Allah
ta’ala berfirman:
إِنَّ فِرۡعَوۡنَ
وَهَٰمَٰنَ وَجُنُودَهُمَا كَانُواْ خَٰطِِٔينَ
“Sesungguhnya
Fir’aun, Haman dan bala tentaranya, mereka itu adalah orang-orang yang
bersalah.” (QS. Al Qashash [28]: 8)
Ayat ini
menegaskan bahwa Raja Fir’aun, para pejabat pembantunya dan aparat keamanannya
adalah orang-orang yang bersalah yang menjadi tersangka dan terdakwa di hadapan
hukum Allah ta’ala. Namun sudah barang tentu mereka tidak mengaku sebagai
orang-orang yang bersalah yang pantas digusur ke meja hijau, karena mereka
adalah rezim yang berkuasa yang mana segala tindakan dan ucapan mereka adalah
sah secara hukum dan benar sesuai undang-undang, sebabnya adalah bahwa hukum
dan undang-undang yang ada adalah buatan mereka sendiri.
Ketahuilah
sesungguhnya Allah ta’ala telah menyebutkan di antara kesalahan Fir’aun itu
adalah karena dia telah melampaui batas dirinya sebagai makhluk:
ٱذۡهَبۡ
إِلَىٰ فِرۡعَوۡنَ إِنَّهُۥ طَغَىٰ
“Pergilah kamu (Musa) kepada Fir’aun, karena sesungguhnya dia
itu telah melampaui batas,”
(An Nazi’at: 17)
Dimana dia
mengatakan:
فَقَالَ
أَنَا۠ رَبُّكُمُ ٱلۡأَعۡلَىٰ
“Akulah
tuhan kalian tertinggi”. (An Nazi’at: 24)
Juga
ucapannya:
مَا
عَلِمۡتُ لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡ
“Aku tidak mengetahui ada tuhan bagi kalian selain aku.” (Al Qashash
[28]: 38)
Bahkan
dengan angkuh mengatakan Nabi Musa ‘alaihissalam:
قَالَ
لَئِنِ ٱتَّخَذۡتَ إِلَٰهًا غَيۡرِي لَأَجۡعَلَنَّكَ مِنَ ٱلۡمَسۡجُونِينَ
“Andai kamu menjadikan tuhan selain aku, sungguh aku benar-benar
akan memenjarakan kamu”. (Asy Syu’ara [26]: 29)
Jadi di
antara kesalahan Fir’aun ini adalah bahwa dia mengaku dirinyalah satu-satunya
tuhan yang harus diibadati, dan dia mengancam orang yang menolak keTuhanannya
dengan ancaman penjara. Namun yang menjadi pertanyaan di sini adalah: ketuhanan
macam apakah yang diakui dan diklaim oleh Fir’aun dan bahwa hal itu adalah hak
preogatif muthlak miliknya?
1. Apakah dia mengklaim penciptaan langit dan bumi?
2. Dan apakah dia mengklaim bahwa manfa’at dan madharrat ada di
tangannya?
3. Dan apakah dia mengklaim pengetahuan terhadap hal-hal yang
ghaib?
Pertanyaan-pertanyaan
ini semua jawabannya adalah “TIDAK” berdasarkan penegasan nash-nash Al Qur’an.
Adapun
yang pertama, yaitu bahwa Fir’aun tidak mengakui bahwa dirinya
yang menciptakan langit dan bumi, dan justeru sebaliknya dia itu meyakini
bahwa Allah-lah yang menciptakannya, maka itu adalah sebagaimana ucapan Nabi Musa
‘alaihissalam
kepada
Fir’aun:
قَالَ لَقَدۡ عَلِمۡتَ مَآ
أَنزَلَ هَٰٓؤُلَآءِ إِلَّا رَبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ بَصَآئِرَ وَإِنِّي
لَأَظُنُّكَ يَٰفِرۡعَوۡنُ مَثۡبُورٗا ١٠٢
“Sungguh kamu
telah mengetahui, bahwa tidak ada yang menurunkan (mukjizat-mukjizat) itu
kecuali Rabb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata,
dan sungguh aku benar-benar menduga kamu akan binasa, wahai Fir’aun.”. (QS. Al Israa
[17]: 102)
Dan adapun
yang kedua, yaitu bahwa Fir’aun tidak mengklaim bahwa manfa’at
dan madlarrat ada di tangannya, dimana dia tidak bisa mendatangkan manfa’at
dan tidak bisa menolak madlarrat, maka itu sebagaimana yang Allah ta’ala
sebutkan di dalam Al Qur’an dimana Allah ta’ala menimpakan adzab kepada Fir’aun
dan kaumnya yang tidak bisa mereka tolak dan mereka hindari. Allah berfirman:
فَأَرۡسَلۡنَا عَلَيۡهِمُ ٱلطُّوفَانَ
وَٱلۡجَرَادَ وَٱلۡقُمَّلَ وَٱلضَّفَادِعَ وَٱلدَّمَ ءَايَٰتٖ مُّفَصَّلَٰتٖ فَٱسۡتَكۡبَرُواْ
وَكَانُواْ قَوۡمٗا مُّجۡرِمِينَ ١٣٣
“Maka Kami
kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah (air minum
menjadi darah) sebagai bukti-bukti yang jelas,” (QS. Al A’raf [7]: 133)
Dan
ternyata yang dilakukan Fir’aun dan pengikutnya yang kafir tatkala adzab itu
menimpa mereka adalah meminta kepada Nabi Musa ‘alaihissalam agar
berdoa kepada Allah ta’ala agar mencabut adzab itu dari mereka, seraya
mengatakan:
وَلَمَّا وَقَعَ عَلَيۡهِمُ
ٱلرِّجۡزُ قَالُواْ يَٰمُوسَى ٱدۡعُ لَنَا رَبَّكَ بِمَا عَهِدَ عِندَكَۖ لَئِن
كَشَفۡتَ عَنَّا ٱلرِّجۡزَ لَنُؤۡمِنَنَّ لَكَ وَلَنُرۡسِلَنَّ مَعَكَ بَنِيٓ
إِسۡرَٰٓءِيلَ ١٣٤
“Wahai Musa!
Mohonkanlah untuk kami kepada Rabbmu sesuai dengan janji-Nya kepadamu. Jika
engkau dapat menghilangkan azab ini dari kami, niscaya kami akan beriman
kepadamu dan pasti akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu.” (QS. Al
A’raf [7]: 134)
Jadi
Fir’aun itu meyakini bahwa manfa’at dan madlarrat itu hanya di Tangan Allah
ta’ala, dan bahkan Fir’aun juga tidak berani menghadapi mukjizt-mukjizat Nabi
Musa ‘alaihissalam di dalam pertarungan yang menjadi penentuan kecuali
dengan mengupah para tukang sihir untuk menghadapinya, dan itupun setelah
Fir’aun meminta pendapat para pembantunya:
قَالَ ٱلۡمَلَأُ مِن قَوۡمِ
فِرۡعَوۡنَ إِنَّ هَٰذَا لَسَٰحِرٌ عَلِيمٞ ١٠٩ يُرِيدُ أَن يُخۡرِجَكُم
مِّنۡ أَرۡضِكُمۡۖ فَمَاذَا تَأۡمُرُونَ ١١٠ قَالُوٓاْ أَرۡجِهۡ وَأَخَاهُ وَأَرۡسِلۡ فِي ٱلۡمَدَآئِنِ
حَٰشِرِينَ ١١١ يَأۡتُوكَ بِكُلِّ سَٰحِرٍ عَلِيمٖ ١١٢ وَجَآءَ ٱلسَّحَرَةُ
فِرۡعَوۡنَ قَالُوٓاْ إِنَّ لَنَا لَأَجۡرًا إِن كُنَّا نَحۡنُ ٱلۡغَٰلِبِينَ ١١٣ قَالَ
نَعَمۡ وَإِنَّكُمۡ لَمِنَ ٱلۡمُقَرَّبِينَ ١١٤ قَالُواْ يَٰمُوسَىٰٓ إِمَّآ أَن
تُلۡقِيَ وَإِمَّآ أَن نَّكُونَ نَحۡنُ ٱلۡمُلۡقِينَ ١١٥ قَالَ أَلۡقُواْۖ
فَلَمَّآ أَلۡقَوۡاْ سَحَرُوٓاْ أَعۡيُنَ ٱلنَّاسِ وَٱسۡتَرۡهَبُوهُمۡ وَجَآءُو
بِسِحۡرٍ عَظِيمٖ ١١٦ ۞وَأَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰ مُوسَىٰٓ أَنۡ أَلۡقِ عَصَاكَۖ
فَإِذَا هِيَ تَلۡقَفُ مَا يَأۡفِكُونَ ١١٧ فَوَقَعَ ٱلۡحَقُّ وَبَطَلَ مَا كَانُواْ
يَعۡمَلُونَ ١١٨ فَغُلِبُواْ هُنَالِكَ وَٱنقَلَبُواْ صَٰغِرِينَ ١١٩ وَأُلۡقِيَ ٱلسَّحَرَةُ سَٰجِدِينَ ١٢٠
“Pemuka-pemuka
kaum Fir’aun berkata: “Orang ini (Musa) benar-benar penyihir yang pandai, yang
hendak mengusir kalian dari negeri kalian”. (Fir’aun berkata): “Maka apa saran
kamu?” (Pemuka-pemuka itu) menjawab: “Tahanlah (untuk sementara) dia dan saudaranya
dan utuslah ke kota-kota beberapa orang untuk mengumpulkan (para penyihir),
agar mereka membawa semua penyihir yang pandai kepadamu”. Dan para penyihir
datang kepada Fir’aun, mereka berkata: “Apakah kami akan mendapat imbalan jika kami
menang?” Dia (Fir’aun) menjawab: “Ya, bahkan kalian pasti termasuk orang-orang
yang dekat (kepadaku)”. Mereka (para penyihir) berkata: “Wahai Musa! Kamukah
yang akan melemparkan terlebih dahulu, atau kami yang akan melemparkan?” Dia
(Musa) menjawab: “Lemparkanlah (lebih dahulu)!” Maka setelah mereka melemparkan,
mereka menyihir mata orang banyak dan menjadikan orang banyak itu takut, karena
mereka memperlihatkan sihir yang hebat (mena’jubkan). Dan Kami wahyukan kepada
Musa: “Lemparkanlah tongkatmu!”. Maka ia (tongkat itu) menelan (habis) segala
kepalsuan mereka. Maka terbuktilah kebenaran, dan segala yang mereka kerjakan
menjadi sia-sia. Maka mereka dikalahkan di tempat itu, dan jadilah mereka
orang-orang yang hina. Dan para penyihir itu serta merta menjatuhkan diri
dengan bersujud.” (QS. Al A’raf [7]: 109-120)
Begitulah
orang-orang upahan sang tuhan palsu itu tidak berdaya di hadapan mukjizat Musa ‘alaihissalam, dan
merekapun malah berbalik beriman kepada Musa ‘alaihissalam, dan sang
Fir’aunpun murka kepada mereka dan membunuh mereka dengan kejam.
Dan adapun
yang ketiga perihal bahwa Fir’aun itu tidak mengetahui yang ghaib,
adalah bahwa tatkala dia memiliki kekhawatiran bahwa kekuasaannya akan hancur
oleh pria Bani Israil, maka dia memerintahkan aparat keamanannya agar membunuhi
semua pria Bani Israil, namun dia malah memelihara dan memungut bayi laki-laki Bani
Israil yang dikemudian hari menjadi penghancur kekuasaannya, yaitu Musa ‘alaihissalam:
فَٱلۡتَقَطَهُۥٓ
ءَالُ فِرۡعَوۡنَ لِيَكُونَ لَهُمۡ عَدُوّٗا وَحَزَنًاۗ
“Maka dia (Musa) dipungut oleh keluarga Fir’aun agar (kelak) dia
menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka,” (QS. Al Qashash [28]: 8)
Dari
ayat-ayat tadi diketahuilah bahwa Fir’aun meyakini bahwa Allah ta’ala sajalah
yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya, Dia sajalah yang mengkabulkan
doa dan Dia sajalah Dzat yang mengetahui yang ghaib.
Jadi kalau
demikian, ketuhanan macam apakah yang Fir’aun sematkan kepada dirinya dan dia
tolak dari selainnya, termasuk Allah ta’ala?
Untuk
memahami hal ini, maka simaklah uraian berikut ini...
Allah
ta’ala berfirman:
إِنِ
ٱلۡحُكۡمُ إِلَّا لِلَّهِ
“Hak menentukan hukum hanyalah milik Allah.” (QS. Yusuf
[12]: 40)
Ayat ini
menjelaskan bahwa wewenang pembuatan hukum, undang-undang dan putusan hanyalah
hak khusus (preogatif) milik Allah. Ini dikarenakan kewenangan pembuatan hukum
itu adalah berkaitan dengan penciptaan, sebagaimana Firman-Nya ta’ala:
أَلَا لَهُ ٱلۡخَلۡقُ وَٱلۡأَمۡرُۗ
“Ingatlah,
hanyalah milik-Nyalah penciptaan dan perintah.” (QS. Al A’raf [7]: 54)
Dikarenakan
yang menciptakan itu hanyalah Allah, maka hanya Allah sajalah yang berhak
memerintah, melarang dan menentukan hukum dan aturan. Dan sebagaimana Allah
ta’ala itu tidak menyertakan satu
makhluk-pun di dalam penciptaan, maka Diapun tidak mengizinkan dan tidak
menyertakan satu makhluk-pun di dalam kewenangan pembuatan hukum dan
undang-undang, sebagaimana Firman-Nya:
وَلَا
يُشۡرِكُ فِي حُكۡمِهِ أَحَدٗا
“Dan Dia tidak menyertakan seorangpun di dalam
hukum-Nya.”(Al Kahfi:26)
Dan bahkan
Dia ta’ala melarang menyertakan atau menyekutukan seorangpun di dalam
kewenangan pembuatan hukum yang merupakan hak khusus Allah ta’ala. Dia ta’ala
berfirman:
وَلَا
يُشۡرِكُ فِي حُكۡمِهِۦٓ أَحَدٗا ٢٦
“Dan
janganlah kamu menyekutukan seorangpun di dalam hukum-Nya.”(QS. Al Kahfi [18]: 26,
sebagaimana di dalam qira’ah ibnu ‘Amir yang mutawwatir)
Sebagaimana
orang yang meyakini adanya pencipta selain Allah ta’ala adalah musyrik lagi
kafir juga telah mempertuhankan selain Allah itu, ini dikarenakan hak
penciptaan adalah hak khusus Allah, maka begitu juga orang yang menyandarkan
kewenangan pembuatan hukum dan undang-undang atau sebagiannya kepada selain
Allah adalah musyrik, kafir lagi telah mempertuhankan selain Allah.
Sebagaimana
orang yang mengaku bahwa dirinya telah ikut andil bersama Allah ta’ala di dalam
penciptaan adalah divonis telah mengaku dirinya sebagai tuhan sekutu Allah
ta’ala, maka begitu juga orang yang mengaku bahwa dirinya itu berhak membuat
hukum dan undang-undang di samping Allah, adalah telah mengklaim bahwa dirinya
itu adalah tuhan sekutu Allah ta’ala. Dan sebagaimana orang yang mengklaim
bahwa dirinyalah yang menciptakan manusia dan bahwa tidak ada yang menciptaka
mereka kecuali dia, maka dia itu adalah telah mengklaim sebagai tuhan tertinggi
satu-satunya bagi manusia, maka begitu juga orang yang mengklaim bahwa hanya dirinyalah
yang berhak membuat hukum dan tidak ada hukum yang harus dijadikan rujukan
kecuali hukumnya, maka dia itu berarti telah mengaku bahwa dirinya adalah tuhan
tertinggi.
Untuk
supaya lebih jelas masalahnya, maka perhatikan kandungan ayat-ayat ini:
ٱتَّخَذُوٓاْ أَحۡبَارَهُمۡ
وَرُهۡبَٰنَهُمۡ أَرۡبَابٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَٱلۡمَسِيحَ ٱبۡنَ مَرۡيَمَ
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُوٓاْ إِلَٰهٗا وَٰحِدٗاۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا
هُوَۚ سُبۡحَٰنَهُۥ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ٣١
“Mereka
menjadikan alim ulama dan para pendetanya sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan
(juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka tidak
diperintahkan kecuali supaya mereka beribadah kepada Tuhan Yang Esa, tidak ada
tuhan yang berhak diibadati kecuali Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.” (QS. At Taubah [9]: 31)
Di dalam
ayat ini Allah ta’ala telah memvonis orang-orang nasrani dengan banyak vonis,
di antaranya:
1. Mereka
telah mempertuhankan alim ulama dan para pendeta mereka.
2. Mereka
telah beribadah kepada alim ulama dan para pendeta itu.
3. Mereka
melanggar laa ilaaha illallaah.
4. Mereka
musyrik.
5. Dan
alim itu memposisikan dirinya sebagai tuhan.
Apa
gerangan kemusyrikan orang-orang nasrani itu, dan bentuk peribadatannya, serta
apa sebab alim ulama dan pendeta itu disebut telah memposisikan dirinya sebagai
arbab selain Allah? Apakah karena sebab ruku dan sujud atau karena sebab lain? Amatilah
tafsir Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang ayat ini di dalam hadits
hasan yang diriwayatkan At Tirmidzi, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dihadapan 'Adi Ibnu
Hatim (waktu itu seorang nasrani dan kemudian masuk Islam), dan saat ‘Adi
mendengar ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka dia mengatakan: “Kami
(orang-orang nasrani) tidak beribadah kepada mereka” yaitu kami
tidak pernah mempertuhankan mereka dan tidak pernah shalat dan berdoa kepada
mereka, jadi kenapa kami dianggap telah beribadah kepada mereka, apa bentuk
peribadatan kami kepada mereka itu, maka Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan bentuk peribadatan yang mereka lakukan
kepada alim ulama dan pendeta itu dengan sabdanya:
“Bukankah
mereka itu menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian menghalalkannya
dan bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan kemudian kalian mengharamkannya?”
Maka ‘Adi
menjawab: “Ya benar”. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Maka
itulah peribadatan kepada mereka”.
Jadi
peribadatan disini adalah penyandaran hukum kepada alim ulama dan pendeta dan
penerimaan hukum mereka itu sebagai rujukan dan sandaran, yang padahal hal itu
adalah hak khusus Allah ta’ala yang bila dipalingkan kepada selain-Nya maka itu
adalah syirik akbar dan bila diklaim oleh makhluk maka dia itu telah melampaui batas
dan mengaku tuhan.
Al Imam
Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah mengatakan di dalam Kitab Ibthalut Tandid hal 76:
“Para
ulama telah sepakat bahwa barangsiapa memalingkan sesuatu dari ibadah itu
kepada selain Allah, maka dia telah musyrik walaupun mengucapkan laa ilaaha
illallaah, walaupun dia shalat dan shaum serta walaupun dia mengaku muslim.”
Sedangkan
penyandaran hukum itu adalah ibadah yang murni hak Allah ta’ala, dan bila
disandarkan kepada selain Allah ta’ala maka itu adalah syirik dan orang yang
menjadikan hukum itu sebagai rujukan maka dia itu orang musyrik walaupun hanya
satu hukum saja, sebagaimana yang Allah ta’ala jelaskan di dalam Al Qur’an
perihal bangkai:
وَلَا تَأۡكُلُواْ مِمَّا
لَمۡ يُذۡكَرِ ٱسۡمُ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ وَإِنَّهُۥ لَفِسۡقٞۗ وَإِنَّ ٱلشَّيَٰطِينَ
لَيُوحُونَ إِلَىٰٓ أَوۡلِيَآئِهِمۡ لِيُجَٰدِلُوكُمۡۖ وَإِنۡ أَطَعۡتُمُوهُمۡ
إِنَّكُمۡ لَمُشۡرِكُونَ ١٢١
“Dan
janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.
Sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar
membantah kamu, dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi
orang-orang yang musyrik. (QS. Al An’am [6]: 121)
Ayat ini
di antaranya berkaitan dengan perdebatan antara Auliya Ar Rahman dengan Auliya
Asy Syaithan (kafirin Quraisy), dimana orang-orang kafir itu menghalalkan
bangkai dan mendebat kaum muslimin agar ikut menghalalkannya. Al Hakim meriwayatkan
dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma berkata
tentang ucapan orang-orang kafir itu: “Apa yang disembelih oleh Allah
(yaitu bangkai) maka kalian tidak mau memakannya, sedangkan yang kalian sembelih
maka kalian memakannya,” maka Allah menurunkan ayat: “Sesungguhnya
syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kamu.”
Di sini
hanya satu hukum saja yaitu penghalalan bangkai, namun Allah memvonis orang
yang menurutinya sebagai orang musyrik, ”dan jika kamu menuruti mereka,
sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik,” sedangkan
orang yang menggulirkannya sebagai wali (teman) syaitan, “sesungguhnya
syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kanu” dan hukum
buatannya itu dicap sebagai wahyu dan bisikan syaitan.
Bila saja
penyandaran hak pembuatan satu hukum kepada selain Allah ta’ala adalah
kemusyrikan dan menjadikan hukum buatan tersebut sebagai rujukan di dalam
putusan, dakwaan, fatwa atau vonis adalah syirik akbar yang merupakan pembatal
keislaman, maka bagaimana halnya dengan pembuatan dan perujukan lebih dari satu
hukum buatan...?
Dan bila
saja pengklaiman kewenangan pembuatan satu hukum itu merupakan pengklaim
ketuhanan, maka bagaimana halnya dengan pengklaiman bahwa dirinyalah dan
lembaganyalah yang berwenang membuat hukum, dan bahwa hukum apapun tidaklah menjadi
hukum yang sah lagi memiliki kekuatan undang-undang kecuali setelah disahkan
dan ditetapkan oleh dirinya dan lembaganya. Dan inilah ketuhanan yang fir’aun
maksudkan dengan ucapannya:
فَقَالَ
أَنَا۠ رَبُّكُمُ ٱلۡأَعۡلَىٰ ٢٤
“berkata: "Akulah Tuhanmu yang paling tinggi". (QS. An
Nazi’at [79]: 24)
dan
ucapannya:
وَقَالَ فِرۡعَوۡنُ
يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَأُ مَا عَلِمۡتُ لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرِي
“Aku tidak
mengetahui ada tuhan bagi kalian selain Aku.” (QS. Al Qashash [28]: 38)
Yaitu
bahwa akulah satu-satunya yang berkuasa membuat hukum dan tidak ada hukum yang
boleh kalian taati selain hukum aku.
Sedangkan
peribadatan yang Fir’aun inginkan dari rakyatnya bukanlah shalat dan doa
kepadanya, akan tetapi ketaatan dan loyalitas kepada hukum dan perintahnya.
Jadi
inilah di antara kesalahan dan tindak pidana yang didakwakan oleh Allah ta’ala
kepada Fir’aun, dimana dia telah merencanakan dan atau menggunakan orang lain
untuk melakukan tindak pidana penentangan terhadap Allah dan hukum-Nya, sedangkan
dakwaan yang dililitkan kepada para pejabat dan aparat keamanan Fir’aun adalah
karena mereka telah dengan sengaja memberikan bantuan dan kemudahan terhadap
Fir’aun di dalam melakukan tindak pidana penentangan terhadap kekuasaan Allah.
Dan mereka
semua itu, yaitu Fir’aun, para pejabatnya dan aparat keamanannya, telah dengan
sengaja dan secara sadar melakukan pemufakatan jahat, percobaan atau pembantuan
untuk melakukan tindak pidana penentangan terhadap hukum Allah ta’ala dan teror
terhadap orang-orang yang ingin menegakkan hukum Allah ta’ala dengan teror
pemenjaraan sebagaimana yang dimaksud di dalam surat Asy
Syu’ara [26] ayat 29:
قَالَ لَئِنِ ٱتَّخَذۡتَ
إِلَٰهًا غَيۡرِي لَأَجۡعَلَنَّكَ مِنَ ٱلۡمَسۡجُونِينَ ٢٩
“Andai kamu
menjadikan tuhan selain aku, sungguh aku benar-benar akan memenjarakan kamu”.
Dan teror
pembunuhan sebagaimana yang dimaksud di dalam surat Al Mu’min
[40] ayat 26:
وَقَالَ
فِرۡعَوۡنُ ذَرُونِيٓ أَقۡتُلۡ مُوسَىٰ
“Dan Berkata
Fir’aun (kepada para pembesarnya): “BDiarkanlah Aku membunuh Musa.”
Dan teror
penyiksaan sebagaimana yang dimaksud dengan ucapannya:
فَلَأُقَطِّعَنَّ
أَيۡدِيَكُمۡ وَأَرۡجُلَكُم مِّنۡ خِلَٰفٖ وَلَأُصَلِّبَنَّكُمۡ فِي جُذُوعِ ٱلنَّخۡلِ
“Maka
sungguh, akan kupotong tangan dan kakimu secara bersilang, dan sungguh, akan
aku salib kamu pada pangkal pohon kurma”. (QS. Thaha [20]: 71)
Dan
Fir’aun-pun melakukan teror dengan memerintahkan aparat keamanannya membunuhi
kaum pria yang dikhawatirkan membahayakan ideologi dan pemerintahannya serta
membiarkan kaum wanitanya terlantar tanpa pengayom:
إِنَّ فِرۡعَوۡنَ عَلَا فِي
ٱلۡأَرۡضِ وَجَعَلَ أَهۡلَهَا شِيَعٗا يَسۡتَضۡعِفُ طَآئِفَةٗ مِّنۡهُمۡ
يُذَبِّحُ أَبۡنَآءَهُمۡ وَيَسۡتَحۡيِۦ نِسَآءَهُمۡۚ إِنَّهُۥ كَانَ مِنَ ٱلۡمُفۡسِدِينَ
٤
“Sesungguhnya
Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya
berkelompok-kelompok, dia menindas segolongan dari mereka, dia menyembelih anak
laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya
dia (Fir’aun) termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al Qashash
[28]: 4)
___________
Sumber: Yang Bersalah Itu Fir’aun Bukan Kami, PLEDOOI USTADZ AMAN ABDURRAHMAN H A F I D Z A H U L L A H; A F I D Z A H U L L A H
Sumber: Yang Bersalah Itu Fir’aun Bukan Kami, PLEDOOI USTADZ AMAN ABDURRAHMAN H A F I D Z A H U L L A H; A F I D Z A H U L L A H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar