PENGERTIAN THOIFAH MANSHUROH
DAN TUGAS UTAMANYA
Definisi Thoifah Manshuroh
Kebanyakan
para Ulama salaf berpendapat bahwa Ath Thoifah Al Manshurah adalah para ulama
dan ahlul hadiits sebagaimana pendapat Al
Bukhooriy dan Imam Ahmad
bin Hambali, akan tetapi ada kerancuan
pada pendapat mereka karena Rasulullah SAW bersabda :
...ىذا الدين قا ئمة يقاتل عليو...
“… dien ini tegak yang berperang
diatasnya…”
Juga riwayat-riwayat yang lainnya yang menyebutkan dengan jelas
bahwa berperang itu merupakan ciri khas Thoifah ini, seperti riwayat Jaabir bin ‘Abdulloh, Imam bin Hushoin dan Yaziid bin Al Ashom dari Mu’aawiyah dan „Uqbah bin ‘Aamir, maka tidak mungkin Thoifah ini terdiri dari ulama saja akan
tetapi mereka adalah Ahlul „Ilmi (Ulama) dan Ahlul Jihad
(Mujahidin) oleh karenaitu Imam An Nawawiy setelah menyebutkan perkataan Imam Al Bukhooriy, Imam Ahmad
dan yang lainnya beliau berkata: ”Dan bisa
jadi Thoifah ini terpisah-pisah di berbagai macam kalangan orang-orang beriman,
diantara mereka ada ahli perang yang pemberani, ada para fuqoha, ada para ahli
hadits, ada orang yang zuhud dalam melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar, dan ada pula yang ahli dalam berbagai macam
kebajikan dan tidak harus mereka itu berkumpul semuanya akan tetapi tersebar
di berbagai penjuru dunia.” (Sahih
Muslim Bisyarh An Nawawi, XIII /67)
begitu juga Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah Rahimahullah didalam fatwanya yang
berkenaan dengan perang melawan orang-orang Tartar yang mengucapkan dua kalimat
Syahadat namun berhukum dengan selain syari'at
Islam, beliau berpendapat bahwa orang yang berjihad adalah orang-orang yang paling
berhak masuk dalam kriteria Thoifah
Manshuroh sebagaimana perkataannya: ”Sedangkan
kelompok yang berada di Syam, Mesir dan lainnya mereka pada saat ini adalah
orang-orang yang berperang melawan Dienul Islam dan mereka adalah orang-orang
yang paling berhak masuk dalam Thoifah
Manshuroh yang disebut oleh Nabi SAW didalam
haditsnya yang shahih dan masyhur :
“Akan selalu ada sekelompok dari ummatku yang dzohir
diatas kebenaran, mereka tidak peduli dengan orang-orang yang menyelisihi dan
mentelantarkan mereka hingga terjadi qiamat, dan diriwayat Muslim berbunyi
:”Akan senantiasa ada ahlul ghorb” (orang-orang barat) (Majmu’ Fatawa, XIII / 531)
Maka tidak diragukan lagi bahwa „ulamaa, 'aamiliin (Para
ulama' yang mengamalkan ilmunya) adalah orang-orang yang pertama
masuk dalam kelompok ini dan sisanya seperti Mujahidin dan yang lainnya
mengikuti mereka. Dan yang mendorong para salaf untuk mengatakan bahwa Thoifah
tersebut adalah para ulama, karena tidak ada perbedaan pendapat antara kaum
muslimin tentang jihad kala itu, sedang daerah perbatasan telah dipenuhi dengan
tentara dan pasukan yang dihadapkan kearah negara-negara musuh, dan juga karena
yang menjadi perusak dien pada zaman itu adalah bid'ah dan kesesatan-kesesatan yang besar sehingga orang yang
berperang untuk melawan semua itu adalah para ulama.
Sedangkan kita pada hari ini sangat membutuhkan kesungguhan
para ulama dan Mujahidin yang masing-masing berada pada medannya, sesungguhnya
dien ini tidak akan tegak hanya dengan ilmu saja, namun harus dengan keduanya
secara bersamaan sebagaimana firman Alloh dalam surat Al Hadiid :
لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا
رُسُلَنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَأَنزَلۡنَا مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡمِيزَانَ
لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَأَنزَلۡنَا ٱلۡحَدِيدَ فِيهِ بَأۡسٞ شَدِيدٞ
وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعۡلَمَ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥ وَرُسُلَهُۥ بِٱلۡغَيۡبِۚ
إِنَّ ٱللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٞ ٢٥
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al
Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan
Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai
manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Alloh
mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Alloh
tidak dilihatnya. Sesungguhnya Alloh Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.(QS. Al Hadiid : 25)
Ibnu Taimiyyah berkata : ”Dan sekali-kali tidak akan tegak Dien ini kecuali
dengan kitab, mizan (timbangan) dan besi, kitab sebagai petunjuk dan besi sebagai
pembela, sebagaimana firman Alloh:... لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami…”. Maka dengan kitab akan tegak ilmu dan dien, dengan mizan
(neraca) akan tegak hak-hak dan transaksi serta serah terima keuangan dan
dengan besi akan tegak hukum huduud.” (Majmu’ Fatawa, XXXV/361).
Juga berkata : “dan pedang-pedang kaum muslimin
sebagai pembela syari'at yang berupa Al Kitab dan As Sunnah” sebagaimana yang
dikatakan oleh Jaabir bin ‘Abdulloh: ”Kami diperintahkan oleh Rasulullah untuk memukul dengan ini,
yaitu pedang, orang-orang yang keluar dari ini, yaitu Al Qur‟an” (Majmu’ Fatawa, XXV/365)
Beliau
berkata : “Sesungguhnya tegaknya dien itu dengan kitab yang menjadi petunjuk
dan besi yang menjadi pembela, sebagaimana yang disebutkan oleh Alloh SWT”. (Majmu’ Fatawa, XXVIII/396 dan seterusnya).
Saya
katakan :”Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Thoifah Manshuroh adalah
Thoifah Mujaahidah (kelompok yang berjihad) yang mengikuti Manhaj Syar'i yang lurus yaitu Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
CATATAN : APAKAH FIRQOH NAJIYAH ITU
THOIFAH MANSHUROH ?
Kebanyakan kitab Aqidah menyebutkan bahwa Firqoh Najiyah (ahlus sunnah wal jama‟ah) itu
adalah Thoifah Manshuroh (sebagai contoh lihat bab akhir dalam Al 'Aqiidah Al Waasithiyyah, karangan Ibnu
Taimiyyah, begitu juga Muqaddimah Kitab Ma’aarijul Qobuul karangan Haafidh
Hakamiy dll), dan yang rojih menurut
saya adalah Firqoh dan Thoifah itu tidak sama, sesungguhnya Thoifah adalah
bagian dari Firqoh, maka Thoifah
Manshuroh adalah bagian dari Firqoh Najiyah yang melakukan pembelaan terhadap Dien dengan ilmu dan jihad,
yang itu berada pada manhaj dan aqidah yang sahih.
Berdasarkan hal itu kami katakan bahwa seorang Mujaddid
(pembaharu) itu adalah salah satu personal dalam Thoifah Manshuroh yang menegakkan kewajiban-kewajiban yang paling penting pada
zamannya, berdasarkan pendapat jumhur
(mayoritas) ulama yang berpendapat bahwa
mujaddid itu adalah satu orang, dalil dari pendapat ini adalah :
1.
Firman Alloh Ta‟ala :
فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ
فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” (QS. At Taubah : 122)
Ayat
ini membedakan antara Firqoh dan Thoifah dan menjelaskan bahwa Thoifah adalah
satu bagian yang menuntut ilmu dan berjihad dari kalangan Firqoh sebagaimana
yang disebutkan dalam tafsiran ayat ini (lihat Ibnu Katsiir).
2. Ilmu dan jihad keduanya adalah sifat Thoifah Manshuroh yang paling utama, asalnya keduanya adalah fardhu kifayah wajib
bagi sebagian orang dan bukan kewajiban semua ummat Islam untuk melaksanakan
keduanya, dan kelompok yang berilmu dan berjihad dari ummat inilah yang
dimaksud Thoifah Manshuroh.
3. Perkataan Imam-imam hadits seperti Al Bukhari dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Thoifah itu adalah ahlul hadiits atau ahlul ilmi, sebagaimana Al
Bukhooriy membuat sendiri dalam kitab Al I’tisham dalam shohihnya., ia mengisyaratkan adanya perbedaan karena
tidak setiap ahlus sunnah (Firqoh Najiyah) itu adalah ahlul
hadiits.
Sedangkan apa yang dinukil oleh Imam An Nawawiy tentang Thoifah ini : “Imam Ahmad
berkata : Kalau bukan ahlul hadiits maka aku tidak tahu siapa lagi mereka. Qoodhiy ‘Iyaadl berkata: Sesungguhnya yang dimaksud oleh Imam Ahmad adalah ahlus sunah wal jama‟ah dan
siapa saja yang meyakini madzhab ahlul
hadiits.” Maka perkataan Qoodhiy ‘Iyaadl: Sesungguhnya ahlul
hadiits adalah semua ahlus sunnah, itu tidak lurus
kecuali kalau yang dimaksud adalah sebagai pengikut. Inilah yang tersirat dalam
perkataannya (dan siapa saja yang meyakini madzhab ahlul hadiits), karena sesungguhnya orang awam seharusnya mengikuti ulama,
dan sesungguhnya ulama termasuk ulil amri yang disebutkan dalam firman Alloh Ta‟ala :
أَطِيعُواْ ٱللَّهَ
وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡ
“…ta`atilah Alloh dan ta`atilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…”
(QS. An Nisaa’ : 59)
Dan
yang lebih jelas lagi dalam firman Alloh Ta‟ala :
وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ
وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ
مِنۡهُم
“…Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil
Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya
(akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)…” (QS. An Nisaa’ : 83)
Dalam ayat ini Alloh Ta‟ala
menamakan Ulama (orang-orang yang mengambil istimbaath) dengan sebuatan ulil amri, ini adalah nash yang menunjukkan
bahwa ulama adalah ulil amri, dan ayat ini juga mengisyaratkan akan wajibnya
menjadikan mereka sebagai pemimpin sebagaimana isyarat tersebut --- juga ---
terdapat dalam hadits tentang qobdhul
ilmu (dicabutnya ilmu). Maka orang-orang awam
adalah pengikut ulama. Alloh Ta‟ala berfirman :
يَوۡمَ
نَدۡعُواْ كُلَّ أُنَاسِۢ بِإِمَٰمِهِمۡ ......
“(Ingatlah) suatu hari (yang di
hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya…”
(QS. Al Israa’ :71)
Dan
Ahlus sunnah wal Jama‟ah mengikuti ulama mereka yaitu Thoifah Manshuroh yang melaksanakan peran Rasulullah SAW didalam ummat ini. Maka
apabila dikatakan bahwa ahlus sunnah (Firqoh
Najiyah) adalah Thoifah
Manshuroh artinya adalah sebagai pengikutnya, karena
Thoifah ini lebih khusus dari pada Firqoh, wallohu a'lam.
Tujuan dari pembahasan ini adalah hendaknya setiap muslim
berusaha untuk menjadi Thoifah
Manshuroh yang melakukan pembelaan terhadap dien
dengan ilmu, dakwah dan jihad, Alloh Ta‟ala
berfirman :
وَفِي
ذَٰلِكَ فَلۡيَتَنَافَسِ ٱلۡمُتَنَٰفِسُونَ
“…dan untuk yang demikian itu hendaknya
orang berlomba-lomba”.
(QS. Al Muthaffifin : 26)
Kami
katakan : Namun demikian sesungguhnya bisa jadi Thoifah Manshuroh adalah Firqoh
Najiyah secara keseluruhan, yaitu nanti pada akhir
zaman ketika orang-orang mukmin bergabung ke Syam, lalu disanalah turun Nabi
Isa AS, untuk memerangi Dajjal sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits
shahih.
Beginilah
cara mendudukkan berbagai riwayat yang menyebutkan bahwa Thoifah Manshuroh itu berada di Syam atau Baitul Maqdis (hadits Abu Umamah) yaitu
terjadi pada akhir Thoifah ini secara mutlak.
Sedangkan masa-masa sebelum itu, masa Thoifah ini bisa berada
di Syam atau selainnya (lihat perkataan pengarang Fathul Madiij Syarh Kitab Tauhid dalam penjelasan hadits Thoifah, cet. Anshorus sunnah, hal.
278-279).
CATATAN : KEWAJIBAN YANG PALING
UTAMA /
PENTING BAGI THOIFAH MANSHUROH PADA
ZAMAN INI.
Sesungguhnya diantara kewajiban yang paling penting bagi Thoifah Manshuroh pada zaman ini adalah berjihad melawan penguasa yang murtad,
yang mengganti syari'at Alloh dan memberlakukan undang-undang kafir buatan manusia
terhadap kaum muslimin, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsiir dalam menafsirkan firman Alloh Ta‟ala
:
أَفَحُكۡمَ
ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَ
“Apakah
hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki…” (QS.
Al Maaidah : 50)
“Alloh
mengingkari orang yang keluar dari hukum Alloh yang mengandung segala kebaikan,
melarang segala kejelekan, serta berpaling kepada yang lain seperti
pandangan-pandangan hawa nafsu serta istilah-istilah yang dibuat oleh manusia
tanpa bersandar pada syari'at Alloh –sampai
pada perkataannya – barang siapa yang berbuat hal itu diantara mereka maka ia
telah kafir wajib diperangi, sampai mereka kembali kepada hukum Alloh dan
RasulNya, sehingga tidak ada hukum kecuali hukum Alloh, baik sedikit maupun
banyak”.
Banyak ulama-ulama masa kini yang telah memberi catatan
terhadap perkataan Ibnu Katsiir tersebut dengan menerangkan bahwa inilah keadaan para penguasa
yang mengatur kaum muslimin dengan undang-undang buatan manusia saat ini.
Syaikh Ahmad
Syaakir Rahimahulloh berkata: ”Apakah diperbolehkan --- dengan ini --- didalam syari'at Alloh orang-orang muslim berhukum di negara mereka dengan
hukum yang diambil dari undang-undang negara Eropa yang menyembah patung dan
atheis (sekuler)?, bahkan undang-undangnya telah dimasuki oleh hawa nafsu dan
pendapat bathil yang bisa mereka rubah-rubah dan diganti semau mereka. Tidak
menghiraukan siapa yang membuatnya, apakah sesuai dengan syari'at Islam atau tidak?”, --- sampai pada perkataannya ---
“Sesungguhnya masalah undang-undang buatan manusia ini adalah permasalahan jelas,
sejelas sinar matahari yaitu kuffrun
bawwaah (kekafiran yang nyata), tidak ada
kesamaran dan penutup padanya serta tidak ada uzur (alasan) bagi seorangpun
yang menganut agama Islam --- siapapun orangnya --- untuk mengamalkan atau
tunduk kepadanya atau mengakuinya” (Umdatut
Tafsir Mukhtashar Tafsiir Ibnu Katsiir, karya
Ahmad Syaakir, cet. Daarul Ma‟arif,
IV / 173-174)
Dan Al ‘Allaamah Muhammad Haamid Al Fiqi
berkata, dalam mengomentari perkataan Ibnu Katsiir Rahimahullah :”Dan yang seperti ini bahkan yang lebih jelek lagi
adalah orang-orang yang menjadikan pendapat orang eropa sebagai undang-undang
untuk sandaran hukum dalam masalah darah (nyawa), seks dan harta, dan lebih mengutamakannya
dari apa yang sudah diketahui dan jelas baginya dari kitab Alloh dan sunnah
Rasul SAW, orang tersebut tidak diragukan lagi murtad, apabila terus melakukan
hal itu dan tidak kembali kepada hukum yang diturunkan oleh Alloh. Dan tidak
ada gunanya apapun nama yang ia gunakan serta amalan apapun yang ia kerjakan dari
amalan-amalan yang nampak seperti shalat, shiyam, zakat, dan yang semisalnya”.
(Fat-hul Majiid, cet. Anshoorus Sunnah, catatan, 396).
Muhammad bin Ibrohim Aalu Syaikh Mufti (juru fatwa) Arab Saudi terdahulu rahimahulloh berkata:
“Sesungguhnya berhukum dengan selain apa yang diturunkan oleh
Alloh adalah kufur akbar keluar dari agama pada enam macam keadaan, yang kelima
beliau menggambarkan keadaan negara-negara kaum muslimin pada saat ini dengan
secara detil, disana beliau berkata: ”Yang paling besar dan paling menyeluruh
dan yang paling jelas pertentangannya terhadap syari‟at, kesombongannya terhadap hukum-hukum Alloh, pembangkangannya
terhadap Alloh dan rasulNya, persaingan terhadap hukum-hukum syar‟i dari persiapan-persiapan dukungan, pengawasan dan pengukuhan
baik dari sisi pembentukannya, keragaman dan ketetapannya serta komitmen, juga
dari segi referensi dan sandaran.
Sebagaimana
pengadilan-pengadilan syar'i memiliki referensi
dan sandaran yang semuanya bersumber dari kitab Alloh dan sunnah RasulNya
begitu juga pengadilan tersebut juga memiliki beberapa referensi diantaranya :
Undang-undang
yang dibuat dari berbagai macam syari‟at dan
undang-undang seperti undang-undang Perancis, undang-undang Amerika,
undang-undang Inggris dan undang-undang lainnya, serta berbagai pandangan-pandangan
ahlul bid‟ah yang menyandarkan dirinya kepada syari‟at dan yang lainnya.
Mahkamah ini tersedia secara sempurna di berbagai wilayah-wilayah
ummat Islam dibuka pintunya lebar-lebar sedangkan manusia berbondong-bondong
untuk mendatanginya, para penguasanya menghukumi mereka dengan hukum-hukum yang
menyelisihi Al Qur'an dan As Sunnah yaitu dengan hukum-hukum dan undang-undang tersebut
dan mengharuskan mereka untuk mengikutinya, diterapkan baginya serta diwajibkan
untuk berhukum dengannya. Maka kekufuran apakah yang lebih tinggi dari kekufuran
ini, dan perbuatan apa yang lebih membatalkan terhadap kesaksian bahwa Muhammad
adalah Rasulullah, yang melebihi perbuatan ini.” (Risaalah Tahkiimul Qowaaniin).
Inilah beberapa pendapat ahlul
ilmu (ulama) mengenai penguasa-penguasa hari
ini. Adapun kewajiban kaum muslimin terhadap penguasa yang murtad, adalah sebagaimana
perkataan Al Qoodhii ‘Iyaadh Rahimahullah :
”Apabila terjadi kekufuran atau perobahan syari‟at atau terjadi bid‟ah maka
gugurlah kepemimpinannya dan gugurlah kewajiban taat kepadanya, dan wajib bagi
kaum muslimin bangkit mencopot dan mengangkat Imam yang adil. Apabila tidak ada
yang bisa melaksanakannya kecuali sekelompok orang maka wajib bagi kelompok
tersebut untuk mencopot penguasa kafir tersebut. Namun hal ini tidak wajib
dilakukan terhadap imam yang berbuat bid‟ah
kecuali kalau diperkirakan mampu untuk melakukannya, apabila tidak mampu untuk
melakukannya / melaksanakannya karena lemah maka tidak wajib untuk
melaksanakannya namun hendaknya setiap muslim berhijrah dari negerinya untuk
menyelamatkan diennya ke tempat yang lain. (Sohiih Muslim Bisyarh An Nawawiy, Kitaabul
Imaaroh, XII /229).
Dan telah kami sampaikan sebelumnya perkataan Syaikhul Islam
Imam Ibnu Taimiyyah: ”Sebagaimana wajib melakuka i'dad
untuk jihad dengan mempersiapkan kekuatan dan kuda-kuda perang, disaat dalam
keadaan lemah, karena sesungguhnya jika suatu kewajiban tidak bisa dilaksanakan
kecuali dengan sesuatu sarana maka sarana itu menjadi wajib.” (Majmu’ Fatawa, XVIII / 259) dan firman Alloh Ta‟ala :
وَأَعِدُّواْ
لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٖ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka
kekuatan apa saja yang kamu sanggupi…” (QS.
Al Anfaal : 60)
Mereka mempersiapkan diri untuk berjihad melawan orang-orang
murtad itu adalah kewajiban yang paling wajib bagi kaum muslimin pada hari ini
khususnya karena tidak ada tempat yang sesuai untuk berhijrah, dan hijrah
bukanlah hal yang mudah bagi mayoritas kaum muslimin disebabkan keadaan pribadi
mereka, negeri mereka, sistem yang berlaku di negara mereka.
Inilah pembahasan yang berkenaan dengan kewajiban terbesar bagi
Thoifah Manshuroh pada zaman ini.
Permasalahan ini, yaitu kafirnya para penguasa yang berhukum
dengan syari‟at Islam serta kewajiban memeranginya --- menurutku bahayanya
--- menyerupai pemurtadan yang terjadi setelah wafatnya Nabi SAW, karena
sesungguhnya masalah ini mengancam mayoritas kaum muslimin dan generasinya
dengan pemurtadan yang menyeluruh. Apabila mereka dibiarkan seperti itu dengan kerusakan
dan pengerusakan yang dilakukan oleh penguasa tersebut, mereka rubah syari‟at dan sebarkan perbuatan-perbuatan keji di kalangan kaum
muslimin. Seandainya para sahabat hidup pada hari ini niscaya amal mereka yang paling
utama adalah memerangi para penguasa tersebut.
Selain itu fitnah yang ditimbulkan oleh masalah ini melebihi dari
fitnah yang ditimbulkan oleh masalah khalqul
qur‟an (pendapat bahwa Al qur'an adalah makhluq). Dan kami berpendapat tidaklah seorangpun
yang memiliki ilmu syar'i pada zaman kita ini yang tidak membicarakan masalah ini ---
dengan cara mengingkari dan menghasung kaum muslimin untuk berjihad --- kami berpendapat
orang yang seperti ini tidak bertemu dengan Alloh, kecuali Alloh akan murka
terhadapnya, Alloh Ta'ala berfirman :
إِنَّ ٱلَّذِينَ
يَكۡتُمُونَ مَآ أَنزَلۡنَا مِنَ ٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلۡهُدَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا
بَيَّنَّٰهُ لِلنَّاسِ فِي ٱلۡكِتَٰبِ أُوْلَٰٓئِكَ يَلۡعَنُهُمُ ٱللَّهُ
وَيَلۡعَنُهُمُ ٱللَّٰعِنُونَ ١٥٩ إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ وَأَصۡلَحُواْ
وَبَيَّنُواْ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَتُوبُ عَلَيۡهِمۡ وَأَنَا ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ
١٦٠
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah
Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah
Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila`nati Alloh
dan dila`nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela`nati, kecuali mereka
yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka
terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat
lagi Maha Penyayang”. (QS.
Al Baqarah : 159-160)
Maka seorang alim dituntut oleh syar‟i untuk menerangkan kebenaran yang seharusnya dilakukan dalam keadaan
seperti ini sebelum dia ditanya, berdasarkan firman Alloh Ta‟ala :
قُلْ
تَ عَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ
“Katakanlah: "Marilah
kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu,…” (QS. Al An ‘aam : 151)
Seorang alim juga, dituntut untuk menyatukan manusia
berdasarkan firman Alloh Ta‟ala تَعَالَوْا (
untuk memahamkan pada mereka mana yang haq
dan mana yang bathil ).
Al Qurthubiy berkata dalam menafsirkan ayat ini:
”Dan
beginilah kewajiban orang-orang hidup setelah nabi SAW dari kalangan ulama
untuk menyampaikan kepada para manusia dan menerangkan kepada mereka apa-apa yang
diharamkan dan apa-apa yang dihalalkan bagi mereka, Alloh Ta‟ala berfirman :
لَتُبَ
يِّ نُ نَّوُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَو “Untuk menerangkan pada manusia dan jangan disembunyikan‟
(QS. Ali Imraan : 187)
(Tafsiir Al Qurthubiy VII / 131)
Saya
katakan dan tidak boleh ditangguhkan keterangan diwaktu dibutuhkan, jika ada
seorang alim yang berkata: “Aku takut terhadap manusia” maka sesungguhnya Alloh
Ta‟ala berfirman :
أَتَخۡشَوۡنَهُمۡۚ
فَٱللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخۡشَوۡهُ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ
“…Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Alloh-lah
yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. At Taubah : 13)
Ayat ini berkenaan dengan para ulama yang berdiam diri, lalu
bagaimana dengan ulama-ulama yang bermudaahanah
(kompromi)?,
bagaimana dengan ulama yang membela
mereka ?,
Alloh Ta‟ala berfirman :
وَمَن
يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡ
“…Barangsiapa di antara kamu berwala‟
(loyal) kepada mereka, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka…” (QS. Al Maa-idah : 51)
Diterjemahkan
dari Buku Al ‘Umdah Fii ‘Idaadil ‘Uddah Lil
Jihaadi Fii Sabiilillaah, Syaikh ‘Abdul Qoodir bin ‘Abdul ‘Aziiz, hal. 130-138.
Penerjemah: Abu Musa Ath Thoyyaar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar