5/29/2019

BAHAYA MENGEKOR NON MUSLIM BAB 5




Bab 5

Larangan Meniru Kaum
Yahudi Dan Kaum Lain

Ibnu Taimiyah berkata bahwa Abu Dawud telah meriwayatkan sebuah hadits hasan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa meniru suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.”

Hadits di atas menetapkan haramnya meniru mereka dan secara dhahir menunjukkan bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan kufur sebagaimana tersebut pada firman Allah pada surah Al Maidah ayat 51:
وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

“Barang siapa di antara kamu yang berteman dengan mereka, maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka.”

Hal ini sejalan dengan hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:  
مَنْ بَنَى بِبِلَادِ الْأَعَاجِمِ وَصَنَعَ نِيْرُزَهُمْ وَمَهْرَجَانِهِمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوْتَ وَهُوَ كَذَلِكَ حَشْرُ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa menetap di negeri kaum musyrik dan ia mengikuti hari raya dan hari besar mereka, serta meniru perilaku mereka sampai mati, maka kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat.” (HR. Baihaqi)

Hadits di atas bisa berarti bahwa meniru perilaku mereka sepenuhnya menyebabkan kekafiran, sekaligus menetapkan bahwa perbuatan semacam itu haram. Atau bisa juga bermakna orang tersebut menjadi bagian dari mereka sesuai dengan kadar keterlibatannya dalam meniru mereka. Jika ternyata yang ditirunya adalah perbuatan kekafiran atau kemaksiatan atau berupa slogan kekafiran atau kemaksiatan, maka orang tersebut dihukumi sama dengan pihak yang ditirunya.

Tegasnya hadits tersebut di atas menetapkan haramnya meniru mereka (golongan kaum musyrik). Larangan ini mencakup larangan sekadar meniru sesuatu yang mereka lakukan, tetapi hal semacam ini jarang. Barang siapa yang meniru perbuatan golongan lain yang menjadi ciri golongan tersebut, maka perbuatan semacam itu dilarang. Akan tetapi barang siapa yang melakukan sesuatu tidak sengaja meniru golongan lain, hanya kebetulan sama dengan golongan itu, maka perbuatan semacam ini masih menjadi perbedaan pendapat, terlarang dan tidak. Perbuatan semacam ini terkadang dilarang agar tidak menjadi sarana melakukan hal-hal yang seharusnya dijauhi, misalnya perintah mewarnai jenggot putih, memelihara jenggot dan memotong kumis.

Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda:
غَيِّرُواالشَّيْبَ وَلَا تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُودِ
“Rubahlah uban rambut kepala kamu dan jangan kamu meniru kaum Yahudi.” (HR. Tirmidzi).

Hadits ini menunjukkan bahwa persamaan putihnya jenggot dengan mereka bukan hal yang kita inginkan atau kita sengaja, tetapi hal itu berjalan begitu saja pada diri kita. Persamaan yang semacam ini merupakan suatu kebetulan, hanya saja kita diperintahkan untuk menyelisihi mereka.

Dari Abu Ghathfan Al Muri, ia berkata: “Saya mendengar ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam puasa Asy Syura dan beliau menyuruh puasa pada hari tersebut, maka para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, hari itu adalah hari yang dimuliakan kaum Yahudi dan Nasrani.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Insya Allah jika tahun depan aku masih menemuinya, kami akan puasa pada hari kesembilannya.” Ibnu Abbas berkata: “Ternyata pada tahun itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak lagi menemuinya karena beliau telah wafat.” (HR. Muslim)

Hari Asy Syura adalah hari yang mulia. Orang yang puasa pada hari itu diampuni dosanya setahun yang telah berlalu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam puasa dan menganjurkan puasa pada hari tersebut. Kemudian ketika ada orang berkata kepada beliau bahwa hari tersebut dimuliakan kaum Yahudi dan Nasrani, beliau menyuruh menyelisihi mereka yaitu melakukan puasa sehari sebelumnya dan beliau berkeinginan keras untuk melakukan hal tersebut pada tahun berikutnya.

Dari Humaid bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf, sungguh pada tahun ia melaksanakan haji pernah mendengar Mu‘awiyah berkata di atas mimbar sambil memegang cemara penyambung rambut yang dibawa oleh pengawalnya. Mu‘awiyah berkata: “Wahai penduduk Madinah, dimana para ulama kalian? Saya pernah mendengar Rasulullah melarang menggunakan cemara semacam ini dan beliau bersabda:
إِنَّمَا هَلَكَتْ بَنُو إِسْرَائِيْلَ حِيْنَ التَّخَذَهَا نِسَاؤُهُمْ
‘Kebinasaan kaum Bani Israil adalah ketika perempuan-perempuan mereka menggunakan cemara.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Meniru model-model pakaian Yahudi yang sebelumnya tidak pernah dipakai oleh kaum muslim adalah haram sehingga semuanya harus ditinggalkan. Model-model pakaian ini mencakup model-model pakaian atau bahan-bahan pakaian yang diduga dapat menyebabkan mereka dikenai adzab.

Begitu juga menerima begitu saja berita-berita dari mereka yang sulit dibedakan antara yang benar dengan yang dusta, semuanya harus ditinggalkan. Perbuatan tersebut termasuk dalam larangan Allah menyerupai golongan ahli kitab. Hal ini telah difirmankan Allah pada surah Al Hadid ayat 16:


أَلَمۡ يَأۡنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلۡحَقِّ وَلَا يَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلُ فَطَالَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡۖ وَكَثِيرٞ مِّنۡهُمۡ فَٰسِقُونَ ١٦

“Belumkah datang saatnya bagi orang-orang beriman untuk hati mereka tunduk pada peringatan Allah dan kebenaran yang Allah telah turunkan kepada mereka dan janganlah mereka menjadi seperti golongan ahli kitab sebelumnya. Lalu mereka diberi masa yang panjang kemudian hati mereka menjadi keras dan sebagian besar dari mereka fasiq.”

Kalimat “dan janganlah mereka menjadi seperti golongan ahli kitab sebelumnya” merupakan larangan mutlak meniru mereka, khususnya larangan berhati keras meniru mereka. Hati mereka keras akibat melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Allah telah menyebutkan keadaan kaum Yahudi semacam ini di beberapa ayat, seperti misalnya, pada surah Al Baqarah ayat 73-74:

فَقُلۡنَا ٱضۡرِبُوهُ بِبَعۡضِهَاۚ كَذَٰلِكَ يُحۡيِ ٱللَّهُ ٱلۡمَوۡتَىٰ وَيُرِيكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٧٣ ثُمَّ قَسَتۡ قُلُوبُكُم مِّنۢ بَعۡدِ ذَٰلِكَ فَهِيَ كَٱلۡحِجَارَةِ أَوۡ أَشَدُّ قَسۡوَةٗۚ وَإِنَّ مِنَ ٱلۡحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنۡهُ ٱلۡأَنۡهَٰرُۚ وَإِنَّ مِنۡهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخۡرُجُ مِنۡهُ ٱلۡمَآءُۚ وَإِنَّ مِنۡهَا لَمَا يَهۡبِطُ مِنۡ خَشۡيَةِ ٱللَّهِۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ ٧٤

“Lalu Kami berfirman: ‘Pukullah dia dengan sebagian dari daging sapi itu. Demikianlah, lalu Allah menghidupkan orang yang telah mati itu dan memperlihatkan kepada kamu sekalian tanda-tanda kekuasaan-Nya supaya kamu mau berfikir. Kemudian sesudah itu hati kamu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Dan sesungguhnya di antara batu-batu itu ada yang memancarkan sungai.’”

Dan firman-Nya pula pada surah Al Maidah ayat 12:

۞وَلَقَدۡ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَٰقَ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ وَبَعَثۡنَا مِنۡهُمُ ٱثۡنَيۡ عَشَرَ نَقِيبٗاۖ وَقَالَ ٱللَّهُ إِنِّي مَعَكُمۡۖ لَئِنۡ أَقَمۡتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَيۡتُمُ ٱلزَّكَوٰةَ وَءَامَنتُم بِرُسُلِي وَعَزَّرۡتُمُوهُمۡ وَأَقۡرَضۡتُمُ ٱللَّهَ قَرۡضًا حَسَنٗا لَّأُكَفِّرَنَّ عَنكُمۡ سَيِّ‍َٔاتِكُمۡ وَلَأُدۡخِلَنَّكُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُۚ فَمَن كَفَرَ بَعۡدَ ذَٰلِكَ مِنكُمۡ فَقَدۡ ضَلَّ سَوَآءَ ٱلسَّبِيلِ ١٢
“Sungguh Allah telah mengambil janji dari Bani Israil, dan kami telah bangkitkan di antara mereka dua belas golongan dan Allah berfirman: ‘Sungguh Aku bersama kamu sekalian. Sungguh jika kamu sekalian mendirikan shalat, menunaikan zakat, beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu sekalian membantu mereka serta kamu sekalian memberikan pinjaman yang baik kepada Allah, niscaya Aku akan hapuskan seluruh dosa kamu dan Aku pasti memasukkan kamu ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Maka barang siapa di antara kamu kafir sesudah itu, maka sungguh ia tersesat dari jalan yang lurus. Karena mereka melanggar janji mereka, maka kami kutuk mereka dan kami jadikan hati mereka keras. Mereka selalu merubah firman-firman dari tempat-tempatnya dan melupakan sebagian yang diperingatkan kepada mereka.’”

Segolongan dari umat Islam –yaitu golongan yang menamakan dirinya berilmu atau beragama– ternyata secara sadar dan terang-terangan telah meniru karakter dan sifat-sifat tersebut di atas. Oleh karena itu, kita berlindung kepada Allah dari segala hal yang dibenci Allah dan rasul-Nya. Kaum salaf senantiasa mengingatkan dari sifat-sifat seperti itu. Ibnu Taimiyah berkata: “Ketika Allah melarang meniru golongan yang hatinya menjadi keras, pada akhir surah itu juga Allah mengingatkan keadaan kaum yang merekayasa cara-cara hidup kependetaan, namun mereka ternyata tidak memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Kemudian Allah mengingatkan mereka dengan firman-Nya pada surah Al Hadid 28-29:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَءَامِنُواْ بِرَسُولِهِۦ يُؤۡتِكُمۡ كِفۡلَيۡنِ مِن رَّحۡمَتِهِۦ وَيَجۡعَل لَّكُمۡ نُورٗا تَمۡشُونَ بِهِۦ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٢٨ لِّئَلَّا يَعۡلَمَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ أَلَّا يَقۡدِرُونَ عَلَىٰ شَيۡءٖ مِّن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَأَنَّ ٱلۡفَضۡلَ بِيَدِ ٱللَّهِ يُؤۡتِيهِ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ ذُو ٱلۡفَضۡلِ ٱلۡعَظِيمِ ٢٩

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada rasul-Nya, niscaya Dia akan memberikan jaminan dan rahmat-Nya kepada kalian dan Dia akan memberikan cahaya kepada kalian untuk kalian jadikan penunjuk dan memberikan ampunan kepada kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. Agar kaum ahli kitab mengetahui bahwa mereka tidak akan mampu sedikitpun menghalangi karunia Allah. Dan sungguh seluruh karunia ada di tangan Allah. Ia berikan karunia itu kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah adalah pemilik karunia yang amat besar.”

Iman kepada rasul Allah artinya ialah membenarkan, menaati dan mengikuti syari‘atnya dan termasuk juga menyelisihi pola kependetaan, karena beliau diutus tidak untuk melakukan hal semacam itu, bahkan dia dilarang berbuat demikian. Beliau memberitahukan bahwa siapa pun dari golongan ahli kitab yang mengikuti beliau, maka ia akan mendapatkan dua pahala. Hal itu disebutkan di dalam hadits-hadits shahih berkenaan dengan orang-orang muslim dan orang-orang dari golongan ahli kitab.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegaskan hal itu dalam hadits riwayat Abu Dawud dari Ibnu Wahab, bahwa Sa‘id bin ‘Abdurrahman bin Abi ‘Umya’ pernah berkata, sesungguhnya Sahal bin Abi Umamah telah bercerita kepadanya, bahwa dia pernah datang bersama ayahnya kepada Anas bin Malik di Madinah.
Anas berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:

“Janganlah kamu membuat hal-hal yang memberatkan diri kamu, nanti kamu sendiri akan menjadi berat. Karena suatu kaum yang memberat-beratkan diri mereka, maka Allah akan menjadikan mereka berat. Itulah mereka yang tinggal menetap di kuil-kuil dan pagoda-pagoda untuk menjalani kependetaan yang mereka rekayasa, padahal Kami (Allah) tidak pernah menetapkan hal itu kepada mereka.”

Memberat-beratkan diri terkadang dilakukan dengan cara menjadikan sesuatu ibadah yang tadinya tidak wajib atau tidak sunnah sebagai perbuatan wajib atau sunnah. Atau terkadang menjadikan sesuatu yang tadinya tidak makruh atau haram dijadikan makruh atau haram. Hal semacam itu dilarang. Golongan Nasrani yang memberat-beratkan diri mereka, akhirnya Allah menjadikan mereka berat melaksanakannya, termasuk menjalani kehidupan kependetaan yang mereka buat-buat.

Hal ini mengingatkan kita bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak menyukai cara hidup kependetaan seperti yang dilakukan oleh kaum Nasrani. Sekalipun demikian, banyak di antara ahli ibadah di kalangan umat kita yang terjerumus ke dalam perbuatan semacam itu dengan berbagai alasan.

Hadits di atas juga menerangkan bahwa sikap memberatberatkan diri menjadi salah satu sebab Allah menurunkan beban berat kepada mereka, misalnya dengan cara  diberi syari‘at yang berat atau dengan takdir yang memberatkan. Allah memberatkan mereka dengan penambahan syari‘at.
Nabi shallallahu alaihi wasallam semasa hayat beliau juga mengkhawatirkan adanya penambahan kewajiban atau penambahan yang diharamkan. Ketika beliau menyaksikan para sahabat berkumpul untuk menanti shalat tarawih bersama beliau, beliau khawatir hal ini menjadi amalan wajib. Begitu juga tatkala mereka menanyakan berbagai macam hal yang tidak diharamkan, beliau tidak menjawabnya. Juga ketika ada seseorang yang  bernadzar untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan, maka perbuatan semacam itu dilarang. Begitu pula halnya dengan ketentuan kafarat wajib atas pelanggaran tertentu.

Telah banyak kejadian Allah memberatkan seseorang dengan takdir, misalnya orang yang biasa memberatkan diri dalam sesuatu hal, baik dengan mewajibkan sesuatu yang tadinya tidak wajib atau mengharamkan yang tidak haram, lalu ia ditimpa musibah karena perbuatannya itu. Contohnya, orang yang merasa ragu melaksanakan thaharah sesuai tuntunan, lalu ia menambah melebihi ketentuan yang semestinya. Orang semacam ini akan mendapatkan kesulitan yang besar karena ia telah menambah-nambah amalan yang tidak perlu. Maksud hadits di atas sejalan dengan firman Allah pada surah Al A‘raf ayat 157:

“mereka dan belenggu-belenggu yang sebelumnya membelenggu mereka.”

Pada ayat ini digunakan kata ashar (beban-beban berat), yaitu beban karena mewajibkan dirinya melakukan hal yang tidak wajib. Dan kata aghlal (belenggu) adalah mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan. Orang yang memberatberatkan diri dengan mewajibkan sesuatu yang tidak wajib dan membelenggu diri dengan menjauhi sesuatu yang tidak haram mengakibatkan ia terkungkung. Perbuatan semacam ini dilarang. Inilah yang dimaksud oleh firman Allah pada surah Al Maidah ayat 87, yang sebab turunnya sudah populer:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُحَرِّمُواْ طَيِّبَٰتِ مَآ أَحَلَّ ٱللَّهُ لَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ ٨٧

“Wahai orang-orang beriman, jangan kalian mengharamkan hal-hal baik yang telah Allah halalkan kepada kalian dan janganlah kalian melampaui batas karena Allah sungguh-sungguh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Kasus memberatkan diri semacam ini juga tersebut di dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, ia berkata: “Tiga orang datang ke rumah istri Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu bertanya tentang ibadah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Tatkala mereka diberitahu tentang ibadah beliau, mereka seolah-olah merasa tidak berarti dalam menjalankan ibadah dibanding ibadah beliau. Lalu mereka berkata: “Apa artinya diri kita dibandingkan dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, padahal beliau telah diampuni oleh Allah dosanya yang lalu dan yang akan  datang. Salah seorang dari mereka berkata: “Saya akan shalat lail selamanya.” Yang lain berkata: “Saya akan puasa sepanjang tahun selamanya.” Yang lain lagi berkata: “Saya akan menjauhi perempuan sehingga saya tidak akan beristri selamanya.” Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam datang kepada mereka dan beliau bersabda:

“Kaliankah yang tadi berkata begini dan begitu? Demi Allah, ketahuilah bahwa aku adalah orang yang paling takut kepada Allah, paling taqwa kepada-Nya di antara kalian. Namun demikian, aku berpuasa dan berbuka, aku melaksanakan shalat lail dan tidur, dan aku juga beristri. Barang siapa membenci Sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari)

Banyak hadits lain yang semakna dengan hadits di atas yang menerangkan bahwa cara-cara hidup Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah wajar dalam melakukan ibadah dan dalam mengendalikan  nafsu. Cara-cara beliau jauh lebih baik dari pada cara kependetaan Nasrani yang secara total meninggalkan pemenuhan dorongan nafsu seksual sehingga tidak mau menikah, mereka juga berlebih-lebihan dalam melakukan puasa dan berdo‘a.

Beberapa contoh di atas menjelaskan tentang ajaran Islam berkenaan dengan perintah menyelisihi perbuatan kaum Yahudi yang menjadikan hati mereka membatu, tidak mau mengingat Allah dan ayat-ayat-Nya. Padahal mengingat Allah menyebabkan hati menjadi hidup. Juga perintah menyelisihi cara-cara hidup kependetaan kaum Nasrani yang mereka buat-buat. Di antara kita –yang menamakan diri orang berilmu atau beragama– ada yang terpengaruh golongan Yahudi dan golongan Nasrani, sehingga meniru perbuatan mereka.

Contoh lain sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia berkata:

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda pada pagi hari di ‘Aqabah ketika beliau berada di atas untanya: ‘Ambilkanlah untukku kerikil.’ Lalu saya ambilkan 7 kerikil untuk beliau sebesar kerikil untuk melempar. Lalu beliau menaruhnya pada telapak tangannya seraya bersabda: ‘Terhadap orang-orang seperti mereka hendaklah kamu lemparkan ini.’ Kemudian sabdanya: ‘Wahai manusia, jauhkanlah dirimu dari sikap berlebih-lebihan dalam agama, karena sesungguhnya kehancuran umat sebelum kamu  adalah sikap berlebih-lebihan dalam agama.’” (HR. Ahmad dan Nasa’i, hadits shahih)

Kalimat “jauhkanlah dirimu dari sikap berlebih-lebihan dalam agama” merupakan kata-kata umum yang meliputi semua bentuk sikap berlebihan dalam agama, baik aqidah maupun dalam amaliah. Berlebih-lebihan artinya melampaui batas dengan cara menambahkan sesuatu dari ketentuan yang sebenarnya, baik tambahan yang terpuji maupun tercela.

Kaum Nasrani merupakan kaum yang paling banyak bersikap berlebih-lebihan dalam aqidah dan amaliah. Hal ini terjadi pada semua golongan mereka. Berkaitan dengan sikap mereka itulah Allah menyebutkan larangan bersikap berlebih-lebihan di dalam Al-Qur‘an pada surah An Nisaa’ ayat 171:

يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَا تَغۡلُواْ فِي دِينِكُمۡ

“Wahai ahli kitab janganlah kamu sekalian berlebih-lebihan dalam urusan agama kamu.”

Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wasallam mengingatkan kita untuk tidak meniru orang-orang sebelum kita, mereka dahulu melakukan diskriminasi dalam menjalankan hukum antara  golongan terhormat dan golongan rendah. Beliau memerintahkan kita agar memperlakukan semua manusia sama di hadapan hukum. Mayoritas politisi beranggapan bahwa tindakan memaafkan para pemimpin dari hukuman sebagai tindakan politik yang bijaksana.

Dari Barra’ bin ‘Azib, ia berkata: “Nabi pernah melewati seorang Yahudi yang sedang dicoreng-moreng mukanya dan dicambuk, lalu beliau memanggil ulama mereka (pemimpin Yahudi), kemudian beliau bersabda: “Apakah seperti itu hukuman bagi pezina yang kalian temukan dalam kitab suci kalian?” Mereka menjawab: “Ya.” Lalu beliau memanggil salah seorang dari ulama mereka, beliau bersabda: “Aku bersumpah dengan nama Allah Tuhan yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, apakah demikian hukuman bagi pezina  yang kamu temukan dalam kitab suci kamu?”

Jawabnya: “Tidak, sekiranya bukan karena tuan menyumpah saya seperti ini, niscaya saya tidak akan memberitahukan hal ini kepada tuan. Kami menemukan hukuman dalam masalah ini adalah rajam. Akan tetapi, sebagian besar dari kalangan terhormat kami, apabila yang dijatuhi hukuman adalah orang terhormat, maka dia kami lepaskan, dan apabila yang kami hukum itu orang rendah, maka kami jalankan hukum itu atas dirinya.

Lalu kami berkata: ‘Marilah kalian kemari, marilah kita menegakkan hukum yang sama bagi yang terhormat maupun bagi yang rendah. Kemudian kami membuat hukuman mencoreng-moreng muka pelaku dengan warna hitam dan dera sebagai pengganti rajam.’” Lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ya Allah, sungguh akulah orang pertama yang menghidupkan perintah-Mu pada saat mereka telah mematikannya.” Kemudian beliau menyuruh mereka melaksanakan hukuman rajam”.
(HR. Bukhari dan Muslim)

_____________
source: Books: Bahaya Mengekor Non Muslim (Mukhtarat Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim Syaikh Ibnu Taimiyah). Muhammad bin Ali Adh-Dhabi‘i, Penerbit Media Hidayah,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...