5/16/2019

PEMBAHASAN SINGKAT SEPUTAR MUBAHALAH

PEMBAHASAN SINGKAT SEPUTAR MUBAHALAH

Sesungguhnya Mujahidin –segala puji bagi Allah – adalah termasuk orang yang paling kuat imannya kepada syariat mubahalah, Syaikh Abdul Karim al‐Humaid (semoga Allah menguatkannya dan melepaskannya dari tawanan) telah menulis sebuah risalah yang sangat berharga berjudul ‘al‐Masyayikh al‐Judud wa Da’watuhum ila al‐Mubahalah’ (Para Syaikh Junior dan Seruan Mereka kepada Mubahalah), di dalamnya beliau menyebutkan tentang landasan dalil dalam hal ini, dan menyeru ‘hai’ah kibar al‐Ulama’ (wadah ulama‐ulama senior – seperti yang mereka sebut), dan juga terhadap Syaikh Salman al‐Audah dan Nashir al‐Umar untuk bermubahalah, karena telah berulang kali keluar penyebutan mujahidin sebagai ‘Khawarij’ dari mereka, dan menyeru warga Palestina untuk ikut andil dalam agama syirik demokrasi dengan memilih Hammas pada pemilihan suara. Dan kebanyakan pembahasan berikut ini dinukil dari risalahnya.

Hujjah pokok dalam masalah ini adalah firman Allah {Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah, seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. Kebenaran itu dari Tuhanmu, karena itu janganlah engkau (Muhammad) termasuk orang‐orang yang ragu. Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), “Marilah kita panggil anak‐anak kami dan anak‐anak kamu, istri‐istri kami dan istri‐istrimu, kami sendiri dan kamu juga, kemudian marilah kita ber‐mubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang‐orang yang dusta.”} [QS. Ali Imran: 59‐61].

Asbabun nuzul ayat ini adalah, bahwanya ada utusan kristen dari Najran yang menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk mendebatnya dalam masalah Islam, ketika utusan itu ditawarkan mubahalah, mereka menolak. Sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Katsir dan ulama tafsir lainnya dalam kitab tafsir mereka.

Dan Allah berfirman; {Katakanlah (Muhammad), “Barangsiapa berada dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha Pengasih memperpanjang (waktu) baginya; sehingga apabila mereka telah melihat apa yang diancamkan kepada mereka, baik azab maupun Kiamat, maka mereka akan mengetahui siapa yang lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah bala tentaranya.”} [QS. Maryam: 75]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini: “Allah berfirman {katakanlah} wahai Muhammad, kepada orang‐orang yang musyrik kepada Rabb mereka dan mengaku bahwa mereka di atas kebenaran dan kalian di atas kebatilan {Barangsiapa berada dalam kesesatan} yakni; kami atau kalian, { maka biarlah Tuhan Yang Maha Pengasih memperpanjang (waktu) baginya} yakni; Allah yang Maha Pengasih membiarkannya dalam keadaan mereka, hingga kelak menemui Rabbnya dan habislah ajalnya, {baik azab} yang menimpanya { maupun Kiamat} yang datangnya tiba‐tiba, { maka mereka akan mengetahui} ketika itu { siapa yang lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah bala tentaranya.”} yakni berlawanan dengan apa yang mereka katakan dari kedudukan dan kelompok yang mulia. Mujahid berkata dalam firman Allah {maka biarlah Tuhan Yang Maha Pengasih memperpanjang (waktu) baginya} maka biarkanlah Allah membiarkan mereka di dalam kesombongan mereka, demikian yang ditetapkan oleh Abu Ja’far ibn Jarir rahimahullah.

Dan ini adalah mubahalah terhadap kaum musyrikin yang mengaku bahwa keadaan mereka di atas kebenaran, sebagaimana Allah menjelaskan tentang mubahalah kepada orang‐orang Yahudi dalam fiman‐Nya; { Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang‐orang Yahudi! Jika kamu mengira bahwa kamulah kekasih Allah, bukan orang‐orang yang lain, maka harapkanlah kematianmu, jika kamu orang yang benar.” } [QS.Al‐Jumu’ah: 6] Yakni mari kita saling mendoakan kematian bagi siapa yang salah di antara kita, jika kalian memang menganggap diri kalian di atas kebenaran maka doa ini tidak akan membahayakan kalian. Akan tetapi mereka menghindar dari hal itu, dan telah berlalu penetapan hal ini secara rinci dalam surat Al‐Baqarah, dan segala puji bagi Allah, dan sebagaimana Allah menyebutkan juga tentang mubahalah terhadap orang‐orang Nashrani di dalam surat Ali Imran ketika mereka tetap bersikeras di atas kekufuran, tetap di atas kecongkakan dan ghuluw dalam menyebut Isa sebagai anak Allah, dan sungguh Allah telah menjelaskan hujjah dan petunjuk‐Nya atas sifat kehambaan Isa, bahwa dia tidak lebih sebagai makhluk seperti Adam, sehingga Allah berfirman setelahnya; {Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), Marilah kita panggil anak‐anak kami dan anak-anakmu, istri‐istri kami dan istri‐istrimu, kami sendiri dan kamu juga, kemudian marilah kita bermubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang‐orang yang dusta.”} [QS. Ali Imran: 61] dan mereka juga berpaling dari hal itu”. [Tafsir Ibnu Katsir]

Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Asy‐Sya’bi, al‐Auza’i, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Ibnu Hajar, Muhammad ibn Abdul Wahhab dan Shidiq Hasan Khan telah menyeru orang yang menyelisihi mereka kepada mubahalah, bahkan sebagian menyeru kepada mubahalah lantaran perkara furu’ dalam masalah fiqih. Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Dan perdebatan jika telah mencapai batasan seperti ini dan tidak menghasilkan manfaat, maka seyogyanya untuk beralih kepada apa yang telah Allah perintahkan kepada Rasul‐Nya berupa mubahalah” [Mukhtashar Ash‐Shawa’iq al‐Mursalah].

Beliau juga berkata dalam masalah fiqh dari kisah utusan Najran;

“Di antaranya; sesungguhnya sebuah sunnah dalam berdebat melawan pengusung kebatilan, apabila telah tegak hujjah Allah tapi mereka tetap tidak mau kembali, bahkan bertambah membangkang maka hendaknya dia mengajaknya untuk bermubahalah, dan sungguh Allah telah memerintahkan Rasul‐Nya dengan hal itu, dan Allah tidak berfirman; sesungguhnya hal itu tidak untuk umatmu sama sekali setelah ini. Dan telah menyeru kepada hal ini juga anak paman Rasul shallallahu alaihi wa sallam, Abdullah Ibnu Abbas terhadap orang‐orang yang berbeda faham dalam masalah furu’, dan tidak ada seorang shahabat pun ketika itu yang mengingkarinya, dan Al‐Auza’i pernah mengajak Sufyan Ats‐Tsauri bermubahalah dalam masalah mengangkat tangan, dan hal itu tidak diingkari, dan ini merupakan kesempurnaan argumen” [Zaadul Ma’ad].

Dan mubahalah tidak memiliki lafadz khusus, misal ketika Ibnu Hajar menyeru mubahalah seorang laki‐laki pengagum si zindik Ibnu Arabi, beliau berkata; “Katakanlah: ‘Ya Allah jika Ibnu Arabi di atas kesesatan maka laknatlah aku dengan laknat‐Mu”’, dan Ibnu Hajar juga berdoa setelahnya; ‘Ya Allah jika Ibnu Arabi di atas kebenaran maka laknatlah aku dengan laknat‐Mu’, dan dua bulan kemudian pengagum Ibnu Arabi itu buta matanya dan binasa dengan hina, ini dikisahkan oleh As‐Sakhawi (murid Ibnu Hajar) di dalam kitabnya yang berjudul Al‐Qaul al‐Mubni.

Para ulama berkata: dan di antara hal yang diketahui sesuai pengalaman, bahwa tidak lebih dari satu tahun berlalu atas orang yang bermubahalah dengan dusta, kecuali akan terjadi hasil mubahalah itu, terkadang hasilnya berupa kebinasaan yang menghinakan (yang tidak termasuk mati syahid di jalan Allah), sakit, diasingkan dari negeri, kefakiran, dan lain‐lain. Dan apabila mubahalahnya terjadi antara dua kelompok, maka hasilnya yang terlihat jelas adalah kemenangan salah satu dari kelompok itu dan hancurnya kelompok lainnya, hasil ini akan memperlihatkan kelompok mana yang berdusta dengan sangat jelas, lebih dari sekedar kematian salah satu anggotanya dengan hina, lalu bagaimana jika kelompok pendusta itu mengancam kelompok lawannya dengan kebinasaan secara menyeluruh terhadap pasukan ‘singa‐singa dari timur’?!

Hudzaifah radhiyallahu hanu berkata; “Datang Al‐‘Aqib dan As‐Sayid (keduanya penduduk Najran) kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam hendak bermubahalah, namun salah satu dari keduanya berkata; ‘Jangan lakukan, demi Allah, jika dia benar seorang Nabi kemudian melaknat kita, maka kita tidak akan selamat dan juga keturunan kita nanti”. [Shahih Al‐Bukhari].

Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berkata; “Seandainya orang‐orang Yahudi itu mengharapkan kematian, pasti mereka akan mati dan melihat tempat duduk mereka di neraka, jika orang‐orang itu mau keluar bermubahalah dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tentu mereka akan kembali (ke kampungnya) tanpa mendapati lagi harta dan keluarganya”. [Shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad].

Diriwayatkan oleh Ath‐Thabari rahimahullah; dari ‘Ilba’ ibn Ahmar Al‐Yasykuri rahimahullah (beliau murid seorang tabi’in ahli tafsir, Ikrimah rahimahullah) dia berkata; “Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajak orang‐orang Yahudi untuk bermubahalah saling melaknat, seorang pemuda dari Yahudi berkata; ‘Celaka kalian, tidakkah kalian ingat kejadian dahulu ketika saudara‐saudara kalian dirubah menjadi kera dan babi? Janganlah kalian bermubahalah, berhentilah”. [Tafsir Ath‐Thabari, dengan ringkasan].

Dan mubahalah merupakan salah satu bagian dari bentuk dakwah al‐Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, di mana beliau berkata; “Dan aku mengajak orang‐orang yang menyelisihiku kepada empat hal: kembali kepada kitab Allah, kembali kepada sunnah Rasul‐Nya, kembali kepada ijma’ ahlul ilmi, dan jika tetap menolak maka aku mengajaknya bermubahalah, sebagaimana Ibnu Abbas pernah mengajak mubahalah dalam masalah ilmu waris (faraidh), Sufyan dan Al‐Auza’i dalam masalah mengangkat tangan, dan ulama‐ulama lainnya”. [Ad‐Durar As‐Saniyyah].

AKIDAH YANG BENAR PARA MUJAHIDIN

Setelah pembahasan ini, maka kita harus ingat bahwa mujahidin adalah termasuk dari manusia yang paling benar aqidahnya, terutama dalam masalah nama‐nama Allah, sifat‐sifat‐Nya dan perbuatan‐Nya, yang demikian karena akidah mereka adalah akidah Ahlus sunnah wal Jama’ah, sehingga mereka beriman bahwa perbuatan Allah adalah haq dan tidak keluar dari sifat rahmah, keadilan dan hikmah, berlainan dengan Asy’ariah yang meyakini bahwa sifat hikmah menafikan sifat iradah ‘bebas berkehendak’, karenanya mereka tidak menyifati sifat hikmah dengan benar, apalagi sifat rahmat, yang mereka maknai dengan “kehendak  kebaikan bagi makhluk”. Bahkan sebagian ahli kalam menyangka bahwa bisa jadi Allah menakdirkan munculnya mukjizat kenabian dari tangan para pendusta yang mengaku nabi, dan satu-satunya argumen untuk menggagalkan pengakuannya adalah seseorang yang melawan pengakuannya dengan mukjizat yang menyerupainya.”

Dan sebagian ahlu kalam dari kelompok mu’tazilah (dan yang mengikuti mereka dari orang‐orang zhahiriah) menolak hakikat karomah para wali, dan bisa jadi sebagian orang‐orang di Jabhah Jaulani mengadopsi keyakinan ini, dan ghuluw di dalamnya, serta melebar untuk menolak hasil mubahalah apa pun setelah wafatnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Selain akidah Ahlus sunnah yang lurus ini, yang dipikul oleh para mujahidin, mereka juga berbaik sangka kepada Allah, karena Allah berfirman di dalam hadits qudsi; “Aku sesuai dengan persangkaan hamba‐Ku kepada‐Ku, jika dia berprasangka kepada‐Ku dengan kebaikan maka baginya (kebaikan) jika dia berprasangka dengan keburukan, maka baginya (keburukan)” [Shahih: diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Hibban]. Dan dalam riwayat lain; “Aku sesuai persangkaan hamba‐Ku kepada‐Ku, maka berprasangkalah kepada‐Ku sekehendaknya”. [Shahih; diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan al‐Hakim]. Dan dalam riwayat lain; “Aku sesuai prasangkaan hamba‐Ku kepada‐Ku, dan Aku bersamanya jika dia berdoa kepada‐Ku” [Shahih Muslim].

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: 
“Janganlah sekali‐kali salah seorang dari kalian meninggal kecuali dia berbaik sangka kepada Allah”
[Shahih Muslim].

Sebagai penutup, yang menjadi masalah adalah orang‐orang yang menyelisihi Daulah Islam menanggapi mubahalah sedang mereka meyepelekan kebohongan, mereka menganggapnya seperti permainan anak kecil, sedangkan para pembesar Daulah Islam dan tentaranya menyadari bahwa takabbur terhadap mubahalah dan menuduh kaum muslimin dengan kedustaan batil merupakan hal yang sangat berbahaya, sebuah perkara yang dapat mengundang amarah Allah yang Maha Perkasa. Allah berfirman di dalam hadits qudsi; Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman, ’Barangsiapa memusuhi wali‐Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba‐Ku mendekat kepada‐Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal‐hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba‐Ku tidak henti‐hentinya mendekat kepada‐Ku dengan ibadah‐ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada‐Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya. Aku tidak pernah ragu‐ragu terhadap sesuatu yang Aku kerjakan seperti keragu‐raguan‐Ku tentang pencabutan nyawa orang mukmin. Ia benci kematian dan Aku tidak suka menyusahkannya. [Shahih Al‐Bukhari].

Hanya kepada Allah tempat meminta pertolongan.

(Makalah ini ada di majalah Dabiq edisi 2 Ramadhan 1435H)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...