5/22/2019

THOIFAH MANSHUROH


PENGERTIAN  THOIFAH MANSHUROH
DAN TUGAS UTAMANYA



Definisi Thoifah Manshuroh

Kebanyakan para Ulama salaf berpendapat bahwa Ath Thoifah Al Manshurah adalah para ulama dan ahlul hadiits sebagaimana pendapat Al Bukhooriy dan Imam Ahmad bin Hambali, akan tetapi ada kerancuan pada pendapat mereka karena Rasulullah SAW bersabda :
...ىذا الدين قا ئمة يقاتل عليو...
“… dien ini tegak yang berperang diatasnya…”

Juga riwayat-riwayat yang lainnya yang menyebutkan dengan jelas bahwa berperang itu merupakan ciri khas Thoifah ini, seperti riwayat Jaabir bin ‘Abdulloh, Imam bin Hushoin dan Yaziid bin Al Ashom dari Mu’aawiyah dan „Uqbah bin ‘Aamir, maka tidak mungkin Thoifah ini terdiri dari ulama saja akan tetapi mereka adalah Ahlul „Ilmi (Ulama) dan Ahlul Jihad (Mujahidin) oleh karenaitu Imam An Nawawiy setelah menyebutkan perkataan Imam Al Bukhooriy, Imam Ahmad dan yang lainnya beliau berkata: ”Dan bisa jadi Thoifah ini terpisah-pisah di berbagai macam kalangan orang-orang beriman, diantara mereka ada ahli perang yang pemberani, ada para fuqoha, ada para ahli hadits, ada orang yang zuhud dalam melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar, dan ada pula yang ahli dalam berbagai macam kebajikan dan tidak harus mereka itu berkumpul semuanya akan tetapi tersebar di berbagai penjuru dunia.” (Sahih Muslim Bisyarh An Nawawi, XIII /67)

begitu juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah didalam fatwanya yang berkenaan dengan perang melawan orang-orang Tartar yang mengucapkan dua kalimat Syahadat namun berhukum dengan selain syari'at Islam, beliau berpendapat bahwa orang yang berjihad adalah orang-orang yang paling berhak masuk dalam kriteria Thoifah Manshuroh sebagaimana perkataannya: ”Sedangkan kelompok yang berada di Syam, Mesir dan lainnya mereka pada saat ini adalah orang-orang yang berperang melawan Dienul Islam dan mereka adalah orang-orang yang paling berhak masuk dalam Thoifah Manshuroh yang disebut oleh Nabi SAW didalam haditsnya yang shahih dan masyhur :


“Akan selalu ada sekelompok dari ummatku yang dzohir diatas kebenaran, mereka tidak peduli dengan orang-orang yang menyelisihi dan mentelantarkan mereka hingga terjadi qiamat, dan diriwayat Muslim berbunyi :”Akan senantiasa ada ahlul ghorb” (orang-orang barat) (Majmu’ Fatawa, XIII / 531)


Maka tidak diragukan lagi bahwa „ulamaa, 'aamiliin (Para ulama' yang mengamalkan ilmunya) adalah orang-orang yang pertama masuk dalam kelompok ini dan sisanya seperti Mujahidin dan yang lainnya mengikuti mereka. Dan yang mendorong para salaf untuk mengatakan bahwa Thoifah tersebut adalah para ulama, karena tidak ada perbedaan pendapat antara kaum muslimin tentang jihad kala itu, sedang daerah perbatasan telah dipenuhi dengan tentara dan pasukan yang dihadapkan kearah negara-negara musuh, dan juga karena yang menjadi perusak dien pada zaman itu adalah bid'ah dan kesesatan-kesesatan yang besar sehingga orang yang berperang untuk melawan semua itu adalah para ulama.

Sedangkan kita pada hari ini sangat membutuhkan kesungguhan para ulama dan Mujahidin yang masing-masing berada pada medannya, sesungguhnya dien ini tidak akan tegak hanya dengan ilmu saja, namun harus dengan keduanya secara bersamaan sebagaimana firman Alloh dalam surat Al Hadiid :

لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا رُسُلَنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَأَنزَلۡنَا مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡمِيزَانَ لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَأَنزَلۡنَا ٱلۡحَدِيدَ فِيهِ بَأۡسٞ شَدِيدٞ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعۡلَمَ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥ وَرُسُلَهُۥ بِٱلۡغَيۡبِۚ إِنَّ ٱللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٞ ٢٥

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Alloh mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Alloh tidak dilihatnya. Sesungguhnya Alloh Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.(QS. Al Hadiid : 25)

Ibnu Taimiyyah berkata : ”Dan sekali-kali tidak akan tegak Dien ini kecuali dengan kitab, mizan (timbangan) dan besi, kitab sebagai petunjuk dan besi sebagai pembela, sebagaimana firman Alloh:... لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami…”. Maka dengan kitab akan tegak ilmu dan dien, dengan mizan (neraca) akan tegak hak-hak dan transaksi serta serah terima keuangan dan dengan besi akan tegak hukum huduud.” (Majmu’ Fatawa, XXXV/361). 

Juga berkata : “dan pedang-pedang kaum muslimin sebagai pembela syari'at yang berupa Al Kitab dan As Sunnah” sebagaimana yang dikatakan oleh Jaabir bin ‘Abdulloh: ”Kami diperintahkan oleh Rasulullah untuk memukul dengan ini, yaitu pedang, orang-orang yang keluar dari ini, yaitu Al Quran” (Majmu’ Fatawa, XXV/365)

Beliau berkata : “Sesungguhnya tegaknya dien itu dengan kitab yang menjadi petunjuk dan besi yang menjadi pembela, sebagaimana yang disebutkan oleh Alloh SWT”. (Majmu’ Fatawa, XXVIII/396 dan seterusnya).

Saya katakan :”Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Thoifah Manshuroh adalah Thoifah Mujaahidah (kelompok yang berjihad) yang mengikuti Manhaj Syar'i yang lurus yaitu Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.



CATATAN : APAKAH FIRQOH NAJIYAH ITU THOIFAH MANSHUROH ?

Kebanyakan kitab Aqidah menyebutkan bahwa Firqoh Najiyah (ahlus sunnah wal jamaah) itu adalah Thoifah Manshuroh (sebagai contoh lihat bab akhir dalam Al 'Aqiidah Al Waasithiyyah, karangan Ibnu Taimiyyah, begitu juga Muqaddimah Kitab Ma’aarijul Qobuul karangan Haafidh Hakamiy dll), dan yang rojih menurut saya adalah Firqoh dan Thoifah itu tidak sama, sesungguhnya Thoifah adalah bagian dari Firqoh, maka Thoifah Manshuroh adalah bagian dari Firqoh Najiyah yang melakukan pembelaan terhadap Dien dengan ilmu dan jihad, yang itu berada pada manhaj dan aqidah yang sahih.

Berdasarkan hal itu kami katakan bahwa seorang Mujaddid (pembaharu) itu adalah salah satu personal dalam Thoifah Manshuroh yang menegakkan kewajiban-kewajiban yang paling penting pada zamannya, berdasarkan pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang berpendapat bahwa mujaddid itu adalah satu orang, dalil dari pendapat ini adalah :

1. Firman Alloh Taala :

فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ

“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” (QS. At Taubah : 122)

Ayat ini membedakan antara Firqoh dan Thoifah dan menjelaskan bahwa Thoifah adalah satu bagian yang menuntut ilmu dan berjihad dari kalangan Firqoh sebagaimana yang disebutkan dalam tafsiran ayat ini (lihat Ibnu Katsiir).

2. Ilmu dan jihad keduanya adalah sifat Thoifah Manshuroh yang paling utama, asalnya keduanya adalah fardhu kifayah wajib bagi sebagian orang dan bukan kewajiban semua ummat Islam untuk melaksanakan keduanya, dan kelompok yang berilmu dan berjihad dari ummat inilah yang dimaksud Thoifah Manshuroh.

3. Perkataan Imam-imam hadits seperti Al Bukhari dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Thoifah itu adalah ahlul hadiits atau ahlul ilmi, sebagaimana Al Bukhooriy membuat sendiri dalam kitab Al I’tisham dalam shohihnya., ia mengisyaratkan adanya perbedaan karena tidak setiap ahlus sunnah (Firqoh Najiyah) itu adalah ahlul hadiits.

Sedangkan apa yang dinukil oleh Imam An Nawawiy tentang Thoifah ini : “Imam Ahmad berkata : Kalau bukan ahlul hadiits maka aku tidak tahu siapa lagi mereka. Qoodhiy ‘Iyaadl berkata: Sesungguhnya yang dimaksud oleh Imam Ahmad adalah ahlus sunah wal jamaah dan siapa saja yang meyakini madzhab ahlul hadiits.” Maka perkataan Qoodhiy ‘Iyaadl: Sesungguhnya ahlul hadiits adalah semua ahlus sunnah, itu tidak lurus kecuali kalau yang dimaksud adalah sebagai pengikut. Inilah yang tersirat dalam perkataannya (dan siapa saja yang meyakini madzhab ahlul hadiits), karena sesungguhnya orang awam seharusnya mengikuti ulama, dan sesungguhnya ulama termasuk ulil amri yang disebutkan dalam firman Alloh Taala :

أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡ

“…ta`atilah Alloh dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…”
(QS. An Nisaa’ : 59)

Dan yang lebih jelas lagi dalam firman Alloh Taala :

وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُم
“…Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)…” (QS. An Nisaa’ : 83)

Dalam ayat ini Alloh Taala menamakan Ulama (orang-orang yang mengambil istimbaath) dengan sebuatan ulil amri, ini adalah nash yang menunjukkan bahwa ulama adalah ulil amri, dan ayat ini juga mengisyaratkan akan wajibnya menjadikan mereka sebagai pemimpin sebagaimana isyarat tersebut --- juga --- terdapat dalam hadits tentang qobdhul ilmu (dicabutnya ilmu). Maka orang-orang awam adalah pengikut ulama. Alloh Taala berfirman :

يَوۡمَ نَدۡعُواْ كُلَّ أُنَاسِۢ بِإِمَٰمِهِمۡ ......
“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya…”  
(QS. Al Israa’ :71)

Dan Ahlus sunnah wal Jamaah mengikuti ulama mereka yaitu Thoifah Manshuroh yang melaksanakan peran Rasulullah SAW didalam ummat ini. Maka apabila dikatakan bahwa ahlus sunnah (Firqoh Najiyah) adalah Thoifah Manshuroh artinya adalah sebagai pengikutnya, karena Thoifah ini lebih khusus dari pada Firqoh, wallohu a'lam.

Tujuan dari pembahasan ini adalah hendaknya setiap muslim berusaha untuk menjadi Thoifah Manshuroh yang melakukan pembelaan terhadap dien dengan ilmu, dakwah dan jihad, Alloh Taala berfirman :

وَفِي ذَٰلِكَ فَلۡيَتَنَافَسِ ٱلۡمُتَنَٰفِسُونَ
“…dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba”.
(QS. Al Muthaffifin : 26)

Kami katakan : Namun demikian sesungguhnya bisa jadi Thoifah Manshuroh adalah Firqoh Najiyah secara keseluruhan, yaitu nanti pada akhir zaman ketika orang-orang mukmin bergabung ke Syam, lalu disanalah turun Nabi Isa AS, untuk memerangi Dajjal sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih.

Beginilah cara mendudukkan berbagai riwayat yang menyebutkan bahwa Thoifah Manshuroh itu berada di Syam atau Baitul Maqdis (hadits Abu Umamah) yaitu terjadi pada akhir Thoifah ini secara mutlak.

Sedangkan masa-masa sebelum itu, masa Thoifah ini bisa berada di Syam atau selainnya (lihat perkataan pengarang Fathul Madiij Syarh Kitab Tauhid dalam penjelasan hadits Thoifah, cet. Anshorus sunnah, hal. 278-279).


CATATAN : KEWAJIBAN YANG PALING UTAMA /
PENTING BAGI THOIFAH MANSHUROH PADA ZAMAN INI.

Sesungguhnya diantara kewajiban yang paling penting bagi Thoifah Manshuroh pada zaman ini adalah berjihad melawan penguasa yang murtad, yang mengganti syari'at Alloh dan memberlakukan undang-undang kafir buatan manusia terhadap kaum muslimin, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsiir dalam menafsirkan firman Alloh Taala :

أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَ
 “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki…” (QS. Al Maaidah : 50)

Alloh mengingkari orang yang keluar dari hukum Alloh yang mengandung segala kebaikan, melarang segala kejelekan, serta berpaling kepada yang lain seperti pandangan-pandangan hawa nafsu serta istilah-istilah yang dibuat oleh manusia tanpa bersandar pada syari'at Alloh –sampai pada perkataannya – barang siapa yang berbuat hal itu diantara mereka maka ia telah kafir wajib diperangi, sampai mereka kembali kepada hukum Alloh dan RasulNya, sehingga tidak ada hukum kecuali hukum Alloh, baik sedikit maupun banyak”.

Banyak ulama-ulama masa kini yang telah memberi catatan terhadap perkataan Ibnu Katsiir tersebut dengan menerangkan bahwa inilah keadaan para penguasa yang mengatur kaum muslimin dengan undang-undang buatan manusia saat ini.

Syaikh Ahmad Syaakir Rahimahulloh berkata: ”Apakah diperbolehkan --- dengan ini --- didalam syari'at Alloh orang-orang muslim berhukum di negara mereka dengan hukum yang diambil dari undang-undang negara Eropa yang menyembah patung dan atheis (sekuler)?, bahkan undang-undangnya telah dimasuki oleh hawa nafsu dan pendapat bathil yang bisa mereka rubah-rubah dan diganti semau mereka. Tidak menghiraukan siapa yang membuatnya, apakah sesuai dengan syari'at Islam atau tidak?”, --- sampai pada perkataannya --- “Sesungguhnya masalah undang-undang buatan manusia ini adalah permasalahan jelas, sejelas sinar matahari yaitu kuffrun bawwaah (kekafiran yang nyata), tidak ada kesamaran dan penutup padanya serta tidak ada uzur (alasan) bagi seorangpun yang menganut agama Islam --- siapapun orangnya --- untuk mengamalkan atau tunduk kepadanya atau mengakuinya” (Umdatut Tafsir Mukhtashar Tafsiir Ibnu Katsiir, karya Ahmad Syaakir, cet. Daarul Maarif, IV / 173-174)

Dan Al ‘Allaamah Muhammad Haamid Al Fiqi berkata, dalam mengomentari perkataan Ibnu Katsiir Rahimahullah :”Dan yang seperti ini bahkan yang lebih jelek lagi adalah orang-orang yang menjadikan pendapat orang eropa sebagai undang-undang untuk sandaran hukum dalam masalah darah (nyawa), seks dan harta, dan lebih mengutamakannya dari apa yang sudah diketahui dan jelas baginya dari kitab Alloh dan sunnah Rasul SAW, orang tersebut tidak diragukan lagi murtad, apabila terus melakukan hal itu dan tidak kembali kepada hukum yang diturunkan oleh Alloh. Dan tidak ada gunanya apapun nama yang ia gunakan serta amalan apapun yang ia kerjakan dari amalan-amalan yang nampak seperti shalat, shiyam, zakat, dan yang semisalnya”. (Fat-hul Majiid, cet. Anshoorus Sunnah, catatan, 396).

Muhammad bin Ibrohim Aalu Syaikh Mufti (juru fatwa) Arab Saudi terdahulu rahimahulloh berkata:

“Sesungguhnya berhukum dengan selain apa yang diturunkan oleh Alloh adalah kufur akbar keluar dari agama pada enam macam keadaan, yang kelima beliau menggambarkan keadaan negara-negara kaum muslimin pada saat ini dengan secara detil, disana beliau berkata: ”Yang paling besar dan paling menyeluruh dan yang paling jelas pertentangannya terhadap syariat, kesombongannya terhadap hukum-hukum Alloh, pembangkangannya terhadap Alloh dan rasulNya, persaingan terhadap hukum-hukum syari dari persiapan-persiapan dukungan, pengawasan dan pengukuhan baik dari sisi pembentukannya, keragaman dan ketetapannya serta komitmen, juga dari segi referensi dan sandaran.

Sebagaimana pengadilan-pengadilan syar'i memiliki referensi dan sandaran yang semuanya bersumber dari kitab Alloh dan sunnah RasulNya begitu juga pengadilan tersebut juga memiliki beberapa referensi diantaranya :

Undang-undang yang dibuat dari berbagai macam syariat dan undang-undang seperti undang-undang Perancis, undang-undang Amerika, undang-undang Inggris dan undang-undang lainnya, serta berbagai pandangan-pandangan ahlul bidah yang menyandarkan dirinya kepada syariat dan yang lainnya.

Mahkamah ini tersedia secara sempurna di berbagai wilayah-wilayah ummat Islam dibuka pintunya lebar-lebar sedangkan manusia berbondong-bondong untuk mendatanginya, para penguasanya menghukumi mereka dengan hukum-hukum yang menyelisihi Al Qur'an dan As Sunnah yaitu dengan hukum-hukum dan undang-undang tersebut dan mengharuskan mereka untuk mengikutinya, diterapkan baginya serta diwajibkan untuk berhukum dengannya. Maka kekufuran apakah yang lebih tinggi dari kekufuran ini, dan perbuatan apa yang lebih membatalkan terhadap kesaksian bahwa Muhammad adalah Rasulullah, yang melebihi perbuatan ini.” (Risaalah Tahkiimul Qowaaniin).

Inilah beberapa pendapat ahlul ilmu (ulama) mengenai penguasa-penguasa hari ini. Adapun kewajiban kaum muslimin terhadap penguasa yang murtad, adalah sebagaimana perkataan Al Qoodhii ‘Iyaadh Rahimahullah :

”Apabila terjadi kekufuran atau perobahan syariat atau terjadi bidah maka gugurlah kepemimpinannya dan gugurlah kewajiban taat kepadanya, dan wajib bagi kaum muslimin bangkit mencopot dan mengangkat Imam yang adil. Apabila tidak ada yang bisa melaksanakannya kecuali sekelompok orang maka wajib bagi kelompok tersebut untuk mencopot penguasa kafir tersebut. Namun hal ini tidak wajib dilakukan terhadap imam yang berbuat bidah kecuali kalau diperkirakan mampu untuk melakukannya, apabila tidak mampu untuk melakukannya / melaksanakannya karena lemah maka tidak wajib untuk melaksanakannya namun hendaknya setiap muslim berhijrah dari negerinya untuk menyelamatkan diennya ke tempat yang lain. (Sohiih Muslim Bisyarh An Nawawiy, Kitaabul Imaaroh, XII /229).

Dan telah kami sampaikan sebelumnya perkataan Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah: ”Sebagaimana wajib melakuka i'dad untuk jihad dengan mempersiapkan kekuatan dan kuda-kuda perang, disaat dalam keadaan lemah, karena sesungguhnya jika suatu kewajiban tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan sesuatu sarana maka sarana itu menjadi wajib.” (Majmu’ Fatawa, XVIII / 259) dan firman Alloh Taala :

وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٖ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi…” (QS. Al Anfaal : 60)

Mereka mempersiapkan diri untuk berjihad melawan orang-orang murtad itu adalah kewajiban yang paling wajib bagi kaum muslimin pada hari ini khususnya karena tidak ada tempat yang sesuai untuk berhijrah, dan hijrah bukanlah hal yang mudah bagi mayoritas kaum muslimin disebabkan keadaan pribadi mereka, negeri mereka, sistem yang berlaku di negara mereka.

Inilah pembahasan yang berkenaan dengan kewajiban terbesar bagi Thoifah Manshuroh pada zaman ini.

Permasalahan ini, yaitu kafirnya para penguasa yang berhukum dengan syariat Islam serta kewajiban memeranginya --- menurutku bahayanya --- menyerupai pemurtadan yang terjadi setelah wafatnya Nabi SAW, karena sesungguhnya masalah ini mengancam mayoritas kaum muslimin dan generasinya dengan pemurtadan yang menyeluruh. Apabila mereka dibiarkan seperti itu dengan kerusakan dan pengerusakan yang dilakukan oleh penguasa tersebut, mereka rubah syariat dan sebarkan perbuatan-perbuatan keji di kalangan kaum muslimin. Seandainya para sahabat hidup pada hari ini niscaya amal mereka yang paling utama adalah memerangi para penguasa tersebut.

Selain itu fitnah yang ditimbulkan oleh masalah ini melebihi dari fitnah yang ditimbulkan oleh masalah khalqul qur‟an (pendapat bahwa Al qur'an adalah makhluq). Dan kami berpendapat tidaklah seorangpun yang memiliki ilmu syar'i pada zaman kita ini yang tidak membicarakan masalah ini --- dengan cara mengingkari dan menghasung kaum muslimin untuk berjihad --- kami berpendapat orang yang seperti ini tidak bertemu dengan Alloh, kecuali Alloh akan murka terhadapnya, Alloh Ta'ala berfirman :

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡتُمُونَ مَآ أَنزَلۡنَا مِنَ ٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلۡهُدَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا بَيَّنَّٰهُ لِلنَّاسِ فِي ٱلۡكِتَٰبِ أُوْلَٰٓئِكَ يَلۡعَنُهُمُ ٱللَّهُ وَيَلۡعَنُهُمُ ٱللَّٰعِنُونَ ١٥٩ إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ وَأَصۡلَحُواْ وَبَيَّنُواْ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَتُوبُ عَلَيۡهِمۡ وَأَنَا ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ ١٦٠

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila`nati Alloh dan dila`nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela`nati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Baqarah : 159-160)


Maka seorang alim dituntut oleh syari untuk menerangkan kebenaran yang seharusnya dilakukan dalam keadaan seperti ini sebelum dia ditanya, berdasarkan firman Alloh Taala :
قُلْ تَ عَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ
“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu,…” (QS. Al An ‘aam : 151)

Seorang alim juga, dituntut untuk menyatukan manusia berdasarkan firman Alloh Taala  تَعَالَوْا ( untuk memahamkan pada mereka mana yang haq dan mana yang bathil ).

Al Qurthubiy berkata dalam menafsirkan ayat ini:

”Dan beginilah kewajiban orang-orang hidup setelah nabi SAW dari kalangan ulama untuk menyampaikan kepada para manusia dan menerangkan kepada mereka apa-apa yang diharamkan dan apa-apa yang dihalalkan bagi mereka, Alloh Taala berfirman :
لَتُبَ يِّ نُ نَّوُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَو “Untuk menerangkan pada manusia dan jangan disembunyikan‟ (QS. Ali Imraan : 187)

(Tafsiir Al Qurthubiy VII / 131)

Saya katakan dan tidak boleh ditangguhkan keterangan diwaktu dibutuhkan, jika ada seorang alim yang berkata: “Aku takut terhadap manusia” maka sesungguhnya Alloh Taala berfirman :

أَتَخۡشَوۡنَهُمۡۚ فَٱللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخۡشَوۡهُ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ

“…Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Alloh-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. At Taubah : 13)

Ayat ini berkenaan dengan para ulama yang berdiam diri, lalu bagaimana dengan ulama-ulama yang bermudaahanah (kompromi)?, 
bagaimana dengan ulama yang membela mereka ?, 

Alloh Taala berfirman :

وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡ
“…Barangsiapa di antara kamu berwala‟ (loyal) kepada mereka, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka…” (QS. Al Maa-idah : 51)





Diterjemahkan dari Buku Al ‘Umdah Fii ‘Idaadil ‘Uddah Lil Jihaadi Fii Sabiilillaah, Syaikh ‘Abdul Qoodir bin ‘Abdul ‘Aziiz, hal. 130-138.
Penerjemah: Abu Musa Ath Thoyyaar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...