Bab 14
Bantahan terhadap anggapan
ada Bid‘ah yang Baik
Ibnu Taimiyah berkata: “Sebagian orang berkata
bahwa bid‘ah itu ada dua macam yaitu bid‘ah yang baik dan bid‘ah yang buruk
dengan alasan pernyataan ‘Umar tentang shalat tarawih, bahwa sebaik-baik bid‘ah
adalah ini.” (HR. Bukhari, dalam kisah ‘Umar ketika mengumpulkan orang banyak
untuk melakukan shalat tarawih berjama‘ah) Mereka juga beralasan bahwa
perkataan dan perbuatan yang baru sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam yang tidak tercela adalah
perbuatan baik. Dan beberapa dalil lain yang menunjukkan hal semacam itu
seperti ijma’ atau qiyas.
Barangkali bisa ditambahkan lagi adanya orang
yang melihat adat kebiasaan yang dilakukan oleh kebanyakan orang, lalu dianggap
sebagian dari dalil tentang adanya bid‘ah yang baik. Dengan demikian, perbuatan
yang sudah menjadi kebiasaan dan dikenal sebagai ijma’ - sekalipun tidak pernah
diketahui adanya suatu perkataan sepakat seluruh kaum muslimin tentang hal itu
-, maka perbuatan itu ia anggap baik.
Anggapan semacam ini sama dengan pernyataan golongan yang Allah
nyatakan pada surah Al Maidah ayat 104:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ
تَعَالَوۡاْ إِلَىٰ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَإِلَى ٱلرَّسُولِ قَالُواْ حَسۡبُنَا
مَا وَجَدۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَآؤُهُمۡ لَا
يَعۡلَمُونَ شَيۡٔٗا وَلَا يَهۡتَدُونَ ١٠٤
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, marilah
kalian menuju kepada apa yang telah Allah turunkan kepada rasul-Nya, maka
mereka menjawab: ‘Cukuplah kami mengikuti apa yang telah kami dapati pada nenek
moyang kami.’”
Alangkah banyaknya orang yang mengaku berilmu
dan ahli ibadah menggunakan alasan-alasan yang tidak berasal dari syari‘at
sebagai pegangan dalam beragama. Ayat di atas sebenarnya menyatakan bahwa
bid‘ah adalah tercela, bukan menyatakan bahwa sebagian bid‘ah itu ada yang
baik, sekalipun bid‘ah itu berasal dari beberapa dalil syari‘at yang shahih
atau berdasar pada alasan beberapa orang yang dijadikan panutan oleh sebagian
orang-orang bodoh atau golongan pentakwil.
Golongan yang menyatakan bahwa bid‘ah itu ada
yang baik dapat dikategorikan menjadi dua:
Pertama. Mereka yang mengatakan bahwa sebagian bid‘ah itu baik dan
sebagian lain buruk. Bid‘ah yang buruk adalah semua hal yang dilarang
melakukannya oleh syari‘at, sedangkan bid‘ah yang didiamkan oleh syari‘at, maka
bid‘ah semacam itu tidak tentu buruk, bahkan terkadang baik. Inilah yang dikatakan
oleh sebagian mereka.
Kedua. Yang mereka katakan bid‘ah yang buruk, sebenarnya adalah
bid‘ah yang baik karena pada bid‘ah tersebut adakalanya mengandung kebaikan.
Orang-orang ini berkata: “Tidak semua bid‘ah itu sesat.”
Jawabnya. Pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “Semua perkara yang diada-adakan adalah buruk,
setiap bid‘ah adalah sesat dan setiap yang sesat masuk neraka” berarti ancaman
atau peringatan terhadap perbuatan yang diada-adakan. Inilah penegasan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak seorangpun dihalalkan untuk
menentang dalil yang menunjukkan buruknya bid‘ah. Orang yang menentang dalil
ini termasuk orang yang sombong.
Jawaban terhadap orang yang menentang dalil tersebut adalah
antara dua hal berikut:
1. Bagi orang yang berpendapat bahwa sesuatu
yang baru yang memang benar-benar baik tidak termasuk bid‘ah, maka kaidah umum
- sesuatu yang baru adalah bid‘ah - tidak belaku untuk perbuatan baru semacam
itu. Dan juga bagi orang yang berpendapat bahwa sesuatu yang benar-benar baik
merupakan pengecualian dari kaidah umum, maka kaidah umum tetap berlaku, dan
pengecualian tersebut juga tetap berlaku.
2. Sesuatu yang baru yang telah jelas baiknya
merupakan pengecualian dari kaidah umum. Akan tetapi kaidah umum tersebut tetap
berlaku terhadap sesuatu yang baru lainnya. Misalnya, ada orang yang
beranggapan bahwa ada sebagian bid‘ah yang tidak terkena larangan umum ini.
Anggapan semacam ini memerlukan dalil tersendiri, karena adanya kaidah umum
larangan berbuat bid‘ah.
Kemudian, yang dapat mengecualikan hanyalah
dalil-dalil syari‘at, yaitu Al-Qur‘an, As-Sunnah dan ijma’ yang dinyatakan
secara jelas atau hasil kesimpulan ahli fiqih. Sedangkan kebiasaan di suatu
negeri, kebiasaan mayoritas penduduk suatu negeri atau pendapat sebagian besar
ulama atau pendapat manusia tidak patut dijadikan alasan untuk menentang sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas.
Ibnu Taimiyah berkata: Shalat tarawih bukanlah
perbuatan bid‘ah menurut syari‘at tetapi merupakan perbuatan sunnah, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ
اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْكُمْ صِيَمَ رَمَضَانَ وَسَنَّنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ
“Sungguh Allah mewajibkan
kamu sekalian puasa ramadhan dan aku perintahkan pada kamu sekalian
melaksanakan shalat pada malamnya.”
(HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah. Dalam
sanad Ibnu Khuzaimah ada rawi Ibnu Syaiban, rawi ini lemah. Ibnu Khuzaimah
berkata bahwa makna hadits ini shahih sesuai Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam)
Shalat tarawih berjama‘ah juga tidak termasuk
bid‘ah menurut syari‘at, tetapi sunnah. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam melakukannya dengan
berjama‘ah pada dua malam pertama bulan Ramadhan, bahkan tiga malam pertama.
Beliau juga melakukannya beberapa kali dengan berjama‘ah pada sepuluh hari
terakhir. Beliau bersabda:
إِنَّ
الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْضَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ
لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya apabila
seseorang shalat bersama imam sampai salam, maka ditulis baginya pahala shalat
lail.”
Ketika itu beliau melaksanakan berjama‘ah dengan
para sahabat, sehingga mereka khawatir ketinggalan shalat malam. (HR. Ashhabus
Sunan).
Berhujjah dengan hadits ini Imam Ahmad dan yang
lain berpendapat bahwa melakukan shalat tarawih berjama‘ah lebih utama daripada
melakukannya sendirian. Dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas terkandung anjuran untuk melakukan
shalat tarawih berjama‘ah. Dengan demikian tegaslah bahwa shalat tarawih
berjama‘ah hukumnya sunnah secara mutlak dan para sahabat melakukannya dengan
berjama‘ah di masjid pada masa beliau masih hidup dan beliau membenarkannya.
Dengan pembenaran beliau ini berarti perbuatan tersebut merupakan sunnah
beliau.
Adapun perkataan ‘Umar “Sebaik-baik bid‘ah
adalah ini”, sebagian besar orang menjadikannya sebagai hujjah tentang adanya
bid‘ah yang baik. Sanggahannya adalah: “Perkataan seorang sahabat tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah. Perkataan ‘Umar itu ternyata menyelisihi hadits.
Perkataan tersebut tidak dapat dijadikan hujjah karena menyelisihi hadits.”
Ada dua kemungkinan, karena perkataan sahabat
tidak mungkin bertentangan dengan hadits. Pertama, hadits yang bersifat umum
boleh dikecualikan oleh perkataan seorang sahabat, dengan syarat tidak
menyelisihi salah satu dari dua riwayat di atas, sehingga ucapan sahabat
tersebut bisa dijadikan alasan bagi mereka yang beranggapan bahwa bid‘ah ada
yang baik. Kedua, bila perkataan seorang sahabat bertentangan dengan hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka perkataan tersebut tidak boleh dipakai
sebagai hujjah.
Kemudian kami berkata: “Dalam kejadian pada
hadits ‘Umar ini, kebanyakan orang menamakannya bid‘ah hasanah (bid‘ah yang
baik). Kata bid‘ah ini sebenarnya hanyalah pemberian nama secara lughawi (bahasa), bukan secara syar‘i (istilah). Sebab kata bid‘ah
secara lughawi adalah perbuatan yang baru. Islam yang dibawa
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara lughawi disebut
juga bid‘ah (agama baru), seperti dinyatakan oleh utusan Quraisy pada raja
Najasi, ketika para utusan ini menyebut perihal para sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam yang hijrah ke Habsyi.
Mereka berkata: “Orang-orang ini keluar dari
agama nenek moyang mereka dan tidak masuk kepada agama raja, tetapi mereka
membawa agama baru yang sebelumnya tidak dikenal.”
Penggunaan kata bid‘ah dengan arti semacam ini
ditunjukkan pula oleh Al-Qur‘an dan As-Sunnah, sehingga secara syar‘i tidak
dapat dikatakan bid‘ah walaupun secara lughawi disebut
bid‘ah. Kata bid‘ah secara lughawi
lebih umum pengertiannya
daripada dalam pengertian syar‘i. Telah dimaklumi bahwa sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam: “Tiap-tiap bid‘ah itu sesat” tidaklah ditujukan pada
pengertian setiap perbuatan yang baru. Sebab Islam, bahkan semua agama yang
dibawa para nabi merupakan agama baru. Akan tetapi yang dimaksud dengan bid‘ah
itu adalah setiap perbuatan yang baru yang sebelumnya tidak ada ketetapannya
dalam syari‘at Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karena itu, di masa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam masih hidup, para sahabat biasa
melakukan shalat tarawih berjama‘ah bersama beliau atau sendirian. Pada malam
ketiga dan keempat, ketika para sahabat berkumpul beliau bersabda kepada
mereka:
“Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang merintangi
aku untuk keluar kepada kalian, kecuali karena aku tidak ingin hal ini akan
diwajibkan kepada kamu sekalian. Oleh karena itu, lakukanlah shalat tarawih di
rumah-rumah kamu, sebab sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya kecuali
shalat wajib.” (HR. Bukhari)
Jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar untuk shalat tarawih berjama‘ah
karena beliau khawatir bila dijadikan wajib. Itulah alasan beliau tidak keluar.
Sekiranya beliau tidak khawatir dijadikan wajib, tentu beliau keluar kepada
mereka. Kemudian pada masa khalifah ‘Umar, ia mengumpulkan para sahabat untuk
shalat tarawih dengan berjama‘ah dan dipasang lampu di masjid Nabawi. Cara
semacam ini disebut bid‘ah karena merupakan suatu perbuatan yang sebelumnya
tidak pernah mereka lakukan. Secara bahasa memang dinamakan bid‘ah sekalipun
secara syar‘i tidak disebut bid‘ah. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah
menetapkan perbuatan tersebut sebagai amal shalih, hanya saja beliau khawatir
shalat tarawih berjama‘ah ini dijadikan wajib. Ternyata kekhawatiran tersebut
tidak terwujud sampai beliau meninggal, sehingga hilanglah alasan yang melarang
shalat tarawih berjama‘ah.
Diapun berkata: “Namun demikian, seseorang yang
melakukan suatu amalan baru pada hari tertentu merupakan hal yang terlarang.
Amalan baru tersebut misalnya melakukan puasa setiap hari Kamis pada awal bulan
Rajab, shalat lail pada malam Jum’atnya, yang mereka sebut dengan shalat
raghaib. Ada juga perbuatan-perbuatan baru lainnya berkaitan dengan hari-hari
tersebut, seperti membuat makanan, berdandan, membagi-bagi infaq dan lain
sebagainya. Sudah tentu perbuatan tersebut akan menimbulkan kepercayaan baru di
dalam hati mereka. Oleh karena itu, perbuatan semacam ini dilarang.
Dengan mereka melakukan perbuatan tersebut, akan
timbul suatu kepercayaan baru bahwa hari tersebut lebih mulia dari hari-hari
lainnya, berpuasa pada hari tersebut lebih utama daripada hari-hari Kamis yang
lain, sebelumnya atau sesudahnya. Juga shalat lail pada malam Jum‘atnya lebih
baik daripada di malam-malam Jum‘at lainnya, sekalipun sama-sama pada bulan
Rajab apalagi pada bulan lainnya.
Sekiranya tidak ada keyakinan dalam hatinya atau
paling tidak hatinya terpengaruh hal semacam itu, niscaya tidak akan timbul
semangat untuk beribadah secara khusus pada hari-hari tersebut. Perbuatan
semacam ini diharamkan karena telah menetapkan suatu hari lebih utama.
Mengistimewakan hari tertentu tanpa didukung keterangan agama adalah
terlarang.”
Beliau juga berkata: “Manusia terkadang
mengkhususkan waktu-waktu tertentu karena berkeyakinan adanya keutamaan waktu-waktu
tersebut. Terkadang mereka mengkhususkannya dengan melakukan puasa atau shalat
pada waktu tersebut, padahal sebenarnya waktu yang dikhususkan itu tidak ada
keutamaannya. Pengkhususan semacam itu biasanya hanya muncul karena adanya
keyakinan tertentu.”
Anggapan bahwa puasa dan shalat lail pada hari
tersebut tidak sama dengan puasa dan shalat pada hari yang lain adalah
persoalan aqidah. Seseorang mengkhususkan ibadah pada waktu tersebut tentu
karena adanya keyakinan tersendiri, bisa jadi hanya taklid kepada orang lain
atau mengikuti kebiasaan atau takut dirinya dicela atau sebab yang lain. Jika
bukan karena alasan-alasan tersebut, berarti yang bersangkutan berbohong.
Dorongan untuk melakukan ibadah semacam ini tidak akan terlepas dari dorongan
aqidah yang sesat atau motif lain yang tidak syar‘i. Dan keyakinan semacam itu
adalah sesat. Sedangkan beragama berdasarkan keyakinan yang sesat adalah
dilarang.
Barang siapa mau memperhatikan hal ini, niscaya
ia akan yakin betapa besar bahaya bid‘ah dengan racunnya yang merusak iman.
Bahkan ada yang berkata bahwa semua bid‘ah muncul dari sikap kekafiran.
Setiap ibadah yang tidak bersumber dari
syari‘at, misalnya shalat di kuburan, menyembelih hewan di tempat berhala dan
lain sebagainya haram dilakukan. Bila pelakunya mengatakan tidak berkeyakinan
adanya keutamaan ibadah tersebut, maka paling tidak ia beranggapan demikian.
Padahal menetapkan keutamaan yang sesuai syari‘at dan meniadakan keutamaan yang
tidak sesuai syari‘at merupakan tujuan syari‘at.
_____________
source: Books: Bahaya
Mengekor Non Muslim (Mukhtarat Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim Syaikh Ibnu
Taimiyah). Muhammad bin Ali Adh-Dhabi‘i, Penerbit Media Hidayah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar