.”

Jawabnya. Pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “Semua perkara yang diada-adakan adalah buruk, setiap bid‘ah adalah sesat dan setiap yang sesat masuk neraka” berarti ancaman atau peringatan terhadap perbuatan yang diada-adakan. Inilah penegasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak seorangpun dihalalkan untuk menentang dalil yang menunjukkan buruknya bid‘ah. Orang yang menentang dalil ini termasuk orang yang sombong.

Jawaban terhadap orang yang menentang dalil tersebut adalah antara dua hal berikut:

1. Bagi orang yang berpendapat bahwa sesuatu yang baru yang memang benar-benar baik tidak termasuk bid‘ah, maka kaidah umum - sesuatu yang baru adalah bid‘ah - tidak belaku untuk perbuatan baru semacam itu. Dan juga bagi orang yang berpendapat bahwa sesuatu yang benar-benar baik merupakan pengecualian dari kaidah umum, maka kaidah umum tetap berlaku, dan pengecualian tersebut juga tetap berlaku.

2. Sesuatu yang baru yang telah jelas baiknya merupakan pengecualian dari kaidah umum. Akan tetapi kaidah umum tersebut tetap berlaku terhadap sesuatu yang baru lainnya. Misalnya, ada orang yang beranggapan bahwa ada sebagian bid‘ah yang tidak terkena larangan umum ini. Anggapan semacam ini memerlukan dalil tersendiri, karena adanya kaidah umum larangan berbuat bid‘ah.

Kemudian, yang dapat mengecualikan hanyalah dalil-dalil syari‘at, yaitu Al-Qur‘an, As-Sunnah dan ijma’ yang dinyatakan secara jelas atau hasil kesimpulan ahli fiqih. Sedangkan kebiasaan di suatu negeri, kebiasaan mayoritas penduduk suatu negeri atau pendapat sebagian besar ulama atau pendapat manusia tidak patut dijadikan alasan untuk menentang sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas.

Ibnu Taimiyah berkata: Shalat tarawih bukanlah perbuatan bid‘ah menurut syari‘at tetapi merupakan perbuatan sunnah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْكُمْ صِيَمَ رَمَضَانَ وَسَنَّنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ

“Sungguh Allah mewajibkan kamu sekalian puasa ramadhan dan aku perintahkan pada kamu sekalian melaksanakan shalat pada malamnya.”

(HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah. Dalam sanad Ibnu Khuzaimah ada rawi Ibnu Syaiban, rawi ini lemah. Ibnu Khuzaimah berkata bahwa makna hadits ini shahih sesuai Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam)

Shalat tarawih berjama‘ah juga tidak termasuk bid‘ah menurut syari‘at, tetapi sunnah. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya dengan berjama‘ah pada dua malam pertama bulan Ramadhan, bahkan tiga malam pertama. Beliau juga melakukannya beberapa kali dengan berjama‘ah pada sepuluh hari terakhir. Beliau bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْضَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

“Sesungguhnya apabila seseorang shalat bersama imam sampai salam, maka ditulis baginya pahala shalat lail.”

Ketika itu beliau melaksanakan berjama‘ah dengan para sahabat, sehingga mereka khawatir ketinggalan shalat malam. (HR. Ashhabus Sunan).

Berhujjah dengan hadits ini Imam Ahmad dan yang lain berpendapat bahwa melakukan shalat tarawih berjama‘ah lebih utama daripada melakukannya sendirian. Dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas terkandung anjuran untuk melakukan shalat tarawih berjama‘ah. Dengan demikian tegaslah bahwa shalat tarawih berjama‘ah hukumnya sunnah secara mutlak dan para sahabat melakukannya dengan berjama‘ah di masjid pada masa beliau masih hidup dan beliau membenarkannya. Dengan pembenaran beliau ini berarti perbuatan tersebut merupakan sunnah beliau.

Adapun perkataan ‘Umar “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini”, sebagian besar orang menjadikannya sebagai hujjah tentang adanya bid‘ah yang baik. Sanggahannya adalah: “Perkataan seorang sahabat tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Perkataan ‘Umar itu ternyata menyelisihi hadits. Perkataan tersebut tidak dapat dijadikan hujjah karena menyelisihi hadits.”

Ada dua kemungkinan, karena perkataan sahabat tidak mungkin bertentangan dengan hadits. Pertama, hadits yang bersifat umum boleh dikecualikan oleh perkataan seorang sahabat, dengan syarat tidak menyelisihi salah satu dari dua riwayat di atas, sehingga ucapan sahabat tersebut bisa dijadikan alasan bagi mereka yang beranggapan bahwa bid‘ah ada yang baik. Kedua, bila perkataan seorang sahabat bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka perkataan tersebut tidak boleh dipakai sebagai hujjah.

Kemudian kami berkata: “Dalam kejadian pada hadits ‘Umar ini, kebanyakan orang menamakannya bid‘ah hasanah (bid‘ah yang baik). Kata bid‘ah ini sebenarnya hanyalah pemberian nama secara lughawi (bahasa), bukan secara syar‘i (istilah). Sebab kata bid‘ah secara lughawi adalah perbuatan yang baru. Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara lughawi disebut juga bid‘ah (agama baru), seperti dinyatakan oleh utusan Quraisy pada raja Najasi, ketika para utusan ini menyebut perihal para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang hijrah ke Habsyi.

Mereka berkata: “Orang-orang ini keluar dari agama nenek moyang mereka dan tidak masuk kepada agama raja, tetapi mereka membawa agama baru yang sebelumnya tidak dikenal.”

Penggunaan kata bid‘ah dengan arti semacam ini ditunjukkan pula oleh Al-Qur‘an dan As-Sunnah, sehingga secara syar‘i tidak dapat dikatakan bid‘ah walaupun secara lughawi disebut bid‘ah. Kata bid‘ah secara lughawi lebih umum pengertiannya daripada dalam pengertian syar‘i. Telah dimaklumi bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Tiap-tiap bid‘ah itu sesat” tidaklah ditujukan pada pengertian setiap perbuatan yang baru. Sebab Islam, bahkan semua agama yang dibawa para nabi merupakan agama baru. Akan tetapi yang dimaksud dengan bid‘ah itu adalah setiap perbuatan yang baru yang sebelumnya tidak ada ketetapannya dalam syari‘at Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Oleh karena itu, di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, para sahabat biasa melakukan shalat tarawih berjama‘ah bersama beliau atau sendirian. Pada malam ketiga dan keempat, ketika para sahabat berkumpul beliau bersabda kepada mereka:

“Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang merintangi aku untuk keluar kepada kalian, kecuali karena aku tidak ingin hal ini akan diwajibkan kepada kamu sekalian. Oleh karena itu, lakukanlah shalat tarawih di rumah-rumah kamu, sebab sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari)

Jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar untuk shalat tarawih berjama‘ah karena beliau khawatir bila dijadikan wajib. Itulah alasan beliau tidak keluar. Sekiranya beliau tidak khawatir dijadikan wajib, tentu beliau keluar kepada mereka. Kemudian pada masa khalifah ‘Umar, ia mengumpulkan para sahabat untuk shalat tarawih dengan berjama‘ah dan dipasang lampu di masjid Nabawi. Cara semacam ini disebut bid‘ah karena merupakan suatu perbuatan yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan. Secara bahasa memang dinamakan bid‘ah sekalipun secara syar‘i tidak disebut bid‘ah. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menetapkan perbuatan tersebut sebagai amal shalih, hanya saja beliau khawatir shalat tarawih berjama‘ah ini dijadikan wajib. Ternyata kekhawatiran tersebut tidak terwujud sampai beliau meninggal, sehingga hilanglah alasan yang melarang shalat tarawih berjama‘ah.

Diapun berkata: “Namun demikian, seseorang yang melakukan suatu amalan baru pada hari tertentu merupakan hal yang terlarang. Amalan baru tersebut misalnya melakukan puasa setiap hari Kamis pada awal bulan Rajab, shalat lail pada malam Jum’atnya, yang mereka sebut dengan shalat raghaib. Ada juga perbuatan-perbuatan baru lainnya berkaitan dengan hari-hari tersebut, seperti membuat makanan, berdandan, membagi-bagi infaq dan lain sebagainya. Sudah tentu perbuatan tersebut akan menimbulkan kepercayaan baru di dalam hati mereka. Oleh karena itu, perbuatan semacam ini dilarang.

Dengan mereka melakukan perbuatan tersebut, akan timbul suatu kepercayaan baru bahwa hari tersebut lebih mulia dari hari-hari lainnya, berpuasa pada hari tersebut lebih utama daripada hari-hari Kamis yang lain, sebelumnya atau sesudahnya. Juga shalat lail pada malam Jum‘atnya lebih baik daripada di malam-malam Jum‘at lainnya, sekalipun sama-sama pada bulan Rajab apalagi pada bulan lainnya.

Sekiranya tidak ada keyakinan dalam hatinya atau paling tidak hatinya terpengaruh hal semacam itu, niscaya tidak akan timbul semangat untuk beribadah secara khusus pada hari-hari tersebut. Perbuatan semacam ini diharamkan karena telah menetapkan suatu hari lebih utama. Mengistimewakan hari tertentu tanpa didukung keterangan agama adalah terlarang.”

Beliau juga berkata: “Manusia terkadang mengkhususkan waktu-waktu tertentu karena berkeyakinan adanya keutamaan waktu-waktu tersebut. Terkadang mereka mengkhususkannya dengan melakukan puasa atau shalat pada waktu tersebut, padahal sebenarnya waktu yang dikhususkan itu tidak ada keutamaannya. Pengkhususan semacam itu biasanya hanya muncul karena adanya keyakinan tertentu.”

Anggapan bahwa puasa dan shalat lail pada hari tersebut tidak sama dengan puasa dan shalat pada hari yang lain adalah persoalan aqidah. Seseorang mengkhususkan ibadah pada waktu tersebut tentu karena adanya keyakinan tersendiri, bisa jadi hanya taklid kepada orang lain atau mengikuti kebiasaan atau takut dirinya dicela atau sebab yang lain. Jika bukan karena alasan-alasan tersebut, berarti yang bersangkutan berbohong. Dorongan untuk melakukan ibadah semacam ini tidak akan terlepas dari dorongan aqidah yang sesat atau motif lain yang tidak syar‘i. Dan keyakinan semacam itu adalah sesat. Sedangkan beragama berdasarkan keyakinan yang sesat adalah dilarang.

Barang siapa mau memperhatikan hal ini, niscaya ia akan yakin betapa besar bahaya bid‘ah dengan racunnya yang merusak iman. Bahkan ada yang berkata bahwa semua bid‘ah muncul dari sikap kekafiran.

Setiap ibadah yang tidak bersumber dari syari‘at, misalnya shalat di kuburan, menyembelih hewan di tempat berhala dan lain sebagainya haram dilakukan. Bila pelakunya mengatakan tidak berkeyakinan adanya keutamaan ibadah tersebut, maka paling tidak ia beranggapan demikian. Padahal menetapkan keutamaan yang sesuai syari‘at dan meniadakan keutamaan yang tidak sesuai syari‘at merupakan tujuan syari‘at.

_____________
source: Books: Bahaya Mengekor Non Muslim (Mukhtarat Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim Syaikh Ibnu Taimiyah). Muhammad bin Ali Adh-Dhabi‘i, Penerbit Media Hidayah,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...