شروط لا إله إلا الله
Wahb bin Munabbih -rahimahullah- (ulama tabi'in) ditanya,”Bukankah kunci jannah (syurga) adalah Laa ilaaha illallah?”
Beliau menjawab, ”Iya betul. Namun, setiap kunci itu pasti punya gerigi.Jika kamu memasukinya dengan kunci yang memiliki gerigi, pintu tersebut akan terbuka.Namun jika tidak ada geriginya, maka tidak akan terbuka.”
( Perkataan ini dinukil oleh Al-Imam Al-Bukharidi dalam kitabnya secara mu'allaq sebelum hadits no.1237.
Lihat juga Taghliiq At-Ta'liiq oleh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqalaniy [454-2/453] )
Lihat juga Taghliiq At-Ta'liiq oleh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqalaniy [454-2/453] )
----------------------------------------------------------------------------
Menurut para ulama gerigi-gerigi
dari kunci syurga itu adalah
syuruuth (syarat-syarat)
kalimat “Laa ilaaha illallah”
Tidak diragukan bahwa kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH
merupakan kunci islam, dengannya seseorang masuk ke dalam dien/agama
Allah, dan dengannya pula darah, harta, dan kehormatannya terjaga. Namun
syahadat ini bukan hanya sekadar ucapan dengan lisan saja, tetapi ia
adalah kalimat yang mempunyai makna yang wajib mengetahuinya,
mengimaninya, mengamalkan kandungannya, dan menjauhi apa-apa yang
membatalkannya.
Syaikhul-Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab -rahimahullah- berkata : “Sesungguhnya mengucapkannya tidaklah bermanfaat kecuali dengan mengamalkan kandungannya, dan meninggalkan kesyirikan.” (Ar-Rasaail Asy-Syakhshiyah 1/137).
Asy-Syaikh Sulaiman bin ‘Abdullah -rahimahullah- berkata : “Barangsiapa
bersaksi bahwa tidak ada ilaah yang berhak diibadahi kecuali Allah”,
maksudnya; ‘barangsiapa yang mengucapkan kalimat ini sedangkan dia
mengetahui maknanya dan mengamalkan kandungannya baik secara bathin
maupun zhohir… Adapun mengucapkannya tanpa mengetahui maknanya dan tidak
mengamalkan kandungannya, sesungguhnya yang demikian itu tidak
bermanfaat menurut ijma’.” (Taisiiril ‘Azizil Hamiid 1/51).
Para ahli ilmu -semoga Allah merahmati mereka- telah menyebutkan syarat-syarat kalimat yang agung ini, yang mana orang yang merealisasikannya berhak disematkan padanya nama islam, hukumnya, dan balasannya.
.
.
Syarat yang ke-1 : العلم (Al-'Ilmu) Ilmu yang meniadakan kebodohan
‘Ilmu adalah : mengetahui sesuatu sebagaimana hakikatnya dengan pengetahuan yang kuat. Dalil ‘ilmu yaitu firman Allah ta’aalaa :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا
اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Maka ilmui-lah bahwasannya tidak ada
ilaah yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah, dan mohonlah ampun
untuk dosamu dan dosa orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan
Allah mengetahui tempat usahamu dan tempat tinggalmu.” (Q.S. Muhammad : 19)
Dan firman Allah ta'aalaa :
وَلَا يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Kecuali orang yang bersaksi dengan yang hak (tauhid) dan dia mengetahuinya.” (Q.S. Az-Zukhruf : 86)
Al-Haq maksudnya: “LAA
ILAAHA ILLALLAH” {dan mereka mengetahuinya} dengan hatinya (akan [ed])
makna dan hakikat apa yang diucapkan oleh lisannya.
Dan dalil dari As-Sunnah : Dari ‘Utsman -radhiyallahu ‘anhu- berkata: Rasulullah ﷺ bersabda :
Dan dalil dari As-Sunnah : Dari ‘Utsman -radhiyallahu ‘anhu- berkata: Rasulullah ﷺ bersabda :
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang mati sedangkan ia mengetahui bahwa tidak ada ilaah yang berhak diibadahi kecuali Allah, maka ia masuk surga.” (HR. Muslim)
.
.
Syarat yang ke-2 : اليقين (Al-Yaqiin) Yakin yang meniadakan keraguan
Yakin merupakan kesempurnaan ilmu
tentangnya, yang meniadakan keragu-raguan dan kebimbangan. Maka orang
yang mengucapkannya mesti benar-benar meyakini dengan apa-apa yang
ditunjukkan oleh kalimat ini dengan keyakinan yang kuat yang tidak ada
keraguan di dalamnya dan juga tawaqquf (abstain [ed]). Sesungguhnya
keimanan itu dengan keyakinan bukan dengan persangkaan. Dan dalil yakin
adalah, firman Allah ta'aalaa :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka
tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di
jalan Allah.Mereka itulah orang-orang yang jujur.” (Q.S. Al-Hujurat :
15)
Disyaratkan dalam kejujuran imannya
kepada Allah dan Rasul-Nya tidak adanya keragu-raguan, adapun orang yang
ragu-ragu maka ia dari golongan orang-orang munafiq. Dan dalil dari
As-Sunnah; dari Abi Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- beliau berkata:
“Rasulullah ﷺ bersabda :
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ لَا يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Aku bersaksi tidak ada ilaah yang berhak
untuk diibadahi kecuali Allah dan Aku adalah utusan Allah, tidaklah
seorang hamba menjumpai Allah dengan membawa hal yang demikian tanpa
keraguan di dalam keduanya, kecuali ia masuk surga.” (HR. Muslim)
.
.
Syarat yang ke-3 : الإخلاص (Al-Ikhlaash) Ikhlas yang meniadakan kesyirikan
Ikhlas secara bahasa adalah: memurnikan,
menjernihkan, dan memurnikan sesuatu dari cacat. Hakikat ikhlas adalah:
memurnikan niat dalam mendekatkan diri kepada Allah dari seluruh
noda-noda syirik. Dalil ikhlas adalah firman Allah ta'aalaa :
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Ketahuilah dien/agama yang murni itu milik Allah.” (Q.S. Az-Zumar : 3)
“Ketahuilah dien/agama yang murni itu milik Allah.” (Q.S. Az-Zumar : 3)
Dan firman Allah subhaanah :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Dan tidaklah mereka diperintahkan
kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan dien/agama
yang lurus bagi-Nya, mengerjakan sholat, dan menunaikan zakat. Yang
demikian itu adalah dien yang lurus.” (Q.S. Al-Bayyinah : 5)
Dalil dari As-Sunnah, dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata: dari Nabi ﷺ beliau bersabda:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي (يَوْمَ القِيَامَةِ)، مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ
“Orang yang paling bergembira dengan
syafa’atku (di hari kiamat [ed]) adalah orang yang mengucapkan LAA
ILAAHA ILLALLAH dengan ikhlas dari hatinya.” (HR. Bukhari)
Syaikhul-Islam Ibnu Taymiyah
-rahimahullah-mengatakan: “Pokok islam adalah : Aku bersaksi bahwa tidak
ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah, barangsiapa yang menginginkan dari
ibadahnya itu riya’ dan sum’ah, maka ia belum merealisasikan syahadat
LAA ILAAHA ILLALLAH.” (Majmu’l fatawa 11/617).
.
.
Syarat yang ke-4 : الصدق (Ash-Shidqu) Jujur yang meniadakan kedustaan
Jujur adalah: keselarasan antara ucapan
dan realita. Maka wajib untuk mengucapkan kalimat ini secara jujur dari
lubuk hatinya, antara hati dan lisan mesti selaras. Adapun jika
seseorang hanya sekedar mengucapkannya dengan lisannya secara zhohir dan
secara bathin ia dusta, maka ia adalah orang munafik. Dan kemunafikan
itu adalah : menampakkan pembenaran dan menyembunyikan pendustaan, atau
menampakkan iman dan menyembunyikan kekufuran. Dalil jujur, firman Allah
ta'aalaa :
الم (١) أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا
أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ (٢) وَلَقَدْ فَتَنَّا
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا
وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (٣)
“Alif Laam Miim. Apakah manusia mengira
akan dibiarkan mengatakan kami beriman sedangkan mereka tidak diuji. Dan
sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sungguh
Allah mengetahui orang-orang yang jujur dan yang dusta.” (Q.S. Al-‘Ankabut : 1-3)
Dalil dari Sunnah, apa yang telah tetap
di dalam Ash-Shahihain dari Mu’adz bin Jabal -radhiyallahu ‘anhu-
berkata; dari Nabi ﷺ beliau bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله صَادَقًا منْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ الله عَلَى النَّار
“Tidaklah seseorang mengucapkan LAA
ILAAHA ILLALLAH WA ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH, jujur dari hatinya,
kecuali Allah haramkan baginya neraka.” (HR. Bukhari & Muslim [ed])
..
Syarat yang ke-5: المحمبة (Al-Mahabbah) Kecintaan yang meniadakan kebencian
Cinta: kecondongan hati kepada
sesuatu, Tenang dan bahagia dengannya. Maksudnya: kecintaan terhadap
kalimat tauhid dan apa-apa yang ditunjukkannya. Dan lawannya adalah
kebencian, ia adalah: jauhnya hati, kebenciannya, dan sesaknya. Dalil
kecintaan, firman Allah ta'aalaa :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ
اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا
أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ
الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعَذَابِ
“Dan diantara manusia ada yang menjadikan
tandingan selain Allah, mereka mencintai mereka sebagaimana mereka
mencintai Allah. Dan orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.
Sekiranya orang-orang yang zhalim itu melihat, tatkala mereka melihat
adzab (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan
bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka menyesali).” (Q.S.
Al-Baqarah : 165)
Dalil dari As-Sunnah, apa yang telah tetap
di dalam Ash-Shahihain, dari Anas -radhiyallahhu ‘anhu-, beliau berkata:
Rasulullah ﷺ bersabda :
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ : أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبََّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إلاَّ لِلهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga perkara yang apabila didapati pada
diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya iman; Allah dan
Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, ia mencintai seseorang
yang ia tidak mencintainya melainkan karena Allah, dan ia benci kembali
kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya darinya, sebagaimana ia
benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari & Muslim [ed])
.
.
Syarat yang ke-6: الانقياد (Al-Inqiyaad) Tunduk yang meniadakan meninggalkan
Tunduk secara bahasa: kerendahan dan
kehinaan, perkataanmu “aku menundukkannya, maka ia tunduk kepadaku” ,
apabila dia memberikan ketundukannya kepadamu. Dan yang dimaksud disini
adalah: tunduk kepada kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH dan kepada kandungan
kalimat tersebut baik secara zhohir maupun bathin dengan ketundukan yang
meniadakan peninggalan (atau keberpalingan [ed])
Maksudnya: menyerahkan diri kepada Allah
dengan men-tauhidkan-Nya dan tunduk kepada apa yang dibawa Rasul ﷺ
-Al-Qur’an dan As-Sunnah- dengan ketaatan. Yang demikian itu dengan
mengerjakan apa-apa yang Allah wajibkan dan meninggalkan apa-apa yang
Allah haramkan serta komitmen dengan hal itu. Dan tidaklah bermanfaat
ucapan seseorang akan LAA ILAAHA ILLALLAH kecuali dengan adanya
ketundukan ini. Allah ta'aalaa berfirman :
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ ۗ وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
“Dan barangsiapa yang menyerahkan wajahnya hanya untuk Allah dan ia adalah orang yang berbuat baik, maka ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang kuat. hanya kepada Allah kesudahan segala urusan.” (Q.S. Luqman : 22).
العُرْوَةُ الْوُثْقَى Buhul tali yang kuat (itu maksudnya [ed]) -sebagaimana perkataan Sa’id bin ibnu Jubair- adalah : LAA ILAAHA ILLALLAH. (tafsir Ath-Thobari 5/421).
.
.
Syarat ke-7: القبول (Al-Qabuul) Penerimaan yang meniadakan penolakan
Al-Qobul (penerimaan) secara bahasa
adalah ridho dengan sesuatu. Dan yang dimaksud di sini adalah:
Penerimaan terhadap kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH, kandungannya, dan makna
yang ditunjukkan olehnya, dengan hati, lisan, dan seluruh anggota
badan, dengan penerimaan yang meniadakan penolakan, maka ia tidak
menolak kalimat ini atau sesuatu dari konsekuensi kalimat tersebut.
Sesungguhnya kalimat syahadat terkadang diucapkan oleh orang yang
memahami maknanya akan tetapi ia tidak menerima sebagian dari
konsekuensinya baik itu karena sombong, hasad, atau selain itu. Maka
orang seperti ini belum merealisasikan syarat Al-Qabul. Dalil Al-Qabul,
firman Allah ta'aalaa :
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا
إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (٣٥) وَيَقُولُونَ أَئِنَّا
لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ (٣٦)
"Sesungguhnya mereka ketika dikatakan kepada mereka LAA ILAAHA ILLALLAH mereka berlaku sombong. Mereka berkata “Apakah kami akan meninggalkan tuhan-tuhan kami karena seorang penyair gila.” (Q.S. Ash-Shooffaat : 35-36).
.
.
Itulah 7 di antara syarat Laa ilaaha illallah.Namun Ada juga yang berpendapat bahwa
jumlahnya adalah 8 sebagai “penegasan” yaitu…
jumlahnya adalah 8 sebagai “penegasan” yaitu…
[ed]
.
.
Syarat ke-8: الكفر بالطاغوط (Al-Kufr bith-Thaaghuut) Kufur kepada thoghut
Thoghut secara bahasa : kata yang berpola fa’luut dari kata Ath-Thugyaan, dikatakan berlebihan apabila ia melampaui batas.
Thoghut secara istilah adalah : Ibnu Taymiyah -rahimahullah- berkata:
Thoghut secara istilah adalah : Ibnu Taymiyah -rahimahullah- berkata:
“Thoghut itu setiap apa yang diagungkan
dan yang menganggap dirinya agung bukan karena ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya, berupa manusia, setan, atau sesuatu yang lainnya dari jenis
berhala.” (Qo’idatun fil mahabbah 1/187)
Ibnul Qoyyim -rahimahullah- berkata:
“Thoghut itu adalah setiap apa yang seorang hamba melampaui batas terhadapnya, berupa sesuatu yang di-ibadahi, yang diikuti, atau, ditaati. Maka thoghut itu setiap kaum selain Allah dan Rasul-Nya yang orang-orang merujuk hukum kepadanya, atau menyembahnya selain Allah, atau mengikutinya tanpa keterangan dari Allah, atau mentaatinya dalam perkara-perkara yang mereka tidak mengetahui bahwa itu adalah ketaatan yang khusus untuk Allah, maka inilah thoghut-thoghut di dunia, bila engkau merenunginya dan merenungi kondisi manusia terkait dengannya, maka engkau melihat kebanyakan mereka berpaling dari ibadah kepada Allah kepada ibadah kepada para thoghut, dari tahakum (berhukum [ed]) kepada Allah dan Rasul-Nya kepada tahakum kepada para thoghut, dan dari ketaatan kepada Allah dan mengikuti Rasul-Nya kepada ketaatan kepada para thoghut dan mengikutinya.” (I’laamul Muwaqi’in 1/50).
“Thoghut itu adalah setiap apa yang seorang hamba melampaui batas terhadapnya, berupa sesuatu yang di-ibadahi, yang diikuti, atau, ditaati. Maka thoghut itu setiap kaum selain Allah dan Rasul-Nya yang orang-orang merujuk hukum kepadanya, atau menyembahnya selain Allah, atau mengikutinya tanpa keterangan dari Allah, atau mentaatinya dalam perkara-perkara yang mereka tidak mengetahui bahwa itu adalah ketaatan yang khusus untuk Allah, maka inilah thoghut-thoghut di dunia, bila engkau merenunginya dan merenungi kondisi manusia terkait dengannya, maka engkau melihat kebanyakan mereka berpaling dari ibadah kepada Allah kepada ibadah kepada para thoghut, dari tahakum (berhukum [ed]) kepada Allah dan Rasul-Nya kepada tahakum kepada para thoghut, dan dari ketaatan kepada Allah dan mengikuti Rasul-Nya kepada ketaatan kepada para thoghut dan mengikutinya.” (I’laamul Muwaqi’in 1/50).
Disalin dari :
التقريرات المفيدة في أهم أبواب العقيدة
الطبعة الثانيةهـ 1436
Terjemah : Abu Khonsa; Muraaja’ah : Abu Mu’adz; https://justpaste.it/syuruth_tauhid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar