Larangan Meniru Kaum
Yahudi Dan Kaum
Lain
Ibnu Taimiyah berkata bahwa Abu Dawud telah meriwayatkan sebuah hadits hasan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang
siapa meniru suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.”
Hadits di atas menetapkan haramnya meniru mereka
dan secara dhahir menunjukkan bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan
kufur sebagaimana tersebut pada firman Allah pada surah Al Maidah ayat 51:
وَمَنْ
يَّتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Barang
siapa di antara kamu yang berteman dengan mereka, maka sesungguhnya ia termasuk
golongan mereka.”
Hal ini sejalan dengan hadits yang diriwayatkan
dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
بَنَى بِبِلَادِ الْأَعَاجِمِ وَصَنَعَ نِيْرُزَهُمْ وَمَهْرَجَانِهِمْ
وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوْتَ وَهُوَ كَذَلِكَ حَشْرُ مَعَهُمْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
“Barang siapa menetap di negeri kaum
musyrik dan ia mengikuti hari raya dan hari besar mereka, serta meniru perilaku
mereka sampai mati, maka kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka di hari
kiamat.” (HR. Baihaqi)
Hadits di atas bisa berarti bahwa meniru
perilaku mereka sepenuhnya menyebabkan kekafiran, sekaligus menetapkan bahwa
perbuatan semacam itu haram. Atau bisa juga bermakna orang tersebut menjadi
bagian dari mereka sesuai dengan kadar keterlibatannya dalam meniru mereka.
Jika ternyata yang ditirunya adalah perbuatan kekafiran atau kemaksiatan atau
berupa slogan kekafiran atau kemaksiatan, maka orang tersebut dihukumi sama
dengan pihak yang ditirunya.
Tegasnya hadits tersebut di atas menetapkan
haramnya meniru mereka (golongan kaum musyrik). Larangan ini mencakup larangan
sekadar meniru sesuatu yang mereka lakukan, tetapi hal semacam ini jarang.
Barang siapa yang meniru perbuatan golongan lain yang menjadi ciri golongan tersebut,
maka perbuatan semacam itu dilarang. Akan tetapi barang siapa yang melakukan
sesuatu tidak sengaja meniru golongan lain, hanya kebetulan sama dengan
golongan itu, maka perbuatan semacam ini masih menjadi perbedaan pendapat,
terlarang dan tidak. Perbuatan semacam ini terkadang dilarang agar tidak
menjadi sarana melakukan hal-hal yang seharusnya dijauhi, misalnya perintah
mewarnai jenggot putih, memelihara jenggot dan memotong kumis.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
غَيِّرُواالشَّيْبَ
وَلَا تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُودِ
“Rubahlah
uban rambut kepala kamu dan jangan kamu meniru kaum Yahudi.” (HR. Tirmidzi).
Hadits ini menunjukkan bahwa persamaan putihnya
jenggot dengan mereka bukan hal yang kita inginkan atau kita sengaja, tetapi
hal itu berjalan begitu saja pada diri kita. Persamaan yang semacam ini
merupakan suatu kebetulan, hanya saja kita diperintahkan untuk menyelisihi
mereka.
Dari Abu Ghathfan Al Muri, ia berkata: “Saya
mendengar ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam puasa Asy Syura dan beliau menyuruh puasa pada hari tersebut, maka para
sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, hari itu adalah hari yang dimuliakan kaum
Yahudi dan Nasrani.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Insya
Allah jika tahun depan aku masih menemuinya, kami akan puasa pada hari
kesembilannya.” Ibnu Abbas berkata: “Ternyata pada tahun itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tidak lagi menemuinya karena beliau telah wafat.” (HR. Muslim)
Hari Asy Syura adalah hari yang mulia. Orang
yang puasa pada hari itu diampuni dosanya setahun yang telah berlalu. Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wasallam puasa dan menganjurkan puasa pada hari tersebut.
Kemudian ketika ada orang berkata kepada beliau bahwa hari tersebut dimuliakan
kaum Yahudi dan Nasrani, beliau menyuruh menyelisihi mereka yaitu melakukan
puasa sehari sebelumnya dan beliau berkeinginan keras untuk melakukan hal
tersebut pada tahun berikutnya.
Dari Humaid bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf, sungguh
pada tahun ia melaksanakan haji pernah mendengar Mu‘awiyah berkata di atas
mimbar sambil memegang cemara penyambung rambut yang dibawa oleh pengawalnya.
Mu‘awiyah berkata: “Wahai penduduk Madinah, dimana para ulama kalian? Saya
pernah mendengar Rasulullah melarang menggunakan cemara
semacam ini dan beliau bersabda:
إِنَّمَا
هَلَكَتْ بَنُو إِسْرَائِيْلَ حِيْنَ التَّخَذَهَا نِسَاؤُهُمْ
‘Kebinasaan
kaum Bani Israil adalah ketika perempuan-perempuan mereka menggunakan cemara.’”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Meniru model-model pakaian Yahudi yang
sebelumnya tidak pernah dipakai oleh kaum muslim adalah haram sehingga semuanya
harus ditinggalkan. Model-model pakaian ini mencakup model-model pakaian atau
bahan-bahan pakaian yang diduga dapat menyebabkan mereka dikenai adzab.
Begitu juga menerima begitu saja berita-berita
dari mereka yang sulit dibedakan antara yang benar dengan yang dusta, semuanya
harus ditinggalkan. Perbuatan tersebut termasuk dalam larangan Allah menyerupai
golongan ahli kitab. Hal ini telah difirmankan Allah pada surah Al Hadid ayat
16:
أَلَمۡ يَأۡنِ لِلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلۡحَقِّ
وَلَا يَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلُ فَطَالَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ
فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡۖ وَكَثِيرٞ مِّنۡهُمۡ فَٰسِقُونَ ١٦
“Belumkah datang saatnya bagi orang-orang beriman
untuk hati mereka tunduk pada peringatan Allah dan kebenaran yang Allah telah
turunkan kepada mereka dan janganlah mereka menjadi seperti golongan ahli kitab
sebelumnya. Lalu mereka diberi masa yang panjang kemudian hati mereka menjadi
keras dan sebagian besar dari mereka fasiq.”
Kalimat “dan janganlah mereka menjadi seperti golongan ahli kitab
sebelumnya” merupakan larangan mutlak
meniru mereka, khususnya larangan berhati keras meniru mereka. Hati mereka
keras akibat melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Allah telah menyebutkan
keadaan kaum Yahudi semacam ini di beberapa ayat, seperti misalnya, pada surah Al
Baqarah ayat 73-74:
فَقُلۡنَا ٱضۡرِبُوهُ
بِبَعۡضِهَاۚ كَذَٰلِكَ يُحۡيِ ٱللَّهُ ٱلۡمَوۡتَىٰ وَيُرِيكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ
لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٧٣ ثُمَّ قَسَتۡ قُلُوبُكُم مِّنۢ بَعۡدِ ذَٰلِكَ فَهِيَ
كَٱلۡحِجَارَةِ أَوۡ أَشَدُّ قَسۡوَةٗۚ وَإِنَّ مِنَ ٱلۡحِجَارَةِ لَمَا
يَتَفَجَّرُ مِنۡهُ ٱلۡأَنۡهَٰرُۚ وَإِنَّ مِنۡهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخۡرُجُ
مِنۡهُ ٱلۡمَآءُۚ وَإِنَّ مِنۡهَا لَمَا يَهۡبِطُ مِنۡ خَشۡيَةِ ٱللَّهِۗ وَمَا ٱللَّهُ
بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ ٧٤
“Lalu Kami berfirman:
‘Pukullah dia dengan sebagian dari daging sapi itu. Demikianlah, lalu Allah
menghidupkan orang yang telah mati itu dan memperlihatkan kepada kamu sekalian tanda-tanda
kekuasaan-Nya supaya kamu mau berfikir. Kemudian sesudah itu hati kamu menjadi
keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Dan sesungguhnya di antara
batu-batu itu ada yang memancarkan sungai.’”
Dan firman-Nya pula pada surah Al Maidah ayat
12:
۞وَلَقَدۡ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَٰقَ بَنِيٓ
إِسۡرَٰٓءِيلَ وَبَعَثۡنَا مِنۡهُمُ ٱثۡنَيۡ عَشَرَ نَقِيبٗاۖ وَقَالَ ٱللَّهُ
إِنِّي مَعَكُمۡۖ لَئِنۡ أَقَمۡتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَيۡتُمُ ٱلزَّكَوٰةَ
وَءَامَنتُم بِرُسُلِي وَعَزَّرۡتُمُوهُمۡ وَأَقۡرَضۡتُمُ ٱللَّهَ قَرۡضًا حَسَنٗا
لَّأُكَفِّرَنَّ عَنكُمۡ سَئَِّاتِكُمۡ وَلَأُدۡخِلَنَّكُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي
مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُۚ فَمَن كَفَرَ بَعۡدَ ذَٰلِكَ مِنكُمۡ فَقَدۡ ضَلَّ
سَوَآءَ ٱلسَّبِيلِ ١٢
“Sungguh Allah telah
mengambil janji dari Bani Israil, dan kami telah bangkitkan di antara mereka
dua belas golongan dan Allah berfirman: ‘Sungguh Aku bersama kamu sekalian. Sungguh
jika kamu sekalian mendirikan shalat, menunaikan zakat, beriman kepada
rasul-rasul-Ku dan kamu sekalian membantu mereka serta kamu sekalian memberikan
pinjaman yang baik kepada Allah, niscaya Aku akan hapuskan seluruh dosa kamu
dan Aku pasti memasukkan kamu ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir
sungai-sungai. Maka barang siapa di antara kamu kafir sesudah itu, maka sungguh
ia tersesat dari jalan yang lurus. Karena mereka melanggar janji mereka, maka
kami kutuk mereka dan kami jadikan hati mereka keras. Mereka selalu merubah
firman-firman dari tempat-tempatnya dan melupakan sebagian yang diperingatkan
kepada mereka.’”
Segolongan dari umat Islam –yaitu golongan yang
menamakan dirinya berilmu atau beragama– ternyata secara sadar dan
terang-terangan telah meniru karakter dan sifat-sifat tersebut di atas. Oleh
karena itu, kita berlindung kepada Allah dari segala hal yang dibenci Allah dan
rasul-Nya. Kaum salaf senantiasa mengingatkan dari sifat-sifat seperti itu.
Ibnu Taimiyah berkata: “Ketika Allah melarang meniru golongan yang hatinya
menjadi keras, pada akhir surah itu juga Allah mengingatkan keadaan kaum yang
merekayasa cara-cara hidup kependetaan, namun mereka ternyata tidak memperhatikannya
dengan sungguh-sungguh. Kemudian Allah mengingatkan
mereka dengan firman-Nya pada surah Al Hadid 28-29:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَءَامِنُواْ بِرَسُولِهِۦ يُؤۡتِكُمۡ كِفۡلَيۡنِ
مِن رَّحۡمَتِهِۦ وَيَجۡعَل لَّكُمۡ نُورٗا تَمۡشُونَ بِهِۦ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ
غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٢٨ لِّئَلَّا يَعۡلَمَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ أَلَّا يَقۡدِرُونَ
عَلَىٰ شَيۡءٖ مِّن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَأَنَّ ٱلۡفَضۡلَ بِيَدِ ٱللَّهِ يُؤۡتِيهِ
مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ ذُو ٱلۡفَضۡلِ ٱلۡعَظِيمِ ٢٩
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan berimanlah kepada rasul-Nya, niscaya Dia akan memberikan jaminan dan
rahmat-Nya kepada kalian dan Dia akan memberikan cahaya kepada kalian untuk
kalian jadikan penunjuk dan memberikan ampunan kepada kalian. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Pengasih. Agar kaum ahli kitab mengetahui bahwa mereka
tidak akan mampu sedikitpun menghalangi karunia Allah. Dan sungguh seluruh
karunia ada di tangan Allah. Ia berikan karunia itu kepada siapa yang Dia
kehendaki dan Allah adalah pemilik karunia yang amat besar.”
Iman kepada rasul Allah artinya ialah
membenarkan, menaati dan mengikuti syari‘atnya dan termasuk juga menyelisihi pola
kependetaan, karena beliau diutus tidak untuk melakukan hal semacam itu, bahkan
dia dilarang berbuat demikian. Beliau memberitahukan bahwa siapa pun dari golongan
ahli kitab yang mengikuti beliau, maka ia akan mendapatkan dua pahala. Hal itu
disebutkan di dalam hadits-hadits shahih berkenaan dengan orang-orang muslim
dan orang-orang dari golongan ahli kitab.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan hal itu dalam hadits riwayat Abu
Dawud dari Ibnu Wahab, bahwa Sa‘id bin ‘Abdurrahman bin Abi ‘Umya’ pernah
berkata, sesungguhnya Sahal bin Abi Umamah telah bercerita kepadanya, bahwa dia
pernah datang bersama ayahnya kepada Anas bin Malik di Madinah.
Anas berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
“Janganlah kamu
membuat hal-hal yang memberatkan diri kamu, nanti kamu sendiri akan menjadi
berat. Karena suatu kaum yang memberat-beratkan diri mereka, maka Allah akan menjadikan
mereka berat. Itulah mereka yang tinggal menetap di kuil-kuil dan pagoda-pagoda
untuk menjalani kependetaan yang mereka rekayasa, padahal Kami (Allah) tidak
pernah menetapkan hal itu kepada mereka.”
Memberat-beratkan diri terkadang dilakukan
dengan cara menjadikan sesuatu ibadah yang tadinya tidak wajib atau tidak
sunnah sebagai perbuatan wajib atau sunnah. Atau terkadang menjadikan sesuatu
yang tadinya tidak makruh atau haram dijadikan makruh atau haram. Hal semacam
itu dilarang. Golongan Nasrani yang memberat-beratkan diri mereka, akhirnya
Allah menjadikan mereka berat melaksanakannya, termasuk menjalani kehidupan
kependetaan yang mereka buat-buat.
Hal ini mengingatkan kita bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyukai cara hidup kependetaan seperti
yang dilakukan oleh kaum Nasrani. Sekalipun demikian, banyak di antara ahli
ibadah di kalangan umat kita yang terjerumus ke dalam perbuatan semacam itu
dengan berbagai alasan.
Hadits di atas juga menerangkan bahwa sikap
memberatberatkan diri menjadi salah satu sebab Allah menurunkan beban berat
kepada mereka, misalnya dengan cara diberi
syari‘at yang berat atau dengan takdir yang memberatkan. Allah memberatkan
mereka dengan penambahan syari‘at.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam semasa hayat beliau juga mengkhawatirkan adanya penambahan
kewajiban atau penambahan yang diharamkan. Ketika beliau menyaksikan para
sahabat berkumpul untuk menanti shalat tarawih bersama beliau, beliau khawatir
hal ini menjadi amalan wajib. Begitu juga tatkala mereka menanyakan berbagai
macam hal yang tidak diharamkan, beliau tidak menjawabnya. Juga ketika ada
seseorang yang bernadzar untuk melakukan sesuatu yang
tidak diwajibkan, maka perbuatan semacam itu dilarang. Begitu pula halnya dengan
ketentuan kafarat wajib atas pelanggaran tertentu.
Telah banyak kejadian Allah memberatkan
seseorang dengan takdir, misalnya orang yang biasa memberatkan diri dalam
sesuatu hal, baik dengan mewajibkan sesuatu yang tadinya tidak wajib atau
mengharamkan yang tidak haram, lalu ia ditimpa musibah karena perbuatannya itu.
Contohnya, orang yang merasa ragu melaksanakan thaharah sesuai tuntunan, lalu
ia menambah melebihi ketentuan yang semestinya. Orang semacam ini akan
mendapatkan kesulitan yang besar karena ia telah menambah-nambah amalan yang
tidak perlu. Maksud hadits di atas sejalan dengan firman Allah pada surah Al
A‘raf ayat 157:
“mereka dan
belenggu-belenggu yang sebelumnya membelenggu mereka.”
Pada ayat ini digunakan kata ashar (beban-beban berat), yaitu beban karena mewajibkan dirinya
melakukan hal yang tidak wajib. Dan kata aghlal (belenggu)
adalah mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan. Orang yang memberatberatkan diri
dengan mewajibkan sesuatu yang tidak wajib dan membelenggu diri dengan menjauhi
sesuatu yang tidak haram mengakibatkan ia terkungkung. Perbuatan semacam ini
dilarang. Inilah yang dimaksud oleh firman Allah pada surah Al Maidah ayat 87,
yang sebab turunnya sudah populer:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ لَا تُحَرِّمُواْ طَيِّبَٰتِ مَآ أَحَلَّ ٱللَّهُ لَكُمۡ وَلَا
تَعۡتَدُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ ٨٧
“Wahai orang-orang beriman, jangan kalian
mengharamkan hal-hal baik yang telah Allah halalkan kepada kalian dan janganlah
kalian melampaui batas karena Allah sungguh-sungguh tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas.”
Kasus memberatkan diri semacam ini juga tersebut
di dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, ia berkata:
“Tiga orang datang ke rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu bertanya tentang ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tatkala mereka diberitahu tentang ibadah
beliau, mereka seolah-olah merasa tidak berarti dalam menjalankan ibadah
dibanding ibadah beliau. Lalu mereka berkata: “Apa artinya diri kita
dibandingkan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal beliau telah
diampuni oleh Allah dosanya yang lalu dan yang akan datang. Salah seorang dari mereka berkata:
“Saya akan shalat lail selamanya.” Yang lain berkata: “Saya akan puasa
sepanjang tahun selamanya.” Yang lain lagi berkata: “Saya akan menjauhi
perempuan sehingga saya tidak akan beristri selamanya.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada mereka dan beliau bersabda:
“Kaliankah yang tadi berkata begini dan begitu?
Demi Allah, ketahuilah bahwa aku adalah orang yang paling takut kepada Allah,
paling taqwa kepada-Nya di antara kalian. Namun demikian, aku berpuasa dan
berbuka, aku melaksanakan shalat lail dan tidur, dan aku juga beristri. Barang
siapa membenci Sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari)
Banyak hadits lain yang semakna dengan hadits di
atas yang menerangkan bahwa cara-cara hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah wajar dalam melakukan ibadah dan dalam
mengendalikan nafsu. Cara-cara beliau jauh lebih
baik dari pada cara kependetaan Nasrani yang secara total meninggalkan
pemenuhan dorongan nafsu seksual sehingga tidak mau menikah, mereka juga
berlebih-lebihan dalam melakukan puasa dan berdo‘a.
Beberapa contoh di atas menjelaskan tentang
ajaran Islam berkenaan dengan perintah menyelisihi perbuatan kaum Yahudi yang
menjadikan hati mereka membatu, tidak mau mengingat Allah dan ayat-ayat-Nya.
Padahal mengingat Allah menyebabkan hati menjadi hidup. Juga perintah
menyelisihi cara-cara hidup kependetaan kaum Nasrani yang mereka buat-buat. Di
antara kita –yang menamakan diri orang berilmu atau beragama– ada yang
terpengaruh golongan Yahudi dan golongan Nasrani, sehingga meniru perbuatan
mereka.
Contoh lain sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa
ia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada pagi hari di ‘Aqabah ketika beliau berada
di atas untanya: ‘Ambilkanlah untukku kerikil.’ Lalu saya ambilkan 7 kerikil
untuk beliau sebesar kerikil untuk melempar. Lalu beliau menaruhnya pada
telapak tangannya seraya bersabda: ‘Terhadap orang-orang seperti mereka
hendaklah kamu lemparkan ini.’ Kemudian sabdanya: ‘Wahai manusia, jauhkanlah
dirimu dari sikap berlebih-lebihan dalam agama, karena sesungguhnya kehancuran
umat sebelum kamu adalah
sikap berlebih-lebihan dalam agama.’” (HR. Ahmad dan Nasa’i, hadits shahih)
Kalimat “jauhkanlah dirimu dari sikap berlebih-lebihan dalam agama” merupakan kata-kata umum yang meliputi semua
bentuk sikap berlebihan dalam agama, baik aqidah maupun dalam amaliah.
Berlebih-lebihan artinya melampaui batas dengan cara menambahkan sesuatu dari
ketentuan yang sebenarnya, baik tambahan yang terpuji maupun tercela.
Kaum Nasrani merupakan kaum yang paling banyak
bersikap berlebih-lebihan dalam aqidah dan amaliah. Hal ini terjadi pada semua
golongan mereka. Berkaitan dengan sikap mereka itulah Allah menyebutkan
larangan bersikap berlebih-lebihan di dalam Al-Qur‘an pada surah An Nisaa’ ayat
171:
يَٰٓأَهۡلَ
ٱلۡكِتَٰبِ لَا تَغۡلُواْ فِي دِينِكُمۡ
“Wahai ahli kitab janganlah kamu sekalian
berlebih-lebihan dalam urusan agama kamu.”
Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita untuk tidak meniru orang-orang
sebelum kita, mereka dahulu melakukan diskriminasi dalam menjalankan hukum
antara golongan terhormat dan golongan
rendah. Beliau memerintahkan kita agar memperlakukan semua manusia sama di
hadapan hukum. Mayoritas politisi beranggapan bahwa tindakan memaafkan para
pemimpin dari hukuman sebagai tindakan politik yang bijaksana.
Dari Barra’ bin ‘Azib, ia berkata: “Nabi pernah
melewati seorang Yahudi yang sedang dicoreng-moreng mukanya dan dicambuk, lalu
beliau memanggil ulama mereka (pemimpin Yahudi), kemudian beliau bersabda:
“Apakah seperti itu hukuman bagi pezina yang kalian temukan dalam kitab suci kalian?”
Mereka menjawab: “Ya.” Lalu beliau memanggil salah seorang dari ulama mereka,
beliau bersabda: “Aku bersumpah dengan nama Allah Tuhan yang telah menurunkan Taurat
kepada Musa, apakah demikian hukuman bagi pezina yang kamu temukan dalam kitab suci
kamu?”
Jawabnya: “Tidak, sekiranya bukan karena tuan
menyumpah saya seperti ini, niscaya saya tidak akan memberitahukan hal ini
kepada tuan. Kami menemukan hukuman dalam masalah ini adalah rajam. Akan
tetapi, sebagian besar dari kalangan terhormat kami, apabila yang dijatuhi
hukuman adalah orang terhormat, maka dia kami lepaskan, dan apabila yang kami
hukum itu orang rendah, maka kami jalankan hukum itu atas dirinya.
Lalu kami berkata: ‘Marilah kalian kemari, marilah
kita menegakkan hukum yang sama bagi yang terhormat maupun bagi yang rendah.
Kemudian kami membuat hukuman mencoreng-moreng muka pelaku dengan warna hitam
dan dera sebagai pengganti rajam.’” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Ya Allah, sungguh akulah orang
pertama yang menghidupkan perintah-Mu pada saat mereka telah mematikannya.”
Kemudian beliau menyuruh mereka melaksanakan hukuman rajam”.
(HR.
Bukhari dan Muslim)
_____________
source: Books: Bahaya
Mengekor Non Muslim (Mukhtarat Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim Syaikh Ibnu
Taimiyah). Muhammad bin Ali Adh-Dhabi‘i, Penerbit Media Hidayah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar