Ilyas/Yasiq
Hukum Barbar ala Jenghis
Khan
Pegunungan Thamghaz, Cina 616 H/ 1219 M. Jenghis Khan, Raja Tartar yang
terkenal bengis dan kejam sedang marah manahan emosi. Betapa tidak, dia baru
saja mendapat kabar bahwa delegasi para pengusahanya yang membawa banyak harta
ke negara Khawarizm Syah telah dibunuh. Harta yang semula digunakan untuk
membeli baju produk negara Khawarizm Syah itupun ludes tak berbekas. Jenghis
Khan akhirnya mengirim surat ancaman kepada penguasa Khawarizm Syah, salah satu
bagian kekuasaan Islam pada saat itu.
Tindakan
penguasa Khawarizm Syah Muhammad di atas, tentu saja melanggar syar’iat Islam.
Dalam Islam diharamkan membunuh jiwa satu pun tanpa ada alasan syar’i. Akhirnya
kasus pembunuhan delegasi pengusaha Jengis Khan ini memicu perang antara
Jenghis Khan melawan Khawarizm Syah Muhammad. Peristiwa ini juga menandai
dimulainya invasi pasukan barbar Tartar terhadap wilayah-wilayah Islam. Kaum
muslimin sejak saat itu mengalami kerugian yang tidak terhitung, termasuk
perubahan sosial, khususnya digantinya hukum-hukum syari’at Islam dengan hukum
yang dikenal dengan nama Ilyasiq.
-------------------------
Ilyasiq, Kitab Hukum Ala Jenghis Khan
-------------------------
Ilayasiq,
Ilayasa atau Yasiq adalah sebuah kitab undang-undang atau kitab hukum. Ilyasiq
dibuat oleh Raja Tartar, Jenggis Khan. Ilayasiq merupakan kumpulan yang
sebagiannya diambil dari Taurat orang Yahudi, Injil orang Nashrani, Al Qur’an
dan ajaran ahli bid’ah ditembah dengan hasil buah fikirannya lalu
dikodifikasikan menjadi sebuah kitab yang disebut Ilyasa atau Yasiq.
Nama
Ilyasa dipergunakan oleh bangsa Arab dan memiliki arti berurutan. Tentu saja,
isi kitab Ilyasa bertentangan dengan syari’at Islam. Jika Jenghis Khan ingin
menulis sesuatu pada kitab tersebut, maka ia naik gunung lalu turun lalu naik
dan turun lagi.
Begitulah yang ia lakukan hingga ia tak sadarkan diri.
Pada saat itulah, ia perintahkan orang yang ada di sisinya untuk menulis apa
saja yang ia katakan. Jenghis Khan memang seorang Raja, bahkan bisa dikatakan
seorang Raja terbesar bangsa Tartar. Dia bisa disebut sebagai bapak bangsa
Tartar karena meletakkan dasar-dasar hukum bagi rakyatnya. Jenghis Khan sendiri
sebenarnya nama atau gelar kebanggaannya. Nama aslinya adalah Bitujin, dan
menurut kaidah bangsa Tartar manusia itu tergantung kepada agama raja-rajanya.
Padahal
menurut Ibnul Atsir dalam Al Kamil Fit Tarikh, bangsa Mongol tidak memeluk
salah
satu agama Samawi dari ketiga agama Samawi. Padahal mereka hidup dan bergaul
dengan pengikut agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Mereka menyembah matahari dan
bersujud kepadanya ketika terbit. Syari’at mereka tidak mengharamkan apa pun
kepada mereka dan mereka makan hewan apa saja yang mereka temui meski sudah
jadi bangkai.
Dr.
Muhammad Sayyid Al Wakil dalam bukunya Wajah Dunia Islam menyatakan bahwa kitab
Ilyasa adalah kumpulan undang-undang yang disusun oleh Jenghis Khan untuk
rakyatnya untuk menjadi undang-undang dasar bagi mereka. Kitab tersebut ia
tulis dalam dua jilid dengan huruf tebal dan diangkut dengan unta.
Sebuah
kitab suci yang ‘aneh’. Ibu Katsir mengomentari Ilyasiq sebagai berikut :
"Jika yang terjadi demikian, maka
kelihatannya syaitanlah yang berbicara lewat mulut-nya yang kemudian ditulis
dalam buku tersebut."
Beberapa contoh ke’aneh’an Kitab
Ilyasa adalah sebagai berikut :
1. Barangsiapa melakukan hubungan di
luar nikah, maka harus dibunuh baik ia sudah pernah menikah atau belum.
2. Barangsiapa melakukan hubungan
homoseksual maka dibunuh.
3. Barangsiapa berdusta dengan
sengaja, maka dibunuh.
4. Barangsiapa menyihir maka dibunuh.
5. Barangsiapa memata-matai maka dibunuh.
6. Barangsiapa ikut campur dalam dua
orang yang sedang konflik kemudian berpihak kepada salah satunya maka dibunuh.
7. Barangsiapa buang air kecil di air
yang tidak bergerak maka dibunuh.
8. Barangsiapa mandi di dalamnya maka
dibunuh juga.
9. Barangsiapa memberi makanan atau
minuman kepada tawanan perang tanpa seizin yang punya maka dibunuh.
10. Barangsiapa memberi makanan
kepada seseorang maka hendaklah orang tersebut memakannya terlebih dahulu.
11.
Barangsiapa melemparkan jenis makanan kepada seseorang maka dibunuh. Seharusnya
ia menyerahkannya dengan tangan ke tangan orang tersebut.
12. Barangsiapa menyembelih hewan
maka ia dibunuh seperti hewan tersebut. Ia harus membelah hatinya dan mengambil
hatinya dengan tangannya terlebih dahulu.
Sebagian
isi kitab di atas menunjukkan bahwa pembunuhan adalah satu-satunya yang diatur
oleh kitab Ilyasa. Seolah-olah tidak ada sangsi hukum lainnya. Hal ini juga
menjadi bukti kebatilan kitab atau undang-undang Ilyasa hasil produk seorang
Jenghis Khan.
Imam Ibnu Katsir mengomentari kitab
Ilyasiq dalam tafsirnya (tafsir Al-Azhim) sebagai berikut:
Allah
Ta’ala mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang mantap dan sempurna,
meliputi segala kebaikan, yang tercegah dari segala keburukan, lalu orang itu
berpaling kepada hukum yang lainnya, yang berasal dari pemikiran-pemikiran dan
hawa nafsu dan peristilahan yang dibuat oleh pembesar-pembesar mereka, tanpa
sandaran dari syari’at Allah, sebagaimana kaum jahiliyyah berhukum dengannya
yang berasal dari kesesatan dan kebodohan yang semua itu diletakkan di atas
dasar pandangan-pandangan (logika) dan hawa nafsu mereka. Dan sebagaimana
berhukum dengannya pembuat UU (legislatif, dalam hal ini Tartar) berdasarkan
siasat kerajaan yang diambil dari mereka, Jengis Khan, yang membuat
undang-undang bagi mereka, yang disebut Ilyasiq. Ilyasiq ini berasal dari
kompilasi hukum (gado-gado) campuran dari beberapa hukum yang berbeda-beda,
yaitu UU Kristen, Yahudi dan sedikit ‘cuilan’ dari hukum Islam dan yang
lainnya. Di dalam Ilyasiq pula terdapat banyak ketentuan yang murni berasal
dari pandangan dan hawa nafsu Jengis Khan. Kemudian Ilyasiq dijadikan syari’at
yang wajib oleh kalangan keluarga (keturunan mereka/Tartar), yang lebih
didahulukan daripada berhukum dengan hukum Allah dan sunnah Rasulullah SAW.
Maka barang siapa melakukan hal tersebut, maka dia kafir, wajib memeranginya
sampai dia kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, dan tidak berhukum kepada
selain hukum Islam, baik dalam urusan yang sedikit maupun banyak (Ibnu katsir
2/67).
Dalam Al Bidayah Wan Nihayah Imam
Ibnu Katsir menjelaskan :
‚Barangsiapa
meninggalkan hukum yang muhkam (baku) yang diturunkan kepada Muhammad ibnu
Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada hukum-hukum
(Allah) yang sudah dihapus, maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang
mengacu kepada Ilyasa (Yasiq) dan dia mendahulukannya daripada ajaran Allah,
maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin‛ (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119)
Ibnu Katsir rahimahullah juga berkata tentang
Yasiq/Ilyasa: ‚Ia adalah kitab undang-undang hukum yang dia (Raja Tartar,
Jengis Khan) kutip dari berbagai sumber; dari Yahudi, Nashrani, Millah
Islamiyyah, dan yang lainnya, serta di dalamnya banyak hukum yang dia ambil
dari sekedar pandangannya dan keinginannya, lalu (kitab) itu bagi keturunannya
menjadi aturan yang diikuti yang lebih mereka kedepankan dari pada al hukmu bi
Kitabillah wa sunnati Rasulillah shalallahu‘alaihi wa sallam. Siapa yang
melakukan itu, maka wajib diperangi hingga kembali kepada hukum Allah dan
Rasul-Nya, selainnya tidak boleh dijadikan acuan hukum dalam hal sedikit atau
banyak‛.
Dalam
kitabnya yang lain, beliau mengatakan hal yang lebih tajam dari itu. Setelah
menerangkan beberapa ajaran Ilyasiq (Alyasa/Iyasa) beliau mengatakan :
‛Dan
semuanya itu mengikuti syari’at Allah yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya,
para nabi shalawat dan kesejahteraan atas mereka. Maka barangsiapa meninggalkan
syari’at yang telah tegak yang diturunkan atas Muhammad bin Abdillah penutup
para nabi, dan berhukum kepada hukum yang lain dari syari’at-syari’at (hukum)
yang telah terhapus maka dia kafir, lalu bagaimana pula (terlebih lagi) dengan
orang yang berhukum kepada Ilyasa, maka barangsiapa melakukan hal tersebut, dia
telah Kafir berdasarkan Ijma’ kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
‛Apakah
Hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?‛ (Al-Maidah : 50)
Dan Firman Allah :
‛Maka
demi Rabb (Tuham)mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya‛ (An-Nisa:65).
Pernyataan
tersebut cukup jelas tidak samar-samar, bahwa Ibnu Katsir Rahimahullah menyebut
Ijma’ (konsensus) kaum Muslimin bahwa barangsiapa meningglkan hukum yang
diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu hukum Islam, lalu berhukum dengan
hukum lain yang telah terhapus/mansukh, yaitu hukum kafir, maka dia menjadi
kafir. Jika berhukum dengan hukum yang terhapus, saja dalam hal ini misalnya
Injil dan Taurat, yang tidak tercampur dengan hukum-hukum (syari’at) lain telah
kafir, apalagi berhukum kepada hukum/syari’at yang tercampur dari berbagai
syari’at, seperti hukum Ilyasiq dan mendahulukannya daripada hukum/syari’at
Islam.
Ilyasiq
Modern Sama Kufurnya
————————–——–
Setelah
memahami Ilyasiq di masa Tartar, maka saat ini kita melihat banyak sekali
Ilyasiq Modern, yakni setiap Undang-Undang atau Undang Undang Dasar, KUHP, UUD
45 dan lain-lain, dimana hukum itu diambil dari orang-orang Nashrani (seperti
orang Belanda dengan KUHPnya), hukum adat, dan ada juga sebagian yang diambil
dari Islam seperti masalah pernikahan. Tetapi pada prinsipnya, Ilyasiq Modern
ini sama saja dengan Ilyasiq tempo dulu, yakni sebuah kompilasi hukum
(gado-gado) dan tidak berdasarkan hukum yang diturunkan Allah SWT (syari’at
Islam).
Hukum
Ilyasiq Modern pun tidak jauh berbeda alias sama. Dengan demikian, siapa saja
yang merujuk kepada hukum Ilyasiq Modern ini, maka iapun kafir dengan ijma kaum
muslimin. Orang-orang yang meyakini hukum Belanda, Inggris dan Perancis sebagai
kebenaran sekaligus meyakini bahwa para pemberlaku dan penegak hukum-hukum
Kafir itu sebagai Waliyul Amri (penguasa) yang wajib dita’ati, maka secara
otomatis mereka pun akan terkena hukum kafir alias murtad.
Jihad, Solusi Menghapus Ilyasiq
————————–———–
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata
:
‚Sebagian
besar manusia bertanya-tanya dengan alasan apakah negara Tartar harus
diperangi? Mereka telah masuk Islam dan tidak membangkang terhadap imam.‛
Allah
Maha Adil dan Berkehendak. Sepeninggal Jenghis Khan yang kejam dalam membantai
kaum Muslimin, lahirlah dari keturunannya, yakni Qazan bin Arghun bin Abgha bin
Hulako bin Luli bin Jenghis Khan, menjadi penguasa Tartar pertama yang memeluk
Islam. Raja Qazan Bin Arghun masuk Islam di hadapan Amir Tuzun, rahimahullah,
yang diikuti oleh rakyat Tartar.
Peristiwa
ini terjadi akhir tahun 694 H/1295 M dan dianggap sebagai hari yang besejarah.
Sayangnya keIslaman raja Qazan Bin Arghun tidak membuatnya berhenti memerangi
kaum Muslimin dan meredam ambisinya untuk menguasai wilayah-wilayah kaum
Muslimin, termasuk menerapkan kitab hukum kufur Ilyasiq.
Sebagaimana
yang dikatakan Imam Ibnu Katsir, ras bangsa Tartar tergolong bangsa yang suka
perang, berani, dan tegar dalam peperangan. Komunitas yang tinggal di Asia
Tengah ini, diantara danau Baikal dan pengunungan Altani ini (diantara Rusia
dan Cina) dikenal juga sebagai bangsa Mongol (bagian dari bangsa Tartar)
memiliki sejarah panjang dalam memerangi kaum Muslimin.
Syekhul
Islam Ibnu Taimiyyah, rahimahullah, menjawab pertanyaan Imam Ibnu Katsir dengan
mengatakan :
Orang-orang
Tartar tiada lain seperti orang-orang Khawarij yang membangkang dari Ali Bin
Abu Thalib dan Muawiyah Bin Abu Sofyan. Orang-orang Khawarij berpendapat bahwa
mereka lebih berhak dalam masalah Ke-khalifah-an daripada Ali Bin Abu Thalib
dan Muawiyah Bin Abu Sofyan. Orang-orang Tartar juga berpendapat bahwa mereka
lebih berhak menegakkan kebenaran daripada kaum Muslimin lainnya.
Kalangan
ulama dan rakyat puas dengan fatwa Ibnu Taimiyyah tersebut. Hati mereka ikhlas
dan termotivasi untuk memerangi pasukan Tartar. Untuk menguatkan fatwanya, Ibnu
Taimiyyah berkata : “Jika kalian lihat saya berada di pihak pasukan Tartar
dan di kepalaku terdapat Mushaf, maka bunuhlah aku!” (Al Bidayah wan
Nihayah, Jilid XIV hal 24)
Fatwa
jihad kepada penguasa Tartar yang dikeluarkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah
dikarenakan penguasa Tartar telah kafir (meskipun mereka telah masuk Islam),
karena mereka mengganti syari’at Islam dengan kitab Ilyasiq dan memaksakan
penerapan Ilyasiq kepada rakyatnya. Kondisi ini dicatat dalam sejarah bahwa
Tartar adalah kaum yang pertama kali menisbahkan diri sebagai orang-orang Islam
tetapi berhukum dengan syari’at selain syari’at Islam, yakni berhukum dengan
kitab Ilyasiq. Artinya, sebelum bangsa Tartar tidak pernah ada penguasa dalam
Islam yang modelnya seperti penguasa Tartar. Ironisnya, di zaman modern ini
fenomena penguasa yang mirip dengan penguasa Tartar ini malah marak
bermunculan, yakni penguasa-penguasa yang mengaku beragama Islam tetapi membuat
dan menjalankan syari’at toghut, bukan
syari’at Islam. Nau’dzubillah min dzalik.
Kitab-kitab
sejarah mencatat bagaimana peran Syekhul Islam dalam berjihad melawan penguasa
Tartar. Beliau tampil sebagai seorang mujahid yang gagah berani disamping
keilmuannya yang tinggi. Beliau mengerahkan seluruh kemampuan dan potensi yang
dimilikinya untuk mengkondisikan suasana hingga pihak musuh berhenti memerangi
mereka atau memenangkan pertarungan.
Syekhul
Islam Ibnu Taimiyyah menunjukkan kepada kaum muslimin bagaimana seharusnya
bersikap kepada penguasa kufur dan para agresor. Beliau menghimbau dan
menyemangati kaum muslimin untuk berjihad. Beliau pun tidak hanya sekedar
menghimbau dan menyerukan jihad, ketika perang tengah berkecamuk, maka beliau
menjadi seorang prajurit yang kesatria.
Syekhul
Islam Ibnu Taimiyyah setiap malam berjalan mengelilingi benteng pertahanan
mengajak kaum muslimin berjihad dan memotivasi mereka agar mereka sabar. Beliau
selalu mengingatkan mereka akan ayat-ayat Al Qur’an
tentang jihad. Beliau juga memobilisasi dana untuk jihad di jalan Allah dan
mempertahankan wilayah kaum Muslimin dan menjaga harta mereka. Beliau
mengatakan : ‚Jika kalian infakkan dana kalian di jalan Allah untuk mengusir
musuh, maka itu lebih baik bagi kalian dan lebih besar pahalanya. Beliau menegaskan
bahwa jihad melawan pasukan Tartar hukumnya wajib bagi setiap yang mampu.
Kini,
fenomena Ilyasiq modern mengepung kaum Muslimin. Sebagaimana hukum Ilyasiq di
masa lalu, maka hukum Ilyasiq Modern pun sama. Jihad memerangi kitab Ilyasiq
ini pun harus menjadi opini kaum muslimin. Kaum muslimin harus merasa memiliki
tanggung jawab terhadap masalah ini, sehingga tidak hanya dipikul oleh
kelompok-kelompok tertentu saja.
Tentu
saja, perjuangan ini tidak mudah dan membutuhkan kesabaran. Tahap awal yang patut
dilakukan adalah memberikan bayan (penjelasan) atau penyampaian masalah ini
secara jelas, karena perlu penyadaran terhadap masyarakat tentang kenapa
penguasa negeri ini dikatakan sebagai penguasa kafir.
Wallahu’alam bis showab!
sumber :
M. Fachry (International Jihad Analysis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar